Peristiwa menyedihkan ini memaksa kita
harus bertanya-tanya terhadap keamanan di Jalan Raya.
Terlepas dari hasil penyidikan yang
dilakukan oleh pihak yang berwenang, melihat berbagai pemberitaan di media
massa, menimbulkan implikasi serius dalam hukum.
Pengakuan SJ yang menyatakan kecelakaan
yang merenggut nyawa istrinya itu disebabkan angin kencang. Saat kejadian, ia
mengaku mobil yang dikendarainya seperti didorong angin hingga akhirnya
terguling. Saat itu SJ merasa mobilnya seolah didorong angin kencang dan
mengakibatkan setir yang dikemudikannya berbelok arah. "Tapi waktu mau
saya benerin (posisi
setirnya), malah enggak bisa. Tiba-tiba kayak blong, enggak bisa dikendalikan,
sampai akhirnya mobil terguling," jelasnya. SJ juga mengatakan kalau
kecelakaan yang merengut nyawa isterinya itu merupakan murni kecelakaan tunggal
dan bukan tabrakan
Dari pemberitaan dan diskusi di berbagai
jejaring sosial, diskusi yang paling hangat menceritakan tentang kendaraan yang
digunakan, Tol Purbaleunyi KM 96 + 800 dan kelebihan kapasitas penumpang. Pembahasan
mengenai kendaraan Avanza yang digunakan SJ Avanza yang tidak mempunyai
spesifikasi pengereman yang baik dibandingkan dengan kendaraan sejenisnya
seperti Terios atau Rush. Begitu juga jumlah penumpang yang melebihi kapasitas.
Sedangkan Tol Purbaleunyi KM 96 + 800 dimana Kondisi jalanan di sekitar
Kilometer itu sedikit menurun dan berbelok yang rawan terjadi kecelakaan (pernyataan Kapolres Purwakarta AKBP
Bachtiar Ujung. detikcom, 3/9/2011). Sedangkan mengenai kapasitas penumpang 5
orang kemudian diisi 7 orang menimbulkan
persoalan yang serius.
Data-data yang dipaparkan di berbagai
media massa dapat memberikan petunjuk awal terhadap kecelakaan dan dilihat
kesalahan dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan.
KESENGAJAAN (dolus) DAN KELALAIAN (culpa).
Untuk melihat apakah seseorang dapat
dipertanggungjawabkan dimuka persidangan, maka harus ditentukan apakah pelaku
tindak pidana melakukan kesalahan dengan sengaja (dolus) atau kelalaian/ Kealpaan (culpa).
Dalam lapangan hukum pidana, unsur
kesengajaan atau yang disebut dengan opzet
merupakan salah satu unsur yang terpenting. Dalam kaitannya dengan
unsur kesengajaan ini, maka apabila didalam suatu rumusan tindak pidana
terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut dengan opzettelijk, maka unsur dengan
sengaja ini menguasai atau meliputi semua unsur lain yang ditempatkan
dibelakangnya dan harus dibuktikan.
Sengaja
berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan
kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan yang dilakukannya
itu dilakukan dengan sengaja, terkandung pengertian menghendaki dan mengetahui
atau biasa disebut dengan willens
en wetens. Yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan
suatu perbuatan dengan sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau haruslah
menghendaki apa yang ia perbuat dan memenuhi unsur wettens atau haruslah mengetahui akibat dari apa
yang ia perbuat.
Disini
dikaitkan dengan teori kehendak yang dirumuskan oleh Von Hippel maka dapat
dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan sengaja adalah kehendak membuat suatu
perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat dari perbuatan itu atau
akibat dari perbuatannya itu yang menjadi maksud dari dilakukannya perbuatan
itu.
Jika
unsur kehendak atau menghendaki dan mengetahui dalam kaitannya dengan unsur
kesengajaan tidak dapat dibuktikan dengan jelas secara materiil -karena memang
maksud dan kehendak seseorang itu sulit untuk dibuktikan secara materiil- maka
pembuktian adanya unsur kesengajaan dalam pelaku melakukan tindakan melanggar
hukum sehingga perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku
seringkali hanya dikaitkan dengan keadaan serta tindakan si pelaku pada waktu
ia melakukan perbuatan melanggar hukum yang dituduhkan kepadanya tersebut.
Menggunakan
pendekatan teori yang dimaksud, maka harus dilihat, apakah SJ yang sudah
merasakan ada “ketidakberesan” kendaraan yang digunakan sudah dapat
“memperkirakan” bahaya yang terjadi. Dengan menggunakan teori “kesengajaan”,
maka SJ harus dapat dipertanggungjawabkan dimuka hukum. Baik karena kesengajaan
“mengetahui” akan terjadi “bahaya” maupun kesengajaan akan “diketahui”
terjadinya bahaya menggunakan kendaraan yang dimaksudkan.
Selain
itu juga menggunakan kendaraan yang melebihi kapasitas penumpang dapat memenuhi
teori kesengajaan “patut diketahui” terjadinya bahaya. Belum lagi menggunakan
kendaraan yang dipacu diatas rata-rata dengan kapasitas melebihi penumpang yang
dengan dapat diketahui, terbukti, adanya unsur “kesengajaan” yang “patut
diketahui” menimbulkan bahaya oleh SJ. Dengan menggunakan pendekatan ini, maka
sudah jelas dan mudah pembuktian bagi kepolisian akan membuktikannya.
Dengan
demikian, meninggalnya istri SJ dilihat dari teori “kesengajaan”, SJ dapat
dipersalahkan dan dipertanggungjawabkan dimuka hukum.
Tentu saja, kita tidak bisa menggunakan
teori ini secara mutlak. Harus juga pembuktian terhadap teori Kelalaian (culpa).
Disamping unsur kesengajaan diatas ada
pula yang disebut sebagai unsur kelalaian atau kelapaan atau culpa yang dalam doktrin hukum
pidana disebut sebagai kealpaan yang tidak disadari atau onbewuste schuld dan kealpaan
disadari atau bewuste schuld.
Dimana dalam unsur ini faktor terpentingnya adalah pelaku dapat menduga
terjadinya akibat dari perbuatannya itu atau pelaku kurang berhati-hati.
Wilayah culpa
ini terletak diantara sengaja dan kebetulan. Kelalaian ini dapat didefinisikan
sebagai apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan dan perbuatan itu
menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang, maka walaupun perbuatan itu tidak dilakukan dengan sengaja namun
pelaku dapat berbuat secara lain sehingga tidak menimbulkan akibat yang
dilarang oleh undang-undang, atau pelaku dapat tidak melakukan perbuatan itu
sama sekali.
Dalam culpa
atau kelalaian ini, unsur terpentingnya adalah pelaku mempunyai kesadaran atau
pengetahuan yang mana pelaku seharusnya dapat membayangkan akan adanya akibat
yang ditimbulkan dari perbuatannya, atau dengan kata lain bahwa pelaku dapat
menduga bahwa akibat dari perbuatannya itu akan menimbulkan suatu akibat yang
dapat dihukum dan dilarang oleh undang-undang.
Maka dari uraian tersebut diatas, dapat
dikatakan bahwa jika ada hubungan antara batin pelaku dengan akibat yang timbul
karena perbuatannya itu atau ada hubungan lahir yang merupakan hubungan kausal
antara perbuatan pelaku dengan akibat yang dilarang itu, maka hukuman pidana
dapat dijatuhkan kepada si pelaku atas perbuatan pidananya itu.
Di bidang pidana juga ditemukan
pasal-pasal yang menyangkut kelalaian. Pasal 359 KUHP : Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang
lainmati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana
kurungan paling lama satu tahun. Sedangkan Pasal 360 KUHP (1) Barangsiapa karena kesalahannya
(kelalaiannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu
tahun. (2) Barangsiapa karena
kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa
sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda
paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
Dari pembuktian inilah, Pihak berwenang
akan menggunakan apakah SJ dapat dipersalahkan karena kesengajaan atau
kelalaian terhadap kecelakaan yang terjadi.
Namun yang tidak boleh dilupakan, terlepas
apakah SJ dapat dipersalahkan, penyewaan mobil (rental mobil) juga harus
dibuktikan. Apakah spesifikasi terhadap mobil yang disewa mempunyai standar
yang ditentukan untuk laik kendaraan. Baik pengereman, suspensi, keamanan standar
ataupun perangkat keamanan untuk kendaraan yang disewakan. Dari pernyataan SJ,
yang sudah merasa tidak baik ketika awal mengendarainya dapat mengindikasikan
penyewaan mobil tidak dapat lepas dari pertanggungjawaban pidana dan
membuktikan kesalahan dari penyewaan mobil.
KESALAHAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
Berkaitan dalam asas hukum pidana yaitu Geen straf zonder schuld, actus non facit
reum nisi mens sir rea, bahwa tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, maka pengertian
tindak pidana itu terpisah dengan yang
dimaksud pertanggungjawaban tindak pidana.
Setelah kita sedikit menguraikan tentang
Kesengajaan dan kelalaian, tinggal kita menentukan siapa yang harus
dipertanggungjawabkan dimuka hukum. Selain daripada data-data yang telah
dipaparkan apakah SJ dapat dipertanggungjawabkan dimuka hukum, penyewaan mobil
yang adanya unsur ”kelalaian” menyewakan kendaraan yang kurang laik jalan,
pihak pengelola jalan tol juga harus diminta pertangungjawabkan. UU No. 22
Tahun 2009 telah memberikan tanggungjawab kepada pengelola jalan untuk
bertanggungjawab. Pasal 273 bisa memberikan pelajaran pada pihak terkait agar
memperhatikan hak-hak korban pengguna jalan yang menjadi korban akibat buruknya
infrastruktur. Tol Purbaleunyi KM 96 + 800 dimana Kondisi jalanan di sekitar
Kilometer itu sedikit menurun dan berbelok yang rawan terjadi kecelakaan
merupakan tanggung jawab dari pengelola dan SJ dapat menggunakan mekanisme
gugatan perdata meminta pertanggungjawaban dari pengelola jalan tol. Pasal 273
UU No. 22 Tahun 2009 membuka ruang untuk itu.
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 6 September 2011
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 6 September 2011