15 Maret 2012

opini musri nauli : ketika demonstran diadili


Ketika Pemerintah mencanangkan kenaikan Bahan bakar minyak (BBM) menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan. Teriakan berbagai kalangan termasuk mahasiswa bergema di seluruh negeri. Teriakan mahasiswa didasarkan kehidupan rakyat yang semakin susah di hadapkan dengan “gaya hidup” negara yang berbanding terbalik.
Masih segar dalam ingatan publik, “kelakuan” anggota parlemen yang memamerkan ”gaya hidup” yang jauh dari rakyat yang diwakili, wacana ”pembangunan gedung parlemen yang harga selangit”, harga sebuah “kursi” 20 juta, perbaikan “WC” yang bernilai puluhan milyar, ataupun berbagai permintaan yang “selangit” dari anggota parlemen. “Gaya hidup” anggota parlemen juga diikuti Pemerintah. Wacana beli pesawat “Kepresiden”,  tunjangan” Wakil Menteri yang menghabiskan trilyun rupiah. Belum lagi petugas pajak yang memiliki rekening “tidak wajar” menambah pedih disaat “ketidakteladanan” negara ketika menaikkan BBM.
Hingga tidak salah, teriakan berbagai kalangan terhadap kenaikan BBM semakin menggema. Momentum aksi besar-besaran tanggal 12 Maret 2012 digunakan berbagai komponen termasuk mahasiswa. Aksi tanggal 12 Maret 2012 Mahasiswa yang yang dilakukan aksi berasal dari Aliansi Mahasiswa Jawa Barat di DPR kemudian berakhir dengan penurunan Figura foto Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang terpajang di Gedung DPR Nusantara III, Jakarta. Figura kemudain hancur berkeping-keping. Kaca figura berserakan di lantai.
Penurunan figura Presiden RI kemudian memantik reaksi dari kalangan anggota parlemen. Ketua DPR dan anggota DPR dari Partai Demokrat meminta pihak kepolisian agar memproses para pelaku dan menyeret dimuka persidangan.
Dalam praktek peradilan pidana, menyeret pelaku yang dianggap berseberangan dengan Presiden sebagai simbol negara sering memakan korban. Dalam catatan penulis, pihak kepolisian akan menerapkan berbagai pranata pasal-pasal didalam KUHP untuk memproses secara hukum. Dalam catatan penulis, kepolisian banyak menerapkan pasal-pasal KUHP seperti pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137, Pasal 154, Pasal 154 dan Pasal 155, pasal 160 dan pasal 310 KUHP.
Di Jaman Soeharto, hukum ternyata juga digunakan untuk para pengkritik kebijakan negara. Sri Bintang Pamungkas, Muctar Pakpahan, Fajrul Rahman, Budiman Soejatmiko, Yenny Rosa Damayanti, A. M. Fatwa adalah sebagian kecil nama-nama yang pernah berurusan dengan negara karena perbedaan pandangan dengan Soeharto.

Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP

Pasal ini paling sering dikenakan kepada para demonstran. Dalam rumusan diterangkan Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atua Wakil Presiden”.
Penerapan Pasal 134 KUHP dan Pasal 136 bis KUHP diciptakan Belanda lebih dari 100 (seratus) tahun yang lalu dengan alasan untuk membatasi kebebasan berpendapat negara-negara pada jajahan Belanda dan untuk tidak menyerang kehormatan Ratu Belanda.  Alasannya, karena “... martabat Raja tidak membenarkan pribadi Raja bertindak sebagai pengadu (aanklager)” dan bahwa “...pribadi Raja begitu dekat terkait (verweren) dengan kepentingan negara (staatsbelang), sehingga martabat raja memerlukan perlindungan khusus”. ”.… pribadi Raja begitu dekat terkait (verweven) dengan kepentingan negara (staatsbelang), sehingga martabat Raja memerlukan perlindungan khusus
Di beberapa negara antara lain Jepang, penghinaan terhadap Kaisar, Ratu, Nenek Suri, Ibu Suri, atau ahli waris kekaisaran hanya dapat dituntut atas dasar pengaduan.
Pasal ini sudah tidak berlaku lagi di Negara Belanda, oleh karena itu sangat tidak relevan penerapan pasal tersebut sampai sekarang tetap diberlakukan dimana di negara asalnya sudah dicabut dan tidak diberlakukan lagi.
MK kemudian mendefinisikan sebagai ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan MK kemudian berdasarkan Putusan Perkara Nomor 013-022/PUU-IV/2006 Menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP

Dalam rumusan diterangkan "menyatakan di muka umum perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan". Dalam praktek peradilan pidana rumusan delik formil yang dapat ditafsirkan secara objektif dan subjektif. Jika ditafsirkan secara objektif dan dimulai oleh nilai, asas-asas hukum, dan keadilan hukum sebagaimana yang diatur dalam sistem hukum nasional Indonesia dapat membatasi makna-makna Pasal 154 KUHP (restriktif) dan diterapkan secara tepat dapat dijadikan dasar perlindungan hukum terhadap perbuatan desktruktif terhadap Pemerintah Republik Indonesia.
Namun dalam praktek Sebaliknya, jika ditafsirkan secara subjektif, dapat memperluas (ekstensif) makna Pasal 154 KUHP yang seluas-luasnya yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, karena menyimpangi prinsip pelarangan suatu perbuatan dalam hukum pidana (asas lexcerta). Penafsiran yang subjektif dan meluas terhadap Pasat 154 KUHP dapat melanggar hak-hak konstitusional seseorang.
Mahkamah Konstitusi kemudian berdasarkan putusan Perkara Nomor Nomor 6/PUU-V/2007 Menyatakan Pasal 154 dan Pasal 155 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Pasal 160 KUHP

Pasal 160 KUHP merupakan “pasal karet” penyebar kebencian (haatzai artikelen), dimana pasal tersebut tidak secara pasti perbuatan apa yang dikualifikasikan sebagai pasal penghasut baik berupa lisan maupun tulisan yang mengkritisi kebijakan penguasa dalam hal ini kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan keinginan rakyat. Prof. J. Sahetapy memberikan istilah ”repressive law”. Dalam praktek peradilan, pasal 160 KUHP yang seharusnya bersifat materiil namun ternyata delik formil. Prof J Sahetapy mendasarkan Pasal 160 adalah delik materiil kolonial ondanks ada istilah ”smaad” atau ”opruien”.
Mahkamah Konstitusi kemudian berdasarkan Putusan MK Nomor 7/PUU-VII/2009 menyatakan pasal 160 KUHP haruslah ditafsrikan sebagai conditionally constitutional (“konstitusional bersyarat”). Artinya pasal 160 KUHP haruslah ditafsirkan yang sebelumnya merupakan perbuatan formil menjadi perbuatan materiil.
Dengan tidak adanya  delik penghinaan khusus terhadap Presiden dan Wakil Presiden, dan cukup dengan adanya Pasal 310-321 KUHPidana, maka kepentingan negara tidak dapat dikaitkan dengan pribadi Presiden (dan Wakil Presiden), seperti yang berlaku untuk pribadi Raja dalam suatu negara kerajaan.
Dengan telah menguraikan perkembangan pasal-pasal yang kemudian disengketakan di Mahkamah Konstitusi, maka menurut penulis, kepolisian akan menerapkan pasal 170 KUHP atau setidak-tidaknya pasal 310 KUHP. Rumusan pasal ini terdapat penghinaan (belediging; slander; defamation), apabila kehormatan (ecr; honor) atau nama baik (goede naam; reputation) seseorang diserang (aangerand; impugns)".
Adapun pengertian "kehormatan" merujuk kepada "respect" (rasa hormat) yang merupakan hak seseorang sebagai manusia. Sedangkan pengertian "nama baik" merujuk pada "mengurangi kehorrnatan seseorang di mata orang lain". Mengenai apa yang merupakan "sifat menghina" (beledigend karakter) tergantung pada norma-norma masyarakat pada saat itu.
Menggunakan hukum untuk kepentingan politik sang penguasa justru meletakkan pada hukum pada titik nadir terendah dan justru akan “mempersoalkan” sikap angkuh aparat negara dalam menghormati hukum. Pada titik inilah, kesempatan kita memperbaiki pranata hukum berhadapan dengan sikap negara yang masih menganggap sebagai Negara adalah Saya “L’etat c’est Moi”. Frasa klasik Raja Louis XIV.