Ketika Pemerintah
mencanangkan kenaikan Bahan bakar minyak (BBM) menimbulkan reaksi dari berbagai
kalangan. Teriakan berbagai kalangan termasuk mahasiswa bergema di seluruh
negeri. Teriakan mahasiswa didasarkan kehidupan rakyat yang semakin susah di
hadapkan dengan “gaya
hidup” negara yang berbanding terbalik.
Masih segar dalam ingatan
publik, “kelakuan” anggota parlemen
yang memamerkan ”gaya hidup” yang
jauh dari rakyat yang diwakili, wacana ”pembangunan
gedung parlemen yang harga selangit”, harga sebuah “kursi” 20 juta, perbaikan “WC”
yang bernilai puluhan milyar, ataupun berbagai permintaan yang “selangit” dari anggota parlemen. “Gaya hidup” anggota parlemen juga diikuti
Pemerintah. Wacana beli pesawat “Kepresiden”, “tunjangan”
Wakil Menteri yang menghabiskan trilyun rupiah. Belum lagi petugas pajak yang
memiliki rekening “tidak wajar”
menambah pedih disaat “ketidakteladanan”
negara ketika menaikkan BBM.
Hingga tidak salah,
teriakan berbagai kalangan terhadap kenaikan BBM semakin menggema. Momentum aksi besar-besaran tanggal 12 Maret 2012 digunakan berbagai
komponen termasuk mahasiswa. Aksi tanggal 12 Maret 2012 Mahasiswa yang yang
dilakukan aksi berasal dari Aliansi Mahasiswa Jawa Barat di DPR kemudian
berakhir dengan penurunan Figura foto Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) yang terpajang di Gedung DPR Nusantara III, Jakarta. Figura kemudain hancur
berkeping-keping. Kaca
figura berserakan di lantai.
Penurunan figura Presiden RI
kemudian memantik reaksi dari kalangan anggota parlemen. Ketua DPR dan anggota
DPR dari Partai Demokrat meminta pihak kepolisian agar memproses para pelaku
dan menyeret dimuka persidangan.
Dalam
praktek peradilan pidana, menyeret pelaku yang dianggap berseberangan dengan
Presiden sebagai simbol negara sering memakan korban. Dalam catatan penulis,
pihak kepolisian akan menerapkan berbagai pranata pasal-pasal didalam KUHP
untuk memproses secara hukum. Dalam catatan penulis, kepolisian banyak
menerapkan pasal-pasal KUHP seperti pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137, Pasal 154, Pasal 154 dan Pasal
155, pasal 160 dan pasal 310 KUHP.
Di
Jaman Soeharto, hukum ternyata juga digunakan untuk para pengkritik kebijakan
negara. Sri Bintang Pamungkas, Muctar Pakpahan, Fajrul Rahman, Budiman
Soejatmiko, Yenny Rosa Damayanti, A. M. Fatwa adalah sebagian kecil nama-nama
yang pernah berurusan dengan negara karena perbedaan pandangan dengan Soeharto.
Pasal 134,
Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP
Pasal
ini paling sering dikenakan kepada para demonstran. Dalam rumusan diterangkan ”Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atua Wakil Presiden”.
Penerapan
Pasal 134 KUHP dan Pasal 136 bis KUHP diciptakan Belanda lebih dari 100
(seratus) tahun yang lalu dengan alasan untuk membatasi kebebasan berpendapat
negara-negara pada jajahan Belanda dan untuk tidak menyerang kehormatan Ratu
Belanda. Alasannya, karena “... martabat Raja tidak membenarkan pribadi Raja
bertindak sebagai pengadu (aanklager)”
dan bahwa “...pribadi Raja begitu dekat terkait (verweren) dengan kepentingan negara (staatsbelang), sehingga martabat raja memerlukan perlindungan
khusus”. ”.… pribadi Raja begitu dekat terkait (verweven) dengan kepentingan negara (staatsbelang), sehingga martabat Raja memerlukan perlindungan
khusus
Di
beberapa negara antara lain Jepang, penghinaan terhadap Kaisar, Ratu, Nenek
Suri, Ibu Suri, atau ahli waris kekaisaran hanya dapat dituntut atas dasar
pengaduan.
Pasal ini sudah tidak berlaku lagi di Negara Belanda,
oleh karena itu sangat tidak relevan penerapan pasal tersebut sampai sekarang
tetap diberlakukan dimana di negara asalnya sudah dicabut dan tidak
diberlakukan lagi.
MK
kemudian mendefinisikan sebagai ketidakpastian hukum
(rechtsonzekerheid) dan MK kemudian berdasarkan Putusan Perkara
Nomor 013-022/PUU-IV/2006 Menyatakan
Pasal 134, Pasal 136 bis, dan
Pasal 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP
Dalam
rumusan diterangkan "menyatakan di muka umum perasaan permusuhan,
kebencian atau penghinaan". Dalam praktek peradilan
pidana rumusan delik formil yang dapat ditafsirkan secara objektif dan
subjektif. Jika ditafsirkan secara objektif dan dimulai oleh nilai, asas-asas
hukum, dan keadilan hukum sebagaimana yang diatur dalam sistem hukum nasional
Indonesia dapat membatasi makna-makna Pasal 154 KUHP (restriktif) dan
diterapkan secara tepat dapat dijadikan dasar perlindungan hukum terhadap
perbuatan desktruktif terhadap Pemerintah Republik Indonesia.
Namun
dalam praktek Sebaliknya, jika ditafsirkan secara subjektif, dapat memperluas (ekstensif)
makna Pasal 154 KUHP yang seluas-luasnya yang dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum, karena menyimpangi prinsip pelarangan suatu perbuatan dalam hukum pidana
(asas lexcerta). Penafsiran yang subjektif dan meluas terhadap Pasat 154
KUHP dapat melanggar hak-hak konstitusional seseorang.
Mahkamah
Konstitusi kemudian berdasarkan putusan Perkara Nomor Nomor 6/PUU-V/2007 Menyatakan
Pasal 154 dan Pasal 155 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Pasal 160 KUHP
Pasal 160 KUHP merupakan “pasal karet” penyebar kebencian (haatzai
artikelen), dimana pasal tersebut tidak secara pasti perbuatan apa yang
dikualifikasikan sebagai pasal penghasut baik berupa lisan maupun tulisan yang
mengkritisi kebijakan penguasa dalam hal ini kebijakan pemerintah yang
bertentangan dengan keinginan rakyat. Prof. J. Sahetapy memberikan istilah ”repressive
law”. Dalam praktek peradilan, pasal 160 KUHP yang seharusnya bersifat
materiil namun ternyata delik formil. Prof J Sahetapy mendasarkan Pasal 160
adalah delik materiil kolonial ondanks ada istilah ”smaad” atau ”opruien”.
Mahkamah Konstitusi kemudian berdasarkan Putusan MK
Nomor 7/PUU-VII/2009 menyatakan pasal 160 KUHP haruslah ditafsrikan sebagai conditionally
constitutional (“konstitusional bersyarat”). Artinya pasal 160
KUHP haruslah ditafsirkan yang sebelumnya merupakan perbuatan formil menjadi
perbuatan materiil.
Dengan tidak adanya delik
penghinaan khusus terhadap Presiden dan Wakil Presiden, dan cukup dengan adanya
Pasal 310-321 KUHPidana, maka kepentingan negara tidak dapat dikaitkan dengan
pribadi Presiden (dan Wakil Presiden), seperti yang berlaku untuk pribadi Raja
dalam suatu negara kerajaan.
Dengan telah menguraikan
perkembangan pasal-pasal yang kemudian disengketakan di Mahkamah Konstitusi,
maka menurut penulis, kepolisian akan menerapkan pasal 170 KUHP atau
setidak-tidaknya pasal 310 KUHP. Rumusan pasal ini terdapat penghinaan (belediging;
slander; defamation), apabila kehormatan (ecr; honor) atau nama baik
(goede naam; reputation) seseorang diserang (aangerand; impugns)".
Adapun pengertian "kehormatan" merujuk kepada "respect" (rasa
hormat) yang merupakan hak seseorang sebagai manusia. Sedangkan
pengertian "nama baik"
merujuk pada "mengurangi kehorrnatan
seseorang di mata orang lain". Mengenai apa yang merupakan "sifat
menghina" (beledigend karakter) tergantung pada norma-norma
masyarakat pada saat itu.
Menggunakan hukum untuk
kepentingan politik sang penguasa justru meletakkan pada hukum pada titik nadir
terendah dan justru akan “mempersoalkan”
sikap angkuh aparat negara dalam menghormati hukum. Pada
titik inilah, kesempatan kita memperbaiki pranata hukum berhadapan dengan sikap
negara yang masih menganggap sebagai Negara adalah Saya “L’etat c’est Moi”. Frasa klasik Raja Louis XIV.