HAK
MENGUASAI NEGARA DALAM KONTEKS UUPA
(Otokritik
kaum pinggiran vis Paradigma Intelektual Mekanik)
Beberapa waktu yang
lalu, penulis berkesempatan mengikuti Dialog DPD-RI dengan Universitas Jambi
berkaitan dengan menggali rumusan UUPA dalam menyikapi konflik sumber daya
alam. Fakultas Hukum Universitas Jambi
kemudian mengadakan penelitian UUPA dengan berbagai UU sektoral.
Ketidaksinkronan antara
UUPA dengan undang-undang sektoral seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU
Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan menimbulkan benturan
norma (konflik hukum/Conflict of Law).
Diskusi mengalir.
Pemaparan hasil penelitian menimbulkan pertanyaan yang cukup banyak dari
peserta diskusi. Namun dari hasil penelitian dan respon peserta ada beberapa
catatan yang menarik untuk kita diskusikan.
Pertama, Bahwa
membicarakan UUPA menimbulkan persoalan dalam tataran implementasi dan
”keegoisan sektoral” (meminjam istilah
yang digunakan Tim Peneliti). Kedua. Paradigma didalam melihat UUPA dalam
tatanan peraturan perundang-undangan. Ketiga. Masih sumirnya dan masih ”debateble” apakah di Jambi masih adanya
hukum adat dan wilayah adat ?
Berangkat dari catatan,
penulis kemudian tersentak dan kaget. Dunia kampus ”seakan-akan” berjarak dengan perkembangan di tengah masyarakat.
Konflik sumber daya alam masih menjadi catatan tanpa memahami konteks persoalan
sebenarnya.
PARADIGMA HAK MENGUASAI NEGARA vis DOMEIN
VERKLARING
Pertama. Paradigma
didalam melihat UUPA dalam tatanan peraturan perundang-undangan. Mahfud, MD
dalam Disertasinya telah menyatakan UUPA salah satu UU yang termasuk dalam
klasifikasi sebagai UU yang responsif dalam perkembangan zaman. Adnan Buyung
Nasution menyatakan UUPA dan KUHAP merupakan karya agung anak bangsa.
Secara prinsip, pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi
” Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Makna ”dikuasai
oleh negara” (Hak Menguasai Negara/HMN) sangat berbeda dengan prinsip domein verklaring dalam Agrarische Wet. Dalam implementasinya,
MK berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Nomor 012/PUU-I/2003 kemudian merumuskan (1) mengadakan
kebijakan (beleid), (2) tindakan pengurusan (bestuursdaad), (3) pengaturan
(regelendaad), (4) pengelolaan (beheersdaad) dan (5) pengawasan
(toezichthoudensdaad). Begitu
hakikinya makna ”dikuasai oleh negara” yang telah dirumuskan oleh MK,
maka pasal 33 ayat (3) 1945 merupakan ”roh” dan identitas khas dari konstitusi
Indonesia. M. Hatta merumuskan sebagai ”sosialisme Indonesia”. Dan itu
yang membedakan konstitusi Indonesia dengan negara-negara liberalisme.
Makna ”dikuasai oleh negara” yang telah diberi tafsiran oleh MK,
kemudian kemudian diterjemahkan secara langsung oleh UUPA.
Atau dengan kata lain,
UUPA mengatur tentang berkaitan dengan keagrarian di Indonesia, sedangkan UU
sektoral hanya mengatur tentang komoditi semata tanpa mempunyai kewenangan
mengatur yang berkaitan dengan keagrarian. Misalnya UU Kehutanan berwenang
mengatur tentang komoditi mengenai kayu tanpa membicarakan tentang status
tanah, UU Perkebunan membicarakan komoditi tanaman perkebunan (sawit, karet,
kakao) tanpa membicarakan tentang hak tanah.
Berdasarkan dari uraian
paparan yang telah disampaikan, maka sebagian ahli hukum (jurist) kemudian mengidentifikasikan sebagai UU Payung (umbrella act).
Berangkat dari
identitas UUPA sebagai umbrella act,
maka UUPA merupakan batu uji terhadap UU sektoral. Dari titik ini, sebenarya
hasil penelitian yang disampaikan tidak menjawab dari paradigma yang telah
penulis sampaikan.
Kedua, Bahwa
membicarakan UUPA menimbulkan persoalan dalam tataran implementasi dari ”keegoisan
sektoral” (meminjam istilah yang
digunakan Tim Peneliti).
Setelah kita memahami
UUPA sebagai umbrella act, maka dalam
praktek, ”keegoisme sektoral”
ditandai dengan lahirnya undang-undang sektoral lainnya seperti UU Kehutanan,
UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan. Ketidaksinkronan antara UUPA dengan
undang-undang sektoral seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air,
UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan menimbulkan benturan norma (konflik hukum/Conflict of Law).
Dengan demikian, maka Ketentuan
UU Kehutanan memunculkan sifat kepemilikan hutan negara yang mirip dengan Domein Verklaring pada masa pemerintahan
kolonial Belanda. Prinsip sebenarnya sudah dicabut berdasarkan oleh UUPA. Lahirnya
UUPA yang tidak dipatuhi pemangku negara, tepat dikatakan, sebagai pemberian
setengah hati.
Pernyataan ini
sekaligus mematahkan argumentasi sebagian kalangan yang hendak merevisi UUPA.
Dalam diskusi dikalangan terbatas, pertanyaan nyeleh harus kita sampaikan.
Apakah perlu merevisi UUPA, padahal dalam praktek UUPA belum pernah sama sekali
diterapkan dalam menyelesaikan persoalan agraria di Indonesia ? Sungguh logika
berfikir ”sesat” di kalangan
intelektual yang terjebak dalam melihat konteks persoalan pengelolaan sumber
daya alam.
WILAYAH ADAT
Ketiga. Masih sumirnya
dan masih ”debateble” apakah di Jambi
masih adanya hukum adat dan wilayah adat
?. Untuk mengidentifikasikan komunitas adat, maka harus dilihat dari
wilayah, sistem Pemerintahan, hukum mengatur dan tetap dipatuhi oleh rakyatnya.
Apabila pertanyaan
klasik disampaikan kepada Cornelis Van Vollen Hoven yang mengidentifikasikan 19
lingkungan adat di Hindia Belanda. (lihat Het Adatrecht van
Nederlandsch-Indie), maka resintie
Jambi termasuk kedalam lingkungan adat Sumatera Tengah. Dokumen
Belanda seperti Schietskaart Resintie Jambi Scaal 1 : 750.000, 1922 –
1923, peta Schietskaart Resintie Jambi Adatgemenschappen (Marga’s) Scaal 1 : 750.000, peta Geologische
Overzichtskaart Van der Nederlandsch oost –
Indischen Archipel Midden Sumatra, Tahun
1929, peta Kaart van midden
Sumatra tahun 1820, peta Schetskaart van de Resintie Djambi scaal 1 : 500.000
Tahun 1907, peta Kaart van Midden Sumatra
tahun 1820 oleh W. F. Versteeg, peta
Kaart van midden Sumatra, Scaal 1 : 900.000 tahun 1901, peta
overzichtskaart van het eiland, peta Economical Map Of the islan Sumatra dengan jelas memaparkan
identifikasi lingkungan adat di Residentie Jambi. Belanda membangun sistem
wilayah administrasi dengan istilah Margo (Adat
Gemeenschappen).
Daerah-daerah seperti Bathin III Hilir, Bathin V, Bathin VI, Bathin
IX Ulu, Bathin XIV, Renah Pembarap, Tiang Pumpung, Sungai Tenang, Pangkalan
Jambu, Sumay, VII Koto, Cerminan Nan Gedang, adalah sedikit contoh kecil
wilayah Margo yang telah berhasil dipaparkan oleh Pemerintah kolonial dan
sampai sekarang jejaknya masih dapat kita ikuti. Daerah-daerah ini sekaligus
membantah hipotesa yang disampaikan, apabila di Jambi sendiri, tidak mempunyai
wilayah hukum adat.
Dalam mengatur dan
mengelola wilayah hukum adat, batas-batas Margo biasa dikenal dengan ”Tambo”. Tambo dituturkan secara turun
temurun untuk mengidentifikasikan batas-batas Margo. Batas-batas margo biasanya
ditandai dengan batas alam. Misalnya “Mulai
dari Telun Sungai Maram, Menuju ke Batu Larung, terus ke muaro Sungai
Mengkarung Abang, terus ke hulu Sungai Sadan (hulu air bening), terus ke
tangkal jeletam, hulu sungai sudung, melayangi hulu sungai rian, terus ke hulu
Sungai Aro,terus ke hulu Sungai Lulo melayangi Sungai Pingan terus ke
Pangirukam, mendarat ke Sungai Pinang, terus ke bukit Gambut telun rendah
Sungai Gelam, menuju Lubuk Beguni Sungai Aro, terus ke danau telao, turun Lubuk
Buih Sungai Rian, menyelusuri Sungai Rian sampai ke Muaro Sungai Rian, mudik
Sungai Tembesi sampai ke telun Tujuh Sungai Tembesi ke muaro Merang, lalu ke
pematang gaung balik ke telun Tinggi Sungai Maram”, adalah batas Desa
Gedang Kecamatan Sungai Tenang, Kabupaten Merangin. Batas ini dihormati dan
dipatuhi baik oleh masyarakat setempat maupun desa-desa Sekitarnya.
Dalam
mengidentifikasikan sebagai komunitas adat, misalnya masyarakat mengikrarkan
sebagai keturunan DEPATI SUKO MERAJO (Desa
Desa Gedang), keturunan DEPATI SUKO
MENGGALO (Desa Tanjung Benuang), Keturunan DEPATI DUO MENGGALO (Desa Tanjung
Alam) Keturunan RIO PENGANGGUNG JAGO BAYO (Desa Tanjung Mudo) Kecamatan Sungai
Tenang, Kabupaten Merangin. Komunitas adat yang disebutkan merupakan sedikit
catatan kecil yang ada tanpa mengenyampingkan daerah-daerah lain.
SISTEM PEMERINTAHAN ADAT
Dalam sistem
pemerintahan kita mengenal “Pamuncak”,
“Depati”, “Rio”, “Pesirah”, “Mendapo, “Dusun”. “Pasirah Kepala Marga”
sebagai Kepala Daerah di kampung didapat dari ujaran “Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau
Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang. Pamuncak”, “Depati”, “Rio”,
“Pesirah”, “Mendapo, “Dusun”, hanya menjalankan tugas-tugas administrasi di
dusun, kampung untuk menjaga agar “Bumi
Senang, Negeri Aman, Padi menjadi”. (Kepala
Desa dalam Pemikiran Montesquieu, Jambi Ekspress, 21 April 2011)
Dalam menyelesaikan persoalan adat, Adanya persoalan
disuatu darah, Saksi melapor kepada Menti. Menti Melapor ke Kepala Dusun.
Kepala Dusun memerintahkan Menti menghubungi/memberitahu Kepala Suku. Apabila Pelaku
tidak mau melaksanakan putusan denda adat, Kepala Dusun melapor kepada Kepala
Desa. Kepala Desa mengadakan rapat adat. Setelah rapat adat dan kemudian ditentukan
kesalahan dijatuhi sanksi, maka Kepala Desa lah yang melaksanakan putusan adat.
Dengan memaparkan dan mengidentifikasikan komunitas adat,
yang dilihat dari wilayah, sistem Pemerintahan, hukum mengatur dan tetap
dipatuhi oleh rakyatnya, hipotesis di Jambi tidak ada wilayah adat dan hukum
adat terbantahkan. Tentu saja paparan yang disampaikan penulis sudah menjadi
kajian antropologi Hindia Belanda. (lihat Encylopedia
Van Nederlands Indie, Staatsblad tahun 1906 Nomor 187, Staatsblad tahun 1906 Nomor 187, Schetskaart Residentie Djambi).
Dengan tidak mengurangi upaya serius dari
Fakultas Hukum mengadakan penelitian norma UUPA dengan UU Sektoral, sudah
saatnya ”kampus” tidak terjebak
didalam menara gading. Mengadakan penelitian tanpa mengetahui hukum yang hidup (living law) di tengah masyarakat, maka
penelitian akan menjadi dokumen kertas yang tidak dapat diimplementasikan. Dari sudut
pandang ini, suara kaum terpinggirkan harus diteriakkan vis dengan intelektual mekanik (meminjam istilah Antonio Gramsci).