15 Maret 2012

opini musri nauli : Hak Menguasa Negara dalam Konteks UUPA




HAK MENGUASAI NEGARA DALAM KONTEKS UUPA
(Otokritik kaum pinggiran vis Paradigma Intelektual Mekanik)


Beberapa waktu yang lalu, penulis berkesempatan mengikuti Dialog DPD-RI dengan Universitas Jambi berkaitan dengan menggali rumusan UUPA dalam menyikapi konflik sumber daya alam.  Fakultas Hukum Universitas Jambi kemudian mengadakan penelitian UUPA dengan berbagai UU sektoral.
Ketidaksinkronan antara UUPA dengan undang-undang sektoral seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan menimbulkan benturan norma (konflik hukum/Conflict of Law).
Diskusi mengalir. Pemaparan hasil penelitian menimbulkan pertanyaan yang cukup banyak dari peserta diskusi. Namun dari hasil penelitian dan respon peserta ada beberapa catatan yang menarik untuk kita diskusikan.
Pertama, Bahwa membicarakan UUPA menimbulkan persoalan dalam tataran implementasi dan ”keegoisan sektoral” (meminjam istilah yang digunakan Tim Peneliti). Kedua. Paradigma didalam melihat UUPA dalam tatanan peraturan perundang-undangan. Ketiga. Masih sumirnya dan masih ”debateble” apakah di Jambi masih adanya hukum adat dan wilayah adat  ?
Berangkat dari catatan, penulis kemudian tersentak dan kaget. Dunia kampus ”seakan-akan” berjarak dengan perkembangan di tengah masyarakat. Konflik sumber daya alam masih menjadi catatan tanpa memahami konteks persoalan sebenarnya.

PARADIGMA HAK MENGUASAI NEGARA vis DOMEIN VERKLARING

Pertama. Paradigma didalam melihat UUPA dalam tatanan peraturan perundang-undangan. Mahfud, MD dalam Disertasinya telah menyatakan UUPA salah satu UU yang termasuk dalam klasifikasi sebagai UU yang responsif dalam perkembangan zaman. Adnan Buyung Nasution menyatakan UUPA dan KUHAP merupakan karya agung anak bangsa.
 Secara prinsip, pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi ” Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Makna ”dikuasai oleh negara” (Hak Menguasai Negara/HMN) sangat berbeda dengan prinsip domein verklaring dalam Agrarische Wet. Dalam implementasinya, MK berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Nomor 012/PUU-I/2003 kemudian merumuskan (1) mengadakan kebijakan (beleid), (2) tindakan pengurusan (bestuursdaad), (3) pengaturan (regelendaad), (4) pengelolaan (beheersdaad) dan (5) pengawasan (toezichthoudensdaad). Begitu hakikinya makna ”dikuasai oleh negara” yang telah dirumuskan oleh MK, maka pasal 33 ayat (3) 1945 merupakan ”roh” dan identitas khas dari konstitusi Indonesia. M. Hatta merumuskan sebagai ”sosialisme Indonesia”. Dan itu yang membedakan konstitusi Indonesia dengan negara-negara liberalisme.
Makna ”dikuasai oleh negara” yang telah diberi tafsiran oleh MK, kemudian kemudian diterjemahkan secara langsung oleh UUPA.
Atau dengan kata lain, UUPA mengatur tentang berkaitan dengan keagrarian di Indonesia, sedangkan UU sektoral hanya mengatur tentang komoditi semata tanpa mempunyai kewenangan mengatur yang berkaitan dengan keagrarian. Misalnya UU Kehutanan berwenang mengatur tentang komoditi mengenai kayu tanpa membicarakan tentang status tanah, UU Perkebunan membicarakan komoditi tanaman perkebunan (sawit, karet, kakao) tanpa membicarakan tentang hak tanah.
Berdasarkan dari uraian paparan yang telah disampaikan, maka sebagian ahli hukum (jurist) kemudian mengidentifikasikan sebagai UU Payung (umbrella act).
Berangkat dari identitas UUPA sebagai umbrella act, maka UUPA merupakan batu uji terhadap UU sektoral. Dari titik ini, sebenarya hasil penelitian yang disampaikan tidak menjawab dari paradigma yang telah penulis sampaikan.
Kedua, Bahwa membicarakan UUPA menimbulkan persoalan dalam tataran implementasi dari ”keegoisan sektoral” (meminjam istilah yang digunakan Tim Peneliti).
Setelah kita memahami UUPA sebagai umbrella act, maka dalam praktek, ”keegoisme sektoral” ditandai dengan lahirnya undang-undang sektoral lainnya seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan.  Ketidaksinkronan antara UUPA dengan undang-undang sektoral seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan menimbulkan benturan norma (konflik hukum/Conflict of Law).
Dengan demikian, maka Ketentuan UU Kehutanan memunculkan sifat kepemilikan hutan negara yang mirip dengan Domein Verklaring pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Prinsip sebenarnya sudah dicabut berdasarkan oleh UUPA. Lahirnya UUPA yang tidak dipatuhi pemangku negara, tepat dikatakan, sebagai pemberian setengah hati.
Pernyataan ini sekaligus mematahkan argumentasi sebagian kalangan yang hendak merevisi UUPA. Dalam diskusi dikalangan terbatas, pertanyaan nyeleh harus kita sampaikan. Apakah perlu merevisi UUPA, padahal dalam praktek UUPA belum pernah sama sekali diterapkan dalam menyelesaikan persoalan agraria di Indonesia ? Sungguh logika berfikir ”sesat” di kalangan intelektual yang terjebak dalam melihat konteks persoalan pengelolaan sumber daya alam.

WILAYAH ADAT

Ketiga. Masih sumirnya dan masih ”debateble” apakah di Jambi masih adanya hukum adat dan wilayah adat  ?. Untuk mengidentifikasikan komunitas adat, maka harus dilihat dari wilayah, sistem Pemerintahan, hukum mengatur dan tetap dipatuhi oleh rakyatnya.
Apabila pertanyaan klasik disampaikan kepada Cornelis Van Vollen Hoven yang mengidentifikasikan 19 lingkungan adat di Hindia Belanda. (lihat Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie), maka resintie Jambi termasuk kedalam lingkungan adat Sumatera Tengah. Dokumen Belanda seperti  Schietskaart  Resintie Jambi Scaal 1 : 750.000, 1922 – 1923, peta Schietskaart Resintie Jambi Adatgemenschappen  (Marga’s) Scaal 1 : 750.000, peta Geologische Overzichtskaart Van der Nederlandsch oost –  Indischen Archipel Midden Sumatra, Tahun  1929, peta  Kaart van midden Sumatra tahun 1820, peta Schetskaart van de Resintie Djambi scaal 1 : 500.000 Tahun 1907, peta Kaart van Midden Sumatra   tahun 1820 oleh W. F. Versteeg, peta  Kaart van midden Sumatra, Scaal 1 : 900.000 tahun 1901, peta overzichtskaart van het eiland, peta Economical Map  Of the islan Sumatra dengan jelas memaparkan identifikasi lingkungan adat di Residentie Jambi. Belanda membangun sistem wilayah administrasi dengan istilah Margo (Adat Gemeenschappen).
Daerah-daerah seperti Bathin III Hilir, Bathin V, Bathin VI, Bathin IX Ulu, Bathin XIV, Renah Pembarap, Tiang Pumpung, Sungai Tenang, Pangkalan Jambu, Sumay, VII Koto, Cerminan Nan Gedang, adalah sedikit contoh kecil wilayah Margo yang telah berhasil dipaparkan oleh Pemerintah kolonial dan sampai sekarang jejaknya masih dapat kita ikuti. Daerah-daerah ini sekaligus membantah hipotesa yang disampaikan, apabila di Jambi sendiri, tidak mempunyai wilayah hukum adat.
Dalam mengatur dan mengelola wilayah hukum adat, batas-batas Margo biasa dikenal dengan ”Tambo”. Tambo dituturkan secara turun temurun untuk mengidentifikasikan batas-batas Margo. Batas-batas margo biasanya ditandai dengan batas alam. Misalnya “Mulai dari Telun Sungai Maram, Menuju ke Batu Larung, terus ke muaro Sungai Mengkarung Abang, terus ke hulu Sungai Sadan (hulu air bening), terus ke tangkal jeletam, hulu sungai sudung, melayangi hulu sungai rian, terus ke hulu Sungai Aro,terus ke hulu Sungai Lulo melayangi Sungai Pingan terus ke Pangirukam, mendarat ke Sungai Pinang, terus ke bukit Gambut telun rendah Sungai Gelam, menuju Lubuk Beguni Sungai Aro, terus ke danau telao, turun Lubuk Buih Sungai Rian, menyelusuri Sungai Rian sampai ke Muaro Sungai Rian, mudik Sungai Tembesi sampai ke telun Tujuh Sungai Tembesi ke muaro Merang, lalu ke pematang gaung balik ke telun Tinggi Sungai Maram”, adalah batas  Desa Gedang Kecamatan Sungai Tenang, Kabupaten Merangin. Batas ini dihormati dan dipatuhi baik oleh masyarakat setempat maupun desa-desa Sekitarnya.
Dalam mengidentifikasikan sebagai komunitas adat, misalnya masyarakat mengikrarkan sebagai  keturunan DEPATI SUKO MERAJO (Desa Desa Gedang),  keturunan DEPATI SUKO MENGGALO (Desa Tanjung Benuang), Keturunan DEPATI DUO MENGGALO (Desa Tanjung Alam) Keturunan RIO PENGANGGUNG JAGO BAYO (Desa Tanjung Mudo) Kecamatan Sungai Tenang, Kabupaten Merangin. Komunitas adat yang disebutkan merupakan sedikit catatan kecil yang ada tanpa mengenyampingkan daerah-daerah lain.

SISTEM PEMERINTAHAN ADAT

Dalam sistem pemerintahan kita mengenal “Pamuncak”, “Depati”, “Rio”, “Pesirah”, “Mendapo, “Dusun”. “Pasirah Kepala Marga” sebagai Kepala Daerah di kampung didapat dari ujaran “Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang. Pamuncak”, “Depati”, “Rio”, “Pesirah”, “Mendapo, “Dusun”, hanya menjalankan tugas-tugas administrasi di dusun, kampung untuk menjaga agar “Bumi Senang, Negeri Aman, Padi menjadi”. (Kepala Desa dalam Pemikiran Montesquieu, Jambi Ekspress, 21 April 2011)
Dalam menyelesaikan persoalan adat, Adanya persoalan disuatu darah, Saksi melapor kepada Menti. Menti Melapor ke Kepala Dusun. Kepala Dusun memerintahkan Menti menghubungi/memberitahu Kepala Suku. Apabila Pelaku tidak mau melaksanakan putusan denda adat, Kepala Dusun melapor kepada Kepala Desa. Kepala Desa mengadakan rapat adat. Setelah rapat adat dan kemudian ditentukan kesalahan dijatuhi sanksi, maka Kepala Desa lah yang melaksanakan putusan adat.
Dengan memaparkan dan mengidentifikasikan komunitas adat, yang dilihat dari wilayah, sistem Pemerintahan, hukum mengatur dan tetap dipatuhi oleh rakyatnya, hipotesis di Jambi tidak ada wilayah adat dan hukum adat terbantahkan. Tentu saja paparan yang disampaikan penulis sudah menjadi kajian antropologi Hindia Belanda. (lihat  Encylopedia Van Nederlands Indie, Staatsblad tahun 1906 Nomor 187, Staatsblad tahun 1906 Nomor 187, Schetskaart Residentie Djambi).
Dengan tidak mengurangi upaya serius dari Fakultas Hukum mengadakan penelitian norma UUPA dengan UU Sektoral, sudah saatnya ”kampus” tidak terjebak didalam menara gading. Mengadakan penelitian tanpa mengetahui hukum yang hidup (living law) di tengah masyarakat, maka penelitian akan menjadi dokumen kertas yang tidak dapat diimplementasikan. Dari sudut pandang ini, suara kaum terpinggirkan harus diteriakkan vis dengan intelektual mekanik (meminjam istilah Antonio Gramsci).