PENGADILAN
TATA USAHA NEGARA DALAM PERKEMBANGANNYA[1]
Musri Nauli[2]
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan
salah satu pilar dari sistem hukum Eropa
Kontinental[3] dari negara hukum (rechtstaat)[4].
Namun Indonesia justru jauh meletakkan pondasi penting ini setelah
kemerdekaan berdasarkan UU No. 5 Tahun
1986. Sebagai pengejawantahan
dari prinsip”rechtstaat”[5],
rumusan ”rechtstaat” kemudian
diterjemahkan dalam UU No. 5 Tahun 1986[6].
Dalam praktek pejabat Tata Usaha Negara, sering kali melakukan perbuatan yang dilakukan
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, perbuatan sewenang-wenang,
perbuatan yang dilakukan melebihi wewenangnya. Bahkan, Pejabat Tata Usaha
Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, Pejabat
Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon para pemohon.
Dalam perkembangannya, putusan Pengadilan yang
telah mempunyai hukum yang mengikat (inkracht)
seringkali tidak dipatuhi. Putusan pengadilan yang seringkali tidak dipatuhi
disebabkan karena tidak adanya lembaga eksekutornya dan juga tidak ada sanksi
hukumnya serta dukungan yang menyebabkan inkonsistensi sistem PTUN dengan
sistem peradilan lainnya, terutama dengan peradilan umum karena terbentur
dengan asas dat de rechter niet op de
stoel van het bestuur mag gaan zitten (hakim tidak boleh duduk di kursi
pemerintah atau mencampuri urusan pemerintah) dan asas rechtmatigheid van bestuur yakni atasan tidak berhak membuat
keputusan yang menjadi kewenangan bawahannya atau asas kebebasan Pejabat tak bisa
dirampas.
Asas dat de
rechter niet op de stoel van het bestuur mag gaan zitten dan asas rechtmatigheid van bestuur merupakan
terjemahan dari Pasal 116 UU No. 5 Tahun 1986.
Dari pasal 116 U No. 5 Tahun 1986, maka menunjukkan
bahwa tidak semua orang yang dikenai putusan pengadilan akan mau
melaksanakannya dengan sukarela. Putusan PTUN kemudian hanya menjadi ”macan kertas”[7]. UU No. 5 Tahun 1986 kehilangan relevansinya terhadap permohonan para
penggugat di muka persidangan.
Berangkat dari keprihatinan yang mendalam terhadap
UU No. 5 Tahun 1986, maka UU No. 9 Tahun 2004 berusaha menjawab kebutuhan
terhadap perkembangan dari dinamika hukum dan politik di Indonesia[8].
Perkembangan UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN
didasarkan kepada amandemen UUD 1945. Apabila UU No. 5 Tahun 1986 yang
didasarkan kepada UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman dan UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, maka
sejak tahun 2002 berdasarkan kepada amandemen ke empat UUD 1945. Dengan
demikian, maka UU No. 5 Tahun 1986 mengalami perubahan yang fundamental. UU No.
5 Tahun 1986 kemudian berdasarkan UU No. 9 Tahun 2009 dan UU No. 51 tahun 2010
mengalami perubahan.
Dalam pengawasan, apabila sebelumnya hanya
wewenang Mahkamah Agung maka sejak UU No. 9 Tahun 2009 dan UU No. 51 Tahun
2010, wewenang melakukan pengawasan internal dilakukan oleh Mahkamah Agung,
sedangkan pengawasan eksternal menjadi wewenang Komisi Yudisial. Dalam UU No.
51 Tahun 2010, wewenang eksternal oleh Komisi Yudisial diberi wewenang cukup
besar. Misalnya menerima dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat dan/atau
informasi tentang dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim,
memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran atas, Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim, menghadiri persidangan di pengadilan, menerima dan menindaklanjuti
pengaduan Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung atas
dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, meminta keterangan
atau data kepada Mahkamah Agung dan/atau pengadilan, melakukan pemanggilan dan
meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim untuk kepentingan pemeriksaan dan menetapkan keputusan..
UU No. 9 Tahun 2004 kemudian dapat dikatakan
merupakan kemajuan dalam pengembangan kepastian hukum bagi pelaksanaan (eksekusi) suatu Putusan Peradilan Tata
Usaha Negara. Pelaksanaan Peradilan Tata Usaha Negara memungkinkan terbitnya
berbagai putusan yang subtansi perintahnya berupa:
- kewajiban Pejabat Administrasi Negara berupa a) pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan; atau b) pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau c) penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan, yang seharusnya dikeluarkan.Jika tergugat tidak melaksanakan kewajibannya tersebut Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi;
- Apabila pejabat TUN harus melaksanakan kewajiban namun setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja tidak dilaksanakan, maka pengadilan dapat memerintahkan pejabat TUN agar melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Apabila tidak dipatuhi, maka dapat dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. Selain itu juga diumumkan pada media massa cetak setempat
- Pengadilan dapat mengajukan kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
Setelah diundangkannya UU No.9 Tahun 2004 tersebut
diharapkan dapat memperkuat eksistensi PTUN.
Tentu saja UU No. 9 Tahun 2004 itu pun ternyata
masih saja memunculkan pesimisme dan apatisme publik. Pesimisme dan apatisme
didasarkan pasal 116 UU No. 5 Tahun 1986 yang telah direvisi UU No. 9 Tahun
2004 sama sekali tidak mengatur secara rinci dan tidak adanya kejelasan
prosedur eksekusi putusan pengadilan. Belum lagi tidak adanya upaya paksa
membayar sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
Selain itu juga Eksekusi Putusan PTUN juga
seringkali tertunda karena adanya upaya banding, kasasi, atau peninjauan
kembali (PK) sehingga memaksa majelis hakim menunda eksekusi.
Namun, terlepas dari sebagian kalangan pesimisme
dan apatisme publik terhadap PTUN, harus disadari, pemeriksaan di muka
persidangan terhadap peraturan yang tetap bersendikan kepada ”negara hukum (rechtstaat)” menemukan relevansinya
dimuka persidangan. Asas “staatsvorm die
het recht air hoogste gezag handhaafl” sebuah bentuk negara (pemerintahan)
yang menggunakan hukum sebagai kekuasaan pengatur yang tertinggi. Dengan
demikian, mempertegas yang telah disampaikan oleh Mr. IC. Van Der Vlies, tindakan pemerintah berdasarkan undang-undang
haruslah mengandung pengertian “wetmatigheid”
yang merupakan jaminan atas tindakan pemerintah yang dikatakan “rechmatigheid”.
[1] Tulisan ini disampaikan untuk Menghormati
Prof. Rozali Abdullah dalam pengabdiannya 70 tahun. Seorang Mahaguru yang tetap
jernih didalam menyampaikan gagasannya. Tempat bertanya ”murid yang tersesat
dalam rimba belantara perkembangan hukum”. Dalam ujaran hukum adat Melayu ”Tempat Pegi Betanyo, tempat orang balek
becerito”.
[2] Advokat, Tinggal di Jambi
[3] Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum
yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’
itu mencakup empat elemen penting, yaitu : (1) Perlindungan hak asasi
manusia,(2) Pembagian kekuasaan, (3) Pemerintahan berdasarkan undang-undang,
(4) Peradilan tata usaha Negara.
[4] “Ide Negara Hukum,
terkait konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’. Negara Hukum, yang
asal katanya adalah “rechtsstaat”,
yang di dalam pencantumannya yaitu dalam Penjelasan UUD 1945 - sampai sekarang
pun masih menggunakan kata dan bahasa Belanda tersebut, termaktub dalam
konstitusi Republik Indonesia sebagai ide dasar sistem pemerintahan republik
ini.
Melihat “rechtsstaat”,
dalam kamus besar bahasa Belanda adalah “staatsvorm
die het recht air hoogste gezag handhaafl” Artinya, bahwa negara hukum
seperti yang dimaksudkan oleh founding fathers negeri ini, sebuah bentuk negara
(pemerintahan) yang menggunakan hukum sebagai kekuasaan pengatur yang tertinggi
[5] Dalam hal ini Mr. IC. Van Der Vlies menguraikan tentang negara hukum
adalah tindakan pemerintah berdasarkan undang-undang. Asas ini mengandung
pengertian “wetmatigheid” yang
merupakan jaminan atas tindakan pemerintah yang dikatakan “rechmatigheid”. Untuk mewujudkannya, maka pembentukan
undang-undang yang dirancang harus memenuhi asas-asas pembentukan peraturan
yang baik.
[6] Dalam UU dinyatakan ”bahwa dalam pelaksanaannya ada kemungkinan
timbul benturan kepentingan, perselisilian, atau sengketa antara Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat yang dapat merugikan atau
menghambat jalannya pembangunan nasional. Selain itu juga dinyatakan ”untuk menyelesaikan sengketa tersebut
diperlukan adanya Peradilan Tata Usaha Negara yang mampu menegakkan keadilan,
kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum, sehingga dapat memberikan
pengayoman kepada masyarakat, khususnya dalam hubungan antara Badan atau
Pejabat Tata Usaba Negara dengan masyarakat;
[7] Istilah kiasan yang berarti sesuatu yang
tampak kuat dan galak, tetapi sebenarnya tidak mempunyai konsekwensi apapun.
[8] Lihat pertimbangan UU
No. 9 Tahun 2004 adanya kata-kata “ sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan
ketatanegaraan menurut Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;