21 Maret 2012

opini musri nauli : pengadilan Tata usaha negaral dan perkembangannya



PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM PERKEMBANGANNYA[1]
Musri Nauli[2]


Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan salah satu pilar dari sistem hukum Eropa Kontinental[3] dari negara hukum (rechtstaat)[4]. Namun Indonesia justru jauh meletakkan pondasi penting ini setelah kemerdekaan  berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986. Sebagai pengejawantahan dari prinsip”rechtstaat[5], rumusan ”rechtstaat” kemudian diterjemahkan dalam UU No. 5 Tahun 1986[6].

Dalam praktek pejabat Tata Usaha Negara,  sering kali melakukan perbuatan yang dilakukan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, perbuatan sewenang-wenang, perbuatan yang dilakukan melebihi wewenangnya. Bahkan, Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon para pemohon.
Dalam perkembangannya, putusan Pengadilan yang telah mempunyai hukum yang mengikat (inkracht) seringkali tidak dipatuhi. Putusan pengadilan yang seringkali tidak dipatuhi disebabkan karena tidak adanya lembaga eksekutornya dan juga tidak ada sanksi hukumnya serta dukungan yang menyebabkan inkonsistensi sistem PTUN dengan sistem peradilan lainnya, terutama dengan peradilan umum karena terbentur dengan asas dat de rechter niet op de stoel van het bestuur mag gaan zitten (hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintah atau mencampuri urusan pemerintah) dan asas rechtmatigheid van bestuur yakni atasan tidak berhak membuat keputusan yang menjadi kewenangan bawahannya atau asas kebebasan Pejabat tak bisa dirampas.
Asas dat de rechter niet op de stoel van het bestuur mag gaan zitten dan asas rechtmatigheid van bestuur merupakan terjemahan dari Pasal 116 UU No. 5 Tahun 1986.
Dari pasal 116 U No. 5 Tahun 1986, maka menunjukkan bahwa tidak semua orang yang dikenai putusan pengadilan akan mau melaksanakannya dengan sukarela. Putusan PTUN kemudian hanya menjadi ”macan kertas[7]. UU No. 5 Tahun 1986 kehilangan relevansinya terhadap permohonan para penggugat di muka persidangan.
Berangkat dari keprihatinan yang mendalam terhadap UU No. 5 Tahun 1986, maka UU No. 9 Tahun 2004 berusaha menjawab kebutuhan terhadap perkembangan dari dinamika hukum dan politik di Indonesia[8].
Perkembangan UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN didasarkan kepada amandemen UUD 1945. Apabila UU No. 5 Tahun 1986 yang didasarkan kepada UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, maka sejak tahun 2002 berdasarkan kepada amandemen ke empat UUD 1945. Dengan demikian, maka UU No. 5 Tahun 1986 mengalami perubahan yang fundamental. UU No. 5 Tahun 1986 kemudian berdasarkan UU No. 9 Tahun 2009 dan UU No. 51 tahun 2010 mengalami perubahan.
Dalam pengawasan, apabila sebelumnya hanya wewenang Mahkamah Agung maka sejak UU No. 9 Tahun 2009 dan UU No. 51 Tahun 2010, wewenang melakukan pengawasan internal dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan pengawasan eksternal menjadi wewenang Komisi Yudisial. Dalam UU No. 51 Tahun 2010, wewenang eksternal oleh Komisi Yudisial diberi wewenang cukup besar. Misalnya menerima dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat dan/atau informasi tentang dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran atas, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, menghadiri persidangan di pengadilan, menerima dan menindaklanjuti pengaduan Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, meminta keterangan atau data kepada Mahkamah Agung dan/atau pengadilan, melakukan pemanggilan dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim untuk kepentingan pemeriksaan dan menetapkan keputusan..
UU No. 9 Tahun 2004 kemudian dapat dikatakan merupakan kemajuan dalam pengembangan kepastian hukum bagi pelaksanaan (eksekusi) suatu Putusan Peradilan Tata Usaha Negara. Pelaksanaan Peradilan Tata Usaha Negara memungkinkan terbitnya berbagai putusan yang subtansi perintahnya berupa:
  1. kewajiban Pejabat Administrasi Negara berupa a) pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan; atau b) pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau c) penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan, yang seharusnya dikeluarkan.Jika tergugat tidak melaksanakan kewajibannya tersebut Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi;
  2. Apabila pejabat TUN harus melaksanakan kewajiban namun setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja tidak dilaksanakan, maka pengadilan dapat memerintahkan pejabat TUN agar melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Apabila tidak dipatuhi, maka dapat dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. Selain itu juga  diumumkan pada media massa cetak setempat
  3. Pengadilan dapat mengajukan kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
Setelah diundangkannya UU No.9 Tahun 2004 tersebut diharapkan dapat memperkuat eksistensi PTUN.
Tentu saja UU No. 9 Tahun 2004 itu pun ternyata masih saja memunculkan pesimisme dan apatisme publik. Pesimisme dan apatisme didasarkan pasal 116 UU No. 5 Tahun 1986 yang telah direvisi UU No. 9 Tahun 2004 sama sekali tidak mengatur secara rinci dan tidak adanya kejelasan prosedur eksekusi putusan pengadilan. Belum lagi tidak adanya upaya paksa membayar sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
Selain itu juga Eksekusi Putusan PTUN juga seringkali tertunda karena adanya upaya banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK) sehingga memaksa majelis hakim menunda eksekusi.
Namun, terlepas dari sebagian kalangan pesimisme dan apatisme publik terhadap PTUN, harus disadari, pemeriksaan di muka persidangan terhadap peraturan yang tetap bersendikan kepada ”negara hukum (rechtstaat)” menemukan relevansinya dimuka persidangan. Asas “staatsvorm die het recht air hoogste gezag handhaafl” sebuah bentuk negara (pemerintahan) yang menggunakan hukum sebagai kekuasaan pengatur yang tertinggi. Dengan demikian, mempertegas yang telah disampaikan oleh Mr. IC. Van Der Vlies,  tindakan pemerintah berdasarkan undang-undang haruslah mengandung pengertian “wetmatigheid” yang merupakan jaminan atas tindakan pemerintah yang dikatakan “rechmatigheid”.

[1] Tulisan ini disampaikan untuk Menghormati Prof. Rozali Abdullah dalam pengabdiannya 70 tahun. Seorang Mahaguru yang tetap jernih didalam menyampaikan gagasannya. Tempat bertanya ”murid yang tersesat dalam rimba belantara perkembangan hukum”. Dalam ujaran hukum adat Melayu ”Tempat Pegi Betanyo, tempat orang balek becerito”. 
[2] Advokat, Tinggal di Jambi
[3] Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu : (1) Perlindungan hak asasi manusia,(2) Pembagian kekuasaan, (3) Pemerintahan berdasarkan undang-undang, (4) Peradilan tata usaha Negara.
[4] “Ide Negara Hukum, terkait konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’. Negara Hukum, yang asal katanya adalah “rechtsstaat”, yang di dalam pencantumannya yaitu dalam Penjelasan UUD 1945 - sampai sekarang pun masih menggunakan kata dan bahasa Belanda tersebut, termaktub dalam konstitusi Republik Indonesia sebagai ide dasar sistem pemerintahan republik ini.
Melihat “rechtsstaat”, dalam kamus besar bahasa Belanda adalah “staatsvorm die het recht air hoogste gezag handhaafl” Artinya, bahwa negara hukum seperti yang dimaksudkan oleh founding fathers negeri ini, sebuah bentuk negara (pemerintahan) yang menggunakan hukum sebagai kekuasaan pengatur yang tertinggi
[5]  Dalam hal ini Mr. IC. Van Der Vlies menguraikan tentang negara hukum adalah tindakan pemerintah berdasarkan undang-undang. Asas ini mengandung pengertian “wetmatigheid” yang merupakan jaminan atas tindakan pemerintah yang dikatakan “rechmatigheid”. Untuk mewujudkannya, maka pembentukan undang-undang yang dirancang harus memenuhi asas-asas pembentukan peraturan yang baik.
[6] Dalam UU dinyatakan ”bahwa dalam pelaksanaannya ada kemungkinan timbul benturan kepentingan, perselisilian, atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat yang dapat merugikan atau menghambat jalannya pembangunan nasional. Selain itu juga dinyatakan ”untuk menyelesaikan sengketa tersebut diperlukan adanya Peradilan Tata Usaha Negara yang mampu menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum, sehingga dapat memberikan pengayoman kepada masyarakat, khususnya dalam hubungan antara Badan atau Pejabat Tata Usaba Negara dengan masyarakat;
[7] Istilah kiasan yang berarti sesuatu yang tampak kuat dan galak, tetapi sebenarnya tidak mempunyai konsekwensi apapun.
[8] Lihat pertimbangan UU No. 9 Tahun 2004 adanya kata-kata “ sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;