21 Maret 2012

opini musri nauli : Mahaguru yang kuhormati




MAHAGURU  YANG KUHORMATI
Musri Nauli

Judul penghormatan sengaja disampaikan sebagai bentuk penghormatan yang mendalam terhadap Prof. Rozali Abdulah, seorang Mahaguru yang tetap dalam pengabdiannya dalam kurun usia 70 tahun.

Tanpa memberikan embel-embel yang mengagung-agungkan dan kadangkala “memitoskan” terhadap nama besar seseorang, rasa hormat yang diberikan oleh penulis didasarkan kepada pengalaman intelektual kepada penulis. Rasa hormat disampaikan, karena dengan sikap intelektual, sikap penghormatan terhadap diri penulis senantiasa selalu melecut kepada diri penulis agar tetap menghormati tradisi intelektual.
Rasa hormat penulis dimulai, ketika pada awal-awal kuliah, seorang teladan guru yang “tetap” mengajar dan “sedikit” dosen yang membuat buku. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara merupakan buku wajib di berbagai perguruan Tinggi di Indonesia dan tetap menjadi panduan penulis dalam berbagai kasus-kasus PTUN.
Rasa hormat penulis juga disampaikan ketika penulis disaat labil pada masa-masa akhir kuliah mulai bimbang apakah harus meneruskan kuliah atau tetap menjadi aktivis. Pertengahan 1995 disaat mulai menjelang akhir kejatuhan Soeharto, penulis berinteraksi dengan jaringan nasional mengkritisi kebijakan Soeharto. Soeharto dengan model kekuasaan kooptasi dan represif membuat ilmu yang baru didapatkan di kampus, berteriak dan terlibat berbagai aksi-aksi nasional. Penulis kemudian bergabung dengna Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) yang pimpinannya Muchtar Pakpahan malah menjadi target rezim Orde Baru sebagai Organisasi Tanpa Bentuk (OTB).
Berbagai pertemuan SBSI seringkali dibubarkan, aktivis praktis menjadi langganan penjara dan disidangkan. Dalam kurun waktu itu, rasa dan sikap ”berontak” dari penulis seakan-akan menemukan ”ruang” didalam SBSI. Hampir praktis, setiap bulan, penulis mengikuti berbagai pertemuan-pertemuan, aksi-aksi di berbagai kota untuk menyampaikan ”kegelisahan”.
Perjalanan panjang mengikuti pertemuan-pertemuan dan aksi-aksi di berbagai kota, membuat kuliah penulis praktis ”tercecer”. Hampir praktis, masa studi yang ”tercecer” membuat ada kegamangan dari diri penulis, apakah mau meneruskan kuliah atau menjadi aktivis sebagai pilihan strategis perjuangan dan hidup penulis. Rasa gamang diri penulis berlarut-larut, tanpa ada solusi.
Sebagai pilihan hidup menjadi aktivis, secara finansial, penulis sudah mendapatkan honorarium sebagai pengurus SBSI. Penulis mendapatkan Rp 300.000,-/perbulan, diluar tunjangan lainnya. Bandingkan biaya SPP Rp 105.000,-/semester. Ongkos ke jakarta menggunakan bus Lorena (mobil mewah saat itu), sebesar Rp 82.500,. Atau naik mobil IMI (sebuah mobil angkutan ekonomi) hanya Rp. 20.000,-. Ongkos angkutan umum hanya Rp. 250,-. Bioskop Twenty One hanya Rp. 2.500,-.
Dengan menggambarkan pada waktu itu, secara finansial, praktis, kebutuhan ekonomi penulis sudah ”sedikit” membaik dan praktis sama sekali kurang tertarik untuk menyelesaikan studi.
Belum lagi bacaan ”kiri” yang membuka mata dan wawasan bacaan-bacaan kampus yang sering kali ”meninabobokan” pemikiran kritis.
Melalui karyanya yang terkenal Sekolah Itu Candu, Roem Topatimasang mengatakan sekolah tidak lagi berguna. Sekolah hanya meracuni anak didik. Roem Topatimasang menganggap kemandulan sekolah berhadapan dengan realitas yang mengaburkan dan tanpa melahirkan solusi alternatif terhadap setiap problem sosial kehidupan yang muncul. Ini juga ditandai dengan kenyataan tingkat pengangguran yang sangat tinggi.
Sebagian teman-teman penulis dalam tingkatan radikal kemudian ”membakar” ijazah dan tidak mau lagi menyelesaikan studinya. Di pengurus SBSI saja, ada sekitar 7 orang yang ”masa genting” dan praktis tidak mau menyelesaikan studinya.

TERSADAR KARENA JANJI

Satu Tahun menjelang akhir masa studi, penulis dipanggil orang tua penulis. Dengan sedikit sedih, orang tua penulis mendesak penulis untuk menyelesaikan studinya. Penulis terdiam. Namun kalimat terakhir sangat menyentuh. ”Tolong selesaikan kuliahmu. Kalo memang tidak penting wisuda dan ijazah, tolong beri ijazah kepada ayah. Setelah kau berikan ijazah, selanjutnya terserahmu sendiri.
Penulis kemudian tersadar. Ada janji yang belum dipenuhi tanda bakti anak kepada orang tua. Secara berseloroh, penulis menganggap kuliah merupakan janji anak kepada orang tuanya. Artinya, anak yang tidak mau menyelesaikan masa studi dianggap ”wanprestasi”.
Penulis kemudian teringat kepada Biografi Soekarno. Disaat masa-masa perlawanan terhadap kolonial Belanda, Soekarno menyelesaikan studinya di TERHNISCHE HOGE SCHOOL (THS) Bandung dengan gelar CIVILE INGENIUER (Insinyur Sipil) pada tanggal 25 Mei 1926. Barulah 4 Juli 1927, mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).
Perlawanan Soekarno terhadap pemerintahan kolonial Belanda, kemudian menyeret Soekarno dan disidangkan di Landraad Bandung. Dalam pembelaannya (pleidooi), Soekarno bertajuk "Indonesia Menggugat" di depan pengadilan Belanda di Bandung pada 1930 dan sampai sekarang masih menjadi bahan kajian sejarah.
Penulis kemudian memecut diri untuk menyelesaikan kuliah. Hampir setiap hari harus mengerjakan pengorganisasian di SBSI sembari menyelesaikan kuliah. Tersitanya waktu dan ”mepetnya” waktu menyelesaikan kuliah, membuat penulis termasuk barisan terakhir angkatan ’90 yang belum menyelesaikan kuliah.
Penulis masih ingat, ada sekitar 30-an orang angkatan terakhir ’90 yang belum selesai. Dalam berbagai kesempatan, sisa angkatan ’90 yang belum selesai sering dikumpulkan oleh Prof Rozali Abdullah sebagai Dekan Fakultas Hukum untuk menanyakan berbagai hambatan belum selesainya studi.
Setelah skripsi selesai dan waktu ujian skripsi ditentukan, penulis tampil ujian skripsi. Penulis langsung berhadapan dengan Prof. Rozali Abdullah sebagai Ketua Tim Penguji. Setelah basa-basi sekedar bertanya mengenai ”sebab” lambatnya menyelesaikan masa studi, Prof. Rozali Abdullah  langsung mempertanyakan alasan pemilihan judul, kerangka teoritis, tata cara penarikan sampel, hasil penelitian. Prof. Rozali Abdullah  sengaja mempertanyakan hal-hal yang paling fundamental dalam skripsi untuk menguji ”apakah”penulis mengerjakan skripsi tanpa dibuatkan orang lain. Selain karena memang dilakukan penelitian lapangan secara langsung, penulisan skripsi dikerjakan sendiri, pengalaman berorganisasi cukup membantu penulis menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh Prof. Rozali Abdullah. Hanya butuh 15 menit tanya jawab penulis dengan Prof. Rozali Abdullah. Dari jawaban yang disampaikan penulis, penulis berkeyakinan, Prof. Rozali Abdullah  cukup puas dengan jawaban penulis. Tanpa disangka, Rozali Abdullah  berkomentar ”ternyata ada juga mahasiswa lama yang pintar”. Penulis tersentak dengan komentar Prof. Rozali Abdullah. Dan komentar dari Prof. Rozali Abdullah  selain meyakini ujian yang dilalui dengna baik, komentar Prof. Rozali Abdullah  masih membekas dan menjadi kenangan yang tidak terlupakan.
Prof. Rozali Abdullah  justru menghentikan pertanyaan dari Dosen penguji lainnya apabila pertanyaan yang disampaikan berkaitan dengan pelajaran mata kuliah.

SANG INSPIRASI

          Interaksi penulis dengan Prof. Rozali lebih banyak dijadikan tempat bertanya apabila adanya persoalan hukum dalam kaitan praktek PTUN. Sebuah warna baru yang masih sangat asing di Jambi. Sehingga tidak salah kemudian, penulis menganggap Seorang Mahaguru yang tetap jernih didalam menyampaikan gagasannya. Tempat bertanya ”murid yang tersesat dalam rimba belantara perkembangan hukum”. Dalam ujaran hukum adat Melayu ”Tempat orang Pegi Betanyo, tempat orang balek becerito”. 
Dengan menceritakan dua pengalaman yang telah disampaikan, hanya satu pesan yang hendak disampaikan. Almarhum Ayanda Penulis dan Prof. Rozali Abdullah adalah orang yang memberikan warna kepada penulis dan membuat penulis ”mau” menyelesaikan studi dan ”menghargai” ilmu yang didapatkan dari studi.
Cara ”menghargai” ilmu yang disampaikan oleh Prof. Rozali Abdullah dengan mengikuti jejak Prof. Rozali Abdullah. Cara ”menghargai” ilmu dengan Menyebarkan gagasan di setiap kesempatan termasuk ke berbagai media massa. 

Baca : Anak Bandel