MAHAGURU YANG KUHORMATI
Musri Nauli
Judul penghormatan sengaja disampaikan
sebagai bentuk penghormatan yang mendalam terhadap Prof. Rozali Abdulah,
seorang Mahaguru yang tetap dalam pengabdiannya dalam kurun usia 70 tahun.
Tanpa memberikan embel-embel yang mengagung-agungkan
dan kadangkala “memitoskan” terhadap
nama besar seseorang, rasa hormat yang diberikan oleh penulis didasarkan kepada
pengalaman intelektual kepada penulis. Rasa hormat disampaikan, karena dengan
sikap intelektual, sikap penghormatan terhadap diri penulis senantiasa selalu
melecut kepada diri penulis agar tetap menghormati tradisi intelektual.
Rasa hormat penulis dimulai, ketika pada
awal-awal kuliah, seorang teladan guru yang “tetap” mengajar dan “sedikit”
dosen yang membuat buku. Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan buku wajib di berbagai perguruan
Tinggi di Indonesia
dan tetap menjadi panduan penulis dalam berbagai kasus-kasus PTUN.
Rasa hormat penulis juga disampaikan ketika
penulis disaat labil pada masa-masa akhir kuliah mulai bimbang apakah harus
meneruskan kuliah atau tetap menjadi aktivis. Pertengahan 1995 disaat mulai
menjelang akhir kejatuhan Soeharto, penulis berinteraksi dengan jaringan
nasional mengkritisi kebijakan Soeharto. Soeharto dengan model kekuasaan kooptasi dan represif membuat ilmu yang baru didapatkan di kampus, berteriak dan
terlibat berbagai aksi-aksi nasional. Penulis kemudian bergabung dengna Serikat
Buruh Sejahtera Indonesia
(SBSI) yang pimpinannya Muchtar
Pakpahan malah menjadi target rezim Orde Baru sebagai Organisasi Tanpa Bentuk (OTB).
Berbagai pertemuan SBSI
seringkali dibubarkan, aktivis praktis menjadi langganan penjara dan
disidangkan. Dalam kurun waktu itu, rasa dan sikap ”berontak” dari penulis seakan-akan menemukan ”ruang” didalam SBSI. Hampir praktis, setiap bulan, penulis
mengikuti berbagai pertemuan-pertemuan, aksi-aksi di berbagai kota untuk
menyampaikan ”kegelisahan”.
Perjalanan panjang
mengikuti pertemuan-pertemuan dan aksi-aksi di berbagai kota, membuat kuliah
penulis praktis ”tercecer”. Hampir
praktis, masa studi yang ”tercecer”
membuat ada kegamangan dari diri penulis, apakah mau meneruskan kuliah atau
menjadi aktivis sebagai pilihan strategis perjuangan dan hidup penulis. Rasa
gamang diri penulis berlarut-larut, tanpa ada solusi.
Sebagai pilihan hidup
menjadi aktivis, secara finansial, penulis sudah mendapatkan honorarium sebagai
pengurus SBSI. Penulis mendapatkan Rp 300.000,-/perbulan, diluar tunjangan
lainnya. Bandingkan biaya SPP Rp 105.000,-/semester. Ongkos ke jakarta menggunakan
bus Lorena (mobil mewah saat itu),
sebesar Rp 82.500,. Atau naik mobil IMI (sebuah
mobil angkutan ekonomi) hanya Rp. 20.000,-. Ongkos angkutan umum hanya Rp.
250,-. Bioskop Twenty One hanya Rp. 2.500,-.
Dengan menggambarkan
pada waktu itu, secara finansial, praktis, kebutuhan ekonomi penulis sudah ”sedikit” membaik dan praktis sama sekali
kurang tertarik untuk menyelesaikan studi.
Belum lagi bacaan ”kiri” yang membuka mata dan wawasan
bacaan-bacaan kampus yang sering kali ”meninabobokan”
pemikiran kritis.
Melalui karyanya yang
terkenal Sekolah Itu Candu, Roem Topatimasang mengatakan sekolah tidak
lagi berguna. Sekolah hanya meracuni anak didik. Roem Topatimasang menganggap kemandulan
sekolah berhadapan dengan realitas yang mengaburkan dan tanpa melahirkan solusi
alternatif terhadap setiap problem sosial kehidupan yang muncul. Ini juga
ditandai dengan kenyataan tingkat pengangguran yang sangat tinggi.
Sebagian teman-teman
penulis dalam tingkatan radikal kemudian ”membakar”
ijazah dan tidak mau lagi menyelesaikan studinya. Di pengurus SBSI saja, ada
sekitar 7 orang yang ”masa genting”
dan praktis tidak mau menyelesaikan studinya.
TERSADAR KARENA JANJI
Satu Tahun menjelang
akhir masa studi, penulis dipanggil orang tua penulis. Dengan sedikit sedih,
orang tua penulis mendesak penulis untuk menyelesaikan studinya. Penulis
terdiam. Namun kalimat terakhir sangat menyentuh. ”Tolong selesaikan kuliahmu. Kalo memang tidak penting wisuda dan
ijazah, tolong beri ijazah kepada ayah. Setelah kau berikan ijazah, selanjutnya
terserahmu sendiri.
Penulis kemudian
tersadar. Ada janji yang belum dipenuhi tanda bakti anak kepada orang tua.
Secara berseloroh, penulis menganggap kuliah merupakan janji anak kepada orang
tuanya. Artinya, anak yang tidak mau menyelesaikan masa studi dianggap ”wanprestasi”.
Penulis kemudian
teringat kepada Biografi Soekarno. Disaat masa-masa perlawanan terhadap
kolonial Belanda, Soekarno menyelesaikan studinya di TERHNISCHE HOGE SCHOOL
(THS) Bandung dengan gelar CIVILE INGENIUER (Insinyur Sipil) pada tanggal 25
Mei 1926. Barulah 4 Juli 1927, mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia
(PNI).
Perlawanan Soekarno
terhadap pemerintahan kolonial Belanda, kemudian menyeret Soekarno dan disidangkan
di Landraad Bandung. Dalam
pembelaannya (pleidooi), Soekarno bertajuk
"Indonesia Menggugat" di
depan pengadilan Belanda di Bandung pada 1930 dan sampai sekarang masih menjadi
bahan kajian sejarah.
Penulis kemudian
memecut diri untuk menyelesaikan kuliah. Hampir setiap hari harus mengerjakan
pengorganisasian di SBSI sembari menyelesaikan kuliah. Tersitanya waktu dan ”mepetnya” waktu menyelesaikan kuliah,
membuat penulis termasuk barisan terakhir angkatan ’90 yang belum menyelesaikan
kuliah.
Penulis masih ingat,
ada sekitar 30-an orang angkatan terakhir ’90 yang belum selesai. Dalam
berbagai kesempatan, sisa angkatan ’90 yang belum selesai sering dikumpulkan
oleh Prof Rozali Abdullah sebagai Dekan Fakultas Hukum untuk menanyakan
berbagai hambatan belum selesainya studi.
Setelah skripsi selesai
dan waktu ujian skripsi ditentukan, penulis tampil ujian skripsi. Penulis
langsung berhadapan dengan Prof. Rozali Abdullah sebagai Ketua Tim Penguji.
Setelah basa-basi sekedar bertanya mengenai ”sebab” lambatnya menyelesaikan masa studi, Prof. Rozali
Abdullah langsung mempertanyakan alasan
pemilihan judul, kerangka teoritis, tata cara penarikan sampel, hasil
penelitian. Prof. Rozali Abdullah sengaja
mempertanyakan hal-hal yang paling fundamental dalam skripsi untuk menguji ”apakah”penulis mengerjakan skripsi tanpa
dibuatkan orang lain. Selain karena memang dilakukan penelitian lapangan secara
langsung, penulisan skripsi dikerjakan sendiri, pengalaman berorganisasi cukup
membantu penulis menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh Prof. Rozali
Abdullah. Hanya butuh 15 menit tanya jawab penulis dengan Prof. Rozali
Abdullah. Dari jawaban yang disampaikan penulis, penulis berkeyakinan, Prof. Rozali
Abdullah cukup puas dengan jawaban
penulis. Tanpa disangka, Rozali Abdullah
berkomentar ”ternyata ada juga
mahasiswa lama yang pintar”. Penulis tersentak dengan komentar Prof. Rozali
Abdullah. Dan komentar dari Prof. Rozali Abdullah selain meyakini ujian yang dilalui dengna
baik, komentar Prof. Rozali Abdullah
masih membekas dan menjadi kenangan yang tidak terlupakan.
Prof. Rozali
Abdullah justru menghentikan pertanyaan
dari Dosen penguji lainnya apabila pertanyaan yang disampaikan berkaitan dengan
pelajaran mata kuliah.
SANG INSPIRASI
Interaksi
penulis dengan Prof. Rozali lebih banyak dijadikan tempat bertanya apabila adanya
persoalan hukum dalam kaitan praktek PTUN. Sebuah warna baru yang masih sangat
asing di Jambi. Sehingga tidak salah kemudian, penulis menganggap Seorang
Mahaguru yang tetap jernih didalam menyampaikan gagasannya. Tempat bertanya ”murid yang tersesat dalam rimba belantara
perkembangan hukum”. Dalam ujaran hukum adat Melayu ”Tempat orang Pegi Betanyo, tempat orang balek becerito”.
Dengan menceritakan dua
pengalaman yang telah disampaikan, hanya satu pesan yang hendak disampaikan.
Almarhum Ayanda Penulis dan Prof. Rozali Abdullah adalah orang yang memberikan
warna kepada penulis dan membuat penulis ”mau”
menyelesaikan studi dan ”menghargai”
ilmu yang didapatkan dari studi.
Cara ”menghargai” ilmu yang disampaikan oleh
Prof. Rozali Abdullah dengan mengikuti jejak Prof. Rozali Abdullah. Cara ”menghargai” ilmu dengan Menyebarkan
gagasan di setiap kesempatan termasuk ke berbagai media massa.
Baca : Anak Bandel