Judul diatas diinspirasi dari problema persoalan
hukum yang menjadi wacana berbagai pihak. Termasuk dari berbagai kasus-kasus
sepele seperti pencurian, kakao, pencurian sandal, pencurian listrik cas HP, persidangan
e-mail ”Prita”, pencurian semangko yang
menarik perhatian nasional. Disatu sisi nilai dikandung dari sebuah perbuatan
”pencurian” bertentangan dengan moral, agama, nilai sosial dan hukum.
Namun
disisi lain, Pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara diatas
berhadapan dengan reaksi publik yang kemudian menggugat ”ketidakadilan”. Belum
lagi berbagai ketentuan diluar KUHP yang mengatur tentang pidana minimal yang
memberatkan terdakwa yang menjalani ”melebihi kesalahan” yang dilakukan.
Bagaimana kita mempertimbangkan rasa keadilan
apabila melihat pelaku kasus korupsi yang dijatuhi pidana penjara minimal
setahun padahal uang yang dikorupsi hanya berkisar 2,5 juta. Atau bagaimana
kita mempertimbangkan rasa ”keadilan” melihat pelaku narkoba yang dijatuhi
pidana minimal 4 tahun sementara barang buktinya hanya 5 butir inex attau 1
linting ganja atau setengah dji shabu-shabu. Atau melihat terdakwa anak
disidangkan dengna tuduhan UU Perlindungan anak yang ancamannnya minimal 4
tahun.
Positivisme vis Keadilan substansif
Dengan menggunakan aliran pemikiran positivisme,
maka Hakim tidak dibenarkan menolak perkara dengan alasan ”perkara yang
disidangkan” kerugiannya kecil. Atau hakim tidak boleh menolak perkara dengan
alasan perbuatannya sudah dimaafkan para pelaku. Atau hakim tidak boleh
menjatuhkan putusan dibawah ancaman minimal terhadap para pelaku.
Dengan menggunakan pendekatan aliran pemikiran
positivisme, maka terhadap persidangan berbagai kasus-kasus sepele seperti pencurian,
kakao, pencurian sandal, pencurian listrik cas HP, persidangan e-mail
”Prita”, pencurian semangko harus tetap
disidangkan walaupun kemudian memantik reaksi publik yang kemudian menggugat
”ketidakadilan”.
Dalam aliran ini maka yang menjadi tujuan adalah
”Kepastian hukum (Rechtssicherheit)”. Sebagian kalangan menyebutkan ”keadilan
prosedural”. Aliran ini lebih mengedepankan ”Kepastian hukum (Rechtssicherheit).
”Kepastian hukum (Rechtssicherheit) adalah keadilan. Selain karena dilihat
ketentuan yang berkaitan terhadap perkara yang bersangkutan, kepastian hukum
lebih menjamin.
Sedangkan terhadap pelaku kasus korupsi tetap
dijatuhi pidana penjara minimal setahun walaupun uang yang dikorupsi hanya
berkisar 2,5 juta. Begitu juga terhadap pelaku narkoba yang dijatuhi pidana
minimal 4 tahun walaupun barang buktinya hanya 5 butir inex attau 1 linting
ganja atau setengah dji shabu-shabu. Dan terdakwa anak tetap dijatuhi pidana minimal
4 tahun.
”Kepastian hukum (Rechtssicherheit)/keadilan
prosedural memang menyisakan persoalan ”nurani”. Dalam konteks ini, maka hakim
tidak dibenarkan ”menafsirkan keadilan” dalam sebuah rumusan UU. Keadilan dalam
UU merupakan kewenangan para pembentuk UU. Bagir Manan menyatakan “Hakim adalah
mulut atau corong undang-undang (spreekbuis van de wet, bouche de la
hoi). Ajaran ini menggarisbawahi, bahwa hakim bukan saja dilarang menerapkan
hukum diluar undang-undang, melainkan dilarang juga menafsirkan undang-undang.
Wewenang menafsirkan undang-undang adalah pembentuk UU Bukan wewenang hakim”.
Pandangan ini tidak sekedar teori, melainkan pemah masuk dalam sistem hukum
positif seperti didalam pasal 15 AB yang berbunyi “geeft gewoonte geen recht,
dan alien wanneer der wet daarops verwijst (ketentuan kebiasaan tidak merupakan
hukum, kecuali ditunjuk oleh UU (Bagir Manan, Mengadili Menurut Hukum,
Majalah Hukum Varia Peradilan, No. 238, Juli, 2005, Jakarta, Hal 3)
Apabila kita perhatikan Putusan Mahkamah Agung
No. 178 K/Kr/1959 tanggal 8 Desember 1959 yang menyatakan “hakim bertugas
semata-mata untuk melakukan undang-undang yang berlaku dan tidak dapat menguji
nilai atau keadilan suatu peraturan perundang-undangan atau pernyataan bahwa
karena unsur-unsur tindak pidana yang dinyatakan dalam surat dakwaan tidak
terbukti, terdakwa harus dibebaskan dan segala tuduhan”, menurut penulis
melambangkan asas kepastian hukum (rechtmatigheid) didalam memutuskan perkara.
Selain itu juga konsepsi ini juga mengandung asas positivisme.
Pernyataan
ini mendukung pendapat yang telah disampaikan oleh Logemann menyatakan “men
mag de norm waaraan men gebonden is niet willekeurig uitleggen, doch alleen de
juiste uitleg mag gelden” orang tidak boleh menafsirkan secara
sewenang-wenang kaidah yang mengikat, hanya penafsiran yang sesuai dengan
maksud pembuat undang-undang menjadi tafsiran yang tepat .
Maka
dalam memeriksa dan mengadili dan memutuskan suatu perkara yang dihadapkan
kepada hakim, maka seorang hakim terikat kepada ketentuan yang tertuang dalam
hukum acara (formele recht) dari pengadilan. Sebagai hukum dan hak asasi, hakim
dibatasi menafsirkan atau melakukan konstruksi terhadap hukum acara. Hal
demikian dikarenakan fungsi dari hukum acara (formele recht, adjective law)
adalah untuk mempertahankan hukum materiil (materiele recht, substantive law) .
Pemikiran ini dikatakan sebagai Kepastian Hukum (Rechtssicherheit). MK
mendefinisikan sebagai “keadilan prosedural (procedural justice). Sebagian kalangan
mendefenisikan sebagai kepastian peraturan.
Namun suasana ”Kepastian hukum (Rechtssicherheit)
dalam pemikiran aliran positivisme sudah mulai diperdebatkan. Kasus pencurian,
kakao, pencurian sandal, pencurian listrik cas HP, persidangan e-mail
”Prita”, pencurian semangko menjadi
inspirasi MA keluar dari “kungkungan” aliran positivisme.
Sudah lama Mahkamah Agung menyadari dan
mendorong agar perkara ringan cukup diselesaikan di luar proses peradilan (out
of court settlement). MA kemudian mengeluarkan untuk perkara perdata,
mediasi bersifat wajib, dan bisa diterapkan untuk semua tingkatan peradilan
(Perma No 1 Tahun 2008). Bahkan untuk perkara pidana, MA mengeluarkan PERMA No.
2 Tahun 2012. MA kemudian menafsirkan ”Rp 250
dengan definisi RP 2.500.000,- dalam pasal 364, Pasal 373, Pasal 379, Pasal
384, Pasal 407, pasal 482 KUHP.
Dalam Rakernas MA 2011, MA Dalam Laporan Tahunan
Mahkamah Agung 2010 menyajikan ringkasan putusan-putusan penting.
Putusan-putusan penting dan menarik serta layak untuk disampaikan kepada
masyarakat. Untuk mengumpulkan putusan-putusan penting itu Mahkamah Agung
sampai membentuk sebuah tim.
Salah satunya putusan yang mempertimbangkan restorative
justice. Pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan perkara No 1600
K/Pid/2009 sebagai embrio dari restorative
justice.
Bahkan dalam Seminar Nasional IKAHI dan Ulang
Tahun IKAHI 59, April 2012, Dalam sambutannya, Ketua Mahkamah Agung RI Hatta
Ali menyampaikan bahwa Restorative Justice yang digunakan untuk penyelesaian tindak pidana
sudah lama dikenal dalam penegakan hukum dan Restorative
Justice menitikberatkan pada keadilan dan
keseimbangan bagi pelaku dan korban itu sendiri.
Restorative Justice
Pada tahun 1980an, Braithwaite memperkenalkan
sistem penghukuman dengan pendekatan restorative
justice, karena terinspirasi oleh masyarakat Maori dalam menangani
penyimpangan di lingkungan mereka, yang menekankan penyelesaian masalah dengan
melibatkan masyarakat dan petinggi masyarakat setempat untuk menyelsaikan
masalah secara kekeluargaan.
Tony
Marshall memberikan definisi dari restorative
justice sebagai “proses yang melibatkan semua pihak yang memiliki
kepentingan dalam masalah pelanggaran tertentu untuk datang bersama-sama
menyelesaikan secara kolektif bagaimana menyikapi dan menyelesaikan akibat dari
pelanggaran dan implikasinya untuk masa depan.” (John Braithwaite, 2002: 10).
Sedangkan Marian Liebmann secara sederhana mengartikan restorative justice sebagai suatu
sistem hukum yang “bertujuan untuk mengembalikan kesejahteraan korban, pelaku
dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan, dan untuk mencegah pelanggaran atau
tindakan kejahatan lebih lanjut.” (Marian Liebmann, 2007:
Pada
dasarnya terdapat banyak definisi dari restorative
justice. Dan pada tahun 2006, Restorative Justice Consortium, memberikan definisi sebagai berikut:
Restorative Justice works to resolve conflict and
repair harm. It encourages those who have caused harm to acknowledge the impact
of what they have done and gives them an opportunity to make reparation. It
offers those who have suffered harmthe opportunity to have their harmor loss
acknowledged and amends made. (Restorative Justice Consortium 2006) (Lihat Marian Liebmann, 2007).
James
Dignan, mengutip Van Ness dan Strong (1997), menjelaskan bahwa restorative justice pada mulanya
berangkat dari usaha Albert Eglash (1977) yang berusaha melihat tiga bentuk
yang berbeda dari peradilan pidana. Yang pertama berkaitan dengan keadilan
retributif, yang penekanan utamanya adalah pada penghukuman pelaku atas apa
yang mereka lakukan. Yang kedua berhubungan dengan ‘keadilan distributif’, yang
penekanan utamanya adalah pada rehabilitasi pelaku kejahatan. Dan yang ketiga
adalah ‘keadilan restoratif’, yang secara luas disamakan dengan prinsip
restitusi. Eglash dianggap sebagai orang pertama yang menghubungkan tiga hal
tersebut dengan pendekatan yang mencoba untuk mengatasi konsekuensi yang
berbahaya dari tindakan pelaku kejahatan dengan berusaha untuk secara aktif
melibatkan, baik korban dan pelaku, dalam suatu proses yang bertujuan untuk
mengamankan reparasi bagi korban dan rehabilitasi pelanggar
Sedangkan
proses dari restorative justice dapat
dilakukan dengan cara mediasi antara pelaku dan korban, reparasi (pelaku
membetulkan kembali segala hal yang dirusak), konferensi korban-pelaku (yang
melibatkan keluarga dari kedua belah pihak dan tkoh pemuka dalam masyarakat),
dan victim awareness work (suatu
usaha dari pelaku untuk lebih peduli akan dampak dari perbuatannya).
Restorative justice
dianggap sebagai salah satu cara untuk memediasi antara korban dan pelaku
kejahatan dalam usaha untuk menyelesaikan permasalahan, yang mendepankan
kepentingan korban di atas yang lainnya. Namun demikian, berdasarkan hasil
studi empiris yang telah dilakukan oleh pakar, masih terdapat banyak perdebatan
tentang bentuk ideal dari restorative
justice sebagai wadah mediasi antara korban dan pelaku yang
menekankan kepentingan korban dari pada yang lain.
Lagipula,
dalam ajaran restorative justice, kejahatan jangan hanya dilihat sebagai
pelanggaran terhadap negara dan kepentingan umum. Konflik juga merepresentasikan
terganggu atau terputusnya hubungan antar individu dalam masyarakat. Hakim
harus mampu menyelesaikan konflik secara adil dan memuaskan para pihak.
Dimuat di Posmetro, 17 Mei 2012
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/3365-restorative-justice-sebagai-antitesa-model-kekakuan-kaum-positivisme.html?device=xhtml
Dimuat di Posmetro, 17 Mei 2012
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/3365-restorative-justice-sebagai-antitesa-model-kekakuan-kaum-positivisme.html?device=xhtml