16 Mei 2012

opini musri nauli : Restorative Justice Sebagai model kekakuan kaum positivisme



Judul diatas diinspirasi dari problema persoalan hukum yang menjadi wacana berbagai pihak. Termasuk dari berbagai kasus-kasus sepele seperti pencurian, kakao, pencurian sandal, pencurian listrik cas HP, persidangan e-mail ”Prita”,  pencurian semangko yang menarik perhatian nasional. Disatu sisi nilai dikandung dari sebuah perbuatan ”pencurian” bertentangan dengan moral, agama, nilai sosial dan hukum. 

Namun disisi lain, Pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara diatas berhadapan dengan reaksi publik yang kemudian menggugat ”ketidakadilan”. Belum lagi berbagai ketentuan diluar KUHP yang mengatur tentang pidana minimal yang memberatkan terdakwa yang menjalani ”melebihi kesalahan” yang dilakukan.


Bagaimana kita mempertimbangkan rasa keadilan apabila melihat pelaku kasus korupsi yang dijatuhi pidana penjara minimal setahun padahal uang yang dikorupsi hanya berkisar 2,5 juta. Atau bagaimana kita mempertimbangkan rasa ”keadilan” melihat pelaku narkoba yang dijatuhi pidana minimal 4 tahun sementara barang buktinya hanya 5 butir inex attau 1 linting ganja atau setengah dji shabu-shabu. Atau melihat terdakwa anak disidangkan dengna tuduhan UU Perlindungan anak yang ancamannnya minimal 4 tahun.

Positivisme vis Keadilan substansif

Dengan menggunakan aliran pemikiran positivisme, maka Hakim tidak dibenarkan menolak perkara dengan alasan ”perkara yang disidangkan” kerugiannya kecil. Atau hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan perbuatannya sudah dimaafkan para pelaku. Atau hakim tidak boleh menjatuhkan putusan dibawah ancaman minimal terhadap para pelaku.

Dengan menggunakan pendekatan aliran pemikiran positivisme, maka terhadap persidangan berbagai kasus-kasus sepele seperti pencurian, kakao, pencurian sandal, pencurian listrik cas HP, persidangan e-mail ”Prita”,  pencurian semangko harus tetap disidangkan walaupun kemudian memantik reaksi publik yang kemudian menggugat ”ketidakadilan”.

Dalam aliran ini maka yang menjadi tujuan adalah ”Kepastian hukum (Rechtssicherheit)”. Sebagian kalangan menyebutkan ”keadilan prosedural”. Aliran ini lebih mengedepankan ”Kepastian hukum (Rechtssicherheit). ”Kepastian hukum (Rechtssicherheit) adalah keadilan. Selain karena dilihat ketentuan yang berkaitan terhadap perkara yang bersangkutan, kepastian hukum lebih menjamin.

Sedangkan terhadap pelaku kasus korupsi tetap dijatuhi pidana penjara minimal setahun walaupun uang yang dikorupsi hanya berkisar 2,5 juta. Begitu juga terhadap pelaku narkoba yang dijatuhi pidana minimal 4 tahun walaupun barang buktinya hanya 5 butir inex attau 1 linting ganja atau setengah dji shabu-shabu. Dan terdakwa anak tetap dijatuhi pidana minimal 4 tahun.

”Kepastian hukum (Rechtssicherheit)/keadilan prosedural memang menyisakan persoalan ”nurani”. Dalam konteks ini, maka hakim tidak dibenarkan ”menafsirkan keadilan” dalam sebuah rumusan UU. Keadilan dalam UU merupakan kewenangan para pembentuk UU. Bagir Manan menyatakan “Hakim adalah mulut atau corong undang-undang (spreekbuis van de wet, bouche de la hoi). Ajaran ini menggarisbawahi, bahwa hakim bukan saja dilarang menerapkan hukum diluar undang-undang, melainkan dilarang juga menafsirkan undang-undang. Wewenang menafsirkan undang-undang adalah pembentuk UU Bukan wewenang hakim”. Pandangan ini tidak sekedar teori, melainkan pemah masuk dalam sistem hukum positif seperti didalam pasal 15 AB yang berbunyi “geeft gewoonte geen recht, dan alien wanneer der wet daarops verwijst (ketentuan kebiasaan tidak merupakan hukum, kecuali ditunjuk oleh UU (Bagir Manan, Mengadili Menurut Hukum, Majalah Hukum Varia Peradilan, No. 238, Juli, 2005, Jakarta, Hal 3)

Apabila kita perhatikan Putusan Mahkamah Agung No. 178 K/Kr/1959 tanggal 8 Desember 1959 yang menyatakan “hakim bertugas semata-mata untuk melakukan undang-undang yang berlaku dan tidak dapat menguji nilai atau keadilan suatu peraturan perundang-undangan atau pernyataan bahwa karena unsur-unsur tindak pidana yang dinyatakan dalam surat dakwaan tidak terbukti, terdakwa harus dibebaskan dan segala tuduhan”, menurut penulis melambangkan asas kepastian hukum (rechtmatigheid) didalam memutuskan perkara. Selain itu juga konsepsi ini juga mengandung asas positivisme.

Pernyataan ini mendukung pendapat yang telah disampaikan oleh Logemann menyatakan “men mag de norm waaraan men gebonden is niet willekeurig uitleggen, doch alleen de juiste uitleg mag gelden” orang tidak boleh menafsirkan secara sewenang-wenang kaidah yang mengikat, hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat undang-undang menjadi tafsiran yang tepat .

Maka dalam memeriksa dan mengadili dan memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepada hakim, maka seorang hakim terikat kepada ketentuan yang tertuang dalam hukum acara (formele recht) dari pengadilan. Sebagai hukum dan hak asasi, hakim dibatasi menafsirkan atau melakukan konstruksi terhadap hukum acara. Hal demikian dikarenakan fungsi dari hukum acara (formele recht, adjective law) adalah untuk mempertahankan hukum materiil (materiele recht, substantive law) . Pemikiran ini dikatakan sebagai Kepastian Hukum (Rechtssicherheit). MK mendefinisikan sebagai “keadilan prosedural (procedural justice). Sebagian kalangan mendefenisikan sebagai kepastian peraturan.

Namun suasana ”Kepastian hukum (Rechtssicherheit) dalam pemikiran aliran positivisme sudah mulai diperdebatkan. Kasus pencurian, kakao, pencurian sandal, pencurian listrik cas HP, persidangan e-mail ”Prita”,  pencurian semangko menjadi inspirasi MA keluar dari “kungkungan” aliran positivisme.

Sudah lama Mahkamah Agung menyadari  dan mendorong agar perkara ringan cukup diselesaikan di luar proses peradilan (out of court settlement). MA kemudian mengeluarkan untuk perkara perdata, mediasi bersifat wajib, dan bisa diterapkan untuk semua tingkatan peradilan (Perma No 1 Tahun 2008). Bahkan untuk perkara pidana, MA mengeluarkan PERMA No. 2 Tahun 2012. MA kemudian menafsirkan ”Rp 250 dengan definisi RP 2.500.000,- dalam pasal 364, Pasal 373, Pasal 379, Pasal 384, Pasal 407, pasal 482 KUHP.

Dalam Rakernas MA 2011, MA Dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2010 menyajikan ringkasan putusan-putusan penting. Putusan-putusan penting dan menarik serta layak untuk disampaikan kepada masyarakat. Untuk mengumpulkan putusan-putusan penting itu Mahkamah Agung sampai membentuk sebuah tim.
Salah satunya putusan yang mempertimbangkan restorative justice. Pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan perkara No 1600 K/Pid/2009   sebagai embrio dari restorative justice.

Bahkan dalam Seminar Nasional IKAHI dan Ulang Tahun IKAHI 59, April 2012, Dalam sambutannya, Ketua Mahkamah Agung RI Hatta Ali menyampaikan bahwa Restorative Justice yang digunakan untuk penyelesaian tindak pidana sudah lama dikenal dalam penegakan hukum dan Restorative Justice menitikberatkan pada keadilan dan keseimbangan bagi pelaku dan korban itu sendiri.

Restorative Justice

Pada tahun 1980an, Braithwaite memperkenalkan sistem penghukuman dengan pendekatan restorative justice, karena terinspirasi oleh masyarakat Maori dalam menangani penyimpangan di lingkungan mereka, yang menekankan penyelesaian masalah dengan melibatkan masyarakat dan petinggi masyarakat setempat untuk menyelsaikan masalah secara kekeluargaan.

Tony Marshall memberikan definisi dari restorative justice sebagai “proses yang melibatkan semua pihak yang memiliki kepentingan dalam masalah pelanggaran tertentu untuk datang bersama-sama menyelesaikan secara kolektif bagaimana menyikapi dan menyelesaikan akibat dari pelanggaran dan implikasinya untuk masa depan.” (John Braithwaite, 2002: 10). Sedangkan Marian Liebmann secara sederhana mengartikan restorative justice  sebagai suatu sistem hukum yang “bertujuan untuk mengembalikan kesejahteraan korban, pelaku dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan, dan untuk mencegah pelanggaran atau tindakan kejahatan lebih lanjut.” (Marian Liebmann, 2007:

Pada dasarnya terdapat banyak definisi dari restorative justice. Dan pada tahun 2006, Restorative Justice Consortium, memberikan definisi sebagai berikut:
Restorative Justice works to resolve conflict and repair harm. It encourages those who have caused harm to acknowledge the impact of what they have done and gives them an opportunity to make reparation. It offers those who have suffered harmthe opportunity to have their harmor loss acknowledged and amends made. (Restorative Justice Consortium 2006) (Lihat Marian Liebmann, 2007).

James Dignan, mengutip Van Ness dan Strong (1997), menjelaskan bahwa restorative justice pada mulanya berangkat dari usaha Albert Eglash (1977) yang berusaha melihat tiga bentuk yang berbeda dari peradilan pidana. Yang pertama berkaitan dengan keadilan retributif, yang penekanan utamanya adalah pada penghukuman pelaku atas apa yang mereka lakukan. Yang kedua berhubungan dengan ‘keadilan distributif’, yang penekanan utamanya adalah pada rehabilitasi pelaku kejahatan. Dan yang ketiga adalah ‘keadilan restoratif’, yang secara luas disamakan dengan prinsip restitusi. Eglash dianggap sebagai orang pertama yang menghubungkan tiga hal tersebut dengan pendekatan yang mencoba untuk mengatasi konsekuensi yang berbahaya dari tindakan pelaku kejahatan dengan berusaha untuk secara aktif melibatkan, baik korban dan pelaku, dalam suatu proses yang bertujuan untuk mengamankan reparasi bagi korban dan rehabilitasi pelanggar

Sedangkan proses dari restorative justice dapat dilakukan dengan cara mediasi antara pelaku dan korban, reparasi (pelaku membetulkan kembali segala hal yang dirusak), konferensi korban-pelaku (yang melibatkan keluarga dari kedua belah pihak dan tkoh pemuka dalam masyarakat), dan victim awareness work (suatu usaha dari pelaku untuk lebih peduli akan dampak dari perbuatannya).

Restorative justice dianggap sebagai salah satu cara untuk memediasi antara korban dan pelaku kejahatan dalam usaha untuk menyelesaikan permasalahan, yang mendepankan kepentingan korban di atas yang lainnya. Namun demikian, berdasarkan hasil studi empiris yang telah dilakukan oleh pakar, masih terdapat banyak perdebatan tentang bentuk ideal dari restorative justice sebagai wadah mediasi antara korban dan pelaku yang menekankan kepentingan korban dari pada yang lain.

Lagipula, dalam ajaran restorative justice, kejahatan jangan hanya dilihat sebagai pelanggaran terhadap negara dan kepentingan umum. Konflik juga merepresentasikan terganggu atau terputusnya hubungan antar individu dalam masyarakat. Hakim harus mampu menyelesaikan konflik secara adil dan memuaskan para pihak.

Dimuat di Posmetro, 17 Mei 2012
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/3365-restorative-justice-sebagai-antitesa-model-kekakuan-kaum-positivisme.html?device=xhtml