SAKSI ADE CHARGE DIMATA HUKUM
(KESAKSIAN
MENTERI KEUANGAN SEBAGAI SAKSI ADE CHARGE)
Kasus Badan Anggaran (Banggar) Anggota
DPR yang melibatkan Wa Ode Nurhayati (WAN) memasuki babak baru. WAN meminta KPK
memanggil Menteri Keuangan, Agus Marto untuk dijadikan saksi. Permintaan WAN
didasarkan hak tersangka untuk menghadirkan saksi yang meringankan (saksi ade
charge) sebagaimana diatur didalam KUHAP.
Namun Menkeu kemudian menolak permintaan WAN. Menkeu berpendapat ” Saya itu setiap saat kalau diundang KPK saya
mau bekerjasama, kalau yang mengundang saya itu KPK atau penyidik KPK, itu saya
akan hadir. Tapi kalau yang
mengundang saya Bu Wa Ode Nurhayati saya mempunyai posisi, kalau secara hukum
saya diperkenankan untuk tidak memenuhi permintaan itu, saya tidak mau
memenuhi," tegasnya.
Alasannya, Agus Marto menilai Wa
Ode Nurhayati sudah ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi Dana Percepatan
Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) oleh KPK (detik.com, 11 Mei 2012)
Pandangan Menkeu yang kemudian
menolak permintaan WAN menimbulkan persoalan hukum. Apakah seseorang yang
dipanggil menjadi saksi dapat mengabaikan panggilan tersebut. Apakah seseorang
boleh menolak menjadi saksi ?
Pemanggilan saksi atas permintaan
tersangka (biasa dikenal dengna istilah
Saksi ade charge) pernah menjadi wacana nasional. Saat itu Yusril Ihza
Mahendra sebagai tersangka meminta kepada Penyidik Kejaksaan Agung untuk
memanggil Megawati Soekarnoputri (Presiden saat itu), Jusuf Kalla (Menko
Kesra), SBY (saat itu Menteri ESDM) dan Kwik Kwian Gie (Menko Ekuin). Kejaksaan
Agung “bersikukuh” menolak permintaan
YIM dengan alasan “tidak ada urgensi”.
YIM kemudian membawa persoalan ini ke MK.
Pandangan MK
Berdasarkan putusan Nomor Nomor 65/PUU-VIII/2010, MK kemudian
memberikan pertimbangan selain mengabulkan permohonan YIM, MK merumuskan arti penting saksi bukan terletak pada
apakah dia melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, melainkan
pada relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana yang sedang diproses
Mahkamah berpendapat bahwa penyidik tidak dibenarkan
menilai keterangan ahli dan/atau saksi yang menguntungkan tersangka atau
terdakwa, sebelum benar-benar memanggil dan memeriksa ahli dan/atau saksi yang
bersangkutan.
Menurut Mahkamah, pengaturan atau pengertian saksi dalam
KUHAP, sebagaimana diatur dalam pasal-pasal yang dimohonkan pengujian
menimbulkan pengertian yang multitafsir dan melanggar asas lex certa serta
asas lex stricta sebagai asas umum dalam pembentukan perundangundangan pidana.
Ketentuan yang multitafsir dalam hukum acara pidana dapat mengakibatkan
ketidakpastian hukum bagi warga negara, karena dalam hukum acara pidana
berhadapan antara penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memiliki kewenangan
untuk memeriksa dengan tersangka atau terdakwa yang berhak untuk mendapatkan
perlindungan hukum.
Dengan demikian, ketentuan pemanggilan serta pemeriksaan
saksi dan/atau ahli yang menguntungkan bagi tersangka atau terdakwa,
sebagaimana diatur dalam Pasal 65 juncto Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4)
KUHAP, harus ditafsirkan dapat dilakukan tidak hanya dalam tahap persidangan di
pengadilan, tetapi juga dalam tahap penyidikan. Menegasikan hak tersangka atau
terdakwa untuk mengajukan (memanggil dan memeriksa) saksi dan/atau ahli yang
menguntungkan bagi diri tersangka atau terdakwa pada tahap penyidikan, dan
hanya memanggil saksi yang menguntungkan pada tahap pemeriksaan di muka
pengadilan saja, merupakan pelanggaran terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945.
Pengajuan saksi dan/atau ahli, yang menjadi hak tersangka
atau terdakwa, di sisi lain merupakan kewajiban bagi penyidik, penuntut umum,
maupun hakim untuk memanggil dan memeriksa saksi dan/atau ahli a quo. Hal
demikian adalah bagian sekaligus penerapan prinsip due process of law dalam
proses peradilan pidana, dan upaya mewujudkan kepastian hukum yang adil dalam
sebuah negara hukum.
Namun demikian, harus tetap diperhatikan bahwa pengajuan
saksi atau ahli yang menguntungkan bagi tersangka atau terdakwa dalam proses
peradilan pidana bukan untuk menghalangi ditegakkannya hukum pidana. Meskipun
hak tersangka atau terdakwa dilindungi oleh hukum acara pidana namun tetap
harus diperhatikan batas-batas kewajaran dan juga kepentingan hukum masyarakat
yang diwakili oleh negara.
Dengan melihat putusan MK, maka
“penolakan” dari Menkeu mengakibatkan persoalan serius dari KUHAP. Pasal 216
menegaskan “Barang siapa dengan sengaja
tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang
oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan
tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak
pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi
atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang- undang yang dilakukan
oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat bulan dua minggu atau pidana denda puling banyak sembilan ribu rupiah.
Rumusan ini tegasnya menentukan terhadap pelanggaran saksi yang tidak
menghadiri pemanggilan dari Penyidik. Dalam ilmu hukum pidana, Perbuatan ini merupakan perbuatan yang mengabaikan (een nalaten)
Sedangkan
pasal 168 KUHAP ditentukan “Kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar
katerangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi: (a). keluarga sedarah
atau semanda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari
terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;(b). saudara dari terdakwa
atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga
mereka yang mempunyai hubungan karena parkawinan dan anak-anak saudara terdakwa
sampai derajat ketiga; (c) suami atau isteri terdakwa maupun sudah bercerai
atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Dengan
melihat rumusan pasal 216 KUHP, maka Menkeu tidak dapat mengabaikan panggilan
sebagai saksi (dengan alasan apapun) dan tidak boleh menolak menjadi saksi