30 Juli 2025

opini musri nauli : Hak cipta lagu


Fenomena restoran Mi Gacoan yang selalu ramai dengan antrean panjang tak hanya dikenal karena menu mi pedasnya, tetapi juga suasana yang hidup dengan alunan musik yang diputar. Namun, di balik keramaian dan kenikmatan bersantap, muncul pertanyaan penting terkait aspek hukum, khususnya mengenai hak cipta lagu yang diperdengarkan di tempat usaha seperti Mi Gacoan.


Pemutaran lagu di tempat umum atau komersial seperti restoran, kafe, atau gerai makanan cepat saji melibatkan penggunaan karya cipta yang dilindungi undang-undang. Di Indonesia, dasar hukum utama yang mengatur hal ini adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta).


Dalam konteks hak cipta musik, penting untuk memahami dua jenis hak utama. Hak Moral: Hak ini melekat secara abadi pada pencipta dan tidak dapat dialihkan. Hak moral mencakup hak untuk tetap mencantumkan nama pencipta pada ciptaannya, hak untuk melarang perubahan ciptaan, dan hak untuk melarang penggunaan ciptaan yang bersifat merugikan kehormatan atau reputasi pencipta. Dan Hak Ekonomi: Hak inilah yang menjadi fokus utama dalam kasus pemutaran lagu di Mi Gacoan. Hak ekonomi adalah hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari ciptaannya. Dalam konteks musik, hak ekonomi mencakup hak untuk melakukan pengumuman atau pendistribusian ciptaan kepada publik. Pengumuman ini bisa berupa penyiaran, pertunjukan, termasuk pemutaran lagu di tempat komersial.

Berdasarkan UU Hak Cipta, setiap penggunaan ciptaan untuk kepentingan komersial wajib mendapatkan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta dan/atau membayar royalti kepada mereka. Pasal 23 ayat (2) UU Hak Cipta secara tegas menyatakan "Setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan, penyiaran, Pengumuman, dan/atau Komunikasi Ciptaan melalui sarana atau media apa pun, wajib membayar royalti kepada Pencipta atau Pemegang Hak Cipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif."


Dengan demikian maka Mi Gacoan sebagai entitas bisnis yang memutarkan lagu-lagu populer untuk menciptakan suasana dan menarik pelanggan, secara hukum wajib membayar royalti atas penggunaan lagu-lagu tersebut. Pembayaran royalti ini tidak langsung kepada setiap pencipta lagu, melainkan melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).


Di Indonesia, LMK yang berwenang menghimpun dan mendistribusikan royalti hak cipta musik adalah LMK Nasional (LMKN), yang merupakan gabungan dari berbagai LMK seperti WAMI (Wahana Musik Indonesia) untuk pencipta, RAI (Royalti Anugerah Indonesia) untuk penerbit, dan PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia) untuk artis/penyanyi.

Lalu apa akibat Hukum Jika Tidak Membayar Royalti. Jika Mi Gacoan (atau bisnis serupa lainnya) memutarkan lagu tanpa memenuhi kewajiban pembayaran royalti, mereka dapat menghadapi konsekuensi hukum. Pelanggaran hak cipta dapat dikategorikan sebagai tindak pidana maupun perdata.


Namun di hukum pidana sendiri dikenal asas Ultimum remedium. Asas ultimum remedium adalah sebuah prinsip fundamental dalam hukum pidana yang menegaskan bahwa hukum pidana atau sanksi pidana seharusnya menjadi upaya terakhir (last resort) dalam penegakan hukum. Artinya, sebelum menjatuhkan sanksi pidana, upaya-upaya hukum lain seperti sanksi administrasi atau perdata harus dipertimbangkan dan diupayakan terlebih dahulu. Hukum pidana baru digunakan ketika upaya-upaya lain tersebut dianggap tidak efektif atau tidak memadai untuk menyelesaikan masalah hukum dan mencapai tujuan keadilan.


Adanya “desakan’ sekaligus “ajakan boikot” untuk memutarkan lagu-lagu Indonesia justru kontraproduktif dengan penerapan UU Hak Cipta.  Meskipun UU Hak Cipta mencantumkan sanksi pidana, menerapkan pasal pidana sebagai langkah pertama terhadap pelaku usaha seperti Mi Gacoan bisa jadi kontraproduktif dan menimbulkan kerugian lebih besar.


Dampaknya seperti Potensi Boikot dan Citra Negatif: Penegakan hukum yang represif tanpa didahului sosialisasi yang memadai dapat memicu reaksi negatif dari masyarakat dan konsumen. Isu "pemerasan" atau "pembatasan kreatif" bisa muncul, bahkan berujung pada boikot yang merugikan bisnis Mi Gacoan itu sendiri.


Belum lagi Kurangnya Pemahaman Pelaku Usaha. Banyak pelaku UMKM atau bisnis baru mungkin belum sepenuhnya memahami seluk-beluk hak cipta dan kewajiban royalti. Mereka mungkin beranggapan bahwa membeli musik secara legal (misalnya melalui langganan platform) sudah cukup, tanpa menyadari adanya kewajiban lisensi publik. Langsung menindak dengan pidana tanpa edukasi bisa menimbulkan kebingungan dan rasa tidak adil.


Selain itu terjadinya Hambatan pada Iklim Bisnis. Pendekatan represif dapat menciptakan ketakutan di kalangan pelaku usaha, menghambat inovasi, dan membuat mereka enggan menggunakan elemen-elemen kreatif dalam bisnisnya. Padahal, musik seringkali menjadi penunjang suasana yang vital.


Sehingga UU Hak Cipta Tujuan Utama adalah Kepatuhan. Bukan Hukuman. Tujuan utama dari UU Hak Cipta adalah untuk mendorong kepatuhan dan memastikan hak pencipta terpenuhi. Sanksi pidana seharusnya menjadi ultimum remedium (upaya terakhir) setelah langkah-langkah persuasif dan edukasi tidak membuahkan hasil.


Agar tujuan hak cipta tercapai tanpa merugikan pelaku usaha atau memicu boikot, sosialisasi dan edukasi menjadi kunci utama. Pihak-pihak terkait, seperti Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen Kekayaan Intelektual), dan asosiasi pelaku usaha, perlu bersinergi Menyederhanakan Informasi, Memberikan Insentif Kepatuhan, Menjelaskan Manfaat Jangka Panjang: Edukasi bukan hanya tentang kewajiban, tetapi juga manfaat dan Membangun Komunikasi. 


Cara ini adalah Strategi Perlindungan Pencipta Lagu Tanpa Boikot.  Untuk melindungi pencipta lagu dan memastikan mereka menerima haknya tanpa memicu boikot, pendekatan bertahap adalah yang terbaik. Dimulai dari Fase Edukasi dan Peringatan, Fase Penegakan Hukum Perdata. Barulah kemudian diterapkan Penegakkan Hukum Pidana (ultimum remedium). 


Dengan demikian maka Kasus Mi Gacoan dalam konteks hak cipta lagu adalah cerminan dari tantangan besar dalam implementasi UU Hak Cipta di Indonesia. Terutama di sektor bisnis kecil dan menengah. 


Penegakan hukum yang efektif tidak selalu berarti menghukum, melainkan menciptakan kesadaran, membangun pemahaman, dan memfasilitasi kepatuhan. 


Dengan mengedepankan sosialisasi, edukasi, dan pendekatan persuasif, kita dapat memastikan bahwa hak-hak pencipta lagu terpenuhi, industri kreatif berkembang, dan pelaku usaha dapat menjalankan bisnisnya tanpa ketakutan yang tidak perlu, menghindari potensi boikot, dan bersama-sama menciptakan ekosistem bisnis yang adil dan berkelanjutan.