05 Februari 2013

opini musri nauli : Membungkam kami adalah kesalahan terbesar



MEMBUNGKAM KAMI ADALAH KESALAHAN TERBESAR
Oleh-Oleh dari Palembang



Urgen.. Barusan jam 16.00 Sdr. Anwar Sadat (Walhi Sumsel)
ditangkap polda dgn kondisi kepala pecah
Dedek dgn leher luka dan 25 petani Sriwijaya lainnya ditangkap.

Demikian isi short message service (sms) yang masuk ke Handphone pukul 18.29 wib tanggal 29 Januari 2013. Hampir sepuluh sms dengan kalimat yang sama masuk ke HP penulis. Penulis kaget (walaupun dari dugaan awal sudah diprediksi), peristiwa 29 Januari Kelabu memukul Anwar Sadat. Hampir setengah jam, penulis memutar otak, apa yang sesungguhnya terjadi. Walaupun penulis sudah menelpon DD Sineba (Dewan Nasional Walhi, kebetulan lagi di Palembang), namun rasa penasaran itu belum hilang. Rasa penasaran yang sungguh-sungguh memerlukan jawaban yang tegas.

Pukul 18.00 wib, kemudian disepakati “harus segera” ke Palembang untuk mencari jawaban pasti. Dan kemudian ditentukan siapa yang harus pergi dan siapa yang kemudian mengorganisir aksi solidaritas. Yang Pergi, saya, Wak Nick dan Sandi Gusdiyan (etek). Sedangkan yang tinggal, Bedul dan Dwi untuk “mematangkan aksi”.

Kemudian tim berangkat dari Jambi pukul 02.00 wib dan tiba di Palembang pukul 09.00 wib (setelah makan, istirahat bahkan tidur di jalan. Jarak tempuh Palembang – Jambi + 280 km dengan waktu + 5 jam).

Setelah mendapatkan informasi yang cukup, bertemu dengna teman-teman di Palembang (termasuk dengan DD Sineba – Dewan Nasional Walhi – yang kebetulan sedang berada di Palembang), mencoba menganalisis sedikit informasi yang kemudian dibandingkan dengan “kemungkinan” terjadi, maka pukul 13.00 wib penulis bersama-sama DD Sineba mendatangi Anwar Sadat di Rumah Sakit Bhayangkara. Setelah memberikan support dan meyakini resiko yang terjadi sebagai “orang yang cukup diperhitungkan secara politik”, maka kemudian penulis bersama-sama dengan DD Sineba menjemput Direktur Eksekutif Nasional Walhi Abetnego Tarigan dan Mukri Priatna (Manager Desk Bencana Eknas Walhi). Saat bersamaan juga datang Samsul Munir (Kontras). Setelah bertemu dengan Anwar Sadat di Rumah Sakit Bhayangkara, maka kemudian bersama-sama dengan Anwar Sadat ke Polda Sumsel.

Malam hari kemudian, penulis menemani Direktur Walhi “berkoordinasi” dengan teman-teman di Palembang, membangun aliansi taktis, membagi peran, mengharapkan koordinasi ED Walhi Se-Sumbagsel untuk membantu proses pengorganisasian Walhi Sumsel, memberikan dukungan moral dan peran-peran yang harus dimainkan baik peran Eknas Walhi, Walhi Sumsel, jaringan nasional maupun dukungan dari ED-ED Walhi se-Sumbagsel. Pertemuan cukup lama sehingga “memakan” energi yang besar sehingga beberapa kali pertemuan, penulis “merasakan” beban dari dampak organisasi yang “dipukul” oleh Polda Sumsel.

Keesokan harinya, lagi-lagi diadakan “pertemuan” internal Walhi dimana beberapa agenda telah disepakati. Seperti Eknas mempersiapkan tenaga advokat dengan menunjuk Muhnur sebagai anggota tim Advokasi, masing-masing ED Walhi juga mempersiapkan advokat untuk terlibat dalam tim advokasi.

Setelah dirasakan sudah “jelas” pembagian perannya, maka kemudian, Direktur Eknas Walhi kemudian pulang ke Jakarta.

Pada hari jumat, lagi-lagi Walhi Sumsel “mendapatkan” dukungan “support” dari kedatangan “Uday – Direktur Walhi Bangka Belitung” dan “Si Bejo – Direktur Walhi Lampung”. Dukungan diberikan selain didasarkan “rasa sepenasib sepenanggungan” juga didasarkan “wilayah” terdekat harus memberikan dukungan fisik terhadap peristiwa yang terjadi. Tanpa menghilangkan “beban” yang harus ditanggung bersama-sama, keceriaan tidak pernah hilang, nada gurau hingga berbagai candaan menghilangkan sejenak persoalan yang ada.


Pasal 170 KUHP

Dalam rapat koordinasi dengan tim Advokat, maka kemudian ditetapkan TIM ADVOKASI HUKUM DAN PENCARI FAKTA (TAHTA) CINTA MANIS OGAN ILIR. Tim ini sebenarnya telah bekerja dalam advokasi-advokasi yang berkaitan dengna konflik dengan PTPN VII (termasuk penembakkan Angga1). Dalam tim ini selain terdiri dari advokat dari berbagai institusi yang ada di Palembang seperti LBH Palembang, AMAN, berbagai organisasi LBH, juga terdiri dari Advokat dari Eknas, Pil-Net, Kontras dan Advokat-advokat yang “diutus” dari masing-masing ED di sekitar Palembang. ED Walhi Lampung menyumbang 2 orang, ED Walhi Jambi menyumbang 3 orang dan ED Walhi Pekanbaru menyumbang 1 orang (penulis mohon maaf apabila ada yang terlewatkan. Tanpa mengurangi arti pentingnya berbagai dukungan, berbagai nama-nama yang telah disebutkan berdasarkan ingatan dan catatan singkat dari penulis).

Pada rapat pertama, diadakan “bedah kasus” sehingga dapat membangun strategi ke depan. Dugaan pertama (dari berbagai informasi informal) didapatkan tuduhan terhadap ketiga orang yaitu Anwar Sadar dan Dedek Chaniago yaitu pasal 160 KUHP dan Pasal 170 KUHP. Sedangkan Kamaluddin dituduh dengan pasal 351 KUHP. Dalam “bedah kasus” sebenarnya (berdasarkan kronologis) sungguh tidak tepat menerapkan pasal-pasal kepada teman-teman.

Pasal 160 KUHP merupakan salah satu pasal yang paling sering dikenakan kepada para kaum kritis. Pasal ini menerangkan tentang Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden, penghinaan terhadap pemerintah yang sah dan hasutan melakukan tindak pidana. Visi dan opini yang berbeda antara penguasa dengan masyarakat akhirnya membawa penguasa menggunakan hukum pidana sebagai premium remedium (senjata pamungkas).

Akibatnya timbul persoalan baru mengenai abridging the freedom of opinion and speech (pembatasan terhadap kebebasan menyatakan pendapat dan berbicara). Ketentuan terhadap pasal 154 KUHP dan 160 KUHP sering dipergunakan terhadap pihak-pihak yang pandangannya dianggap berseberangan dengan penguasa. Sikap peradilan pidana terhadap kegiatan politik praktis masih berada dalam area penciptaan kekuasaan.

Hal ini dialami oleh Ir. Soekarno tahun 1927 yang kemudian dalam nota pembelaannya (Pleidoi) berjudul “INDONESIA MENGGUGAT”. Juga Lihat kasus Pajubul Rahman (mahasiswa ITB) yang melakukan penghinaan terhadap Menteri Dalam Negeri, Nuku Sulaiman ataupun Yenny Rossa Damayanti dan kawan-kawannya yang melakukan demonstrasi menentang berlakunya SDSB, PRD, AJI maupun Dr. Sri Bintang Pamungkas dalam kasus di Dreslen, Jerman dan selebaran kartu lebaran

Pasal 160 KUHP menyebutkan
Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasan atau supaya jangan menurut peraturan undang-undang atau perintah yang sah yang diberikan menurut peraturan undang-undang, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun atau denda
Rp.4.500,-“

Maka terdapat unsur (bestanddelen)” sebagai berikut :
Unsur “barang siapa”
Unsur “dimuka umum”
Unsur “menghasut”
Unsur “melakukan perbuatan melawan kekuasaan umum”
Unsur “Dengan kekerasan/Tidak menurut peraturan yang berlaku”

Bahwa unsur-unsur didalam pasal 160 KUHP, telah dipertimbangkan oleh MK sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), dalam arti konstitusional sepanjang ditafsirkan sebagai delik materiil. Pertimbangkan MK (legal reasing) adalah sebagai berikut :
    1. Didalam praktek, pasal ini lebih dikenal dengna pasal Hatzakai Artikelen (pasal-pasal penyebar kebencian).
    2. Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya dalam perkara permohonan Nomor 6/PUU-V/2007 mengutip pendapat Dr. Jayadi Damanik, SP.M.Si dalam pemeriksaan perkara permohonan pengujian Pasal 160 KUHP, yang diajukan oleh Dr. R. Panji Utomo dalam permohonan Nomor 6/PUU-V/2007 di Mahkamah Konstitusi menyatakan, “materi muatan Pasal 160 dan Pasal 161 KUHP juga diskriminatif karena memberikan privilege yang sangat berlebihan untuk melindungi kepentingan kekuasaan pemerintah, dan oleh karena itu bertentangan dengan prinsip equalitiy before the law. Hendaknya ditegaskan di sini bahwa ketentuan dalam Pasal 160 KUHP dan Pasal 161 KUHP yang membatasi HAM secara tidak disengaja mengurangi, menghalangi, membatasi, dan/atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang, dan oleh karena itu, tergolong melanggar HAM.”
    3. Bahwa Pasal 160 KUHP sebagaimana didalam asas lex certa, yaitu perbuatan yang hendak dilarang dalam hukum pidana harus dirumuskan dan disebutkan unsur-unsurnya secara terang, jelas dan tegas sehingga jelas maksud, tujuan serta batas-batas perbuatan yang hendak dilarang yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam praktik penegakan hukum pidana.
    4. Bahwa kualifikasi delik pidana yang dirumuskan dalam Pasal 160 KUHP adalah delik formal (Prof. dr. Wiryono Prodjodikoro,S.H. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika, halaman: 51) yang hanya dipersyaratkan terpenuhinya unsur perbuatan yang dilarang (strafbare handeling) tanpa mengakibatkan akibat dari suatu perbuatan. Namun didalam pertimbangannya, MK kemudian memberikan pertimbangan, bahwa pasal 160 KUHP merupakan delik materiil (conditionally constitutional) ( Putusan MK No. Nomor 7/PUU-VII/2009.)
    5. Apa yang dilakukan dan diperjuangkan oleh masyarakat Desa Pring Baru dan Desa Taba itu adalah menjalankan apa yang oleh Wetboek van Strafrecht Belanda disebut sebagai ”ongehoorzaamheid” yaitu menjalankan civil disobedience, ketidakpatuhan, dan dengan demikian melakukan perlawanan tanpa melakukan geweld dan gewelddaad;
    6. Para terdakwa bukan ketidakpatuhan terhadap kekuasaan yang sah, ongehoorzaamheid tegen het openbaar gezag, atau yang diterjemahkan ke dalam KUHP sebagai "jangan menurut peraturan undang-undang atau perintah yang sah" akan tetapi suatu tawaran alternatif sebagai bentuk perjuangan masyarakat Desa Pring Baru dan Desa Taba yang berhadapan dengan PTPN VII.
    7. Sedangkan menurut J.E. Sahetapy, kita harus dapat membedakan antara ”elementen” dan bestanddelen” dari suatu pasal. Pasal 160 KUHP/W.v.S jelas suatu ”repressive law” . Lebih lanjut, J.E mengatakan Pasal 160 adalah delik materiil kolonial ondanks ada ”smaad” atau ”opruien”. Pendapat ini kemudian menjadi Putusan MK No. Nomor 7/PUU-VII/2009.
    8. Sedangkan Dr. Rudi Satrio,S.H.,M.H., mengatakan Pasal ini yang termasuk dalam katagori "kejahatan Terhadap Ketertiban Umum (open bare orde)".
    9. Pengalaman sejarah perundang-undangan menunjukkan bahwa sejak zaman kolonial Belanda istilah tersebut sudah ada yaitu "openbare orde" "rust en orde". Dalam kenyataan istilah tersebut tidak jelas ukurannya. Suatu pengertian yang tidak terbatas dan sangat fleksibel (luwes) batas-batasnya. Kemudian yang jelas muncul adalah istilah tersebut dengan sewenang-wenang dipergunakan oleh pemerintah (penguasa) untuk melakukan tindakan pengekangan terhadap kemerdekaan menyatakan pendapat, kemerdekaan pers, dan kemerdekaan untuk mengkritik pada pemerintah (penguasa).
    10. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa l’esprit de la loi atau the spirit of the law yaitu jiwa undang-undang dari Pasal 160 KUHP mengandung prinsip-prinsip penindasan yang berasal dari sistem kolonial Belanda, yang pada dasarnya bertujuan untuk menindas pers, opini para ahli, profesor, kaum pejuang yang mempunyai pendapat berbeda;

Sehingga kemudian diyakini, sungguh-sungguh tidak tepat menerapkan pasal 160 KUHP. Dan kemudian “terbukti”, penyidik tidak menerapkan ketentuan pasal 160 KUHP.

Setelah membahas pasal 160 KUHP, kemudian dibahas pasal 170 KUHP. Pasal 170 KUHP juga merupakan pasal-pasal yang sering dikenakan kepada pejuang. Jangan tanya berapa banyak yang harus dikenakan kepada para pejuang seperti petani, buruh, mahasiswa. Dalam catatan sederhana saja, pasal-pasal ini pernah dirasakan oleh masyarakat di Seluma, Bengkulu yang menghabiskan energi ED Walhi Bengkulu2.

Pasal 170 ayat (1) Terdiri unsur-unsurnya (bestanddalen) sebagai berikut:
1. Unsur “barang siapa”
2. Unsur “dengan sengaja”
3. Unsur “Secara terang-terangan”
4. Unsur “ Menggunakan kekerasan”
5. Unsur “terhadap orang lain atau barang”

Unsur “secara terang-terangan”
Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 10 K/Kr/1975 tanggal 17 Maret 19763, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata openlijkdalam naskah ash pasal 170 Wetboek van Strafrecht lebih tepat diterjemahkan “secara terang-terangan ‘istilah mana mempunyai arti yang berlainan dengan openbaaratau “dimuka umum “. “secara terang-terangan” berarti tidak secara sembunyi, jadi tidak perlu dimuka umum, cukup apabila tidak diperlukan apa ada kemungkinan orang lain dapat melihatnya. Sedangkan menurut loge Raad 2 Maret 1908, dengan “secara terang-terangan dan menggunakan kekerasan” diartikan apa yang disebut “vis publica” terhadap orang atau barang4.

Unsur “menggunakan kekerasan” (Geweld Plegen).

Yang dilarang dalam pasal ini ialah “melakukan kekerasan” sebagaimana diatur didalam pasal 89. Menurut pasal 89 “melakukan kekerasan” artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah.
Melakukan kekerasan dalam pasal ini bukan merupakan suatu alat atau daya upaya untuk mencapai sesuatu seperti halnya dalam pasal 146, 211, 211, akan tetapi merupakan suatu tujuan.

Kekerasan itu harus dilakukan “bersama-sama” artinya oleh sedikit-dikitnya 2 orang atau lebih. Orang yang hanya mengikuti dan tidak benar-benar turut melakukan kekerasan tidak dapat turut dikenakan pasal ini.

Unsur” Terhadap orang lain atau barang” (Tegenpersonen of goderen)

Terjemahan Tegen pelconen of goderen dalam pasal 170 ayat (1) KUHP adalah ditujukan terhadap orang-orang atau terhadap barang-barang (rumusan dalam bentuk Jamak); Yang dimaksudkan barang-barang dalam unsur ini adalah:
- Harta-harta kekayaan;
- Barang bernyawa (binatang);
- Barang-barang bergerak dan tidak bergerak
Ayat (2)
1. Unsur “Barang orang“;
2. Unsur “Dengan sengaja“,
3. Unsur “Melakukan penganiayaan“;
4. Unsur “menyebabkan matinya orang lain“;

Unsur “Melakukan penganiayaan”

R. Soesilo, UU ini tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan penganiayaan (mishandeling). Menurut Yurisprudensi, maka yang diartikan dengan “penganiayaan” yaitu “sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit atau luka atau matinya orang lain “. Semuanya ini harus dilakukan dengan “sengaja dan tidak dengan maksud yang patut melewati batas yang diizinkan “.

Penganiayaan merupakan Tindak Pidana materiil (materieel delict) Perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu.

Pengertian Penganiayaan menurut doktrin lebih luas dan pengertian dalam didalam praktek hukum. Menurut doktrin, penganiayaan dilihat dan tujuan. Orang tua atau guru yang memukul anak dalam rangka mendidik, atau seorang dokter yang melukai pasein dalam rangka pelaksanaan operasi untuk menyembuhkan suatu penyakit, tetap merupakan penganiayaan dan tidak dipidannya mereka karena perbuatan itu berhubung adanya alasan penghapus pidana dalam praktek.

Keadaan ini merupakan syarat yang menghapuskan sifat melawan hukum dan alasan/penyebab dari tidak dipidananya guru atau orang tua maupun dokter yang melakukan perbuatan tersebut; agak lain dengan memukul lawan dalam pertandingan olah raga tinju atau karate dan sejenisnya, yang mengakibatkan rasa sakit pada tubuh lawan. Perbuatan memukul pada contoh itu, kehilangan sifat melawan hukum bukan terletak pada tujuan yang patut, melainkan telah mendapatkan persetujuan dari lawannya.

Lain halnya dengan pengertian menurut yurisprudensi. Adanya tujuan patut yang hendak dicapai oleh suatu perbuatan yang disadari menimbulkan rasa sakit atau luka dipandang sebagai syarat/unsur dan pengertian penganiayaan. Sehingga perbuatan orang tua atau guru memukul muridnya atau dokter melukai pasien bukan penganiayaan.

Rumusan pasal 351 dibedakan menjadi (a) penganiayaan biasa; (b) penganiayaan yang mengakibatkan luka berat (ayat 2); (c) penganiayaan yang mengakibatkan kematian (ayat 3); (d) Penganiayaan yang merusak kesehatan (ayat 4). Perbedaan ini didasarkan pada akibat dari penganiayaan.

Penganiayaan Biasa (gewone mishandeling). Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit (pijn) atau luka (letsel) pada tubuh orang lain atau mati.
  1. Yang dilarang pada pasal ini ialah :“melakukan kekerasan”. Apa yang dimaksudkan dengan “kekerasan” lihat catatan dalam pasal 89. kekerasan yang dilakukan ini biasanya terdiri dan “merusak barang” atau “penganiayaan”, akan tetapi dapat pula kurang dari pada itu; sudah cukup misalnya bila orang-orang melemparkan batu pada orang lain atau rumah, atau yang membuang-buang barang-barang dagangan, sehingga berserakan, meskipun tidak ada maksud yang tertentu untuk menyakiti orang atau merusak barang itu.
  2. Melakukan kekerasan” dalam pasal ini bukan merupakan suatu alat atau daya upaya untuk mencapai sesuatu seperti halnnya dalam pasal 146, 211, 212 dan lain-Iainnya, akan tetapi merupakan suatu tujuan. Disamping itu tidak pula masuk kenakalan dalam pasal 489, penganiayaan dalam pasal 351 dan merusak barang dalam pasal 406 dan sebagainya.
  3. Kekerasan itu harus dilakukan “bersama-sama”, artinya oleh sedikit-dikitnya “dua orang atau lebih”. Orang-orang yang hanya mengikuti dan tidak benar-benar turut melakukan kekerasan, tidak dapat diturutkan pada pasal ini.
  4. Kekerasan itu harus ditujukan kepada “orang atau barang”. Hewan atau binatang masuk pula dalam pengertian barang. Pasal ini tidak membatasi, bahwa orang (badan) atau barang itu harus “kepunyaan orang lain”, sehingga milik sendiri masuk pula dalam pasal ini, meskipun tidak akan terjadi orang melakukan kekerasan terhadap diri atau barangnya sendiri sebagai tujuan; kalau sebagai alat atau daya-upaya untuk mencapai suatu hal, mungkin bisa juga terjadi.
  5. Kekerasan itu harus dilakukan “dimuka umum”, karena kejahatan ini memang dimasukkan kedalam golongan kejahatan ketertiban umum. “Dimuka umum” artinya ditempat publik dapat melihatnya.

Dalam “bedah kasus” kemudian didasarkan kepada akibat (tindak pidana materiil). Pertanyaan yang timbul apakah terhadap akibat dari Anwar Sadat dan Dedek Chaniago telah “terjadi” kerusakan (sehingga barang tidak dapat dipergunakan lagi) atau mengakibatkan luka-luka disebabkan oleh Anwar Sadat dan Dedek Chaniago (causalitet).

Dengan melihat unsur pasal 170 KUHP dengan melihat akibat dari peristiwa terjadi, maka dengan pertimbangan itu, kasus terhadap Anwar Sadat dan Dedek Chaniago tidak “terlalu berat' Sehingga terjawab asumsi, bahwa memang Anwar Sadat dan Dedek Chaniag memang merupakan “target” yang harus “dijinakkan”.

Tuduhan terakhir kepada Kamaluddin. Yaitu pasal 351 KUHP. Tanpa mengurangi arti korban yang didapat dari pihak kepolisian, berbagai peristiwa memang masih simpang siur. Apakah “seorang” Kamaluddin “memang memukul (menganiaya Polisi) atau “melindungi istri” yang diserang ? Apakah memang posisi “membahayakan” sehingga Kamaluddin “harus” memukul ? Apakah fakta-fakta ini tidak diputar balikkan oleh pihak kepolisian. Fakta-fakta yang telah dipaparkan mengindikasikan bahwa memang “Kamaluddin” tidak memungkinkan untuk memukul apabila tidak terdesak. Atau tidak sehat dalam pikiran rasional, apabila “tanpa sebab (causalitet)” Kamaluddin memukul. Apakah seimbang ? Pertanyaan itu apabila disandingkan dengan kronologis “sungguh-sungguh” tidak masuk akal.

Pemberitahuan “bukan” izin

Pada hari sabtu, tanggal 2 Februari 2013, dilakukan pemeriksaan terhadap Anwar Sadat. Sedangkan terhadap Dedek Chaniago merupakan pertanyaan lanjutan. Kamaluddin hanya diperiksa sebagai saksi. Untuk Anwar Sadat sebanyak 33 pertanyaan. Dedek Chaniago 22 Pertanyaan.

Seluruh pertanyaan-pertanyaan yang menjadi diskusi di internal tim advokasi “terjawab” ketika dilakukan pemeriksaan terhadap Anwar Sadat, Dedek Chaniago dan Kamaluddin. Dalam pemeriksaan, ternyata “ketahuan”, penyidik tidak mengikuti perkembangan dunia dan dinamika hukum. Selain itu, pengetahuan “konvensional” yang hanya berkutat-kutat dengan pasal-pasal yang sering terjadi “memaksa”, tim advokasi harus berdebat dengan penyidik. Misalnya. Penyidik tidak mengetahui bahwa “Menyampaikan pendapat dimuka umum” tidak memerlukan izin5. Penyidik “ngotot” bahwa memang diperlukan “izin”. Ketika diperlihatkan UU No. 9 Tahun 1998, barulah “penyidik” tidak ngotot lagi. Sungguh keterlaluan. DI alam reformasi, pengetahuan penyidik masih “tertinggal”.

Berangkat dari berbagai “cerita6” diatas, maka sudah ketahuan, memang terhadap Anwar Sadat dan Dedek Chaniago merupakan target yang memang harus “dijinakkan”. Dan hukum kemudian dijadikan alat kekuasaan untuk “membungkam”.

Tapi sungguh ironi. Di tengah reformasi, dimana Polri merupakan buah dari reformasi – setelah lepas dari ABRI, hukum masih sering digunakan sebagai alat kekuasaan. Namun mereka lupa, “membendung” aspirasi akan menyumbat demokrasi. Demokrasi seperti air. Terus mengalir. Di sumbat, akan mencari saluran lain. Dan itu tidak bisa dibendung.

Dan penulis berkeyakinan, harga yang terlalu mahal hanya “memenjarakan” seorang Anwar Sadat. Dan Mereka akan merasakan “penyelesalan” yang dalam ketika mengambil langkah keliru pada tanggal 29 Januari 2013.

J.E Sahetapy pernah mengingatkan “Emil Bruner menulis ”Lijden is bitter, maar onrecht-vaardig lijden is dubbel bitter” (menderita adalah pahit, tetapi menderita karena ketidakadilan adalah luar biasa sangat-sangat pahit atau kejam).


1Mengenai kasus tewasnya Angga memang sudah menjadi perhatian lama dari teman2 di Palembang. å
2Sebagai informasi awal saja, penulis pernah mendampingi 20 kasus masyarakat yang dikenal pasal ini
3
4 Lihat Soenarto Soerodibroto, SH didalam bukunya “KUHP dan KUHAP, dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1991, Hal. 105
5Secara prinsip antara izin dan “pemberitahuan” merupakan persoalan yang mendasar. Izin arti “pembolehan” dimana sebelumnya pada dasarnya tidak boleh. Sedangkan “pemberitahuan” tidak mempunyai konsweksi apapun. Maka apabila menggunakan literatur yang ada, dimana “izin” adalah pembolehan dimana esensi sebelumnya merupakan “tidak boleh” tidak tepat. “menyampaikan pendapat dimuka umum” pada esensinya adalah “kebebasan” yang dijamin oleh berbagai konvensi internasional. Sehingga tidak diperlukan izin. Makna ini yang diatur didalam UU No. 9 tahun 1998. UU ini lahir untuk menghapuskan pasal 510 KUHP, dimana pasal ini paling sering digunakan kepada kaum demonstran. Pasal 510 KUHP lebih dikenal dengan pasal “Lima Ribu Perak”. Karena adanya denda sebesar Lima Ribu Rupiah. Perlu dicatat bahwa pada masa lalu melalui petunjuk lapangan yang dikeluarkan oleh POLRI, KUHP pasal 510 pernah diberikan tafsir terlalu luas. Misalnya seminar dan lokakarya dikategorikan sebagai pertemuan dan pesta umum dan harus dimintakan izin terlebih dahulu kepada Polri. Padahal seminar dan lokakarya merupakan kegiatan ilmiah yang tidak perlu izin dari Polri, sebab merupakan implementasi dari kebebasan akademik yang dimiliki oleh masyarakat ilmiha. Bertitik tolak dari hal-hal tersebut maka pemerintah merekomendasikan agar masalah perizinan kegiatan masyarakat yang diatur dalam KUHP perlu ditinjau ulang. Namun dalam pelaksanaannya, pasal 510 yang sering digunakan untuk membubarkan pertemuan tanpa izin.
6Sebagai cerita, berbagai catatan yang disampaikan merupakan pengamatan subyektif terhadap pandangan penulis terhadap peristiwa diatas.