MEMBUNGKAM
KAMI ADALAH KESALAHAN TERBESAR
Oleh-Oleh
dari Palembang
Urgen..
Barusan jam 16.00 Sdr. Anwar Sadat (Walhi Sumsel)
ditangkap
polda dgn kondisi kepala pecah
Dedek
dgn leher luka dan 25 petani Sriwijaya lainnya ditangkap.
Demikian
isi short message service (sms) yang masuk ke Handphone pukul
18.29 wib tanggal 29 Januari 2013. Hampir sepuluh sms dengan kalimat
yang sama masuk ke HP penulis. Penulis kaget (walaupun dari dugaan
awal sudah diprediksi), peristiwa 29 Januari Kelabu memukul Anwar
Sadat. Hampir setengah jam, penulis memutar otak, apa yang
sesungguhnya terjadi. Walaupun penulis sudah menelpon DD Sineba
(Dewan Nasional Walhi, kebetulan lagi di Palembang), namun
rasa penasaran itu belum hilang. Rasa penasaran yang sungguh-sungguh
memerlukan jawaban yang tegas.
Pukul
18.00 wib, kemudian disepakati “harus segera” ke Palembang
untuk mencari jawaban pasti. Dan kemudian ditentukan siapa yang harus
pergi dan siapa yang kemudian mengorganisir aksi solidaritas. Yang
Pergi, saya, Wak Nick dan Sandi Gusdiyan (etek). Sedangkan yang
tinggal, Bedul dan Dwi untuk “mematangkan aksi”.
Kemudian
tim berangkat dari Jambi pukul 02.00 wib dan tiba di Palembang pukul
09.00 wib (setelah makan, istirahat bahkan tidur di jalan. Jarak
tempuh Palembang – Jambi +
280 km dengan waktu + 5
jam).
Setelah
mendapatkan informasi yang cukup, bertemu dengna teman-teman di
Palembang (termasuk
dengan DD Sineba – Dewan Nasional Walhi – yang kebetulan sedang
berada di Palembang),
mencoba menganalisis sedikit informasi yang kemudian dibandingkan
dengan “kemungkinan”
terjadi, maka pukul 13.00 wib penulis bersama-sama DD Sineba
mendatangi Anwar Sadat di Rumah Sakit Bhayangkara. Setelah memberikan
support dan meyakini resiko yang terjadi sebagai “orang
yang cukup diperhitungkan secara politik”,
maka kemudian penulis bersama-sama dengan DD Sineba menjemput
Direktur Eksekutif Nasional Walhi Abetnego Tarigan dan Mukri Priatna
(Manager Desk Bencana
Eknas Walhi). Saat
bersamaan juga datang Samsul Munir (Kontras).
Setelah bertemu dengan Anwar Sadat di Rumah Sakit Bhayangkara, maka
kemudian bersama-sama dengan Anwar Sadat ke Polda Sumsel.
Malam
hari kemudian, penulis menemani Direktur Walhi “berkoordinasi”
dengan teman-teman di Palembang, membangun aliansi taktis, membagi
peran, mengharapkan koordinasi ED Walhi Se-Sumbagsel untuk membantu
proses pengorganisasian Walhi Sumsel, memberikan dukungan moral dan
peran-peran yang harus dimainkan baik peran Eknas Walhi, Walhi
Sumsel, jaringan nasional maupun dukungan dari ED-ED Walhi
se-Sumbagsel. Pertemuan cukup lama sehingga “memakan”
energi yang besar sehingga beberapa kali pertemuan, penulis
“merasakan” beban dari dampak organisasi yang “dipukul”
oleh Polda Sumsel.
Keesokan
harinya, lagi-lagi diadakan “pertemuan” internal Walhi
dimana beberapa agenda telah disepakati. Seperti Eknas mempersiapkan
tenaga advokat dengan menunjuk Muhnur sebagai anggota tim Advokasi,
masing-masing ED Walhi juga mempersiapkan advokat untuk terlibat
dalam tim advokasi.
Setelah
dirasakan sudah “jelas” pembagian perannya, maka kemudian,
Direktur Eknas Walhi kemudian pulang ke Jakarta.
Pada
hari jumat, lagi-lagi Walhi Sumsel “mendapatkan” dukungan
“support” dari kedatangan “Uday – Direktur Walhi
Bangka Belitung” dan “Si Bejo – Direktur Walhi Lampung”.
Dukungan diberikan selain didasarkan “rasa sepenasib
sepenanggungan” juga didasarkan “wilayah” terdekat harus
memberikan dukungan fisik terhadap peristiwa yang terjadi. Tanpa
menghilangkan “beban” yang harus ditanggung bersama-sama,
keceriaan tidak pernah hilang, nada gurau hingga berbagai candaan
menghilangkan sejenak persoalan yang ada.
Pasal
170 KUHP
Dalam
rapat koordinasi dengan tim Advokat, maka kemudian ditetapkan TIM
ADVOKASI HUKUM DAN PENCARI FAKTA (TAHTA) CINTA MANIS OGAN ILIR. Tim
ini sebenarnya telah bekerja dalam advokasi-advokasi yang berkaitan
dengna konflik dengan PTPN VII (termasuk penembakkan Angga1).
Dalam tim ini selain terdiri dari advokat dari berbagai institusi
yang ada di Palembang seperti LBH Palembang, AMAN, berbagai
organisasi LBH, juga terdiri dari Advokat dari Eknas, Pil-Net,
Kontras dan Advokat-advokat yang “diutus” dari
masing-masing ED di sekitar Palembang. ED Walhi Lampung menyumbang 2
orang, ED Walhi Jambi menyumbang 3 orang dan ED Walhi Pekanbaru
menyumbang 1 orang (penulis mohon maaf apabila ada yang
terlewatkan. Tanpa mengurangi arti pentingnya berbagai dukungan,
berbagai nama-nama yang telah disebutkan berdasarkan ingatan dan
catatan singkat dari penulis).
Pada
rapat pertama, diadakan “bedah kasus” sehingga dapat
membangun strategi ke depan. Dugaan pertama (dari berbagai
informasi informal) didapatkan tuduhan terhadap ketiga orang
yaitu Anwar Sadar dan Dedek Chaniago yaitu pasal 160 KUHP dan Pasal
170 KUHP. Sedangkan Kamaluddin dituduh dengan pasal 351 KUHP. Dalam
“bedah kasus” sebenarnya (berdasarkan kronologis)
sungguh tidak tepat menerapkan pasal-pasal kepada teman-teman.
Pasal
160 KUHP merupakan salah satu pasal yang paling sering dikenakan
kepada para kaum kritis. Pasal
ini menerangkan tentang Penghinaan terhadap Presiden dan wakil
Presiden, penghinaan terhadap pemerintah yang sah dan hasutan
melakukan tindak pidana. Visi dan opini yang berbeda antara penguasa
dengan masyarakat akhirnya membawa penguasa menggunakan hukum pidana
sebagai premium remedium (senjata pamungkas).
Akibatnya
timbul persoalan baru mengenai abridging the freedom of opinion and
speech (pembatasan terhadap kebebasan menyatakan pendapat dan
berbicara). Ketentuan terhadap pasal 154 KUHP dan 160 KUHP sering
dipergunakan terhadap pihak-pihak yang pandangannya dianggap
berseberangan dengan penguasa. Sikap peradilan pidana terhadap
kegiatan politik praktis masih berada dalam area penciptaan
kekuasaan.
Hal
ini dialami oleh Ir. Soekarno tahun 1927 yang kemudian dalam nota
pembelaannya (Pleidoi) berjudul “INDONESIA MENGGUGAT”. Juga Lihat
kasus Pajubul Rahman (mahasiswa ITB) yang melakukan penghinaan
terhadap Menteri Dalam Negeri, Nuku Sulaiman ataupun Yenny Rossa
Damayanti dan kawan-kawannya yang melakukan demonstrasi menentang
berlakunya SDSB, PRD, AJI maupun Dr. Sri Bintang Pamungkas dalam
kasus di Dreslen, Jerman dan selebaran kartu lebaran
Pasal
160 KUHP menyebutkan
“Barang
siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya
melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, melawan pada
kekuasaan umum dengan kekerasan atau supaya jangan menurut peraturan
undang-undang atau perintah yang sah yang diberikan menurut peraturan
undang-undang, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun atau denda
Rp.4.500,-“
Maka
terdapat unsur (bestanddelen)” sebagai berikut :
Unsur
“barang siapa”
Unsur
“dimuka umum”
Unsur
“menghasut”
Unsur
“melakukan perbuatan melawan kekuasaan umum”
Unsur
“Dengan kekerasan/Tidak menurut peraturan yang berlaku”
Bahwa
unsur-unsur didalam pasal 160 KUHP, telah dipertimbangkan oleh MK
sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional),
dalam arti konstitusional sepanjang ditafsirkan sebagai delik
materiil. Pertimbangkan MK (legal reasing) adalah sebagai berikut :
- Didalam praktek, pasal ini lebih dikenal dengna pasal Hatzakai Artikelen (pasal-pasal penyebar kebencian).
- Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya dalam perkara permohonan Nomor 6/PUU-V/2007 mengutip pendapat Dr. Jayadi Damanik, SP.M.Si dalam pemeriksaan perkara permohonan pengujian Pasal 160 KUHP, yang diajukan oleh Dr. R. Panji Utomo dalam permohonan Nomor 6/PUU-V/2007 di Mahkamah Konstitusi menyatakan, “materi muatan Pasal 160 dan Pasal 161 KUHP juga diskriminatif karena memberikan privilege yang sangat berlebihan untuk melindungi kepentingan kekuasaan pemerintah, dan oleh karena itu bertentangan dengan prinsip equalitiy before the law. Hendaknya ditegaskan di sini bahwa ketentuan dalam Pasal 160 KUHP dan Pasal 161 KUHP yang membatasi HAM secara tidak disengaja mengurangi, menghalangi, membatasi, dan/atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang, dan oleh karena itu, tergolong melanggar HAM.”
- Bahwa Pasal 160 KUHP sebagaimana didalam asas lex certa, yaitu perbuatan yang hendak dilarang dalam hukum pidana harus dirumuskan dan disebutkan unsur-unsurnya secara terang, jelas dan tegas sehingga jelas maksud, tujuan serta batas-batas perbuatan yang hendak dilarang yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam praktik penegakan hukum pidana.
- Bahwa kualifikasi delik pidana yang dirumuskan dalam Pasal 160 KUHP adalah delik formal (Prof. dr. Wiryono Prodjodikoro,S.H. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika, halaman: 51) yang hanya dipersyaratkan terpenuhinya unsur perbuatan yang dilarang (strafbare handeling) tanpa mengakibatkan akibat dari suatu perbuatan. Namun didalam pertimbangannya, MK kemudian memberikan pertimbangan, bahwa pasal 160 KUHP merupakan delik materiil (conditionally constitutional) ( Putusan MK No. Nomor 7/PUU-VII/2009.)
- Apa yang dilakukan dan diperjuangkan oleh masyarakat Desa Pring Baru dan Desa Taba itu adalah menjalankan apa yang oleh Wetboek van Strafrecht Belanda disebut sebagai ”ongehoorzaamheid” yaitu menjalankan civil disobedience, ketidakpatuhan, dan dengan demikian melakukan perlawanan tanpa melakukan geweld dan gewelddaad;
- Para terdakwa bukan ketidakpatuhan terhadap kekuasaan yang sah, ongehoorzaamheid tegen het openbaar gezag, atau yang diterjemahkan ke dalam KUHP sebagai "jangan menurut peraturan undang-undang atau perintah yang sah" akan tetapi suatu tawaran alternatif sebagai bentuk perjuangan masyarakat Desa Pring Baru dan Desa Taba yang berhadapan dengan PTPN VII.
- Sedangkan menurut J.E. Sahetapy, kita harus dapat membedakan antara ”elementen” dan ”bestanddelen” dari suatu pasal. Pasal 160 KUHP/W.v.S jelas suatu ”repressive law” . Lebih lanjut, J.E mengatakan Pasal 160 adalah delik materiil kolonial ondanks ada ”smaad” atau ”opruien”. Pendapat ini kemudian menjadi Putusan MK No. Nomor 7/PUU-VII/2009.
- Sedangkan Dr. Rudi Satrio,S.H.,M.H., mengatakan Pasal ini yang termasuk dalam katagori "kejahatan Terhadap Ketertiban Umum (open bare orde)".
- Pengalaman sejarah perundang-undangan menunjukkan bahwa sejak zaman kolonial Belanda istilah tersebut sudah ada yaitu "openbare orde" "rust en orde". Dalam kenyataan istilah tersebut tidak jelas ukurannya. Suatu pengertian yang tidak terbatas dan sangat fleksibel (luwes) batas-batasnya. Kemudian yang jelas muncul adalah istilah tersebut dengan sewenang-wenang dipergunakan oleh pemerintah (penguasa) untuk melakukan tindakan pengekangan terhadap kemerdekaan menyatakan pendapat, kemerdekaan pers, dan kemerdekaan untuk mengkritik pada pemerintah (penguasa).
- Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa l’esprit de la loi atau the spirit of the law yaitu jiwa undang-undang dari Pasal 160 KUHP mengandung prinsip-prinsip penindasan yang berasal dari sistem kolonial Belanda, yang pada dasarnya bertujuan untuk menindas pers, opini para ahli, profesor, kaum pejuang yang mempunyai pendapat berbeda;
Sehingga
kemudian diyakini, sungguh-sungguh tidak tepat menerapkan pasal 160
KUHP. Dan kemudian “terbukti”, penyidik tidak menerapkan
ketentuan pasal 160 KUHP.
Setelah
membahas pasal 160 KUHP, kemudian dibahas pasal 170 KUHP. Pasal 170
KUHP juga merupakan pasal-pasal yang sering dikenakan kepada pejuang.
Jangan tanya berapa banyak yang harus dikenakan kepada para pejuang
seperti petani, buruh, mahasiswa. Dalam catatan sederhana saja,
pasal-pasal ini pernah dirasakan oleh masyarakat di Seluma, Bengkulu
yang menghabiskan energi ED Walhi Bengkulu2.
Pasal
170 ayat (1) Terdiri unsur-unsurnya (bestanddalen)
sebagai berikut:
1.
Unsur “barang siapa”
2.
Unsur “dengan sengaja”
3.
Unsur “Secara terang-terangan”
4.
Unsur “ Menggunakan kekerasan”
5.
Unsur “terhadap orang lain atau barang”
Unsur
“secara terang-terangan”
Menurut
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 10 K/Kr/1975
tanggal
17 Maret 19763,
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “openlijk”
dalam
naskah ash pasal 170 Wetboek van Strafrecht lebih tepat diterjemahkan
“secara
terang-terangan ‘istilah
mana mempunyai arti yang berlainan dengan “openbaar”
atau
“dimuka
umum “.
“secara
terang-terangan” berarti
tidak secara sembunyi, jadi tidak perlu dimuka umum, cukup apabila
tidak diperlukan apa ada kemungkinan orang lain dapat melihatnya.
Sedangkan menurut loge Raad 2 Maret 1908, dengan “secara
terang-terangan dan menggunakan kekerasan” diartikan
apa yang disebut “vis
publica” terhadap
orang atau barang4.
Unsur
“menggunakan kekerasan” (Geweld
Plegen).
Yang
dilarang dalam pasal ini ialah “melakukan kekerasan” sebagaimana
diatur didalam pasal 89. Menurut pasal 89 “melakukan kekerasan”
artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara
tidak sah.
Melakukan kekerasan dalam pasal ini bukan merupakan suatu alat atau daya upaya untuk mencapai sesuatu seperti halnya dalam pasal 146, 211, 211, akan tetapi merupakan suatu tujuan.
Melakukan kekerasan dalam pasal ini bukan merupakan suatu alat atau daya upaya untuk mencapai sesuatu seperti halnya dalam pasal 146, 211, 211, akan tetapi merupakan suatu tujuan.
Kekerasan
itu harus dilakukan “bersama-sama” artinya oleh sedikit-dikitnya
2 orang atau lebih. Orang yang hanya mengikuti dan tidak benar-benar
turut melakukan kekerasan tidak dapat turut dikenakan pasal ini.
Unsur”
Terhadap orang lain atau barang” (Tegenpersonen
of goderen)
Terjemahan
Tegen pelconen of goderen
dalam pasal 170 ayat (1) KUHP adalah
ditujukan terhadap orang-orang atau
terhadap barang-barang (rumusan
dalam bentuk Jamak); Yang
dimaksudkan barang-barang dalam unsur ini adalah:
-
Harta-harta kekayaan;
-
Barang bernyawa (binatang);
-
Barang-barang bergerak dan tidak bergerak
Ayat
(2)
1.
Unsur “Barang orang“;
2.
Unsur “Dengan sengaja“,
3.
Unsur “Melakukan penganiayaan“;
4.
Unsur “menyebabkan
matinya orang lain“;
Unsur
“Melakukan penganiayaan”
R.
Soesilo, UU ini tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan
penganiayaan (mishandeling).
Menurut Yurisprudensi, maka yang diartikan
dengan “penganiayaan” yaitu
“sengaja menyebabkan perasaan tidak enak
(penderitaan), rasa sakit atau luka atau
matinya orang lain “.
Semuanya ini harus dilakukan dengan “sengaja
dan tidak dengan
maksud yang patut melewati batas yang diizinkan “.
Penganiayaan
merupakan Tindak Pidana materiil (materieel
delict) Perbuatan yang menyebabkan
suatu akibat tertentu.
Pengertian
Penganiayaan menurut doktrin lebih luas dan pengertian dalam didalam
praktek hukum. Menurut doktrin, penganiayaan dilihat dan tujuan.
Orang tua atau guru yang memukul anak dalam rangka mendidik, atau
seorang dokter yang melukai pasein dalam rangka pelaksanaan operasi
untuk menyembuhkan suatu penyakit, tetap merupakan penganiayaan dan
tidak dipidannya mereka karena perbuatan itu berhubung adanya alasan
penghapus pidana dalam praktek.
Keadaan
ini merupakan syarat yang menghapuskan sifat
melawan hukum dan alasan/penyebab dari
tidak dipidananya guru atau orang tua maupun dokter yang melakukan
perbuatan tersebut; agak lain dengan memukul lawan dalam pertandingan
olah raga tinju atau karate dan sejenisnya, yang mengakibatkan rasa
sakit pada tubuh lawan. Perbuatan memukul pada contoh itu, kehilangan
sifat melawan hukum bukan terletak pada tujuan yang patut, melainkan
telah mendapatkan persetujuan dari lawannya.
Lain
halnya dengan pengertian menurut yurisprudensi. Adanya tujuan patut
yang hendak dicapai oleh suatu perbuatan yang disadari menimbulkan
rasa sakit atau luka dipandang sebagai syarat/unsur dan pengertian
penganiayaan. Sehingga perbuatan orang tua atau guru memukul muridnya
atau dokter melukai pasien bukan penganiayaan.
Rumusan
pasal 351 dibedakan menjadi (a) penganiayaan biasa; (b) penganiayaan
yang mengakibatkan luka berat (ayat 2); (c) penganiayaan yang
mengakibatkan kematian (ayat 3); (d) Penganiayaan yang merusak
kesehatan (ayat 4). Perbedaan ini didasarkan pada akibat dari
penganiayaan.
Penganiayaan
Biasa (gewone mishandeling).
Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit
(pijn)
atau luka (letsel)
pada tubuh orang lain atau mati.
- Yang dilarang pada pasal ini ialah :“melakukan kekerasan”. Apa yang dimaksudkan dengan “kekerasan” lihat catatan dalam pasal 89. kekerasan yang dilakukan ini biasanya terdiri dan “merusak barang” atau “penganiayaan”, akan tetapi dapat pula kurang dari pada itu; sudah cukup misalnya bila orang-orang melemparkan batu pada orang lain atau rumah, atau yang membuang-buang barang-barang dagangan, sehingga berserakan, meskipun tidak ada maksud yang tertentu untuk menyakiti orang atau merusak barang itu.
- “Melakukan kekerasan” dalam pasal ini bukan merupakan suatu alat atau daya upaya untuk mencapai sesuatu seperti halnnya dalam pasal 146, 211, 212 dan lain-Iainnya, akan tetapi merupakan suatu tujuan. Disamping itu tidak pula masuk kenakalan dalam pasal 489, penganiayaan dalam pasal 351 dan merusak barang dalam pasal 406 dan sebagainya.
- Kekerasan itu harus dilakukan “bersama-sama”, artinya oleh sedikit-dikitnya “dua orang atau lebih”. Orang-orang yang hanya mengikuti dan tidak benar-benar turut melakukan kekerasan, tidak dapat diturutkan pada pasal ini.
- Kekerasan itu harus ditujukan kepada “orang atau barang”. Hewan atau binatang masuk pula dalam pengertian barang. Pasal ini tidak membatasi, bahwa orang (badan) atau barang itu harus “kepunyaan orang lain”, sehingga milik sendiri masuk pula dalam pasal ini, meskipun tidak akan terjadi orang melakukan kekerasan terhadap diri atau barangnya sendiri sebagai tujuan; kalau sebagai alat atau daya-upaya untuk mencapai suatu hal, mungkin bisa juga terjadi.
- Kekerasan itu harus dilakukan “dimuka umum”, karena kejahatan ini memang dimasukkan kedalam golongan kejahatan ketertiban umum. “Dimuka umum” artinya ditempat publik dapat melihatnya.
Dalam
“bedah kasus” kemudian didasarkan kepada akibat (tindak
pidana materiil). Pertanyaan yang timbul apakah terhadap akibat
dari Anwar Sadat dan Dedek Chaniago telah “terjadi” kerusakan
(sehingga barang tidak dapat dipergunakan lagi) atau
mengakibatkan luka-luka disebabkan oleh Anwar Sadat dan Dedek
Chaniago (causalitet).
Dengan
melihat unsur pasal 170 KUHP dengan melihat akibat dari peristiwa
terjadi, maka dengan pertimbangan itu, kasus terhadap Anwar Sadat dan
Dedek Chaniago tidak “terlalu berat' Sehingga terjawab asumsi,
bahwa memang Anwar Sadat dan Dedek Chaniag memang merupakan “target”
yang harus “dijinakkan”.
Tuduhan
terakhir kepada Kamaluddin. Yaitu pasal 351 KUHP. Tanpa mengurangi
arti korban yang didapat dari pihak kepolisian, berbagai peristiwa
memang masih simpang siur. Apakah “seorang” Kamaluddin
“memang memukul (menganiaya Polisi) atau “melindungi
istri” yang diserang ? Apakah memang posisi “membahayakan”
sehingga Kamaluddin “harus” memukul ? Apakah fakta-fakta
ini tidak diputar balikkan oleh pihak kepolisian. Fakta-fakta yang
telah dipaparkan mengindikasikan bahwa memang “Kamaluddin”
tidak memungkinkan untuk memukul apabila tidak terdesak. Atau tidak
sehat dalam pikiran rasional, apabila “tanpa sebab (causalitet)”
Kamaluddin memukul. Apakah seimbang ? Pertanyaan itu apabila
disandingkan dengan kronologis “sungguh-sungguh” tidak
masuk akal.
Pemberitahuan
“bukan” izin
Pada
hari sabtu, tanggal 2 Februari 2013, dilakukan pemeriksaan terhadap
Anwar Sadat. Sedangkan terhadap Dedek Chaniago merupakan pertanyaan
lanjutan. Kamaluddin hanya diperiksa sebagai saksi. Untuk Anwar Sadat
sebanyak 33 pertanyaan. Dedek Chaniago 22 Pertanyaan.
Seluruh
pertanyaan-pertanyaan yang menjadi diskusi di internal tim advokasi
“terjawab” ketika dilakukan pemeriksaan terhadap Anwar
Sadat, Dedek Chaniago dan Kamaluddin. Dalam pemeriksaan, ternyata
“ketahuan”, penyidik tidak mengikuti perkembangan dunia
dan dinamika hukum. Selain itu, pengetahuan “konvensional”
yang hanya berkutat-kutat dengan pasal-pasal yang sering terjadi
“memaksa”, tim advokasi harus berdebat dengan penyidik.
Misalnya. Penyidik tidak mengetahui bahwa “Menyampaikan pendapat
dimuka umum” tidak memerlukan izin5.
Penyidik “ngotot” bahwa memang diperlukan “izin”.
Ketika diperlihatkan UU No. 9 Tahun 1998, barulah “penyidik”
tidak ngotot lagi. Sungguh keterlaluan. DI alam reformasi,
pengetahuan penyidik masih “tertinggal”.
Berangkat
dari berbagai “cerita6”
diatas, maka sudah ketahuan, memang terhadap Anwar Sadat dan Dedek
Chaniago merupakan target yang memang harus “dijinakkan”.
Dan hukum kemudian dijadikan alat kekuasaan untuk “membungkam”.
Tapi
sungguh ironi. Di tengah reformasi, dimana Polri merupakan buah dari
reformasi – setelah lepas dari ABRI, hukum masih sering
digunakan sebagai alat kekuasaan. Namun mereka lupa, “membendung”
aspirasi akan menyumbat demokrasi. Demokrasi seperti air. Terus
mengalir. Di sumbat, akan mencari saluran lain. Dan itu tidak bisa
dibendung.
Dan
penulis berkeyakinan, harga yang terlalu mahal hanya “memenjarakan”
seorang Anwar Sadat. Dan Mereka akan merasakan “penyelesalan”
yang dalam ketika mengambil langkah keliru pada tanggal 29 Januari
2013.
J.E
Sahetapy pernah mengingatkan “Emil Bruner menulis ”Lijden
is bitter, maar onrecht-vaardig lijden is dubbel bitter”
(menderita adalah pahit, tetapi
menderita karena ketidakadilan adalah luar biasa sangat-sangat pahit
atau kejam).
1Mengenai
kasus tewasnya Angga memang sudah menjadi perhatian lama dari teman2
di Palembang. å
2Sebagai
informasi awal saja, penulis pernah mendampingi 20 kasus masyarakat
yang dikenal pasal ini
4
Lihat
Soenarto Soerodibroto, SH didalam bukunya “KUHP
dan KUHAP, dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad”,
PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1991, Hal. 105
5Secara
prinsip antara izin dan “pemberitahuan” merupakan persoalan yang
mendasar. Izin arti “pembolehan” dimana sebelumnya pada dasarnya
tidak boleh. Sedangkan “pemberitahuan” tidak mempunyai konsweksi
apapun. Maka apabila menggunakan literatur yang ada, dimana “izin”
adalah pembolehan dimana esensi sebelumnya merupakan “tidak boleh”
tidak tepat. “menyampaikan pendapat dimuka umum” pada esensinya
adalah “kebebasan” yang dijamin oleh berbagai konvensi
internasional. Sehingga tidak diperlukan izin. Makna ini yang diatur
didalam UU No. 9 tahun 1998. UU ini lahir untuk menghapuskan pasal
510 KUHP, dimana pasal ini paling sering digunakan kepada kaum
demonstran. Pasal 510 KUHP lebih
dikenal dengan pasal “Lima Ribu Perak”. Karena adanya denda
sebesar Lima Ribu Rupiah. Perlu dicatat bahwa pada masa lalu melalui
petunjuk lapangan yang dikeluarkan oleh POLRI, KUHP pasal 510 pernah
diberikan tafsir terlalu luas. Misalnya seminar dan lokakarya
dikategorikan sebagai pertemuan dan pesta umum dan harus dimintakan
izin terlebih dahulu kepada Polri. Padahal seminar dan lokakarya
merupakan kegiatan ilmiah yang tidak perlu izin dari Polri, sebab
merupakan implementasi dari kebebasan akademik yang dimiliki oleh
masyarakat ilmiha. Bertitik tolak dari hal-hal tersebut maka
pemerintah merekomendasikan agar masalah perizinan kegiatan
masyarakat yang diatur dalam KUHP perlu ditinjau ulang. Namun dalam
pelaksanaannya, pasal 510 yang sering digunakan untuk membubarkan
pertemuan tanpa izin.
6Sebagai
cerita, berbagai catatan yang disampaikan merupakan pengamatan
subyektif terhadap pandangan penulis terhadap peristiwa diatas.