04 Februari 2013

opini musri nauli : izin atau pemberitahuan




Beberapa waktu yang lalu, ketika mendampingi dalam sebuah pemeriksaan, penulis tersentak, ketika seorang penyidik mempertanyakan “izin” demonstrasi. “Kekagetan” didasarkan, didalam alam rezim yang sudah terbuka dan demokratis seperti ini, paradigma masih “salah kaprah” dan cenderung melihat persoalan dari sudut pandang “kekuasaan” masih berparadigma orde baru.

Kekagetan bertambah, ketika “membicarakan” hal ikhwal “demonstrasi”, aparat penegak hukum tidak mengetahui peraturan yang berkaitan dengan demonstran. Tentu saja, apabila argumentasi tidak dikeluarkan, maka tentu saja akan “kemunduran” didalam melihat persoalan demonstrasi dari sudut pandang sempit kekuasaan.

Membicarakan “demonstrasi” tidak terlepas dari UU No. 9 Tahun 1998. Secara tegas limitatif, disampaikan, bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia”. Makna filosofi dari UU ini sebenarnya dengan tegas menyatakan “menyampaikan pendapat” adalah hak.

Dalam UU secara tegas sudah dinyatakan, yang dimaksudkan dengan “menyampaikan pendapat dimuka umumadalah “unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum dan atau mimbar bebas”

Dalam konsep hukum, membicarakan “hak” dengan padanan kata “right” artinya “kebebasan yang diberikan oleh hukum”. Bandingkan dengan konsep hukum “izin” dengan padanan kata “pembolehan”, maka apabila menggunakan literatur yang ada, dimana “izin” adalah “pembolehan” dimana esensi sebelumnya merupakan “tidak boleh”.
Dalam praktek penegakkan hukum, kata-kata “izin” dapat kita lihat didalam UU Kehutanan. Misalnya, pada “pokoknya” orang tidak boleh “mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan”, atau “menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan dan seterusnya. Maka “seseorang” dapat dijatuhi pidana apabila “mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan” atau “menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan. Namun, “seseorang” dibenarkan untuk “mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan, atau “menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan” apabila telah “ada izin”. Ini ditandai dengan kalimat “Secara tidak sah” atau kalimat “memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang
Dengan demikian, maka seseorang tidak dapat dipersalahkan apabila “mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan” secara “sah”. Atau “menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan” apabila “memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang

Sehingga membicarakan hak tidak diperlukan “izin”. Sebuah konsep hukum yang tidak tepat apabila “hak” disandingkan dengan kata-kata “izin”. Dengan merujuk kepada prinsip yang berbeda antara “izin” dan “hak” maka mempunyai konsekwensi hukum.

Izin memerlukan “persetujuan” dari pejabat yang “berwenang”, sedangkan hak tidak diperlukan “persetujuan dari manapun.

Makna ini yang diatur didalam UU No. 9 tahun 1998. UU ini lahir untuk menghapuskan pasal 510 KUHP, dimana pasal ini paling sering digunakan kepada kaum demonstran.

Pasal 510 KUHP lebih dikenal dengan pasal “Lima Ribu Perak”. Karena adanya denda sebesar Lima Ribu Rupiah. Perlu dicatat bahwa pada masa lalu melalui petunjuk lapangan yang dikeluarkan oleh POLRI, KUHP pasal 510 pernah diberikan tafsir terlalu luas. Misalnya seminar dan lokakarya dikategorikan sebagai pertemuan dan pesta umum dan harus dimintakan izin terlebih dahulu kepada Polri. Padahal seminar dan lokakarya merupakan kegiatan ilmiah yang tidak perlu izin dari Polri, sebab merupakan implementasi dari kebebasan akademik yang dimiliki oleh masyarakat ilmiha.

Dalam UU No. 9 Tahun 1998 kemudian “diatur”, “menyampaikan pendapat dimuka umum” harus dilakukan “pemberitahuan” secara tertulis. Makna kata-kata “pemberitahuan” sekedar konfirmasi adanya “menyampaikan pendapat dimuka umum”. Ini diperlukan agar pihak keamanan dapat “mengatur” rute demonstrasi yang hendak dilalui, “mengatur lalu lintas” dan sebagainya.

Dengan melihat paparan yang telah disampaikan, maka cara pandang terhadap kegiatan “menyampaikan pendapat dimuka hukum” harus berangkat dari UU No. 9 Tahun 1998. Bukan dari pandangan sempit yang berangkat dari paradigma orde baru sempit yang menganggap “demonstrasi' seperti kegiatan yang illegal dan ditakuti “mengganggu kekuasaan”.