Beberapa
waktu yang lalu, ketika mendampingi dalam sebuah pemeriksaan, penulis
tersentak, ketika seorang penyidik mempertanyakan “izin”
demonstrasi. “Kekagetan” didasarkan, didalam alam rezim
yang sudah terbuka dan demokratis seperti ini, paradigma masih “salah
kaprah” dan cenderung melihat persoalan dari sudut pandang
“kekuasaan” masih berparadigma orde baru.
Kekagetan
bertambah, ketika “membicarakan” hal ikhwal “demonstrasi”,
aparat penegak hukum tidak mengetahui peraturan yang berkaitan dengan
demonstran. Tentu saja, apabila argumentasi tidak dikeluarkan, maka
tentu saja akan “kemunduran” didalam melihat persoalan
demonstrasi dari sudut pandang sempit kekuasaan.
Membicarakan
“demonstrasi” tidak terlepas dari UU No. 9 Tahun 1998.
Secara tegas limitatif, disampaikan, “bahwa
kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi
manusia yang dijamin oleh Undang Undang Dasar 1945 dan Deklarasi
Universal Hak-hak Asasi Manusia”.
Makna filosofi dari UU ini sebenarnya dengan tegas menyatakan
“menyampaikan pendapat”
adalah hak.
Dalam
UU secara tegas sudah dinyatakan, yang dimaksudkan dengan
“menyampaikan pendapat dimuka umum”
adalah
“unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum
dan atau mimbar bebas”
Dalam
konsep hukum, membicarakan “hak”
dengan padanan kata “right”
artinya “kebebasan yang diberikan
oleh hukum”. Bandingkan dengan
konsep hukum “izin”
dengan padanan kata “pembolehan”,
maka apabila menggunakan literatur yang
ada, dimana “izin”
adalah “pembolehan” dimana
esensi sebelumnya merupakan “tidak
boleh”.
Dalam
praktek penegakkan hukum, kata-kata “izin”
dapat kita lihat didalam UU Kehutanan. Misalnya, pada “pokoknya”
orang
tidak boleh “mengerjakan dan
atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan”, atau
“menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam
hutan dan seterusnya. Maka
“seseorang”
dapat dijatuhi pidana apabila “mengerjakan
dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan”
atau “menebang pohon atau memanen
atau memungut hasil hutan di dalam hutan.
Namun, “seseorang”
dibenarkan untuk “mengerjakan dan
atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan,
atau “menebang pohon atau memanen
atau memungut hasil hutan di dalam hutan”
apabila telah “ada izin”.
Ini ditandai dengan kalimat “Secara
tidak sah” atau kalimat “memiliki
hak atau izin dari pejabat yang berwenang”
Dengan
demikian, maka seseorang tidak dapat dipersalahkan apabila
“mengerjakan dan atau menggunakan
dan atau menduduki kawasan hutan” secara
“sah”.
Atau “menebang pohon atau
memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan”
apabila “memiliki hak atau
izin dari pejabat yang berwenang”
Sehingga
membicarakan hak tidak diperlukan “izin”.
Sebuah konsep hukum yang tidak tepat apabila “hak”
disandingkan dengan kata-kata “izin”.
Dengan merujuk kepada prinsip yang berbeda antara “izin”
dan “hak”
maka mempunyai konsekwensi hukum.
Izin
memerlukan “persetujuan”
dari pejabat yang “berwenang”,
sedangkan hak tidak diperlukan “persetujuan
dari manapun.
Makna
ini yang diatur didalam UU No. 9 tahun 1998. UU ini lahir untuk
menghapuskan pasal 510 KUHP, dimana pasal ini paling sering digunakan
kepada kaum demonstran.
Pasal
510 KUHP lebih dikenal dengan pasal “Lima
Ribu Perak”. Karena adanya denda
sebesar Lima Ribu Rupiah. Perlu dicatat bahwa pada masa lalu melalui
petunjuk lapangan yang dikeluarkan oleh POLRI, KUHP pasal 510 pernah
diberikan tafsir terlalu luas. Misalnya seminar dan lokakarya
dikategorikan sebagai pertemuan dan pesta umum dan harus dimintakan
izin terlebih dahulu kepada Polri. Padahal seminar dan lokakarya
merupakan kegiatan ilmiah yang tidak perlu izin dari Polri, sebab
merupakan implementasi dari kebebasan akademik yang dimiliki oleh
masyarakat ilmiha.
Dalam
UU No. 9 Tahun 1998 kemudian “diatur”,
“menyampaikan pendapat dimuka umum” harus dilakukan
“pemberitahuan”
secara tertulis. Makna kata-kata “pemberitahuan”
sekedar konfirmasi adanya “menyampaikan
pendapat dimuka umum”. Ini
diperlukan agar pihak keamanan dapat “mengatur”
rute demonstrasi yang hendak dilalui, “mengatur
lalu lintas” dan sebagainya.
Dengan
melihat paparan yang telah disampaikan, maka cara pandang terhadap
kegiatan “menyampaikan pendapat
dimuka hukum” harus berangkat dari
UU No. 9 Tahun 1998. Bukan dari pandangan sempit yang berangkat dari
paradigma orde baru sempit yang menganggap “demonstrasi'
seperti kegiatan yang illegal dan ditakuti “mengganggu
kekuasaan”.