Sebuah
media massa mengabarkan tentang praktek poliandri di sebuah daerah di
Jambi. Peristiwa ini menarik perhatian selain berita ini merupakan
berita unik juga disampaikan analisis dari sudut pandang
“membenarkan” praktek Poliandri.
Dari
pernyataan yang disampaikan, ada beberapa “pelurusan”
sehingga yang disampaikan tidak ditangkap publik sebagai pembenaran.
Pertama. Pernyataan, persoalan ekonomi. Kedua. Persoalan tentang
poliandri.
Didalam
hukum nasional, sosial dan hukum adat di Jambi, praktis, praktek
poliandri tidak dibenarkan. Dalam hukum islam yang tidak membenarkan
“toleran” berkaitan dengan “kepastian” benih
siapa yang “bertanggungjawab” untuk mendapatkan segala hal
waris dari ayahnya. Belum lagi tanggung jawab terhadap harta-harta
dari ayahnya.
Dalam
wacana hukum nasional, praktek poliandri tidak dibenarkan karena
dapat dijatuhi dengan ancaman pasal 279 KUHP. Pasal 279 (1) KUHP
menegaskan “Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa
perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi
penghalang yang sah untuk itu. Sedangkan ayat (2) barang siapa
mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau
perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
Terjemahan
bebasnya, “seseorang” dapat dipersalahkan apabila
melakukan “perkawinan” sedangkan “diketahui”
pihak lain “masih terikat” perkawinan dengan pihak lain.
Dalam unsur yang “memberatkan”, adanya “penghalang”
perkawinan itu dilakukan karena “diketahui” masih ada
perkawinan dengan “pihak lain”. Dengan demikian, maka
hukum nasional terutama dalam ilmu hukum pidana, perkawinan merupakan
asas monogami.
Sehingga
“seseorang” yang masih terikat perkawinan “tidak
dibenarkan” untuk kawin lagi dengan pihak lain.
Dengan
menggunakan ukuran asas monogami, maka terhadap perkawinan yang
dilangsungkan “dimana salah satu terikat perkawinan”,
dapat dijatuhi pidana. Sehingga terhadap kasus poliandri dapat
diterapkan “sanksi pidana”.
Tentu
saja, karena unsur pasal ini merupakan delik aduan (klach delict),
maka saksi korban harus menjadi pelapor dari peristiwa ini.
Sementara
itu dalam praktek hukum adat, “menggauli” istri orang lain
termasuk kedalam kriteria “salah celik, salah tengok”. Dalam
bahasa sederhana, diterangkan, kriteria ini didasarkan, bahwa rumah
“seseorang” yang didalamnya ada seorang perempuan, harus
dilihat yang masuk rumah itu adalah suami dari seorang perempuan itu.
Apabila ada pandangan yang salah, maka “rumah itu harus
dibersihkan” karena dianggap sebagai “zinah”.
Apalagi “adanya” dua orang lelaki dalam satu rumah untuk
menggauli “seorang perempuan” sungguh tidak pantas
“dilihat” mata. Akan menimbulkan “gunjingan”
ataupun kehebohan. Sebuah “ketidakseimbangan” yang harus
diluruskan agar dapat kembali normal. Inilah yang kemudian dikenal
dengan istilah “salah celik, salah tengok”.
Dengan
menggunakan berbagai indikator baik hukum nasional maupun hukum adat
dan norma-norma sosial sehingga praktek poliandri tidak dapat
diterima dalam komunitas di Jambi
Baca : RUU Pornografi
Dimuat di Posmetro, 8 Februari 2013
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/14732-poliandri-dari-sudut-pandang-hukum.html.
Dimuat di Posmetro, 8 Februari 2013
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/14732-poliandri-dari-sudut-pandang-hukum.html.