08 Februari 2013

opini musri nauli : Poliandri dari sudut pandang hukum



Sebuah media massa mengabarkan tentang praktek poliandri di sebuah daerah di Jambi. Peristiwa ini menarik perhatian selain berita ini merupakan berita unik juga disampaikan analisis dari sudut pandang “membenarkan” praktek Poliandri.

Dari pernyataan yang disampaikan, ada beberapa “pelurusan” sehingga yang disampaikan tidak ditangkap publik sebagai pembenaran. Pertama. Pernyataan, persoalan ekonomi. Kedua. Persoalan tentang poliandri.

Didalam hukum nasional, sosial dan hukum adat di Jambi, praktis, praktek poliandri tidak dibenarkan. Dalam hukum islam yang tidak membenarkan “toleran” berkaitan dengan “kepastian” benih siapa yang “bertanggungjawab” untuk mendapatkan segala hal waris dari ayahnya. Belum lagi tanggung jawab terhadap harta-harta dari ayahnya.

Dalam wacana hukum nasional, praktek poliandri tidak dibenarkan karena dapat dijatuhi dengan ancaman pasal 279 KUHP. Pasal 279 (1) KUHP menegaskan “Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu. Sedangkan ayat (2) barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.

Terjemahan bebasnya, “seseorang” dapat dipersalahkan apabila melakukan “perkawinan” sedangkan “diketahui” pihak lain “masih terikat” perkawinan dengan pihak lain. Dalam unsur yang “memberatkan”, adanya “penghalang” perkawinan itu dilakukan karena “diketahui” masih ada perkawinan dengan “pihak lain”. Dengan demikian, maka hukum nasional terutama dalam ilmu hukum pidana, perkawinan merupakan asas monogami.

Sehingga “seseorang” yang masih terikat perkawinan “tidak dibenarkan” untuk kawin lagi dengan pihak lain.

Dengan menggunakan ukuran asas monogami, maka terhadap perkawinan yang dilangsungkan “dimana salah satu terikat perkawinan”, dapat dijatuhi pidana. Sehingga terhadap kasus poliandri dapat diterapkan “sanksi pidana”.

Tentu saja, karena unsur pasal ini merupakan delik aduan (klach delict), maka saksi korban harus menjadi pelapor dari peristiwa ini.

Sementara itu dalam praktek hukum adat, “menggauli” istri orang lain termasuk kedalam kriteria “salah celik, salah tengok”. Dalam bahasa sederhana, diterangkan, kriteria ini didasarkan, bahwa rumah “seseorang” yang didalamnya ada seorang perempuan, harus dilihat yang masuk rumah itu adalah suami dari seorang perempuan itu. Apabila ada pandangan yang salah, maka “rumah itu harus dibersihkan” karena dianggap sebagai “zinah”. Apalagi “adanya” dua orang lelaki dalam satu rumah untuk menggauli “seorang perempuan” sungguh tidak pantas “dilihat” mata. Akan menimbulkan “gunjingan” ataupun kehebohan. Sebuah “ketidakseimbangan” yang harus diluruskan agar dapat kembali normal. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah “salah celik, salah tengok”.

Dengan menggunakan berbagai indikator baik hukum nasional maupun hukum adat dan norma-norma sosial sehingga praktek poliandri tidak dapat diterima dalam komunitas di Jambi

Baca : RUU Pornografi

Dimuat di Posmetro, 8 Februari 2013

http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/14732-poliandri-dari-sudut-pandang-hukum.html.