Lagi-lagi
MK mengabulkan permohonan para pihak dalam mengadili perkara UU Kehutanan (Judicial reviuw). Setelah sebelumnya
heboh yang memutuskan pasal 1 ayat (4) UU No. 41 Tahun 1999, MK kemudian pasal
4 ayat (3) UU Kehutanan. Terlepas dari perdebatan dan substansi yang telah
diputuskan oleh MK, beberapa catatan yang disampaikan oleh MK menarik untuk
memperkaya kita mengenai pemahaman konsep “Hak
menguasai negara” dalam rumusan pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Putusan
dalam perkara Nomor 34/PUU-IX/2011
kembali menegaskan putusan MK yang berkaitan dengan “hak menguasai negara”. Sebagaimana didalam berbagai pertimbangan
yang berkaitan dengan “hak menguasai
negara”, putusan MK Nomor
34/PUU-IX/2011 didasarkan kepada Mahkamah dalam Putusan Nomor
001-021-022/PUU-I/2003 yang menegaskan “perkataan “dikuasai oleh negara”
haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas
yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia
atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian
kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumbersumber kekayaan
dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945
memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan
tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan
(beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Perspektif konstitusi didalam melihat dan memandang
hutan dapat dilihat dalam pertimbangan MK (legal reasioning) yang
menganggap bahwa “negara harus mengatur dan mengurus segala sesuatu yang
berkaitan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, menetapkan kawasan hutan dan
atau mengubah kawasan hutan dengan tujuan diurusdan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan
bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia,
baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.
Putusan
MK juga didasarkan kepada Putusan Nomor
45/PUU-IX/2011, yang menegaskan “Bahwa
dalam suatu negara hukum, pejabat administrasi negara tidak boleh berbuat
sekehendak hatinya, akan tetapi harus bertindak sesuai dengan hukum dan
peraturan perundang-undangan, serta tindakan berdasarkan freies Ermessen
(discretionary powers). Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk
dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan
berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan
peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan
otoriter. Penunjukan kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat
diprediksi, tidak tiba-tiba, bahkan harus direncanakan, dan karenanya tidak
memerlukan tindakan freies Ermessen (discretionary powers). Tidak seharusnya
suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan
tetap, menguasai hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui
penunjukan”.
Yang
menarik adalah bahwa pertimbangan Putusan Nomor 32/PUU-VIII/2010 juga menjadi
sandaran putusan Nomor 34/PUU-IX/2011.
Didalam pertimbangan putusan MK ditegaskan “penggunaan kata “dengan memperhatikan”
dalam Pasal 10 huruf b UU 4/2009 sebenarnya memiliki makna imperatif
yang menegaskan bahwa Pemerintah, saat menetapkan WP, berkewajiban
menyertakan pendapat masyarakat terlebih dahulu sebagai bentuk fungsi
kontrol terhadap Pemerintah untuk memastikan dipenuhinya hak-hak
konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, mempunyai hak
milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara
sewenang-wenang oleh siapa pun [vide Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945].
Dengan melihat rumusan pertimbangan yang digunakan,
maka MK kemudian kembali “menegaskan” hak menguasai negara yang
dirumuskan “kewenangan Pemerintah menetapkan suatu kawasan adalah salah satu
bentuk “penguasaan negara atas bumi dan air yang didasarkan kepada ketentuan
hukum dan memperhatikan hak-hak masyarakat terlebih dahulu termasuk hak hak
masyarakat tradisional, hak milik, atau hak-hak lainnya, maka pemerintah berkewajiban untuk
melakukan penyelesaian terlebih dahulu secara adil dengan para pemegang hak.
MK didalam putusannya, selain UU Kehutanan
hanya mengindahkan hak masyarakat hukum adat, padahal seharusnya juga memperhatikan hak-hak atas tanah yang dimiliki
oleh masyarakat, sebagaimana
ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan. MK kemudian menegaskan dalam wilayah tertentu dapat saja terdapat
hak yang telah dilekatkan atas tanah, seperti hak milik, hak guna bangunan, hak
guna usaha, dan hak-hak lainnya atas tanah. Hak-hak yang demikian harus
mendapat perlindungan konstitusional berdasarkan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal
28H ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu, penguasaan hutan oleh negara harus juga
memperhatikan hak- hak yang demikian selain hak masyarakat hukum adat yang
telah diakui.
Dengan
melihat rumusan pertimbangan MK, maka MK kembali menegaskan, tentang hak
menguasai negara dan hak perseorangan sebagai identitas yang khas yang menjadi
kepastian hukum terhadap hak. Putusan ini menurut penulis merupakan jalan
tengah sehingga putusan MK yang tetap menganggap pasal ini tidak bertentangna
dengan konstitusi namun harus diberi tafsiran konstitusional atau norma
bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional)
Catatan
penting selanjutnya adalah, MK kembali berpihak kepada kepentingan dan
pengakuan hak-hak perseorangan vis hak menguasai negara. Rumusan pasal 33 ayat
(3) UUD 1945 sebagai ciri khas dari negara sosialisme Indonesia, haruslah
diletakkan dengan konteksnya.
Fugsi
MK menjadi lembaga penyeimbang sesuai dengan prinsip check and balances, menjadi
penjamin terpenuhinya hak konstitusional warganegara serta melindungi
warganegara dari UU yang dapat menimbulkan kerugian konstitusional, sebagai
penjaga konstitusi (the guardian of constitution) sekaligus melekat
sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of constitution)
berhasil melewati periode genting dalam tarik menarik antara Hak menguasai
negara disisi lain dan penghormatan dan perlindungan hak perseorangan di sisi
lain. Dalam berbagai putusan MK baik yang berkaitan dengan hak menguasai negara
dan penghormatan hak perseorangan telah meletakkan pondasi penting dari
kesewenang-wenangan negara (onrechtmatig
overdaad). Pondasi sengaja diletakkan oleh MK dan MK tetap konsisten dengan
berbagai putusannya (yang dapat dilihat dari berbagai pertimbangan MK).
Dari
ranah inilah, penulis berkeyakinan, MK telah menjalankan tugasnya sebagai
penjaga konstitusi (the guardian of constitution) sekaligus melekat
sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of constitution).
Baca : Kekeliruan menafsirkan "alat bukti", "barang bukti" dalam perkara pidana
Dimuat di Harian Posmetro, 20 Juli 2012
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/7254-catatan-hukum-putusan-mk-tentang-kehutanan.html
Dimuat di Harian Posmetro, 20 Juli 2012
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/7254-catatan-hukum-putusan-mk-tentang-kehutanan.html