Seakan-akan belum lepas
“penasaran” kita terhadap meninggalnya Taufik Kemas, Ketua MPR-RI
akhir pekan yang lalu. Penasaran bukan disebabkan penyebab
meninggalnya. Tapi “penasaran” disebabkan, mengapa begitu
“agungnya” penghormatan kepada Taufik Kemas. Apakah karena
“semata-mata” Ketua MPR-RI, sebagai lembaga yang paling tinggi
(dahulu kita mengenal sebagai lembaga tertinggi negara. Namun dengan
amandemen UUD 1945, kita kemudian mengenal sebagai lembaga tinggi
negara).
Tidak. Tidak sesederhana
begitu. Pasti ada pekerjaan besar yang ditinggalkan sehingga kita
meyakini, peristiwa “pengantaran” terakhir terhadap Taufik Kemas
merupakan sebuah prestasi besar.
Sebagai “penggagas”
Empat Pilar kebangsaan, harus diakui, ide ini tidaklah orisinal.
Empat pilar kebangsaan sudah jauh didiskusikan para perumus
kemerdekaan (founding father) tahun 1945. bahkan gagasan tentang itu
sudah sering dilihat berbagai dokumen sejarah bangsa. Baik dalam
tulisan-tulisan pemimpin bangsa, juga dalam diskusi-diskusi kampus
para pemimping bangsa.
Namun disaat tumbangnya
Soeharto, ide-ide in sempat hilang dan kemudian tenggelam dalam
pusaran intrik politik yang silih berganti. Baik karena pergantian
rezim maupun intrik-intrik politik yang sudah mengancam disinegrasi
bangsa.
Dalam kegamangan publik,
dimana tidak ada pemimpin yang bisa diteladani, para pemimpin sibuk
berjumplitan untuk menyelamatkan gerbong politik maupun politik
identitas, tiba-tiba kita kemudian dikabarkan “pemurnian
(reintroduksir)” nilai-nilai yang digagas oleh MPR-RI. Kita
“dibangunkan” dari mimpi buruk. Kita diberi harapan. Kita diberi
tongkat. Kita diberi suluh. Kita diberi kabar akan kembali kepada
identitas sebagai manusia Indonesia.
Kabar, tongkat, harapan,
suluh membuat kita “tersentak”. Kita menjadi malu akan identitas
kita. Kita kemudian menjadi bangkit dan kembali bangga menjadi rakyat
Indonesia. Bangga menjadi bangsa Indonesia.
Dalam berbagai pertemuan
yang penulis hadiri, kesan kuat yang disampaikan oleh MPR-RI membuat
“harga diri” kita berbangsa menjadi bangkit. Harga diri menjadi
terbangun.
Dari empat pilar seperti
Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tungkal Ika dan Negara Kesatua, harus
diakui, semuanya adalah karya-karya orisinal putra-putra terbaik di
Indonesia. Sudah banyak hasil kajian, tulisan yang meletakkan empat
pilar sebagai karya orisinal yang membuat Indonesia menjadi begitu
berbeda dengan negara-negara lain.
Walaupun menempati
sebagai negara mayoritas Islam terbesar di dunia, namun Agama Islam
tidaklah menjadi agama resmi negara. Bahasa Arab tidak menjadi bahasa
resmi negara. Bahkan Indonesia sendiri bukanlah negara islam.
Yang menarik penulis dari
empat pilar yang disampaikan oleh MPR-RI, penulis tertarik untuk
melihat Pancasila sebagai kajian untuk mendiskusikan gagasan yang
disampaikan oleh MPR-RI.
Sila-sila didalam Pancasila merupakan
Nilai yang menjadi pegangan dan dihormati masyarakat,
Nilai yang terkandung didalam didalam sila-sila Pancasila menurut Ajaran Hukum Murni hipotesis yuridis yang disebutnya Grundnorm.
Grundnorm diisi dengan
Pancasila dan Orde Reformasi diisi dengan Proklamasi 17 Agustus 1945.
Grundnorm yang berada di “atas“ norma-norma hukum positif
merupakan daya tarik dan sekaligus krisis bagi Ajaran Hukum Murni di
kemudian hari. Masa ini dihiasi dengan munculnya Ajaran Hukum Murni
(Reine Rechtslehre) dari Hans Kelsen yang mendefinisikan Ajaran Hukum
Murni sebagai Teori Hukum Positif yang objeknya adalah hukum positif.
Berbagai istilah
digunakan oleh Hans Kelsen guna menamai Teori Hukum Positif seperti
Ilmu Hukum Normatif dan Teori Juristik yang sebangun struktur
argumentasinya. Sikap yang diambil Hans Kelsen adalah pemurnian
“hukum” dari kepentingan-kepentingan di luar hukum seperti
politik, keadilan, ideologi dan seterusnya. Hukum merupakan teknik
sosial yang spesifik dengan objek hukum positif.
Nilai yang terkandung didalam Pancasila dalam Teori stufenbau, menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma hukum yang paling dasar (grundnorm) bentuknya tidak kongkrit (abstrak)
Melalui grundnorm ini semua peraturan hukum disusun dalam satu-kesatuan. Grundnorm merupakan sumber nilai bagi adanya sistem hukum, Grundnorm merupakan norma hukum tertinggi dalam Negara. Dibawah grundnorm terdapat norma-norma hukum yang tingkatannya lebih rendah dari grundnorm tersebut. Karena Pancasila ada dalam konstitusi (UUD 1945), maka berdasarkan stufenbau der rechtstheorie (teori pertingkatan hukum) Hans Kelsen, Pancasila berkedudukan sebagai grundnorm (norma dasar). Grundnorm adalah kaidah tertinggi, fundamental, dan menjadi inti (kern) setiap tatanan hukum dan negara. Grundnorm, disebut juga staas grundnorm, berada di atas Undang-Undang Dasar. Dalam ajaran mazhab sejarah hukum yang dipelopori Friedrich Carl von Savigny danbertitik tolak pada volksgeist (jiwa bangsa), Pancasila dapat digolongkan sebagai volksgeist bangsa Indonesia
Dengan menggunakan berbagai pendekatan, maka menurut Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, Nilai-nilai yang diajarkan dikenal sebagai ajaran nilai (waardenleer)
Dengan pendekatan itulah, makanya ide MPR-RI dalam pikiran Taufik Kemas kemudian menjadi relevan dari konteks Indonesia kekinian. Sehingga tidak salah kemudian, kepergian Taufik Kemas “mengingatkan” kebesaran penggalian nilai-nilai Pancasila sebagai identitas orang Indonesia.