13 Juni 2013

opini musri nauli : TAUFIK KEMAS DAN PANCASILA


Seakan-akan belum lepas “penasaran” kita terhadap meninggalnya Taufik Kemas, Ketua MPR-RI akhir pekan yang lalu. Penasaran bukan disebabkan penyebab meninggalnya. Tapi “penasaran” disebabkan, mengapa begitu “agungnya” penghormatan kepada Taufik Kemas. Apakah karena “semata-mata” Ketua MPR-RI, sebagai lembaga yang paling tinggi (dahulu kita mengenal sebagai lembaga tertinggi negara. Namun dengan amandemen UUD 1945, kita kemudian mengenal sebagai lembaga tinggi negara).


Tidak. Tidak sesederhana begitu. Pasti ada pekerjaan besar yang ditinggalkan sehingga kita meyakini, peristiwa “pengantaran” terakhir terhadap Taufik Kemas merupakan sebuah prestasi besar.

Sebagai “penggagas” Empat Pilar kebangsaan, harus diakui, ide ini tidaklah orisinal. Empat pilar kebangsaan sudah jauh didiskusikan para perumus kemerdekaan (founding father) tahun 1945. bahkan gagasan tentang itu sudah sering dilihat berbagai dokumen sejarah bangsa. Baik dalam tulisan-tulisan pemimpin bangsa, juga dalam diskusi-diskusi kampus para pemimping bangsa.

Namun disaat tumbangnya Soeharto, ide-ide in sempat hilang dan kemudian tenggelam dalam pusaran intrik politik yang silih berganti. Baik karena pergantian rezim maupun intrik-intrik politik yang sudah mengancam disinegrasi bangsa.

Dalam kegamangan publik, dimana tidak ada pemimpin yang bisa diteladani, para pemimpin sibuk berjumplitan untuk menyelamatkan gerbong politik maupun politik identitas, tiba-tiba kita kemudian dikabarkan “pemurnian (reintroduksir)” nilai-nilai yang digagas oleh MPR-RI. Kita “dibangunkan” dari mimpi buruk. Kita diberi harapan. Kita diberi tongkat. Kita diberi suluh. Kita diberi kabar akan kembali kepada identitas sebagai manusia Indonesia.

Kabar, tongkat, harapan, suluh membuat kita “tersentak”. Kita menjadi malu akan identitas kita. Kita kemudian menjadi bangkit dan kembali bangga menjadi rakyat Indonesia. Bangga menjadi bangsa Indonesia.

Dalam berbagai pertemuan yang penulis hadiri, kesan kuat yang disampaikan oleh MPR-RI membuat “harga diri” kita berbangsa menjadi bangkit. Harga diri menjadi terbangun.

Dari empat pilar seperti Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tungkal Ika dan Negara Kesatua, harus diakui, semuanya adalah karya-karya orisinal putra-putra terbaik di Indonesia. Sudah banyak hasil kajian, tulisan yang meletakkan empat pilar sebagai karya orisinal yang membuat Indonesia menjadi begitu berbeda dengan negara-negara lain.

Walaupun menempati sebagai negara mayoritas Islam terbesar di dunia, namun Agama Islam tidaklah menjadi agama resmi negara. Bahasa Arab tidak menjadi bahasa resmi negara. Bahkan Indonesia sendiri bukanlah negara islam.

Yang menarik penulis dari empat pilar yang disampaikan oleh MPR-RI, penulis tertarik untuk melihat Pancasila sebagai kajian untuk mendiskusikan gagasan yang disampaikan oleh MPR-RI.

Sila-sila didalam Pancasila merupakan Nilai yang menjadi pegangan dan dihormati masyarakat,

Nilai yang terkandung didalam didalam sila-sila Pancasila menurut Ajaran Hukum Murni hipotesis yuridis yang disebutnya Grundnorm.

Grundnorm diisi dengan Pancasila dan Orde Reformasi diisi dengan Proklamasi 17 Agustus 1945. Grundnorm yang berada di “atas“ norma-norma hukum positif merupakan daya tarik dan sekaligus krisis bagi Ajaran Hukum Murni di kemudian hari. Masa ini dihiasi dengan munculnya Ajaran Hukum Murni (Reine Rechtslehre) dari Hans Kelsen yang mendefinisikan Ajaran Hukum Murni sebagai Teori Hukum Positif yang objeknya adalah hukum positif.

Berbagai istilah digunakan oleh Hans Kelsen guna menamai Teori Hukum Positif seperti Ilmu Hukum Normatif dan Teori Juristik yang sebangun struktur argumentasinya. Sikap yang diambil Hans Kelsen adalah pemurnian “hukum” dari kepentingan-kepentingan di luar hukum seperti politik, keadilan, ideologi dan seterusnya. Hukum merupakan teknik sosial yang spesifik dengan objek hukum positif.

Nilai yang terkandung didalam Pancasila dalam Teori stufenbau, menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma hukum yang paling dasar (grundnorm) bentuknya tidak kongkrit (abstrak)

Melalui grundnorm ini semua peraturan hukum disusun dalam satu-kesatuan. Grundnorm merupakan sumber nilai bagi adanya sistem hukum, Grundnorm merupakan norma hukum tertinggi dalam Negara. Dibawah grundnorm terdapat norma-norma hukum yang tingkatannya lebih rendah dari grundnorm tersebut. Karena Pancasila ada dalam konstitusi (UUD 1945), maka berdasarkan stufenbau der rechtstheorie (teori pertingkatan hukum) Hans Kelsen, Pancasila berkedudukan sebagai grundnorm (norma dasar). Grundnorm adalah kaidah tertinggi, fundamental, dan menjadi inti (kern) setiap tatanan hukum dan negara. Grundnorm, disebut juga staas grundnorm, berada di atas Undang-Undang Dasar. Dalam ajaran mazhab sejarah hukum yang dipelopori Friedrich Carl von Savigny danbertitik tolak pada volksgeist (jiwa bangsa), Pancasila dapat digolongkan sebagai volksgeist bangsa Indonesia

Dengan menggunakan berbagai pendekatan, maka menurut Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, Nilai-nilai yang diajarkan dikenal sebagai ajaran nilai (waardenleer)

Dengan pendekatan itulah, makanya ide MPR-RI dalam pikiran Taufik Kemas kemudian menjadi relevan dari konteks Indonesia kekinian. Sehingga tidak salah kemudian, kepergian Taufik Kemas “mengingatkan” kebesaran penggalian nilai-nilai Pancasila sebagai identitas orang Indonesia.