06 Juni 2013

ATRIBUT DAN PEMILU

Tiba-tiba dada ini seakan-akan sesak. Spanduk dan baliho bertebatan sepanjang perjalanan. Dimulai dengan tangan terkatup didada hingga tangan terkepal ke atas.


Ya. Kita menjelang memasuki Pemilu 2014. Apabila tidak ada aral melantang, Pemilu dilaksanakan
Pemilu legislatif dilaksanakan 9 April 2014 kemudian diteruskan Pemilu Presiden/Wakil Presiden.
Namun dada ini sudah sesak. Belum lagi ditetapkan Daftar Pencalonan Anggota Legislatif oleh KPU, sudah bertebaran baliho, spanduk, umbul ataupun berbagai atribut sepanjang perjalanan. Entah dengan alasan hendak sosialisasi Nomor urut Partai, para kandidate anggota Parlemen “seakan-akan” berlomba hendak “memperkenalkan diri”.

Kata-katanya mulai dari “bombastis” seperti “memperjuangkan kepentingan rakyat”, “menjalankan amanah rakyat” hingga kata-kata biasa, datar seperti “teruskan perjuangan rakyat”, “mohon doa restu”, “yang muda memimpin”.

Melihat spanduk, baliho dan berbagai atribut lainnya, maka sudah dipastikan semangat untuk memperkenalkan diri dilatar belakangi idiom-idiom partai. Partai-partai yang mengusung nasionalis tentu saja menawarkan simbol-simbol nasionalis. Maka kata-kata seperti “rakyat”, “kepentingan rakyat” merupakan tema yang paling sering dikumandangkan. Begitu juga sebaliknya. Partai yang berlatar belakang islam menggunakan kata-kata seperti “Mohon doa restu”, “menjalankan amanah rakyat”, “Beri kepercayaan kepada kami, Insya allah amanat bisa ditunaikan”.

Begitu juga warna-warna partai begitu mendominasi. Partai yang menggunakan warna merah, maka sudah dipastikan akan diusung para kandidate nasionalis yang menggunakan kata-kata “rakyat”. Partai Islam yang menggunakan warna hijau menggunakan kata-kata “Amanah”, “mohon doa restu”, insya allah”.

Kandidate yang berlatar belakang nasionalis kebanyakan “mengepalkan tangan”. Sedangkan kandidate partai islam, selalu dengan tangan terkatup didada.

Seakan-akan” belum cukup. Untuk memperkenalkan diri, selain menuliskan namanya secara lengkap, biasanya dengan background gambar tokoh terkenal. Dimulai dari Soekarno, Pimpinan Nasional, tokoh-tokoh berpengaruh. Bahkan banyak kandidate juga memasang photo Kepala Daerah.

Ada juga yang memasung photo orang tuanya untuk menegaskan “siapa dirinya'.

Sementara kandidate yang sudah terkenal dan melanjutkan periode jabatan anggota parlemen selanjutnya, selalu mencantumkan “pekerjaan” yang sudah dilakukan. Lengkap dengan gambar pemberian pupuk atau alat-alat pertanian. Dan ditambahi dengan kata-kata seperti “melanjutkan”, “kami tidak berjanji, kami memberikan bukti'.

Pemilu selalu memberikan harapan kepada rakyat terhadap proses demokrasi yang tengah berlangsung. Pemilu merupakan sarana yang effekti untuk mengukur “apakah” rakyat memberikan penilaian kinerja partai atau sedang melakukan “penghukuman” terhadap partai. Pemilu merupakan sarana demokrasi yang modern untuk memberikan kekuasaan kepada partai untuk melakukan perubahan-perubahan di negara.

Pemilu diharapkan akan memberikan harapan kepada rakyat.

Tanpa mengurangi semangat untuk membangun negara yang tengah dilakukan oleh Partai dan para kandidate, sudah semestinya, tempat-tempat pemasangan spanduk, baliho, umbul-umbul disediakan tempat yang “enak” dilihat. Sudah semestinya Pemilu merupakan “pesta demokrasi” yang bisa dirasakan rakyat.

Pemilu jangan “kehilangan” semangat kepada rakyat untuk memilih di kotak suara. Sudah semestinya, cara-cara yang benar dan baik diperlukan untuk “meyakini” rakyat agar memilih pada pemilu. Tidak mengambil ruang publik untuk melihat keindahan kota tanpa dipengaruhi oleh berbagai baliho, spanduk ataupun umbul-umbul yang sesak dan “memaksa” kita harus melihatnya.