13 Juni 2013

opini musri nauli : MEMBACA POLITIK YANG (tidak) MEMBINGUNGKAN



Hiruk pikuk kenaikan BBM sudah masuk pilihan yang membingungkan. Menolak kenaikan BBM bisa saja ditafsirkan “ikut gerbong” politik Partai oposisi yang menolak BBM. Menyetujui kenaikan BBM dapat saja ditafsirkan “gerbong” partai koalisi Setgab.

Namun bagaimana “”menafsirkan” apabila kita masuk kedalam gerbong politik yang menolak kenaikan BBM tapi para “utusan” Partai masih duduk menjadi Menteri.

Issu itu yang menjadi issu terpanas menjelang pengumuman kenaikan BBM tanggal 17 Juni 2013.

Sebagai Partai yang tergabung di koalisi Pemerintahan, posisi PKS memang menarik untuk didiskusikan. Di satu sisi (tanpa mempengaruhi sikap politik PKS yang tetap kritis terhadap agenda-agenda pemerintahan), sikap PKS menolak kenaikan BBM merupakan “investasi” politik yang dapat dituai menjelang pemilu 2014. Penolakan PKS terhadap issu kenaikan BBM tahun 2011 membuat PKS bersama-sama dengan partai-partai lain dalam barisan oposisi menuai dukungan dari publik.

Langkah “jitu” PKS merupakan salah satu issu penting setelah berhasil mengusung issu Century dan pembentukan Panja Mafia Pajak.


Namun langkah PKS juga dipandang “tidak sejalan” dengan langkah koalisi Setgab. Manuver PKS dianggap sebagai langkah yang keluar dari code of conduct. Aturan main di Setgab.

Entah berapa banyak petinggi partai dalam barisan Setgab yang menghendaki agar PKS “permisi” dan keluar dari koalisi setgab. Namun jawaban yang disampaikan oleh PKS tidak dapat menegaskan posisi yang hendak dibangun oleh PKS.

Yang paling teranyar setelah “didesak-desak”, PKS malah menyerahkan kepada Presiden untuk menentukan sikap terhadap menteri-menteri yang berasal dari PKS. http://tajuk.co/2013/06/parpol-tak-punya-kewenangan-tarik-menteri/

Hak Preogratif Presiden

Dalam konstitusi, memang ditegaskan, Menteri adalah pembantu Presiden. Pengangkatan dan pemberhentian Presiden merupakan hak Presiden. Kriteria ini merupakan perwujudan dari sistem pemerintahan Presidentiil.

Namun yang sering dilupakan oleh publik, pengangkatan menteri oleh SBY (Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II), tidak terlepas dari berbagai manuver yang dilakukan partai-partai pendukung Presiden. Partai-partai pendukung Presiden yang kemudian membangun koalisi Setgab “menyodorkan” nama-nama kader terbaiknya untuk duduk di Pemerintahan. Walaupun Presiden menggunakan “hak preogratif”nya, namun Presiden tetap “memperhatikan” nama-nama usulan Menteri yang diusulkan oleh Partai. Hak Preogratif Presiden tidak “mutlak” digunakan oleh Presiden untuk menentukan nama-nama Menterinya.

Kita masih ingat, ketika sebelum “detik-detik” pengumuman nama-nama Menteri, keinginan untuk “menarik” kader-kader terbaik dari PDI-P “mewarnai” wacana politik. “Sikap Tegas” Megawati yang tetap “melarang” kader-kadernya masuk ke Kabinet, membuat beberapa nama-nama yang sempat beredar masuk ke kabinet, memang tidak masuk kedalam kabinet.

Sikap tegas PDI-P, Partai Hanura dan Partai Gerindra yang tetap berada di luar pemerintahan dan “memperkuat” parlemen dapat diartikan sebagai sikap ksatria yang mengusung nilai-nilai demokrasi yang sehat. Posisi di parlemen dan pemerintahan yang kuat, membuat bacaan politik kita didalam melihat persoalan kebangsaan menjadi jelas.

Berbagai peristiwa yang disampaikan oleh PDI-P, Partai Hanura dan Partai Gerindra membuat, secara politik, menuai investasi yang bisa diraih dalam pemilu 2014. posisi ini membuat mereka dihormati.

Dengan melihat peristiwa yang disampaikan, maka sudah jelas, walaupun Presiden mempunyai hak preogratif “mengangkat dan memberhentikan Menteri”, namun dalam pengangkatan Menteri KIB II sudah pasti “melalui” rekomendasi dan usulan yang disampaikan oleh partai-partai didalam Koalisi Setgab.

Hak Preogratif Presiden tidaklah “mutlak”.

Sehingga usulan agar PKS “keluar” dari koalisi setgab dengan menarik menteri-menterinya, dengan piawai bola ini dilemparkan ke Presiden. PKS tetap “menyerahkan” kepada Presiden untuk menentukan sikapnya.