Hiruk pikuk kenaikan BBM
sudah masuk pilihan yang membingungkan. Menolak kenaikan BBM bisa
saja ditafsirkan “ikut gerbong” politik Partai oposisi yang
menolak BBM. Menyetujui kenaikan BBM dapat saja ditafsirkan “gerbong”
partai koalisi Setgab.
Namun bagaimana
“”menafsirkan” apabila kita masuk kedalam gerbong politik yang
menolak kenaikan BBM tapi para “utusan” Partai masih duduk
menjadi Menteri.
Issu itu yang menjadi
issu terpanas menjelang pengumuman kenaikan BBM tanggal 17 Juni 2013.
Sebagai Partai yang
tergabung di koalisi Pemerintahan, posisi PKS memang menarik untuk
didiskusikan. Di satu sisi (tanpa mempengaruhi sikap politik PKS yang
tetap kritis terhadap agenda-agenda pemerintahan), sikap PKS menolak
kenaikan BBM merupakan “investasi” politik yang dapat dituai
menjelang pemilu 2014. Penolakan PKS terhadap issu kenaikan BBM tahun
2011 membuat PKS bersama-sama dengan partai-partai lain dalam barisan
oposisi menuai dukungan dari publik.
Langkah “jitu” PKS
merupakan salah satu issu penting setelah berhasil mengusung issu
Century dan pembentukan Panja Mafia Pajak.
Namun langkah PKS juga
dipandang “tidak sejalan” dengan langkah koalisi Setgab. Manuver
PKS dianggap sebagai langkah yang keluar dari code of conduct. Aturan
main di Setgab.
Entah berapa banyak
petinggi partai dalam barisan Setgab yang menghendaki agar PKS
“permisi” dan keluar dari koalisi setgab. Namun jawaban yang
disampaikan oleh PKS tidak dapat menegaskan posisi yang hendak
dibangun oleh PKS.
Yang paling teranyar
setelah “didesak-desak”, PKS malah menyerahkan kepada Presiden
untuk menentukan sikap terhadap menteri-menteri yang berasal dari
PKS.
http://tajuk.co/2013/06/parpol-tak-punya-kewenangan-tarik-menteri/
Hak Preogratif Presiden
Dalam konstitusi, memang
ditegaskan, Menteri adalah pembantu Presiden. Pengangkatan dan
pemberhentian Presiden merupakan hak Presiden. Kriteria ini merupakan
perwujudan dari sistem pemerintahan Presidentiil.
Namun yang sering
dilupakan oleh publik, pengangkatan menteri oleh SBY (Kabinet
Indonesia Bersatu Jilid II), tidak terlepas dari berbagai manuver
yang dilakukan partai-partai pendukung Presiden. Partai-partai
pendukung Presiden yang kemudian membangun koalisi Setgab
“menyodorkan” nama-nama kader terbaiknya untuk duduk di
Pemerintahan. Walaupun Presiden menggunakan “hak preogratif”nya,
namun Presiden tetap “memperhatikan” nama-nama usulan
Menteri yang diusulkan oleh Partai. Hak Preogratif Presiden tidak
“mutlak” digunakan oleh Presiden untuk menentukan
nama-nama Menterinya.
Kita masih ingat, ketika
sebelum “detik-detik” pengumuman nama-nama Menteri, keinginan
untuk “menarik” kader-kader terbaik dari PDI-P “mewarnai”
wacana politik. “Sikap Tegas” Megawati yang tetap “melarang”
kader-kadernya masuk ke Kabinet, membuat beberapa nama-nama yang
sempat beredar masuk ke kabinet, memang tidak masuk kedalam kabinet.
Sikap tegas PDI-P, Partai
Hanura dan Partai Gerindra yang tetap berada di luar pemerintahan dan
“memperkuat” parlemen dapat diartikan sebagai sikap ksatria yang
mengusung nilai-nilai demokrasi yang sehat. Posisi di parlemen dan
pemerintahan yang kuat, membuat bacaan politik kita didalam melihat
persoalan kebangsaan menjadi jelas.
Berbagai peristiwa yang
disampaikan oleh PDI-P, Partai Hanura dan Partai Gerindra membuat,
secara politik, menuai investasi yang bisa diraih dalam pemilu 2014.
posisi ini membuat mereka dihormati.
Dengan melihat peristiwa
yang disampaikan, maka sudah jelas, walaupun Presiden mempunyai hak
preogratif “mengangkat dan memberhentikan Menteri”, namun dalam
pengangkatan Menteri KIB II sudah pasti “melalui” rekomendasi dan
usulan yang disampaikan oleh partai-partai didalam Koalisi Setgab.
Hak Preogratif Presiden
tidaklah “mutlak”.
Sehingga usulan agar PKS
“keluar” dari koalisi setgab dengan menarik menteri-menterinya,
dengan piawai bola ini dilemparkan ke Presiden. PKS tetap
“menyerahkan” kepada Presiden untuk menentukan sikapnya.