15 Agustus 2013

opini musri nauli : GRATIFIKASI ADALAH KORUPSI, TITIK !!!


Entah bermaksud ingin “mengelak” atau memang “kekurangtahuan” semata, tersangka Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini mengatakan, kasus yang menimpa dirinya semata-mata “hanya gratifikasi”, bukan korupsi.


Rasa penasaran penulis kemudian “memaksa” penulis untuk “konfirm” berita diatas. Dengan menggunakan berbagai alat bantu (seperti mesin pencari kata “google”, mencari link berita), penulis “berkeyakinan” memang pernyataan itu memang keluar dari tersangka Rudi Rubiandini. Dan penulis kemudian “meyakini”, pernyataan resmi dari Rudi Rubiandini.

Pikiran yang hendak mengeluarkan “gratifikasi” dari tindak pidana korupsi sering disampaikan oleh para pelaku “gratifikasi”. Misalnya dengan istilah “Apel Malang, Apel Washington, Pelumas, semangka, Bos Besar Arbain Milyar Cash, Daging busuk, salam putih. Ada juga yang menyebutkan “daging korban, “kurma, qurban”.

Dengan membuat istilah, maka mereka berkeyakinan apabila ditangkap penegak hukum, maka tidak dapat dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana korupsi.

Padahal Sudah sering lembaga penegak hukum menegaskan, “gratifikasi” termasuk kedalam tindak pidana korupsi”.

Gratifikasi adalah biasa yang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari. Dalam ilmu hukum pidana, gratifikasi biasa dikenal dengan istilah “penyuapan”. Dalam tindak pidana biasa dikenal dengan istilah “Kejahatan yang dilakukan dalam Jabatan”

Dengan pemahaman, maka gratifikasi dapat dipersamakan dengan “penyuapan” atau “Kejahatan yang dilakukan dalam Jabatan”. Untuk memudahkan pemahaman, maka istilah gratifikasi, suap ataupun kejahatan yang dilakukan dalam jabatan”, mempunya arti yang sama.

Landasan hukum tindak gratifikasi diatur didalam Pasal 12 UU 31/1999 dan UU 20/2001 dimana ancamannya adalah dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.

UU 20/2001 “setiap gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap, namun ketentuan yang sama tidak berlaku apabila penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima”.

Sebelum lahir UU No. 31 Tahun 1999, tindak pidana penyuapan diatur didalam KUHP. Tindak pidana ini kemudian dikenal dengan title “Kejahatan yang dilakukan dalam Jabatan”.

Misalnya pasal 415 KUHP kemudian diatur didalam pasal 8 UU No. 31 Tahun 1999. Pasal 416 KUHP kemudian diatur didalam pasal 9 UU No. 31 Tahun 1999. Pasal 417 KUHP diatur didalam pasal 10 UU No. 31 Tahun 1999. Pasal 418 KUHP diatur didalam pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999. Pasal 419 KUHP, pasal 420 KUHP dan pasal 412 KUHP kemudian diatur didalam pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999.

Menggunakan asas “lex specialis derogat lex generalis”, maka KUHP sebagai “lex generalis” dan UU No. 31 Tahun 1999 sebagai “lex specialis”, maka dengan diatur didalam UU No. 31 Tahun 1999, maka yang berlaku adalah UU No. 31 Tahun 1999.

Dengan demikan, setelah lahirnya UU No. 31 tahun 1999, tindak pidana penyuapan sudah termasuk kedalam kategori korupsi. Kriteria ini sudah masuk dalam UNCAC dan diratifikasi dalam UU No 7/2006.

Dengan melihat berbagai peraturan yang berkaitan dengan “penyuapan”, maka tidak tepat lagi menyatakan “gratifikasi” bukan tindak pidana korupsi”. Dan pernyataan yang disampaikan oleh Rudi Rubiandini “hanyalah” sekedar menyepelekan persoalan dan tentu saja bermaksud “melindungi diri” dan membentengi diri agar tidak disalahkan publik. Sehingga walaupun tertangkap oleh penegak hukum, namun citra sebagai “orang bersih” tetap melekat.

Namun publik tidak bodoh.