Entah bermaksud ingin
“mengelak” atau memang “kekurangtahuan” semata,
tersangka Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini mengatakan, kasus yang
menimpa dirinya semata-mata “hanya gratifikasi”, bukan
korupsi.
Rasa penasaran penulis
kemudian “memaksa” penulis untuk “konfirm”
berita diatas. Dengan menggunakan berbagai alat bantu (seperti
mesin pencari kata “google”, mencari link berita), penulis
“berkeyakinan” memang pernyataan itu memang keluar dari
tersangka Rudi Rubiandini. Dan penulis kemudian “meyakini”,
pernyataan resmi dari Rudi Rubiandini.
Pikiran yang hendak
mengeluarkan “gratifikasi” dari tindak pidana korupsi
sering disampaikan oleh para pelaku “gratifikasi”. Misalnya
dengan istilah “Apel Malang, Apel Washington, Pelumas, semangka,
Bos Besar Arbain Milyar Cash, Daging busuk, salam putih. Ada juga
yang menyebutkan “daging korban, “kurma, qurban”.
Dengan
membuat istilah, maka mereka berkeyakinan apabila ditangkap penegak
hukum, maka tidak dapat dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana
korupsi.
Padahal Sudah sering lembaga penegak
hukum menegaskan, “gratifikasi” termasuk kedalam tindak
pidana korupsi”.
Gratifikasi adalah
biasa yang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari. Dalam ilmu
hukum pidana, gratifikasi biasa dikenal dengan istilah “penyuapan”.
Dalam tindak pidana biasa dikenal dengan istilah “Kejahatan yang
dilakukan dalam Jabatan”
Dengan pemahaman, maka
gratifikasi dapat dipersamakan dengan “penyuapan” atau
“Kejahatan yang dilakukan dalam Jabatan”.
Untuk memudahkan pemahaman, maka istilah gratifikasi, suap
ataupun kejahatan yang dilakukan dalam jabatan”,
mempunya arti yang sama.
Landasan hukum tindak
gratifikasi diatur didalam Pasal 12 UU 31/1999 dan UU 20/2001 dimana
ancamannya adalah dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling
sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.
UU 20/2001 “setiap
gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap suap, namun ketentuan yang sama tidak berlaku apabila
penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang wajib dilakukan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi
tersebut diterima”.
Sebelum
lahir UU No. 31 Tahun 1999, tindak pidana penyuapan diatur didalam
KUHP. Tindak pidana ini kemudian dikenal dengan title “Kejahatan
yang dilakukan dalam Jabatan”.
Misalnya
pasal 415 KUHP kemudian diatur didalam pasal 8 UU No. 31 Tahun 1999.
Pasal 416 KUHP kemudian diatur didalam pasal 9 UU No. 31 Tahun 1999.
Pasal 417 KUHP diatur didalam pasal 10 UU No. 31 Tahun 1999. Pasal
418 KUHP diatur didalam pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999. Pasal 419
KUHP, pasal 420 KUHP dan pasal 412 KUHP kemudian diatur didalam
pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999.
Menggunakan
asas “lex specialis derogat lex generalis”, maka KUHP
sebagai “lex generalis” dan UU No. 31 Tahun 1999 sebagai
“lex specialis”, maka dengan diatur didalam UU No. 31
Tahun 1999, maka yang berlaku adalah UU No. 31 Tahun 1999.
Dengan demikan, setelah
lahirnya UU No. 31 tahun 1999, tindak pidana penyuapan sudah termasuk
kedalam kategori korupsi. Kriteria ini sudah masuk dalam UNCAC dan
diratifikasi dalam UU No 7/2006.
Dengan
melihat berbagai peraturan yang berkaitan dengan “penyuapan”,
maka tidak tepat lagi menyatakan “gratifikasi” bukan
tindak pidana korupsi”. Dan pernyataan yang disampaikan oleh Rudi
Rubiandini “hanyalah” sekedar menyepelekan persoalan dan
tentu saja bermaksud “melindungi diri” dan membentengi
diri agar tidak disalahkan publik. Sehingga walaupun tertangkap oleh
penegak hukum, namun citra sebagai “orang bersih” tetap melekat.
Namun
publik tidak bodoh.