Ketika mengikuti sebuah
pelatihan investigator, penulis kaget ketika salah satu pemberi
materinya adalah Metta Dharmasaputra (Metta). Kekagetan penulis
kemudian semakin bertambah karena pada kesempatan itu, Metta
mengeluarkan buku berjudul 'SANG KUNCI”
Buku ini menguraikan
perjalanan Metta sebagai wartawan Tempo yang membongkar rangkaian
“penggelapan pajak” yang dilakukan Group Asian Agri
Perjalanan dimulai ketika
Vincent, seorang posisi penting di Asian Agri mengirimkan sebuah
e-mail yang hendak membongkar “pengemplang pajak Asian Agri.
Untuk membuktikan rangkaian ceritanya, Metta menyusul ke Singapura
dan bertemu dengan Vincent. Dari sinilah cerita panjang dimulai.
Buku ini menjadi diskusi
yang hangat di kompasiana, sebuah media sosial kompas yang kemudian
merefleksikan sebagai citizen jurnalism. Diskusi hangat tentu saja
berangkat dari berbagai sudut pandang melihat perjalanan Vincent,
tarik menarik dan berbagai pandangan terhadap kasus pengemplang pajak
dan tentu saja berbagai sisi yang menarik untuk didiskusikan.
Membaca buku Metta
seperti membaca Fiksi Hukum “Jhon Grisham”. Alur ceritanya
berurutan, menarik dan tentu saja mengalami gejolak bathin dari sang
penulis.
Cara investigasi yang
dilakukan Metta “luar biasa”. Dengan jernih, detail, kaya data
dan mengajak pembaca untuk mengikuti perjalanan Metta, mengikuti
emosional yang diaduk-aduk, menguraikan pilihan
Membaca buku Metta kita
“dipaksa” untuk memotret Indonesia secara utuh. Meyakini sebagai
negara yang menjunjung hukum namun melihat bagaimana pergulatan
bathin Metta yang bertarung untuk mendorong kasus ini menjadi
konsumsi publik, melihat berbagai kekalahan dari Vincent, melihat
kemudian serangan balik kepada Metta, tidak adil proses pemeriksaan
kepada Metta, menggunakan fasilitas penjara, serunya penyitaan di
kantor Asian Agri, pertarungan pasukan elite yang mengawal Asian Agri
dan tentu saja berbagai cerita yang selama ini kita hanya merasakan
ada “sesuatu” yang besar namun kita hanya meraba.
Bahasa digunakan tetap
bahasa jurnalis, sederhana, namun tetap menyelipkan istilah-istilah
yang memberikan pemahaman dan pengetahuan bagaimana pentingnya negara
harus diselamatkan dari para pengemplang pajak.
Kode etik dan nurani
Didalam berbagai diskusi
kompasiana, persoalan yang paling menarik perhatian ketika Metta
mencarikan dana untuk Vincent dalam proses hukum melindungi sang
“narasumber”.
Secara panjang lebar dan
tulus kemudian Metta menguraikan bagaimana “paniknya” Metta
terhadap Vincent yang harus dilindungi dari berbagai serangan di LP
yang khawatir akan keselamatannya.
Secara jujur, Metta
mengakui bahwa cara ini akan menimbulkan persoalan konfik bathin dan
persoalan etika dalam jurnalistik. Metta menguraikan dengan baik
ketika bertemu dengan seorang pengusaha yang Metta tahu justru
pengusaha itu bersinggungan bisnis dengan Asian Agri. Itu adalah
semangat kode etik yang kukuh dipegang oleh Tempo dan terutama Metta.
Namun nurani
mengalahkannya.
Dengan jernih, dia tidak
mengelak bahwa cara ini akan menimbulkan perdebatan panjang. Namun
dengan terus terang, dia mengkhwatirkan keselamatan Vincent daripada
cuma sekedar kode etik. Boleh saja dia berpegang teguh dengna kode
etik. Namun apabila Vincent kemudian tewas dalam penjara dan Metta
tidak berhasil menyelamatkannya, Metta akan menyesal seumur hidup.
Peristiwa ini pernah
terjadi kepada wartawan photo, Kevin Carter (Afrika Selatan) yang
meraih Pulitzer tahun 1994. Photonya yang memotret seorang anak kurus
kering tidak berdaya dan sedikit demi sedikit dagingnya dimakan
burung bangkai memang berhasil meraih photo terbaik Pulitzer. Anak
itu kemudian meninggal.
Dunia heboh. Sebagian
jurnalis membela “sang wartawan”. Tugas wartawan adalah memotret.
Wartawan tidak boleh merobah keadaan suatu negara. Namun sebagian
lain berujar keras. Betul. Tugas wartawan memotret. Namun menolong
anak itu dari serangan burung bangkai dan kemudian menyelamatkannya
dan melarikan ke Palang Merah Internasional juga tugas kemanusiaan
yang tidak boleh ditinggalkan.
Perdebatan itu belum
selesai sampai sekarang. Namun yang pasti, “sang wartawan”
kemudian bunuh diri dan tidak sanggup dan menyelesalkan seumur hidup.
Saya berusaha memahami
bagaimana kode etik pers yang melarang menerima sesuatu dalam tugas
jurnalistik. Namun yang dilupakan, kode etik adalah seperangkat
nilai-nilai yang didalam lingkup pekerjaan jurnalistik. Kode etik
dimaksudkan agar jurnalistik merupakan pekerjaan jurnalistik,
obyektif dan membuat profesi wartawan dihormati.
Tapi apakah kode etik diatas
segala-galanya ?
Namun bagi saya, nilai
kemanusiaan diatas segala-galanya. Hanya orang beradab yang yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Nilai kemanusiaan haruslah
menjadi tujuan hidup kita.
Untuk mempersoalkan kode
etik, maka dibenturkan dengan nurani. Pilihan harus tunduk kepada
kode etik atau menggunakan nurani adalah pilihan rasional yang
diambil pada waktu tertentu. Memilih apakah tetap terikat kepada kode
etik atau memilih hati nurani adalah dua sikap yang harus dihormati.
Kita harus menghormatinya.
Dengan demikian maka
pilihan Metta menggunakan hati nurani merupakan pilihan diatas
segala-galanya. Metta tidak seperti “sang wartawan”. Dia tidak
mengutamakan kode etik diatas segala-galanya. Kemanusian mengalahkan
kode etik.
Dengan tegas Metta
memberikan pelajaran kepada kita. Apabila kemudian suatu waktu
pilihannya salah. Dia rela diberhentikan dari wartawan. Dia bisa
menjalani hidupnya dari dunia lain. Tapi dia tidak akan menyelesalkan
seumur hidup apabila dia tidak bisa melindungi Vincent. Sebuah nilai
baru yang akan menjadikan kode etik akan bernilai.
Sang Pelompat Indah
Namun membaca bukunya,
tentu saja lebih seru dari cerita dibalik buku itu sendiri. Sebagai
orang pertama dari peristiwa itu, cerita dari Metta justru memperkuat
cerita dari buku.
Metta mengibaratkan cara
investigasi sebagai perumpamaan “loncat indah”. Terbang tinggi,
berputar-putar, kemudian melompat dan masuk kedalam air dengan
percikan air yang sedikit. Kemudian menyelam sebentar dan kemudian
langsung menyembul tanpa suara.
Wuih. Perumpamaan yang
luar biasa. Dengan mengumpamaan dengan “lompat indah”, maka
seorang investigator yang handal, harus masuk ke dalam air tidak ada
riak, kemudian mengolah data dan ketika bertemu dengan bahan yang
disampaikan kepada publik, maka informasinya sudah valid.
Kekaguman penulis
bertambah ketika melihat tipikal Metta yang menyampaikan
presentasinya tidak meledak-ledak, kaya data, kaya strategi jitu khas
wartawan.
Sebagai investigator
ulung, cara yang dilakukan mengingatkan kita strategi sang detektif
Inggeris “Sherlok Homes” yang menggunakan berbagai perangkat ilmu
pengetahuan untuk membongkar rangkaian kejahatan. Cara strategi
membongkar kejahatan bisa kita temukan dalam diri Munir.
Sedangkan sebagai
penulis, penulis teringat kepada Bob Woodward & Carl Bernstein,
wartawan Washington Post yang berhasil membongkar keterlibatan
Presiden Amerika Serikat dalam kasus Watergate.
Namun Metta berjuang di
negara yang semua sistem belum bekerja. Melawan pers yang
menyerangnya, melawan pasukan elite yang “membeking” perusahaan,
ancaman pemidanaan, konsentrasi melindungi nyawa Vincent bahkan juga
harus melindungi keluarganya.
Kekuatan besar Metta cuma
satu. Membongkar kejahatan pajak Asia Agri. Selebihnya doa.
Buku Metta mengajarkan
kepada kita semua. Pertama. Keteladanan jurnalistik yang mengagungkan
nilai kemanusiaan. Kedua. Strategi investigator jitu yang memerlukan
waktu panjang untuk menguasainya. Tidak salah apabila kemudian
penulis memberikan gelar “Metta – Sang Pelompat Indah”.
Serasa tidak lengkap
apabila buku yang dihasilkan tidak ditanda tangani sang penulis.
Penulis berkesempatan bertemu dan ditanda tangani didalam buku.
Kalimatnya cukup indah. “Untuk Sahabatku, Nauli. Salam Hangat.
Metta D