05 November 2013

opini musri nauli : MENGENAL METTA “Sang Pelompat Indah”

Ketika mengikuti sebuah pelatihan investigator, penulis kaget ketika salah satu pemberi materinya adalah Metta Dharmasaputra (Metta). Kekagetan penulis kemudian semakin bertambah karena pada kesempatan itu, Metta mengeluarkan buku berjudul 'SANG KUNCI


Buku ini menguraikan perjalanan Metta sebagai wartawan Tempo yang membongkar rangkaian “penggelapan pajak” yang dilakukan Group Asian Agri

Perjalanan dimulai ketika Vincent, seorang posisi penting di Asian Agri mengirimkan sebuah e-mail yang hendak membongkar “pengemplang pajak Asian Agri. Untuk membuktikan rangkaian ceritanya, Metta menyusul ke Singapura dan bertemu dengan Vincent. Dari sinilah cerita panjang dimulai.

Buku ini menjadi diskusi yang hangat di kompasiana, sebuah media sosial kompas yang kemudian merefleksikan sebagai citizen jurnalism. Diskusi hangat tentu saja berangkat dari berbagai sudut pandang melihat perjalanan Vincent, tarik menarik dan berbagai pandangan terhadap kasus pengemplang pajak dan tentu saja berbagai sisi yang menarik untuk didiskusikan.

Membaca buku Metta seperti membaca Fiksi Hukum “Jhon Grisham”. Alur ceritanya berurutan, menarik dan tentu saja mengalami gejolak bathin dari sang penulis.

Cara investigasi yang dilakukan Metta “luar biasa”. Dengan jernih, detail, kaya data dan mengajak pembaca untuk mengikuti perjalanan Metta, mengikuti emosional yang diaduk-aduk, menguraikan pilihan

Membaca buku Metta kita “dipaksa” untuk memotret Indonesia secara utuh. Meyakini sebagai negara yang menjunjung hukum namun melihat bagaimana pergulatan bathin Metta yang bertarung untuk mendorong kasus ini menjadi konsumsi publik, melihat berbagai kekalahan dari Vincent, melihat kemudian serangan balik kepada Metta, tidak adil proses pemeriksaan kepada Metta, menggunakan fasilitas penjara, serunya penyitaan di kantor Asian Agri, pertarungan pasukan elite yang mengawal Asian Agri dan tentu saja berbagai cerita yang selama ini kita hanya merasakan ada “sesuatu” yang besar namun kita hanya meraba.

Bahasa digunakan tetap bahasa jurnalis, sederhana, namun tetap menyelipkan istilah-istilah yang memberikan pemahaman dan pengetahuan bagaimana pentingnya negara harus diselamatkan dari para pengemplang pajak.

Kode etik dan nurani

Didalam berbagai diskusi kompasiana, persoalan yang paling menarik perhatian ketika Metta mencarikan dana untuk Vincent dalam proses hukum melindungi sang “narasumber”.

Secara panjang lebar dan tulus kemudian Metta menguraikan bagaimana “paniknya” Metta terhadap Vincent yang harus dilindungi dari berbagai serangan di LP yang khawatir akan keselamatannya.

Secara jujur, Metta mengakui bahwa cara ini akan menimbulkan persoalan konfik bathin dan persoalan etika dalam jurnalistik. Metta menguraikan dengan baik ketika bertemu dengan seorang pengusaha yang Metta tahu justru pengusaha itu bersinggungan bisnis dengan Asian Agri. Itu adalah semangat kode etik yang kukuh dipegang oleh Tempo dan terutama Metta.

Namun nurani mengalahkannya.

Dengan jernih, dia tidak mengelak bahwa cara ini akan menimbulkan perdebatan panjang. Namun dengan terus terang, dia mengkhwatirkan keselamatan Vincent daripada cuma sekedar kode etik. Boleh saja dia berpegang teguh dengna kode etik. Namun apabila Vincent kemudian tewas dalam penjara dan Metta tidak berhasil menyelamatkannya, Metta akan menyesal seumur hidup.

Peristiwa ini pernah terjadi kepada wartawan photo, Kevin Carter (Afrika Selatan) yang meraih Pulitzer tahun 1994. Photonya yang memotret seorang anak kurus kering tidak berdaya dan sedikit demi sedikit dagingnya dimakan burung bangkai memang berhasil meraih photo terbaik Pulitzer. Anak itu kemudian meninggal.

Dunia heboh. Sebagian jurnalis membela “sang wartawan”. Tugas wartawan adalah memotret. Wartawan tidak boleh merobah keadaan suatu negara. Namun sebagian lain berujar keras. Betul. Tugas wartawan memotret. Namun menolong anak itu dari serangan burung bangkai dan kemudian menyelamatkannya dan melarikan ke Palang Merah Internasional juga tugas kemanusiaan yang tidak boleh ditinggalkan.

Perdebatan itu belum selesai sampai sekarang. Namun yang pasti, “sang wartawan” kemudian bunuh diri dan tidak sanggup dan menyelesalkan seumur hidup.

Saya berusaha memahami bagaimana kode etik pers yang melarang menerima sesuatu dalam tugas jurnalistik. Namun yang dilupakan, kode etik adalah seperangkat nilai-nilai yang didalam lingkup pekerjaan jurnalistik. Kode etik dimaksudkan agar jurnalistik merupakan pekerjaan jurnalistik, obyektif dan membuat profesi wartawan dihormati.

Tapi apakah kode etik diatas segala-galanya ?

Namun bagi saya, nilai kemanusiaan diatas segala-galanya. Hanya orang beradab yang yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Nilai kemanusiaan haruslah menjadi tujuan hidup kita.

Untuk mempersoalkan kode etik, maka dibenturkan dengan nurani. Pilihan harus tunduk kepada kode etik atau menggunakan nurani adalah pilihan rasional yang diambil pada waktu tertentu. Memilih apakah tetap terikat kepada kode etik atau memilih hati nurani adalah dua sikap yang harus dihormati. Kita harus menghormatinya.

Dengan demikian maka pilihan Metta menggunakan hati nurani merupakan pilihan diatas segala-galanya. Metta tidak seperti “sang wartawan”. Dia tidak mengutamakan kode etik diatas segala-galanya. Kemanusian mengalahkan kode etik.

Dengan tegas Metta memberikan pelajaran kepada kita. Apabila kemudian suatu waktu pilihannya salah. Dia rela diberhentikan dari wartawan. Dia bisa menjalani hidupnya dari dunia lain. Tapi dia tidak akan menyelesalkan seumur hidup apabila dia tidak bisa melindungi Vincent. Sebuah nilai baru yang akan menjadikan kode etik akan bernilai.
Sang Pelompat Indah

Namun membaca bukunya, tentu saja lebih seru dari cerita dibalik buku itu sendiri. Sebagai orang pertama dari peristiwa itu, cerita dari Metta justru memperkuat cerita dari buku.

Metta mengibaratkan cara investigasi sebagai perumpamaan “loncat indah”. Terbang tinggi, berputar-putar, kemudian melompat dan masuk kedalam air dengan percikan air yang sedikit. Kemudian menyelam sebentar dan kemudian langsung menyembul tanpa suara.

Wuih. Perumpamaan yang luar biasa. Dengan mengumpamaan dengan “lompat indah”, maka seorang investigator yang handal, harus masuk ke dalam air tidak ada riak, kemudian mengolah data dan ketika bertemu dengan bahan yang disampaikan kepada publik, maka informasinya sudah valid.

Kekaguman penulis bertambah ketika melihat tipikal Metta yang menyampaikan presentasinya tidak meledak-ledak, kaya data, kaya strategi jitu khas wartawan.

Sebagai investigator ulung, cara yang dilakukan mengingatkan kita strategi sang detektif Inggeris “Sherlok Homes” yang menggunakan berbagai perangkat ilmu pengetahuan untuk membongkar rangkaian kejahatan. Cara strategi membongkar kejahatan bisa kita temukan dalam diri Munir.

Sedangkan sebagai penulis, penulis teringat kepada Bob Woodward & Carl Bernstein, wartawan Washington Post yang berhasil membongkar keterlibatan Presiden Amerika Serikat dalam kasus Watergate.

Namun Metta berjuang di negara yang semua sistem belum bekerja. Melawan pers yang menyerangnya, melawan pasukan elite yang “membeking” perusahaan, ancaman pemidanaan, konsentrasi melindungi nyawa Vincent bahkan juga harus melindungi keluarganya.

Kekuatan besar Metta cuma satu. Membongkar kejahatan pajak Asia Agri. Selebihnya doa.

Buku Metta mengajarkan kepada kita semua. Pertama. Keteladanan jurnalistik yang mengagungkan nilai kemanusiaan. Kedua. Strategi investigator jitu yang memerlukan waktu panjang untuk menguasainya. Tidak salah apabila kemudian penulis memberikan gelar “Metta – Sang Pelompat Indah”.

Serasa tidak lengkap apabila buku yang dihasilkan tidak ditanda tangani sang penulis. Penulis berkesempatan bertemu dan ditanda tangani didalam buku. Kalimatnya cukup indah. “Untuk Sahabatku, Nauli. Salam Hangat. Metta D