Usai sudah perhelatan
RSPO di Medan. Sebuah mekanisme yang menggabungkan antara kepentingan
“pasar, konsumen, kepastian usaha, perbankan, NGO, small
holders”. Usai sudah hiruk pikuk baik yang percaya mekanisme
RSPO dapat mewakili kepentingannya maupun yang menolak mekanisme
“inisiatif” pasar dapat menyelesaikan berbagai persoalan
di sektor sawit.
Sebagai sebuah kongres
hingga ke – 11, pengamatan terhadap RSPO tidak serta merta harus
diabaikan dalam kancah pertarungan bisnis. Sebagai sebuah mekanisme
yang digagas berbagai pihak, RSPO memainkan peran yang cukup
strategis di tengah berbagai polemik. RSPO sudah menjadi bagian dari
bisnis sektor sawit yang mempengaruhi terhadap perkembangan sawit.
RSPO sudah menjadi bagian penting. Dilaksanakan kongres hingga ke 11
membuktikannya.
Sebagai bagian penting
dari issu sawit, RSPO menggabungkan berbagai stakeholder baik dari
hulu hingga hilir. Menggabungkan berbagai pendekatan. Model-model
penyelesaian dalam menyelesaikan berbagai issu menjadi bagian penting
dalam pembahasan yang didalam mekanisme RSPO. Terlepas dari kritik
yang terus menerus terhadap RSPO, RSPO memainkan peran yang cukup
strategis membongkar teori klasik ketatanegaraan. RSPO menjadi bagian
dari perkembangan zaman yang lintas batas dalam urusan bisnis.
Dengan pendekatan itulah,
maka penulis akan menyoroti terhadap issu sektor sawit sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari kampanye.
RSPO sebagai Pasar global
Inisiatif menggabungkan
berbagai stakeholder menjadikan RSPO menjadi sorotan tajam berbagai
pihak. Perusahaan berkepentingan bisnis terlibat didalam mekanisme
RSPO selain mendapatkan sertifikat RSPO sebagai “tiket'
menjual produknya, juga berkepentingan terhadap kampanye sebagai
“good corporate” dalam pertarungan global.
Sementara LSM baik yang
bergerak di issu lingkungan maupun issu sosial berkepentingan
terhadap RSPO, selain menyampaikan gagasan terhadap kampanye sawit
juga mendorong agar perusahaan “tertib dan etika berbisnis”.
Sedangkan perbankan
selain memastikan dana yang dikucurkan dalam proyek pembangunan sawit
juga terikat kepada berbagai indikator “green banking” dan
tidak terjebak dalam persoalan issu di luar perbankan.
Belum lagi produsen
turunan yang memastikan produknya “pantas” dinikmati
konsumen.
Secara faktual, sudah
disadari, modal berputar antara satu negara dengan negara lain tanpa
dibatasi wilayah administrasi negara. Pasar sudah menjadi makhluk
baru yang berperan penting dalam putaran global. Alasan nasionalisme,
proteksi akan berhadapan dengan “pasar bebas”. Pasar sudah
menjadi peran penting.
Dari berbagai kepentingan
itulah, maka RSPO tetap mendapatkan prioritas dalam kampanye berbagai
stakeholder.
Sehingga dapat dimengerti
RSPO kemudian terus mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.
Etika bisnis
Namun kerakusan pasar
yang tidak bisa dikendalikan haruslah juga diimbangi dengna perilaku
bisnis negara-negara yang bergerak di sektor sawit. Pasar harus
dikendalikan. Pasar diatur. Meminjam istilah “homo homini
lupus”, pasar tidak boleh menguasai satu sektor saja dengan
mengabaikan sektor-sektor yang lain.
Konsumen seperti di Eropa
dan Amerika menghendaki agar pasar bisa diatur. Prinsip dan Kriteria
didalam RSPO adalah bagian dari mengendalikan pasar. Prinsip dan
kriteria RSPO merupakan standar minimal dalam bertingkah laku bisnis
sektor sawit.
Tingkah laku berbisnis
itulah yang menjadi kampanye terus menerus disampaikan dalam forum
RSPO. Persoalan lingkungan, persoalan small holder, persoalan
perburuhan, persoalan masyarakat terpinggirkan harus menjadi tema
utama dalam pembahasan di kongres RSPO. Tema itu tidak boleh
tenggelam dengan issu presentasi kebutuhan pasar di Eropa dan
Amerika.
Dalam diskusi panjang
dengan “Penguasa sawit Watch, Jefri Saragih”, kritik
paling mendasar disampaikan, RSPO memberikan ruang yang tidak
seimbang antara stakeholder. Konsumen sebagai pengguna produk akhir
sering kali menyoroti terhadap persoalan di hulu. Baik lingkungan,
persoalan small holder, persoalan perburuhan, persoalan masyarakat
terpinggirkan. Namun konsumen tidak bertanggungjawab persoalan
tersebut dan hanya menyerahkan semata kepada perusahaan di sektor
hulu.
Konsumen hanya
“memastikan” produk sawit secara kontinyu. Sehingga secara
keras Jefri Saragih malah menantang. Apakah persoalan hulu “hanya
diselesaikan di hulu” saja tanpa memperhatikan kepentingan
kebutuhan di muara.
Anggota RSPO harus bisa
memastikan, sawit dihasilkan tidak dari kebun yang dibakar, upah
buruh yang murah, masyarakat yang terpinggirkan, petani yang
tergantung dari harga sawit. Anggota RSPO harus memastikan dan tidak
melanggarnya.
Kita terus menerus
mendorong anggota RSPO tunduk terhadap prinsip dan kriteria yang
sudah ditetapkan. Dan RSPO harus dapat memastikan dapat menjalankan
mekanisme untuk “menertibkan” anggotanya.
Namun sebagai organisasi
yang bersifat “voluntary”, RSPO tidak dapat menggantikan
fungsi negara yang “memerintahkan (mandatoris)”. RSPO
tidak dapat dan tidak bisa menggantikan negara.
Abetnego Tarigan sebagai “Jenderal memimpin Walhi”
memberikan istilah “negara abai/negara absen” mengurusi
rakyatnya. Negara “sibuk berjumplitan” dan menjaga pesona.
Dengan posisi itulah
kemudian Walhi “meminta pertanggungjawaban negara” untuk
menyelesaikan persoalan rakyat. Dan meminjam istilah “Yaya
Hidayati”, Walhi tetap berada di luar (outsiders). Walhi
tidak mendapatkan mandat untuk melakukan pendekatan berbagai
“inisiatif” forum pasar. Walhi terus mendorong agar negara
“menjalankan” fungsinya.
Dari posisi itulah, suara
itu dikumandangkan di Medan. Dan penulis bangga menjadi saksi atas
suara yang telah dikumandangkan.