15 November 2013

opini musri nauli : RSPO DALAM DILEMA PASAR DAN ETIKA BISNIS


Usai sudah perhelatan RSPO di Medan. Sebuah mekanisme yang menggabungkan antara kepentingan “pasar, konsumen, kepastian usaha, perbankan, NGO, small holders”. Usai sudah hiruk pikuk baik yang percaya mekanisme RSPO dapat mewakili kepentingannya maupun yang menolak mekanisme “inisiatif” pasar dapat menyelesaikan berbagai persoalan di sektor sawit.
Sebagai sebuah kongres hingga ke – 11, pengamatan terhadap RSPO tidak serta merta harus diabaikan dalam kancah pertarungan bisnis. Sebagai sebuah mekanisme yang digagas berbagai pihak, RSPO memainkan peran yang cukup strategis di tengah berbagai polemik. RSPO sudah menjadi bagian dari bisnis sektor sawit yang mempengaruhi terhadap perkembangan sawit. RSPO sudah menjadi bagian penting. Dilaksanakan kongres hingga ke 11 membuktikannya.

Sebagai bagian penting dari issu sawit, RSPO menggabungkan berbagai stakeholder baik dari hulu hingga hilir. Menggabungkan berbagai pendekatan. Model-model penyelesaian dalam menyelesaikan berbagai issu menjadi bagian penting dalam pembahasan yang didalam mekanisme RSPO. Terlepas dari kritik yang terus menerus terhadap RSPO, RSPO memainkan peran yang cukup strategis membongkar teori klasik ketatanegaraan. RSPO menjadi bagian dari perkembangan zaman yang lintas batas dalam urusan bisnis.

Dengan pendekatan itulah, maka penulis akan menyoroti terhadap issu sektor sawit sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kampanye.

RSPO sebagai Pasar global

Inisiatif menggabungkan berbagai stakeholder menjadikan RSPO menjadi sorotan tajam berbagai pihak. Perusahaan berkepentingan bisnis terlibat didalam mekanisme RSPO selain mendapatkan sertifikat RSPO sebagai “tiket' menjual produknya, juga berkepentingan terhadap kampanye sebagai “good corporate” dalam pertarungan global.

Sementara LSM baik yang bergerak di issu lingkungan maupun issu sosial berkepentingan terhadap RSPO, selain menyampaikan gagasan terhadap kampanye sawit juga mendorong agar perusahaan “tertib dan etika berbisnis”.

Sedangkan perbankan selain memastikan dana yang dikucurkan dalam proyek pembangunan sawit juga terikat kepada berbagai indikator “green banking” dan tidak terjebak dalam persoalan issu di luar perbankan.

Belum lagi produsen turunan yang memastikan produknya “pantas” dinikmati konsumen.

Secara faktual, sudah disadari, modal berputar antara satu negara dengan negara lain tanpa dibatasi wilayah administrasi negara. Pasar sudah menjadi makhluk baru yang berperan penting dalam putaran global. Alasan nasionalisme, proteksi akan berhadapan dengan “pasar bebas”. Pasar sudah menjadi peran penting.

Dari berbagai kepentingan itulah, maka RSPO tetap mendapatkan prioritas dalam kampanye berbagai stakeholder.

Sehingga dapat dimengerti RSPO kemudian terus mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.

Etika bisnis

Namun kerakusan pasar yang tidak bisa dikendalikan haruslah juga diimbangi dengna perilaku bisnis negara-negara yang bergerak di sektor sawit. Pasar harus dikendalikan. Pasar diatur. Meminjam istilah “homo homini lupus”, pasar tidak boleh menguasai satu sektor saja dengan mengabaikan sektor-sektor yang lain.

Konsumen seperti di Eropa dan Amerika menghendaki agar pasar bisa diatur. Prinsip dan Kriteria didalam RSPO adalah bagian dari mengendalikan pasar. Prinsip dan kriteria RSPO merupakan standar minimal dalam bertingkah laku bisnis sektor sawit.

Tingkah laku berbisnis itulah yang menjadi kampanye terus menerus disampaikan dalam forum RSPO. Persoalan lingkungan, persoalan small holder, persoalan perburuhan, persoalan masyarakat terpinggirkan harus menjadi tema utama dalam pembahasan di kongres RSPO. Tema itu tidak boleh tenggelam dengan issu presentasi kebutuhan pasar di Eropa dan Amerika.

Dalam diskusi panjang dengan “Penguasa sawit Watch, Jefri Saragih”, kritik paling mendasar disampaikan, RSPO memberikan ruang yang tidak seimbang antara stakeholder. Konsumen sebagai pengguna produk akhir sering kali menyoroti terhadap persoalan di hulu. Baik lingkungan, persoalan small holder, persoalan perburuhan, persoalan masyarakat terpinggirkan. Namun konsumen tidak bertanggungjawab persoalan tersebut dan hanya menyerahkan semata kepada perusahaan di sektor hulu.

Konsumen hanya “memastikan” produk sawit secara kontinyu. Sehingga secara keras Jefri Saragih malah menantang. Apakah persoalan hulu “hanya diselesaikan di hulu” saja tanpa memperhatikan kepentingan kebutuhan di muara.

Anggota RSPO harus bisa memastikan, sawit dihasilkan tidak dari kebun yang dibakar, upah buruh yang murah, masyarakat yang terpinggirkan, petani yang tergantung dari harga sawit. Anggota RSPO harus memastikan dan tidak melanggarnya.

Kita terus menerus mendorong anggota RSPO tunduk terhadap prinsip dan kriteria yang sudah ditetapkan. Dan RSPO harus dapat memastikan dapat menjalankan mekanisme untuk “menertibkan” anggotanya.

Namun sebagai organisasi yang bersifat “voluntary”, RSPO tidak dapat menggantikan fungsi negara yang “memerintahkan (mandatoris)”. RSPO tidak dapat dan tidak bisa menggantikan negara. Abetnego Tarigan sebagai “Jenderal memimpin Walhi” memberikan istilah “negara abai/negara absen” mengurusi rakyatnya. Negara “sibuk berjumplitan” dan menjaga pesona.

Dengan posisi itulah kemudian Walhi “meminta pertanggungjawaban negara” untuk menyelesaikan persoalan rakyat. Dan meminjam istilah “Yaya Hidayati”, Walhi tetap berada di luar (outsiders). Walhi tidak mendapatkan mandat untuk melakukan pendekatan berbagai “inisiatif” forum pasar. Walhi terus mendorong agar negara “menjalankan” fungsinya.

Dari posisi itulah, suara itu dikumandangkan di Medan. Dan penulis bangga menjadi saksi atas suara yang telah dikumandangkan.