Film Soekarno sedang
diputar di Indonesia. Terlepas dari berbagai polemik, sebagai tokoh
nasional dan “Pengucap Teks” Proklamasi, tokoh Soekarno telah
menjadi milik masyarakat Indonesia.
Sebagai sebuah karya
seni, berbagai polemik diri Soekarno tidak dapat dihindarkan. Setiap
peristiwa yang melatarbelakangi peristiwa terhadap Soekarno
menimbulkan perdebatan.
Peran-nya didalam
“merumuskan” Indonesia merdeka, polemik Rengas Dengklok, strategi
Proklamasi, strategi “bersiasat” dengan Belanda, berbagai
peristiwa kudeta, PRRI-Permesta, perebutan papua bahkan issu “tidak
sedap” istri-istri Soekarno.
Semuanya menjadi bagian
dari perjalanan Soekarno tidak dapat ditafsirkan “tunggal”.
Semuanya menjadi polemik dan menjadi bagian sejarah penting dalam
persoalan kebangsaan.
Tentu saja, Film Soekarno
harus berpihak kepada suatu polemik dan mengabaikan fakta-fakta lain
yang dianggap “benar”. Film Soekarno tidak dapat menafsirkan
sebuah peristiwa karena memang sebagai sebuah Film, para kru tidak
mungkin “terlibat” dari polemik yang ada.
Terlepas dari semuanya
itu, kita harus memberikan apresiasi yang mendalam terhadap
keberanian Film Soekarno yang bersedia menampilkan berbagai sisi
humanisme diri Soekarno.
Ingat. Ini Film yang
tidak dapat dipisahkan terhadap dunia entertainment. Ini bukan Film
dokumenter yang dapat menjawab semuanya.
Namun sungguh disayangkan
kemudian, pihak Rachmawati melakukan Laporan ke Polda Metro Jaya itu
dilayangkan pada November 2013. Dia menuding Raam dan Hanung
melanggar pasal 72 ayat 1, 2 dan 6 UU 19/2002 tentang Hak Cipta.
Penulis tidak terjebak
dengan “persoalan hak cipta”. Karena bagi penulis itu masalah
“rumit”. Penulis tidak mau terjebak.
Namun kemudian
“mempersoalkan” hak cipta dari sebuah karya seni merupakan
masalah serius. Masalah rumit yang memerlukan pembuktian yang
panjang.
Apakah terhadap upaya
berbagai pihak yang ingin menggambarkan Soekarrno dari berbagai
persepsi akan kemudian diselesaikan secara hukum.
Sangat disayangkan
apabila ini ditempuh. Selain akan “mematikan” kreativitas dari
penggagas pembuatan Film, bisa dipastikan keinginan berbagai pihak
menghadirkan “tontotan” bermutu akan padam.
Klaim kebenaran menjadi
absolut. Sebuah cara-cara keniscayaan yang tidak tepat dalam sebuah
karya seni.
Berangkat dari semangat
itu, “penghentian” pemutaran Film Soekarno justru akan “membuat”
peran Soekarno dalam tataran kebangsaan menjadi tidak terjawab.
Peran Soekarno justru
akan menjadi diskusi-diskusi ilmiah dan perdebatan ahli sejarah.
Padahal begitu penting peran Soekarno harus disampaikan kepada rakyat
Indonesia.
Kita pernah menyaksikan
“Sang Pencerah” peran K. H. Ahmad Dahlan, atau Film “Sang Kiai”
yang menceritakan K.H. Hasyim Asa'ri. Dan praktis kita menyaksian
“kebesaran” peran kedua tokoh ini dalam “memajukan” pemikiran
islam.
Tentu saja, persoalan
sejarah tidak pernah dapat diselesaikan. Berbagai misteri biarlah
menjadi kajian sejarah. Sedangkan Film berusaha memotret
“keteladanan” dari Sang Pemimpin.
Mengenai pilihan teknis
dan berbagai pendekatan sejarah biarlah menjadi dari kru film yang
tetap mengedepankan profesionalisme. Tinggal kita sendiri yang
menilai.
Namun sungguh
disayangkan, film kemudian menjadi persoalan hukum. Dan hukum pula
yang “memerintahkan” agar dihentikan pemutaran film.
Yang pasti. Seorang
pemimpin telah menjadi milik rakyat Indonesia. Biarlah rakyat
Indonesia yang melihat keteladanan dari sang pemimpin tanpa
“disibukkan” polemik yang kemudian malah “melarang” pemutaran
film.
Sekali lagi. Cara ini
tidak elegan.