28 Desember 2013

opini musri nauli : FILM SOEKARNO SEBAGAI SEBUAH PERSEPSI PUBLIK



Film Soekarno sedang diputar di Indonesia. Terlepas dari berbagai polemik, sebagai tokoh nasional dan “Pengucap Teks” Proklamasi, tokoh Soekarno telah menjadi milik masyarakat Indonesia.

Sebagai sebuah karya seni, berbagai polemik diri Soekarno tidak dapat dihindarkan. Setiap peristiwa yang melatarbelakangi peristiwa terhadap Soekarno menimbulkan perdebatan.
Peran-nya didalam “merumuskan” Indonesia merdeka, polemik Rengas Dengklok, strategi Proklamasi, strategi “bersiasat” dengan Belanda, berbagai peristiwa kudeta, PRRI-Permesta, perebutan papua bahkan issu “tidak sedap” istri-istri Soekarno.

Semuanya menjadi bagian dari perjalanan Soekarno tidak dapat ditafsirkan “tunggal”. Semuanya menjadi polemik dan menjadi bagian sejarah penting dalam persoalan kebangsaan.

Tentu saja, Film Soekarno harus berpihak kepada suatu polemik dan mengabaikan fakta-fakta lain yang dianggap “benar”. Film Soekarno tidak dapat menafsirkan sebuah peristiwa karena memang sebagai sebuah Film, para kru tidak mungkin “terlibat” dari polemik yang ada.

Terlepas dari semuanya itu, kita harus memberikan apresiasi yang mendalam terhadap keberanian Film Soekarno yang bersedia menampilkan berbagai sisi humanisme diri Soekarno.

Ingat. Ini Film yang tidak dapat dipisahkan terhadap dunia entertainment. Ini bukan Film dokumenter yang dapat menjawab semuanya.

Namun sungguh disayangkan kemudian, pihak Rachmawati melakukan Laporan ke Polda Metro Jaya itu dilayangkan pada November 2013. Dia menuding Raam dan Hanung melanggar pasal 72 ayat 1, 2 dan 6 UU 19/2002 tentang Hak Cipta.

Penulis tidak terjebak dengan “persoalan hak cipta”. Karena bagi penulis itu masalah “rumit”. Penulis tidak mau terjebak.

Namun kemudian “mempersoalkan” hak cipta dari sebuah karya seni merupakan masalah serius. Masalah rumit yang memerlukan pembuktian yang panjang.

Apakah terhadap upaya berbagai pihak yang ingin menggambarkan Soekarrno dari berbagai persepsi akan kemudian diselesaikan secara hukum.

Sangat disayangkan apabila ini ditempuh. Selain akan “mematikan” kreativitas dari penggagas pembuatan Film, bisa dipastikan keinginan berbagai pihak menghadirkan “tontotan” bermutu akan padam.

Klaim kebenaran menjadi absolut. Sebuah cara-cara keniscayaan yang tidak tepat dalam sebuah karya seni.

Berangkat dari semangat itu, “penghentian” pemutaran Film Soekarno justru akan “membuat” peran Soekarno dalam tataran kebangsaan menjadi tidak terjawab.

Peran Soekarno justru akan menjadi diskusi-diskusi ilmiah dan perdebatan ahli sejarah. Padahal begitu penting peran Soekarno harus disampaikan kepada rakyat Indonesia.

Kita pernah menyaksikan “Sang Pencerah” peran K. H. Ahmad Dahlan, atau Film “Sang Kiai” yang menceritakan K.H. Hasyim Asa'ri. Dan praktis kita menyaksian “kebesaran” peran kedua tokoh ini dalam “memajukan” pemikiran islam.

Tentu saja, persoalan sejarah tidak pernah dapat diselesaikan. Berbagai misteri biarlah menjadi kajian sejarah. Sedangkan Film berusaha memotret “keteladanan” dari Sang Pemimpin.

Mengenai pilihan teknis dan berbagai pendekatan sejarah biarlah menjadi dari kru film yang tetap mengedepankan profesionalisme. Tinggal kita sendiri yang menilai.

Namun sungguh disayangkan, film kemudian menjadi persoalan hukum. Dan hukum pula yang “memerintahkan” agar dihentikan pemutaran film.

Yang pasti. Seorang pemimpin telah menjadi milik rakyat Indonesia. Biarlah rakyat Indonesia yang melihat keteladanan dari sang pemimpin tanpa “disibukkan” polemik yang kemudian malah “melarang” pemutaran film.

Sekali lagi. Cara ini tidak elegan.