Entah apa ya kata orang.
Seorang Suami, seorang Bapak mengajak “keluarga Besarnya” mendaki
Gunung Kerinci. Hmm. Entahlah.
Di saat semua orang telah
mengabarkan status di Facebook, suasana kekeluargaan di hotel
berbintang, di kolam renang. Entah berapa kali aku harus ketemu
dengan beberapa teman di bandara “memboyong” keluarga besarnya
naik pesawat ternama. “LIBURAN”. Katanya.
Hm.. Suasana itu pasti
berkesan bagi keluarga itu.
Tapi jangan tanya kepada
saya. Karena “suasana” kebahagiaan” tidak mempunyai standar
yang sama. Bahagia bagi orang tertentu belum tentu menjadi kebahagian
bagi saya. Bagi kami keluarga.
Latar belakang saya dan
istriku dari suka “Pendaki Gunung” yang tetap menganggap
“mendaki” gunung adalah “kebahagiaan”. Di alam bebas, kami
merasakan. “Suasana kekeluargaan”, tulus, tanpa pamrih. Segala
sesuatu “diukur” dengan sikap kita sendiri. Tidak ada egois.
Tidak ada yang “merasa lebih”. Tidak ada yang merasa kurang.
Dengan semangat yang
sama, kami berdiskusi. Mengambil pilihan mendaki akhir tahun di
Gunung Kerinci.
Komitmen itulah yang
disepakati. Hampir praktis selama sebulan persiapan dilakukan di
rumah. Diskusi terus berjalan. Persiapan demi persiapan. Catatan
barang yang harus dibeli. Catatan barang yang harus tersedia. Catatan
barang yang harus disiapkan. “Suasana heboh”.
Tentu saja, pendakian
gunung Kerinci merupakan perjalanan yang berat. Usiaku dan usiaku
sudah tidak muda lagi. Kami hanya mempunyai semangat.
Belum lagi gunung kerinci
merupakan salah satu perjalanan pendakian yang cukup berat. Tracking
yang menanjak terus, mengadah ke atas membuat kita berfikir “kapan
habisnya nih mendaki”. Tidak ada bonus, teriak teman2 yang sudah
diatas.
Saya tidak akan
membicarakan Kerinci dari kajian sejarah. Biarlah itu sudah menjadi
catatan panjang dari dokumen yang pernah saya baca. Saya tidak akan
mengulas Kerinci sebagai salah satu ornamen penting sebelum masuknya
peradaban dunia. Saya tidak akan membicarakan Kerinci sebagai salah
satu peradaban dunia sebelum membicarakan kebesaran Melayu. Atau
membicarakan Kerinci yang mempunyai aksara tersendiri jauh sebelum
adanya aksara Jawi apalagi aksara sanksekerta ataupun aksara latin.
Biarlah nanti itu akan saya tulis.
Begitu juga catatan
pendakian di Kerinci yang saya tulis. Tidak akan saya ulas karena itu
sudah ada dalam catatan berbagai pendaki yang tetap tertarik mendaki
gunung kerinci.
Tapi yang saya ceritakan
cuma “suasana” tiga dunia yang pada pendakian ini bersatu untuk
“mendaki Kerinci 2013”. Ya. Tidak dunia yang selama ini menemani
perjalanan hidup saya.
Dimensi Pertama
Pendakian tahun 2013
merupakan pendakian “reuni” para sahabat saya yang hampir 20
tahun tidak pernah mendaki bersama. Bertemunya pendakian dengan Nick
Karim, Beni, Heru ataupun Edi merupakan pendakian 20 tahun ataupun 10
tahun yang lalu. Mukri Friatna lebih sering menyebutkan “Pendakian
Veteran”.
Kami hanya bertemu di
keorganisasian seperti FAJI ataupun FPTI.
Harus diakui “usia”
kesemuanya diatas kepala empat membuat kami “menyadari”
pendakian ini bukanlah “gagahan” lagi. Pendakian ini hanya
“reuni” yang sudah sadar dengan usia.
Pendakian ini tentu saja
diselingi dengan berbagai gurauan sepanjang jalan. Entah berapa
banyak tingkah laku masing-masing personil yang tidak sadar menjadi
bahan gurauan.
Padahal perjalanan dari
pintu rimba ke Shelter 1 yang biasanya ditempuh 4 jam, kali ini di
tempuh 8 jam. Bayangkan 8 jam.
Entah berapa kali
“berhenti”. Kata berhenti “sebenarnya” bukan hanya berhenti
hanya istirahat ataupun menarik nafas. Tapi berhenti yang cukup lama.
Baik memasak air untuk membuat “energen” ataupun menghabiskan
sebungkus roti.
Belum lagi ketika memulai
pendakian, nafas tersengal-sengal hingga harus istirahat lama. Bukan
hanya habis nafas karena pendakian. Tapi habis nafas karena sepanjang
perjalanan tertawa terbahak-bahak.
Sehingga tidak salah
perjalanan kali ini lebih tepat disebutkan sebagai “pendakian”
menikmati alam. Demikian kata Nick Karim.
Dimensi Kedua
Pendakian ini juga
diwarnai dengan “Crew” Walhi. Baik dari Eknas Walhi yang diwakili
Mbak Yaya dan Mukri. Juga dihadiri oleh Ollan dan Kiki dari Jakarta,
4 orang dari Sumsel, para relawan yang pernah membantu posko gempa
Gempa tahun 2009, teman-teman dari pecinta alam dan anggota Walhi.
Semuanya merupakan bagian
dari kegiatan sehari-hari dari penulis di Walhi Jambi.
Pendakian ini lebih
serius setelah “mbak yaya” mempostingkan jalur “jogging” di
Senayan di wattapp. Jalur jogging dengan gambar dan rute yang telah
dilalui “seakan-akan” menegaskan. “SAYA SUDAH JOGGING. JADI
KHAN KITA MENDAKI KERINCI”.
Dan entah berapa kali di
telp, mbak yaya sebelum menutup pembicaran menutup dengan kalimat
yang sama. “kita jadi khan ke Kerinci, ketua”.
Pendakian ini kemudian
juga menarik perhatian teman dari Jakarta, Ollan dan Kiki. Keduanya
rela menggunakan jalur “backpacker” menempuh perjalanan darat
dari Jakarta. Bukan menggunakan bis jalur biasa, tapi menyeberang
Merak – Bakauheni kemudian meneruskan perjalanan dengan angkutan
yang biasa mangkal di Bakauheni.
Belum lagi Mukri setelah
dari Lampung pulang kampung menggunakan angkutan darat ke Jambi.
Semuanya melengkapi
cerita perjalanan panjang dan sudah pasti, selama di perjalanan
“Berkhayal” mendaki Kerinci.
Sementara di Jambi
sendiri, berbagai persiapan dilakukan. Hampir praktis 2 minggu
menjelang keberangkatan, berbagai cheking peralatan dilakukan. Baik
mengumpulkan berbagai peralatan untuk kelompok, memastikan siapa yang
ikut, mencatat barang dan kebutuhan kelompok yang hendak dibeli,
peralatan yang masih kurang, mempersiapkan berbagai surat peminjaman
ke KPA di jambi hingga rapat-rapat teknis “mematangkan rencana”.
Padahal saat bersamaan,
crew Walhi Jambi “sedang” mempersiapkan laporan akhir tahun,
mempersiapkan teknis Rapat Kerja, Rapat Pleno Dewan Daerah dan KDLH
bahkan menyusun program kerja 1 tahun mendatang.
Sehingga praktis, di
sela-sela jadwal yang begitu padat, berbagai persiapan terus
dilakukan. Tidak salah kemudian, pendakian ini menjadi istimewa bagi
Walhi Jambi sendiri. Selain ada materi ringan tentang “desk
disaster” Walhi terhadap tanggap bencana dan respon bencana, juga
menjadi “ajang” reuni antara Walhi Sendiri dengan jaringan dan
crew ED Walhi yang menjadi tuan rumah hajatan ini.
Sehingga tidak salah
kemudian, pendakian ini memang dinikmati dari proses persiapan yang
cukup matang.
Dimensi Ketiga
Pendakian ini juga
istimewa bagi penulis. Selain karena memang impian yang cukup lama
direncanakan, mengajak istri dan anak penulis merupakan salah satu
utang yang mesti dibayar.
Tidak ada yang perlu
disampaikan apakah begitu penting pendakian ini bagi penulis. Selain
memang penulis pernah mendaki bersama dengan istri penulis, penulis
juga pernah mendaki dengan putri penulis tahun 2010.
Pendakian tahun 2010
merupakan pendakian setelah tim posko bencana gempa tahun 2009
berkumpul di Posko. Dari hasil bincang-bincang kemudian disepakati
mendaki Kerinci untuk “sekedar” memberikan semangat baru kepada
tim yang telah berjibaku dalam posko.
Namun pendakian 2013
merupakan perpaduan antara pendakian “keluarga besar Nauli” yang
sebelumnya belum pernah terjadi. Pendakian ini antara penulis dengan
istri penulis dan pendakian antara penulis dengan putri penulis.
Semuanya dipadukan tahun 2013.
Untuk membuktikan
“keseriusan”, istri penulis sudah mempersiapkan fisik standar.
Hampir sebulan sudah jogging di gubernuran. Dan setiap malam, selalu
sms masuk ke HP penulis. Memastikan akan pendakian.
Sehingga tidak salah
kemudian pendakian ini merupakan dimensi yang cukup memberikan “warna
yang berbeda”. Sehingga bisa dipastikan, hanya penulis yang membawa
istri dan anak hingga mendaki. Sedangkan teman-teman yang lalu, hanya
ada yang membawa putranya saja. Ataupun yang lain cuma membawa
keluarga namun hanya di R 10, pos pertama sebelum pendakian. Lega
rasanya membawa keluarga lengkap mendaki di Kerinci.
3 Dimensi itulah yang
mewarnai perjalanan penulis selama pendakian. Selain harus bergelut
dengan “nafas” yang tidak kuat “tracking” yang terus
menanjak, harus memikirkan Crew Walhi yang harus “memobilisasi”
agar acara jangan tercecer, memastikan tim agar dapat “memberikan”
keceriaan sepanjang perjalanan, hingga terpecah konsentrasi kepada
istri penulis dan putri penulis. Semuanya “menyita” pemikiran,
mengatur emosi hingga mengatur nafas.. Ha.. ha.. seru abis.
Suasana dan pikiran
dengan 3 dimensi itulah sebenarnya “memberikan” tenaga dahsyat
yang membuat penulis tetap menghitung langkah demi langkah.
Menguatkan pemikiran agar terus berjalan. Menata langkah demi langkah
sembari memastikan didepan agar terus berjalan. Semuanya energi yang
besar. Energi yang selalu menginspirasi dan terus menaklukan diri
sendiri. Tidak ada yang perlu dipamerkan. Semuanya menyatu dengan
alam.
Makna inilah yang
sebenarnya pendakian tahun 2013. Makna yang terus memberikan
“kekuatan” kepada penulis hingga menatap tahun 2014. Energi yang
memberikan “inspirasi”. Energi yang memberikan dorongan agar
terus berjalan dan menatap yang bisa dilalui dengan langkah
sederhana.
Ya. Pendakian tahun 2013
merupakan makna yang belum pernah penulis rasakan pendakian
tahun-tahun sebelumnya. Pendakian tahun 2013 merupakan seribu makna
dan sejuta rasa.
Terima kasih atas
semuanya.