26 Desember 2013

opini musri nauli : TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJK

Judul diatas sengaja mengambil judul yang sama dengan buku HAMKA dan film yang sekarang sedang diputar di berbagai bioskop di Indonesia.

Sebagai sebuah judul buku kemudian menyaksikan filmnya, penulis “seakan-akan” penasaran apakah film tersebut mampu membangkitkan emosi penonton dan bisa memindahkan emosi dalam buku ke dalam film.


Itulah “keinginan” dari penulis apabila sebuah film diangkat dari buku legendaris. Selain dibutuhkan berbagai setting film yang bisa mendukung pesan dari novel, film harus bisa menceritakan berbagai rangkaian cerita yang enak di tonton.
Pada saat penulis membaca buku HAMKA, harus diakui buku ini melebihi pemikiran pada tahun 1930-an. HAMKA mampu menceritakan berbagai suasana di Batipuh, Padang Panjang dan berbagai kota dengan sangat runut. Selain menceritakan berbagai kebesaran adat Minangkabau, HAMKA juga membangkitkan dan mengaduk-aduk rasa emosional pembaca. Dengan “jenius”, HAMKA bisa menceritakan dengan baik adat Minangkabau, persoalan pelik hukum adat di Minangkabau dan rasa percintaan yang pada buku ini disusun oleh HAMKA, merupakan masalah pelik antara tarik menarik rasa percintaan dengan perkembangan masyarakat ketika itu.

Dengan “lihai”, HAMKA memaparkan keadaan suasana “kolot” adat Minangkabau namun tanpa menghakimi, HAMKA menawarkan suasana berbagai tema modern untk melawan kekolotan. Tanpa harus menolak hukum adat Minangkabau, Tema percintaan menemukan momentum berbagai rasa anak manusia.

Dari sinilah berbagai jalinan mulai disusun oleh HAMKA. Sehingga tidak salah kemudian karya HAMKA merupakan salah satu novel legendaris yang penulis hormati. Sehingga tidak salah kemudian ketika berbagai berita mulai mengabarkan akan dijadikan film dan kemudian siap tayang, rasa penasaran itulah yang penulis amati didalam menonton film ini.

Jalinan Cerita

Harus diakui, ada kesulitan dari kru film untuk menterjemahkan film yang bernilai sastra tinggi ini menjadi film yang mudah dicermati dalam kondisi kekinian.

Dalam diskusi dengan istri penulis yang juga guru Bahasa Indonesia, jalinan yang disusun masih jauh dari harapan penulis. Ibarat langit dengan bumi.

Cerita dibangun hanya menggambarkan cerita biasa. “PERSIS SEPERTI SINETRON”, ketus istri penulis. Ya. Harus diakui, memang jalinan ceritanya datar.

Sebagai contoh, harusnya dibacakan bait-bait puisi tentang makna cinta yang disampaikan oleh HAMKA. Terlalu banyak kata-kata penting yang menggambarkan kekuatan cinta yang dipaparkan oleh HAMKA justru tidak terlihat sama sekali.

Padahal itulah kekuatan dari cerita HAMKA. Konflik antara kebesaran adat Minangkabau dengan percintaan.

Kita masih ingat cerita “Siti Nurbaya” yang pernah ditayangkan di TVRI. Bagaimana peran “datuk Maringgih” yang membuat kita dongkol akan seorang datuk yang begitu berkuasa di Minangkabau, menggunakan hartanya kemudian meminang “Siti Nurbaya”

Kita juga ingat sekali peran itu begitu kental dalam pemikiran kita sehingga membicarakan “Siti Nurbaya”, maka teringat dengan Datuk Maringgih.

Mengapa jalur cerita “Siti Nurbaya” bisa mengalahkan jalur dan jalinan cerita dari Film ini. Itu persoalan pertama.

Persoalan kedua. Mengapa tokoh karakter kuat yang biasa tampil dalam berbagai film tidak terlibat didalamnya.

Mengapa artis seperti Alex Komang atau Christine Hakim tidak dilibatkan ? Padahal Christine Hakim bisa menjadi ibu asuh dari Zainuddin. Pasti karakter kuat akan muncul.

Upaya pihak produksi membangkitkan “suasana” pacuan kuda belum begitu kental. Masih kalah dengan film dokumenter “balapan sapi” di Madura.

Settting

Berbeda dengan “Titanic” yang bisa membangkitkan rasa percintaan dan kebesaran Titanic yang diangkat dari berbagai riset yang mendalam, suasana tenggelamnya Kapal Van der Wijk terasa datar. Kurang tergali “rasa cinta” Hayati yang tetap memegang photo Zainuddin. Kalah kuat emosi yang dibangun dari buku dengna film yang disajikan.

Bandingkan dengan film “Titanic” yang melakukan riset 20 tahun hingga detail terhadap berbagai ornamen kapal yang mirip pada tahun 1920-an.

Kru kurang sekali melakukan riset yang mendalam terhadap kapal Van der Wijk. Memang khas film-fim Indonesia.

Setting yang dibangun masih terlalu “tawar” dan datar. Kering dan gagal membangkitkan emosi penonton.

Arransemen

Begitu juga dengan musik didalam film. Bandingkan dengan “siti nurbaya” yang hidup berbagai musik tradisional seperti “saluang”, rebab maupun musik tradisional sehingga “kebesaran Minangkabau” dapat terbaca kuat.

Musik dalam film ini masih jauh dari kata bagus. Nidji gagal menangkap pesan dari Film ini. Padahal dalam Laskar Pelangi, karakter Nidji begitu kuat.

Entah memang film ini “kurang dipersiapkan dengan baik”, musik kurang membangkitkan “suasana percintaan”, konflik hukum adat Minangkabau”, hingga berbagai tema yang tidak terjalin. Semuanya datar.

Hm.. Entahlah.

Harus diakui, film yang diangkat dari novel akan memberikan “penilaian” tersendiri bagi penonton. Karakter yang begitu kuat dari novel akan dijadikan penilaian tersendiri bagi penonton film. Dan apabila kita tidak menemukan “pesan” dan karakter yang kuat dari novel, maka bisa dipastikan film tersebut akan tenggelam dengan rasa “novel itu sendiri.
Semuanya berangkat dari “karaktek” kita membaca sang Novelis. Tentu saja sang kru film kurang menggali HAMKA itu sendiri, latar belakang HAMKA, sejarah panjang HAMKA dan berbagai pandangannya sendiri terhadap berbagai tema seperti agama, budaya dan sastra itu sendiri.

Apabila kita gagal memahami HAMKA itu sendiri, maka bisa dipastikan, rasa sastra dari HAMKA tidak terbangun.

Dan sekali lagi saya harus katakan, Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk “persis” Sinetron. Cerita dibangun mendayu-dayu, tanpa karakter kuat dari jalur cerita dan pemerannya. Dan yang pasti cuma bisa menghibur tanpa memberikan “keteladanan” dari novel itu sendiri.

Sekali lagi, Maaf saya katakan. Saya lebih suka membaca buku Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk daripada melihat film itu sendiri.

Dan kekaguman saya kepada HAMKA, karena cerita dibangun “sangat orisinal” dan membangkit emosi yang mendalam. Dan kekaguman saya bertambah ketika cerita yang dibangun merupakan novel fiksi, HAMKA sendiri merupakan tokoh agama yang dikagumi dengan menyelesaikan Tafsir Al Azhar sebagai karya “adiluhung” di bidang Islam.

Bayangkan. Tokoh Agama yang menghasilkan berjilid-jilid buku Islam, namun bisa menceritakan novel dengan baik.

Dan sekali maaf. Semuanya tidak bisa terekam dengan baik didalam film itu.