Judul diatas sengaja
mengambil judul yang sama dengan buku HAMKA dan film yang sekarang
sedang diputar di berbagai bioskop di Indonesia.
Sebagai sebuah judul buku
kemudian menyaksikan filmnya, penulis “seakan-akan” penasaran
apakah film tersebut mampu membangkitkan emosi penonton dan bisa
memindahkan emosi dalam buku ke dalam film.
Itulah “keinginan”
dari penulis apabila sebuah film diangkat dari buku legendaris.
Selain dibutuhkan berbagai setting film yang bisa mendukung pesan
dari novel, film harus bisa menceritakan berbagai rangkaian cerita
yang enak di tonton.
Pada saat penulis membaca
buku HAMKA, harus diakui buku ini melebihi pemikiran pada tahun
1930-an. HAMKA mampu menceritakan berbagai suasana di Batipuh, Padang
Panjang dan berbagai kota dengan sangat runut. Selain menceritakan
berbagai kebesaran adat Minangkabau, HAMKA juga membangkitkan dan
mengaduk-aduk rasa emosional pembaca. Dengan “jenius”, HAMKA bisa
menceritakan dengan baik adat Minangkabau, persoalan pelik hukum adat
di Minangkabau dan rasa percintaan yang pada buku ini disusun oleh
HAMKA, merupakan masalah pelik antara tarik menarik rasa percintaan
dengan perkembangan masyarakat ketika itu.
Dengan “lihai”, HAMKA
memaparkan keadaan suasana “kolot” adat Minangkabau namun tanpa
menghakimi, HAMKA menawarkan suasana berbagai tema modern untk
melawan kekolotan. Tanpa harus menolak hukum adat Minangkabau, Tema
percintaan menemukan momentum berbagai rasa anak manusia.
Dari sinilah berbagai
jalinan mulai disusun oleh HAMKA. Sehingga tidak salah kemudian karya
HAMKA merupakan salah satu novel legendaris yang penulis hormati.
Sehingga tidak salah kemudian ketika berbagai berita mulai
mengabarkan akan dijadikan film dan kemudian siap tayang, rasa
penasaran itulah yang penulis amati didalam menonton film ini.
Jalinan Cerita
Harus diakui, ada
kesulitan dari kru film untuk menterjemahkan film yang bernilai
sastra tinggi ini menjadi film yang mudah dicermati dalam kondisi
kekinian.
Dalam diskusi dengan
istri penulis yang juga guru Bahasa Indonesia, jalinan yang disusun
masih jauh dari harapan penulis. Ibarat langit dengan bumi.
Cerita dibangun hanya
menggambarkan cerita biasa. “PERSIS SEPERTI SINETRON”, ketus
istri penulis. Ya. Harus diakui, memang jalinan ceritanya datar.
Sebagai contoh, harusnya
dibacakan bait-bait puisi tentang makna cinta yang disampaikan oleh
HAMKA. Terlalu banyak kata-kata penting yang menggambarkan kekuatan
cinta yang dipaparkan oleh HAMKA justru tidak terlihat sama sekali.
Padahal itulah kekuatan
dari cerita HAMKA. Konflik antara kebesaran adat Minangkabau dengan
percintaan.
Kita masih ingat cerita
“Siti Nurbaya” yang pernah ditayangkan di TVRI. Bagaimana peran
“datuk Maringgih” yang membuat kita dongkol akan seorang datuk
yang begitu berkuasa di Minangkabau, menggunakan hartanya kemudian
meminang “Siti Nurbaya”
Kita juga ingat sekali
peran itu begitu kental dalam pemikiran kita sehingga membicarakan
“Siti Nurbaya”, maka teringat dengan Datuk Maringgih.
Mengapa jalur cerita
“Siti Nurbaya” bisa mengalahkan jalur dan jalinan cerita dari
Film ini. Itu persoalan pertama.
Persoalan kedua. Mengapa
tokoh karakter kuat yang biasa tampil dalam berbagai film tidak
terlibat didalamnya.
Mengapa artis seperti
Alex Komang atau Christine Hakim tidak dilibatkan ? Padahal Christine
Hakim bisa menjadi ibu asuh dari Zainuddin. Pasti karakter kuat akan
muncul.
Upaya pihak produksi
membangkitkan “suasana” pacuan kuda belum begitu kental. Masih
kalah dengan film dokumenter “balapan sapi” di Madura.
Settting
Berbeda dengan “Titanic”
yang bisa membangkitkan rasa percintaan dan kebesaran Titanic yang
diangkat dari berbagai riset yang mendalam, suasana tenggelamnya
Kapal Van der Wijk terasa datar. Kurang tergali “rasa cinta”
Hayati yang tetap memegang photo Zainuddin. Kalah kuat emosi yang
dibangun dari buku dengna film yang disajikan.
Bandingkan dengan film
“Titanic” yang melakukan riset 20 tahun hingga detail terhadap
berbagai ornamen kapal yang mirip pada tahun 1920-an.
Kru kurang sekali
melakukan riset yang mendalam terhadap kapal Van der Wijk. Memang
khas film-fim Indonesia.
Setting yang dibangun
masih terlalu “tawar” dan datar. Kering dan gagal membangkitkan
emosi penonton.
Arransemen
Begitu juga dengan musik
didalam film. Bandingkan dengan “siti nurbaya” yang hidup
berbagai musik tradisional seperti “saluang”, rebab maupun musik
tradisional sehingga “kebesaran Minangkabau” dapat terbaca kuat.
Musik dalam film ini
masih jauh dari kata bagus. Nidji gagal menangkap pesan dari Film
ini. Padahal dalam Laskar Pelangi, karakter Nidji begitu kuat.
Entah memang film ini
“kurang dipersiapkan dengan baik”, musik kurang membangkitkan
“suasana percintaan”, konflik hukum adat Minangkabau”, hingga
berbagai tema yang tidak terjalin. Semuanya datar.
Hm.. Entahlah.
Harus diakui, film yang
diangkat dari novel akan memberikan “penilaian” tersendiri bagi
penonton. Karakter yang begitu kuat dari novel akan dijadikan
penilaian tersendiri bagi penonton film. Dan apabila kita tidak
menemukan “pesan” dan karakter yang kuat dari novel, maka bisa
dipastikan film tersebut akan tenggelam dengan rasa “novel itu
sendiri.
Semuanya berangkat dari
“karaktek” kita membaca sang Novelis. Tentu saja sang kru film
kurang menggali HAMKA itu sendiri, latar belakang HAMKA, sejarah
panjang HAMKA dan berbagai pandangannya sendiri terhadap berbagai
tema seperti agama, budaya dan sastra itu sendiri.
Apabila kita gagal
memahami HAMKA itu sendiri, maka bisa dipastikan, rasa sastra dari
HAMKA tidak terbangun.
Dan sekali lagi saya
harus katakan, Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk “persis”
Sinetron. Cerita dibangun mendayu-dayu, tanpa karakter kuat dari
jalur cerita dan pemerannya. Dan yang pasti cuma bisa menghibur tanpa
memberikan “keteladanan” dari novel itu sendiri.
Sekali lagi, Maaf saya
katakan. Saya lebih suka membaca buku Novel Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijk daripada melihat film itu sendiri.
Dan kekaguman saya kepada
HAMKA, karena cerita dibangun “sangat orisinal” dan membangkit
emosi yang mendalam. Dan kekaguman saya bertambah ketika cerita yang
dibangun merupakan novel fiksi, HAMKA sendiri merupakan tokoh agama
yang dikagumi dengan menyelesaikan Tafsir Al Azhar sebagai karya
“adiluhung” di bidang Islam.
Bayangkan. Tokoh Agama
yang menghasilkan berjilid-jilid buku Islam, namun bisa menceritakan
novel dengan baik.
Dan sekali maaf. Semuanya
tidak bisa terekam dengan baik didalam film itu.