Schapelle Leigh Corby,
terpidana kasus narkoba asal Australia kemudian bebas bersyarat.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan grasi kepada Corby
melalui Keppres No 22/G Tahun 2012 sehingga perempuan Australia
mendapat pengurangan hukuman menjadi 15 tahun. Dalam kurun waktu
2006-2011, Corby juga pernah mendapatkan remisi sebesar 25 bulan.
Corby menjadi sorotan
media Australia sejak dia ditangkap di Bandara Internasional Ngurah
Rai, Bali, pada 2004, karena kedapatan membawa ganja seberat 4,1
kilogram. Pengadilan Negeri Denpasar menjatuhkan vonis hukuman 20
tahun penjara terhadap Corby.
Hari ini kemudian Corby “bebas
bersyarat'.
Apa yang salah dalam peristiwa itu ?
Tidak ada yang salah.
Presiden berdasarkan konstitusi UUD 1945 mempunyai “hak memberikan
grasi” kepada siapapun. Presiden tidak melanggar konstitusi.
Grasi diberikan setelah
SBY “melihat” Corby mempunyai kelakuan yang baik dan dapat
diharapkan memperbaiki di tengah masyarakat.
Hmm. Tapi apa memang
benar tidak ada yang salah ?
Sekarang mari kita lihat
satu persatu.
Dalam persidangan, Corby
terbukti membawa ganja seberat 4,1 kilogram. Tuduhan membawa ganja
4,1 kilogram bukan tuduhan main-main. Ganja seberat 4,1 kilogram
terlalu banyak apabila dipakai Corby bersama teman-temannya untuk
berlibur di Bali.
Sehingga alasan Corby
“tas pernah dititipkan orang lain”, “digunakan bersama-sama
dengan temannya berlibur di Bali” tidak dapat diterima oleh hakim.
Hakim menganggap Corby secara serius mengedarkan ganja.
Sehingga hakim kemudian
menjatuhkan vonis yang berat. 20 tahun. Walaupun Corby bisa dijatuhi
hukuman mati atau seumur hidup.
Namun kenyataan lain.
Putusan Pengadilan
sebagai “ikrar” Indonesia memerangi narkoba tidak disambut oleh
seluruh komponen.
Kampanye besar-besar BNN
yang terus merilis jumlah pengguna narkoba disampaikan. Tentu saja
selain “menghukum” pengguna narkoba, jaringan narkoba harus
diusut tuntas.
Proses persidangan Corby
membuktikan, Corby terlibat jaringan narkoba internasional yang cukup
serius. Jumlah narkoba yang dibawanya “sudah membuktikan”, Corby
tidak dapat dianggap remeh.
Pembelaan Corby sudah
didengarkan dimuka persidangan. Pengadilan sudah mempertimbangkan.
Pengadilan berpendapat lain sehingga Corby bersalah dan dijatuhi
hukum yang setimpal.
Namun upaya ini kemudian
“memantik” hubungan Indonesia – Australia. Australia kemudian
“menuduh” pengadilan Indonesia tidak fair sehingga proses Corby
membuat hubungan Indonesia – Australia sedikit panas.
Entah memang tekanan dari
Pemerintah Australia yang cukup kuat, SBY kemudian bergeming. SBY
kemudian meminta “pertimbangan” Mahkamah Agung sebelum
mengabulkan grasi dari Corby.
Kita masih ingat ketika
grasi dikabulkan, alasan grasi karena dianggap Corby merupakan
rekayasa kasus. Corby hanya menerima apes dari barang yang
dititipkan.
Padahal apabila SBY ingin
memberikan grasi. Berikan saja grasi sebagaimana kewenangan Presiden
berdasarkan konstitusi.
Namun menggunakan alasan
tersebut selain akan mencederai proses hukum terhadap Corby,
penghormatan terhadap hukum diabaikan. Kesan Pemerintah Indonesia
tunduk dari kemauan dari Pemerintah Australia tidak dapat
dihindarkan.
Penulis masih ingat
bagaimana Wamenkumham “sibuk” mengklarifikasi alasan logis
dikabulkannya permohonan grasi. Alasan grasi hingga kini tidak dapat
diterima dengan akal sehat (common sense).
Padahal masih banyak
permohonan grasi dari warga negara Indonesia yang tidak dikabulkan
oleh Presiden.
Pemerintah Indonesia
hanya membangun “citra” dan menyenangkan Pemerintah Australia.
Dan disaat hubungan
Indonesia – Australia mengalami pasang surut setelah
“terbongkarnya” Pemerintah Australia “menyadap” beberapa
pejabat penting Indonesia, justru Indonesia “malah” mengabulkan
grasi dan kemudian memberikan remisi sehingga Corby dapat menjalani
asimilasi.
Penulis sedang
mengkalkulasikan “apa yang dilakukan” Pemerintah Australia
sehingga Indonesia “terkesan” lembek dan tunduk dengan “kemauan”
Australia.
Dengan melihat
keberhasilan “diplomasi” Australia, maka Australia “sedang
memainkan” kartu truf yang “dikeluarkan” sedikit demi sedikit.
Pemerintah Australia “piawai” sehingga dalam hubungan diplomatik,
Pemerintah Indonesia “gagal” menyampaikan pesan dari Indonesia
yang mengikrarkan “negara hukum”. Pemerintah Australia “berhasil
menggiring” sehingga persoalan hukum Corby “digeser” menjadi
issu politik.
Sebagai issu politik,
maka Pemeritah Australia “terus berjuang” untuk mendapatkan
kebebasan Corby.
Issu Corby mampu menjadi
“alat ukur” rakyat Australia terhadap Pemerintahan Australia.
Dengan beban itulah, maka
berbagai upaya diplomasi Australia terus digalang. Selain dukungan
dari dalam negeri, Pemerintah Australia “berhasil” memastikan”
issu Corby menjadi pembicaraan penting dalam hubungan internasional
kedua negara.
Pemerintah Australia
memenangkan dua kemenangan telak. Selain issu “penyadapan” tidak
menjadi perhatian penuh Pemerintah Indonesia, Australia “berhasil”
mengeluarkan Corby dari LP Krobokan.
Salut untuk Pemerintah
Australia.