09 Februari 2014

opini musri nauli : STRATEGI AUSTRALIA “MEMBEBASKAN” CORBY



Schapelle Leigh Corby, terpidana kasus narkoba asal Australia kemudian bebas bersyarat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan grasi kepada Corby melalui Keppres No 22/G Tahun 2012 sehingga perempuan Australia mendapat pengurangan hukuman menjadi 15 tahun. Dalam kurun waktu 2006-2011, Corby juga pernah mendapatkan remisi sebesar 25 bulan.

Corby menjadi sorotan media Australia sejak dia ditangkap di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, pada 2004, karena kedapatan membawa ganja seberat 4,1 kilogram. Pengadilan Negeri Denpasar menjatuhkan vonis hukuman 20 tahun penjara terhadap Corby.
Hari ini kemudian Corby “bebas bersyarat'.

Apa yang salah dalam peristiwa itu ?

Tidak ada yang salah. Presiden berdasarkan konstitusi UUD 1945 mempunyai “hak memberikan grasi” kepada siapapun. Presiden tidak melanggar konstitusi.

Grasi diberikan setelah SBY “melihat” Corby mempunyai kelakuan yang baik dan dapat diharapkan memperbaiki di tengah masyarakat.

Hmm. Tapi apa memang benar tidak ada yang salah ?

Sekarang mari kita lihat satu persatu.

Dalam persidangan, Corby terbukti membawa ganja seberat 4,1 kilogram. Tuduhan membawa ganja 4,1 kilogram bukan tuduhan main-main. Ganja seberat 4,1 kilogram terlalu banyak apabila dipakai Corby bersama teman-temannya untuk berlibur di Bali.

Sehingga alasan Corby “tas pernah dititipkan orang lain”, “digunakan bersama-sama dengan temannya berlibur di Bali” tidak dapat diterima oleh hakim. Hakim menganggap Corby secara serius mengedarkan ganja.

Sehingga hakim kemudian menjatuhkan vonis yang berat. 20 tahun. Walaupun Corby bisa dijatuhi hukuman mati atau seumur hidup.

Namun kenyataan lain.

Putusan Pengadilan sebagai “ikrar” Indonesia memerangi narkoba tidak disambut oleh seluruh komponen.

Kampanye besar-besar BNN yang terus merilis jumlah pengguna narkoba disampaikan. Tentu saja selain “menghukum” pengguna narkoba, jaringan narkoba harus diusut tuntas.

Proses persidangan Corby membuktikan, Corby terlibat jaringan narkoba internasional yang cukup serius. Jumlah narkoba yang dibawanya “sudah membuktikan”, Corby tidak dapat dianggap remeh.

Pembelaan Corby sudah didengarkan dimuka persidangan. Pengadilan sudah mempertimbangkan. Pengadilan berpendapat lain sehingga Corby bersalah dan dijatuhi hukum yang setimpal.

Namun upaya ini kemudian “memantik” hubungan Indonesia – Australia. Australia kemudian “menuduh” pengadilan Indonesia tidak fair sehingga proses Corby membuat hubungan Indonesia – Australia sedikit panas.

Entah memang tekanan dari Pemerintah Australia yang cukup kuat, SBY kemudian bergeming. SBY kemudian meminta “pertimbangan” Mahkamah Agung sebelum mengabulkan grasi dari Corby.

Kita masih ingat ketika grasi dikabulkan, alasan grasi karena dianggap Corby merupakan rekayasa kasus. Corby hanya menerima apes dari barang yang dititipkan.

Padahal apabila SBY ingin memberikan grasi. Berikan saja grasi sebagaimana kewenangan Presiden berdasarkan konstitusi.

Namun menggunakan alasan tersebut selain akan mencederai proses hukum terhadap Corby, penghormatan terhadap hukum diabaikan. Kesan Pemerintah Indonesia tunduk dari kemauan dari Pemerintah Australia tidak dapat dihindarkan.

Penulis masih ingat bagaimana Wamenkumham “sibuk” mengklarifikasi alasan logis dikabulkannya permohonan grasi. Alasan grasi hingga kini tidak dapat diterima dengan akal sehat (common sense).

Padahal masih banyak permohonan grasi dari warga negara Indonesia yang tidak dikabulkan oleh Presiden.

Pemerintah Indonesia hanya membangun “citra” dan menyenangkan Pemerintah Australia.

Dan disaat hubungan Indonesia – Australia mengalami pasang surut setelah “terbongkarnya” Pemerintah Australia “menyadap” beberapa pejabat penting Indonesia, justru Indonesia “malah” mengabulkan grasi dan kemudian memberikan remisi sehingga Corby dapat menjalani asimilasi.

Penulis sedang mengkalkulasikan “apa yang dilakukan” Pemerintah Australia sehingga Indonesia “terkesan” lembek dan tunduk dengan “kemauan” Australia.

Dengan melihat keberhasilan “diplomasi” Australia, maka Australia “sedang memainkan” kartu truf yang “dikeluarkan” sedikit demi sedikit. Pemerintah Australia “piawai” sehingga dalam hubungan diplomatik, Pemerintah Indonesia “gagal” menyampaikan pesan dari Indonesia yang mengikrarkan “negara hukum”. Pemerintah Australia “berhasil menggiring” sehingga persoalan hukum Corby “digeser” menjadi issu politik.

Sebagai issu politik, maka Pemeritah Australia “terus berjuang” untuk mendapatkan kebebasan Corby.

Issu Corby mampu menjadi “alat ukur” rakyat Australia terhadap Pemerintahan Australia.

Dengan beban itulah, maka berbagai upaya diplomasi Australia terus digalang. Selain dukungan dari dalam negeri, Pemerintah Australia “berhasil” memastikan” issu Corby menjadi pembicaraan penting dalam hubungan internasional kedua negara.

Pemerintah Australia memenangkan dua kemenangan telak. Selain issu “penyadapan” tidak menjadi perhatian penuh Pemerintah Indonesia, Australia “berhasil” mengeluarkan Corby dari LP Krobokan.

Salut untuk Pemerintah Australia.