Pilpres
2014 telah berlalu. Suasana hiruk pikuk yang mewarnai pilpres
memberikan banyak pelajaran. Baik kepada pendukung Prabowo-Hatta
ataupun Jokowi-JK.
Namun
tentu saja pilpres tidak boleh berlalu begitu saja. Pembelajaran
pilpres tidak boleh hanya sekedar pengetahuan segelintir orang.
Pembelajaran pilpres harus menjadi pembelajaran kita semua.
Pertama.
Hasil pileg 2014 memberikan gambaran konfigurasi peta politik 2014.
Dalam hitung-hitungan matematika, Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Perjuangan memperoleh 109 kursi. Partai Golongan Karya (Golkar)
memperoleh 91 kursi. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
memperoleh 73 kursi. Partai Demokrat memperoleh 61 kursi. Partai
Amanat Nasional (PAN) memperoleh 49 kursi. Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) memperoleh 47 kursi. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memperoleh
40 kursi. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memperoleh 39 kursi.
Partai Nasdem memperoleh 35 kursi
Partai
Hati Nurani Rakyat (Hanura) memperoleh 16 kursi.
Dengan
melihat konfigurasi suara yang diraih, maka pada saat pilpres, Jokowi
hanya didukung PDI-P, PKB, Partai Nasdem dan Partai Hanura. Sedangkan
Prabowo didukung oleh Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai
Demokrat, PPP, PAN, PKS.
Dunia
kampus kemudian menghitung kemenangan yang mudah diraih oleh
Prabowo-Hatta. Apalagi ditambah dengan mesin politik yang canggih,
jaringan yang luas, pendanaan yang tidak terbatas berhadapan dengan
mesin partai pendukung Jokowi-Kalla. PDIP yang 10 tahun mengambil
sikap oposisi, Partai Nasdem sebagai pemain baru dan PKB yang dominan
di Jawa Timur.
Namun
Jokowi – Kalla berhasil menang tipis 53 % - 47 % atau sekitar 8,4
juta suara.
Kedua.
Pada tanggal 9 Juli 2014, usai mencoblos, politik pilpres digegerkan
dengan “perdebatan” hasil quick count. Lembaga-lembaga
quick qount menyodorkan hasil kemenangan Jokowi-Kalla dengan kisaran
angka 63% - 47%. Pihak Prabowo-Hatta menolak hasil quick count dan
menyodorkan angka kemenangan tipis 50,54% - 48,46%. Bahkan pake acara
“sujud syukur”.
Dunia
politik kemudian geger. Berbagai tudingan yang berbau politik
mengalir. Pihak Prabowo-Hatta menuduh responden yang dijadikan sampel
dalam penghitungan terlalu sedikit. Sedangkan pihak Jokowi-kalla
meminta lembaga-lembaga quick count pihak Prabowo-Hatta agar
mengumumkan responden dan daerah yang dijadikan pemantauan.
Tuduhan
semakin serius ketika pihak Prabowo-Hatta malah mengeluarkan tema
“real count”.
Perdebatan
mulai mengkhawatirkan. Metode quick count mulai dipersoalkan. Metode
ilmiah yang sering digunakan dalam membaca dinamika masyarakat
dipertentangkan dengan kepentingan pragmatis politik.
Sikap
apatis dari pihak Prabowo-Hatta tidak berakhir. Hingga menjelang
pengumuman KPU, data-data real count sama sekali tidak pernah
diperlihatkan.
Ketiga.
Belum usai “suasana paska pengumuman KPU”, geger politik
tidak berhenti. Pihak Prabowo-Hatta kemudian mengajukan keberatan
hasil pilpres 2014 ke MK.
Dalam
persidangan pilpres 2014, para pihak menghadirkan ahli. Dari pihak
pemohon diantaranya dihadirkan Yusril Ihza Mahendra (YIM), Margarito
Kamis, Imron Putra Sidin (IPS). Sedangkan dari KPU dihadirkan Harjono
(mantan hakim MK). Dan dari pihak Jokowi diantaranya menghadirkan
Saldi Isra.
Namun
yang menarik adalah pernyataan dari Margarito Kamis, Dengan lugas
Margarito Kamis mempersoalkan pemilihan menggunakan fasilitas DPK dan
DPKTb. “DPK dan DPKTb tidak sah dan melanggar UU di mana semua
hasilnya bertentangan dengan hukum dan harus didiskualifikasi. "Saya
berpendat pemilu adalah peristiwa konstitusi. Pelanggaran prosedur
akan menghilangkan keabsahan pilpres dan menurut saya penggunaan DKTb
tidak sah”
Pernyataan
yang sudah dipertimbangkan MK. Sehingga tidak relevan lagi
dibicarakan.
Benang
merah terhadap berbagai peristiwa menjelang pilpres dan paska pilpres
memberikan catatan penting.
Dunia
kampus dan dunia intelektual di Indonesia “terjebak”
dengan teori-teori politik klasik. Dunia intelektual “terkurung”
dalam menara gading. Memotret dengan melihat struktur partai modern.
Dunia intelektual mengcopy paste pengetahuan politik dari
negara-negara maju.
Dunia
intelektual kemudian “kaget” dengan kenyataan yang
terjadi. Dunia intelektual “tergagap” ketika teori-teori
usang dari negara-negara maju belum menangkap essensi dari dunia
politik di Indonesia.
Dalam
membicarakan tentang Intelektual, maka saya teringat kepada konsep
Antonio Gramsci dalam bukunya “Negara dan Hegemoni”. Bagi
Gramsci, setiap orang memiliki bakat dan potensi intelektual. Gramsci
membagi pengertian intelektual dalam dua kategori, yakni intelektual
tradisional dan intelektual organic.
Yang
dimaksud dengan intelektual tradidional adalah intelektual yang belum
meluas dan digerakan oleh produksi. Sedangkan intelektual organic
yakni intelektual yang memiliki kemampuan untuk sebagai organisator
politik yang menyadari identitas yang mewakili dan diwakili.
Jenis
intelektual yang mampu melakukan pekerjaan transformatif bagi
kemajuan disebut Antonio Gramsci sebagai intelektual organik, yang
berbeda dengan intelektual tradisional, yang hanya terikat pada pakem
akademis, jauh dari sentuhan kebutuhan masyarakat.
Dunia
intelektual kemudian “memilih” menjadi intelektual
mekanik. Terikat dengan pakem akademis. Persis seperti mesin.
Berfungsi “entry”. Yang menghitung berbagai indikator
“persis” seperti mesin kalkulator yang tinggal “print
out”.
Dunia
intelektual tidak mau menggulung lengan baju. Menyingsingkan lengan
dan turun ke bawah. Mendatangi basis-basis politik. Mendengarkan
suara “relung hati rakyat”. Memotret politik dari posisi
yang terpinggirkan.
Mereka
kemudian menjadi rutinitas dan mengikuti langgam irama yang dimainkan
oleh penguasa.
Dunia
intelektual “hanya” memaparkan kajian ilmiah di
gedung-gedung ber-AC. Jauh dari essensi dari pandangan masyarakat
terhadap politik.
Dunia
intelektual kemudian tertatih-tatih mengejar perkembangan politik
yang berkembang begitu cepat. Ketika mereka sadar, mereka sudah
ketinggalan jauh dan hanya berujar. “saya tidak memahami apa
yang terjadi.