27 Agustus 2014

opini musri nauli : KESOMBONGAN INTELEKTUAL



Pilpres 2014 telah berlalu. Suasana hiruk pikuk yang mewarnai pilpres memberikan banyak pelajaran. Baik kepada pendukung Prabowo-Hatta ataupun Jokowi-JK.

Namun tentu saja pilpres tidak boleh berlalu begitu saja. Pembelajaran pilpres tidak boleh hanya sekedar pengetahuan segelintir orang. Pembelajaran pilpres harus menjadi pembelajaran kita semua.
Pertama. Hasil pileg 2014 memberikan gambaran konfigurasi peta politik 2014. Dalam hitung-hitungan matematika, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan memperoleh 109 kursi. Partai Golongan Karya (Golkar) memperoleh 91 kursi. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) memperoleh 73 kursi. Partai Demokrat memperoleh 61 kursi. Partai Amanat Nasional (PAN) memperoleh 49 kursi. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memperoleh 47 kursi. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memperoleh 40 kursi. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memperoleh 39 kursi. Partai Nasdem memperoleh 35 kursi
Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) memperoleh 16 kursi.

Dengan melihat konfigurasi suara yang diraih, maka pada saat pilpres, Jokowi hanya didukung PDI-P, PKB, Partai Nasdem dan Partai Hanura. Sedangkan Prabowo didukung oleh Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, PPP, PAN, PKS.

Dunia kampus kemudian menghitung kemenangan yang mudah diraih oleh Prabowo-Hatta. Apalagi ditambah dengan mesin politik yang canggih, jaringan yang luas, pendanaan yang tidak terbatas berhadapan dengan mesin partai pendukung Jokowi-Kalla. PDIP yang 10 tahun mengambil sikap oposisi, Partai Nasdem sebagai pemain baru dan PKB yang dominan di Jawa Timur.

Namun Jokowi – Kalla berhasil menang tipis 53 % - 47 % atau sekitar 8,4 juta suara.

Kedua. Pada tanggal 9 Juli 2014, usai mencoblos, politik pilpres digegerkan dengan “perdebatan” hasil quick count. Lembaga-lembaga quick qount menyodorkan hasil kemenangan Jokowi-Kalla dengan kisaran angka 63% - 47%. Pihak Prabowo-Hatta menolak hasil quick count dan menyodorkan angka kemenangan tipis 50,54% - 48,46%. Bahkan pake acara “sujud syukur”.

Dunia politik kemudian geger. Berbagai tudingan yang berbau politik mengalir. Pihak Prabowo-Hatta menuduh responden yang dijadikan sampel dalam penghitungan terlalu sedikit. Sedangkan pihak Jokowi-kalla meminta lembaga-lembaga quick count pihak Prabowo-Hatta agar mengumumkan responden dan daerah yang dijadikan pemantauan.

Tuduhan semakin serius ketika pihak Prabowo-Hatta malah mengeluarkan tema “real count”.

Perdebatan mulai mengkhawatirkan. Metode quick count mulai dipersoalkan. Metode ilmiah yang sering digunakan dalam membaca dinamika masyarakat dipertentangkan dengan kepentingan pragmatis politik.

Sikap apatis dari pihak Prabowo-Hatta tidak berakhir. Hingga menjelang pengumuman KPU, data-data real count sama sekali tidak pernah diperlihatkan.

Ketiga. Belum usai “suasana paska pengumuman KPU”, geger politik tidak berhenti. Pihak Prabowo-Hatta kemudian mengajukan keberatan hasil pilpres 2014 ke MK.

Dalam persidangan pilpres 2014, para pihak menghadirkan ahli. Dari pihak pemohon diantaranya dihadirkan Yusril Ihza Mahendra (YIM), Margarito Kamis, Imron Putra Sidin (IPS). Sedangkan dari KPU dihadirkan Harjono (mantan hakim MK). Dan dari pihak Jokowi diantaranya menghadirkan Saldi Isra.

Namun yang menarik adalah pernyataan dari Margarito Kamis, Dengan lugas Margarito Kamis mempersoalkan pemilihan menggunakan fasilitas DPK dan DPKTb. “DPK dan DPKTb tidak sah dan melanggar UU di mana semua hasilnya bertentangan dengan hukum dan harus didiskualifikasi. "Saya berpendat pemilu adalah peristiwa konstitusi. Pelanggaran prosedur akan menghilangkan keabsahan pilpres dan menurut saya penggunaan DKTb tidak sah

Pernyataan yang sudah dipertimbangkan MK. Sehingga tidak relevan lagi dibicarakan.

Benang merah terhadap berbagai peristiwa menjelang pilpres dan paska pilpres memberikan catatan penting.

Dunia kampus dan dunia intelektual di Indonesia “terjebak” dengan teori-teori politik klasik. Dunia intelektual “terkurung” dalam menara gading. Memotret dengan melihat struktur partai modern. Dunia intelektual mengcopy paste pengetahuan politik dari negara-negara maju.

Dunia intelektual kemudian “kaget” dengan kenyataan yang terjadi. Dunia intelektual “tergagap” ketika teori-teori usang dari negara-negara maju belum menangkap essensi dari dunia politik di Indonesia.

Dalam membicarakan tentang Intelektual, maka saya teringat kepada konsep Antonio Gramsci dalam bukunya “Negara dan Hegemoni”. Bagi Gramsci, setiap orang memiliki bakat dan potensi intelektual. Gramsci membagi pengertian intelektual dalam dua kategori, yakni intelektual tradisional dan intelektual organic.

Yang dimaksud dengan intelektual tradidional adalah intelektual yang belum meluas dan digerakan oleh produksi. Sedangkan intelektual organic yakni intelektual yang memiliki kemampuan untuk sebagai organisator politik yang menyadari identitas yang mewakili dan diwakili.

Jenis intelektual yang mampu melakukan pekerjaan transformatif bagi kemajuan disebut Antonio Gramsci sebagai intelektual organik, yang berbeda dengan intelektual tradisional, yang hanya terikat pada pakem akademis, jauh dari sentuhan kebutuhan masyarakat.


Dunia intelektual kemudian “memilih” menjadi intelektual mekanik. Terikat dengan pakem akademis. Persis seperti mesin. Berfungsi “entry”. Yang menghitung berbagai indikator “persis” seperti mesin kalkulator yang tinggal “print out”.

Dunia intelektual tidak mau menggulung lengan baju. Menyingsingkan lengan dan turun ke bawah. Mendatangi basis-basis politik. Mendengarkan suara “relung hati rakyat”. Memotret politik dari posisi yang terpinggirkan.

Mereka kemudian menjadi rutinitas dan mengikuti langgam irama yang dimainkan oleh penguasa.

Dunia intelektual “hanya” memaparkan kajian ilmiah di gedung-gedung ber-AC. Jauh dari essensi dari pandangan masyarakat terhadap politik.


Dunia intelektual kemudian tertatih-tatih mengejar perkembangan politik yang berkembang begitu cepat. Ketika mereka sadar, mereka sudah ketinggalan jauh dan hanya berujar. “saya tidak memahami apa yang terjadi