26 Agustus 2014

opini musri nauli : ROBOHNYA SEKOLAH KAMI


Berita “ambruknya sekolah SD 164/IV Jambi Timur” menyentak nurani kita. Dari peristiwa terdapat 14 siswa yang menderita luka-luka yang dibawa ke rumah sakit.


Sekolah yang dibangun sejak tahun 1981 sama sekali belum pernah mengalami perbaikan kecuali “cuma mengganti seng” dan membuat jalan berupa papan.

Beritanya kemudian menjadi headline berbaga media lokal di Jambi. Berita ini kemudian memantik keprihatinan mendalam. Terlepas daripada bangunan yang belum pernah mengalami perbaikan, ambruknya sekolah memberikan “message” penting terhadap pendidikan.

Dilihat perjalanan panjang sekolah SD 164/IV, maka sudah banyak menghasilkan para alumni yang “tentu saja” sudah berkiprah di pemerintahan baik di Propinsi Jambi dan Pemerintah Kota. Entah dimana mereka (ataupun) tidak pernah melihat sekolah dasar, perhatian pemerintah terhadap pendidikan masih minim (apabila tidak mau dikatakan “tidak perhatian).

Pendidikan “tidak menjadi prioritas” dalam setiap kampanye ataupun program Pemerintah. Program menuntaskan pendidikan 6 tahun hanya bergema dalam setiap pidato politik. SD kemudian “dibiarkan” mengurusi nasibnya sendiri.

Padahal perkembangan pembangunan yang ditandai dengan berbagai bangunan permanen tidak diimbangi dengan perbaikan bidang pendidikan. Walaupun pemerintah berdalih memprioritaskan pendidikan, Robohnya SD 164/IV “membuka mata” terhadap “kurang perhatiannya pemerintah di pendidikan dasar” termasuk sarana sekolahnya.

Dari sisilah kemudian “nurani” kita kemudian bertanya. Apakah robohnya sekolah memberikan signal negatif terhadap perbaikan pendidikan di Jambi ?

Robohnya SD merupakan “simbol” pendidikan dasar telah kehilangan relevansi sebagai pendidikan dasar pembentuk watak. Sebagai nurani pendidikan yang menjunjung kejujuran. Pendidikan yang gagal menciptakan manusia yang berempati.

Siswa kemudian “diperlihatkan” bagaimana SD negeri kalah “gemerlap” dengan sekolah-sekolah swasta. Siswa kemudian “dipaksa” memilih SD negeri dengan fasilitas 'seadanya” tanpa perhatian pemerintah. Siswa kemudian diperlihatkan” bagaimana penguasa berdalih memprioritaskan pendidikan. Siswa kemudian “diajarkan” pidato tanpa makna.

Robohnya SD merupakan “makna tersirat” akan kegagalan dan kegagapan yang menempatkan SD sebagai benteng pertama “mengajarkan” nilai-nilai kejujuran, nilai-nilai keteladanan, nilai-nilai kebaikan. Robohnya SD telah membuka nurani kita bagaimana perlakuan SD yang terpinggirkan.

Robohnya SD 164/IV mengingatkan Cerpen klasik yang berisikan cerpen sosio-religi karya A.A. Navis. Cerpen ini pertama kali terbit pada tahun 1956, yang menceritakan dialog Tuhan dengan Haji Saleh, seorang warga Negara Indonesia yang selama hidupnya hanya beribadah dan beribadah. Cerpen ini dipandang sebagai salah satu karya monumental dalam dunia sastra Indonesia.


Cerpen "Robohnya Surau Kami" bercerita tentang kisah tragis bunuh diri Kakek, sang penjaga surau (masjid yang berukuran kecil). Sang Kakek meninggal dengan cara menggorok lehernya.

Sang kakek mengambil sikap bunuh diri setelah mendapat cerita dari seorang pembual. Sang pembual bercerita tentang Haji Soleh yang masuk neraka.

Dengan pongah sang pembual mengeluarkan perumpamaan. Seorang Haji yang masuk neraka. Padahal Si Haji pekerjaan sehari-harinya banyak beribadah di mesjid. Persis yang dilakukan sang kakek.

Sang kakek protes mengapa si Haji masuk neraka. Padahal dia rajin ke mesjid dan banyak beribadah di mesjid.

Entah bermaksud guyon atau sekedar “menguji keimanan” sang kakek, sang pembual memberikan perumpamaan. “kamu tinggal di tanah Indonesia yang mahakaya raya,tapi, engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniyaya semua. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang."

Merasa tersindir dan tertekan oleh cerita Ajo Sidi, Kakek memutuskan bunuh diri.

Dalam berbagai tulisan kritikus tentang cerpen A. A Navis, perumpamaan “Robohnya Surau Kami” menampakkan sikap berpalingnya masyarakat dari kegiatan dilakukan Surau. Surau kemudian lebih dimaknai sebagai “simbol agama” yang sudah kehilangan relevansi dalam kegiatan masyarakat. Surau kemudian lebih dilambangkan sebagai “tempat” aktivitas ibadah semata.

Robohnya Surau kami” juga melambangkan pergeseran masyarakat yang menempatkan agama salah satu pondasi nilai-nilai kejujuran. Agama tergerus dengan dogma pragmatis masyarakat. Masyarakat kemudian apatis. Masyarakat kemudian “menyerahkan” urusan surau sebagai urusan “syurga”. Urusan kaum tua yang menati ajal menanti kematian.

Surau kemudian kehilangan relevansi sebagai sebagai simbol perekat kemasyarakatan. Sebagai simbol “penguat” persaudaran di tengah masyarakat.

Robohnya surau kami” mengisyarakatkan matinya kehidupan agama di tengah masyarakat.

Apakah dengan “robohnya sekolah kami” telah mengisyarakatkan matinya simbol-simbol keluhuran, nilai-nilai kejujuran, nilai keteladanan.