Berita
“ambruknya sekolah SD 164/IV Jambi Timur” menyentak nurani
kita. Dari peristiwa terdapat 14 siswa yang menderita luka-luka yang
dibawa ke rumah sakit.
Sekolah
yang dibangun sejak tahun 1981 sama sekali belum pernah mengalami
perbaikan kecuali “cuma mengganti seng” dan membuat jalan berupa
papan.
Beritanya
kemudian menjadi headline berbaga media lokal di Jambi. Berita ini
kemudian memantik keprihatinan mendalam. Terlepas daripada bangunan
yang belum pernah mengalami perbaikan, ambruknya sekolah memberikan
“message” penting terhadap pendidikan.
Dilihat
perjalanan panjang sekolah SD 164/IV, maka sudah banyak menghasilkan
para alumni yang “tentu saja” sudah berkiprah di pemerintahan
baik di Propinsi Jambi dan Pemerintah Kota. Entah dimana mereka
(ataupun) tidak pernah melihat sekolah dasar, perhatian pemerintah
terhadap pendidikan masih minim (apabila tidak mau dikatakan “tidak
perhatian).
Pendidikan
“tidak menjadi prioritas” dalam setiap kampanye ataupun program
Pemerintah. Program menuntaskan pendidikan 6 tahun hanya bergema
dalam setiap pidato politik. SD kemudian “dibiarkan” mengurusi
nasibnya sendiri.
Padahal
perkembangan pembangunan yang ditandai dengan berbagai bangunan
permanen tidak diimbangi dengan perbaikan bidang pendidikan. Walaupun
pemerintah berdalih memprioritaskan pendidikan, Robohnya SD 164/IV
“membuka mata” terhadap “kurang perhatiannya pemerintah di
pendidikan dasar” termasuk sarana sekolahnya.
Dari
sisilah kemudian “nurani” kita kemudian bertanya. Apakah robohnya
sekolah memberikan signal negatif terhadap perbaikan pendidikan di
Jambi ?
Robohnya
SD merupakan “simbol” pendidikan dasar telah kehilangan relevansi
sebagai pendidikan dasar pembentuk watak. Sebagai nurani pendidikan
yang menjunjung kejujuran. Pendidikan yang gagal menciptakan manusia
yang berempati.
Siswa
kemudian “diperlihatkan” bagaimana SD negeri kalah “gemerlap”
dengan sekolah-sekolah swasta. Siswa kemudian “dipaksa” memilih
SD negeri dengan fasilitas 'seadanya” tanpa perhatian pemerintah.
Siswa kemudian diperlihatkan” bagaimana penguasa berdalih
memprioritaskan pendidikan. Siswa kemudian “diajarkan” pidato
tanpa makna.
Robohnya
SD merupakan “makna tersirat” akan kegagalan dan kegagapan yang
menempatkan SD sebagai benteng pertama “mengajarkan” nilai-nilai
kejujuran, nilai-nilai keteladanan, nilai-nilai kebaikan. Robohnya SD
telah membuka nurani kita bagaimana perlakuan SD yang terpinggirkan.
Robohnya
SD 164/IV mengingatkan Cerpen klasik yang berisikan cerpen
sosio-religi karya A.A. Navis. Cerpen ini pertama kali terbit pada
tahun 1956, yang menceritakan dialog Tuhan dengan Haji Saleh, seorang
warga Negara Indonesia yang selama hidupnya hanya beribadah dan
beribadah. Cerpen ini dipandang sebagai salah satu karya monumental
dalam dunia sastra Indonesia.
Cerpen
"Robohnya Surau Kami" bercerita tentang kisah tragis bunuh
diri Kakek, sang penjaga surau (masjid yang berukuran kecil). Sang
Kakek meninggal dengan cara menggorok lehernya.
Sang
kakek mengambil sikap bunuh diri setelah mendapat cerita dari seorang
pembual. Sang pembual bercerita tentang Haji Soleh yang masuk neraka.
Dengan
pongah sang pembual mengeluarkan perumpamaan. Seorang Haji yang masuk
neraka. Padahal Si Haji pekerjaan sehari-harinya banyak beribadah di
mesjid. Persis yang dilakukan sang kakek.
Sang
kakek protes mengapa si Haji masuk neraka. Padahal dia rajin ke
mesjid dan banyak beribadah di mesjid.
Entah
bermaksud guyon atau sekedar “menguji keimanan” sang kakek, sang
pembual memberikan perumpamaan. “kamu tinggal di tanah Indonesia
yang mahakaya raya,tapi, engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak
cucumu teraniyaya semua. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau
malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak
mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang."
Merasa
tersindir dan tertekan oleh cerita Ajo Sidi, Kakek memutuskan bunuh
diri.
Dalam
berbagai tulisan kritikus tentang cerpen A. A Navis, perumpamaan
“Robohnya Surau Kami” menampakkan sikap berpalingnya masyarakat
dari kegiatan dilakukan Surau. Surau kemudian lebih dimaknai sebagai
“simbol agama” yang sudah kehilangan relevansi dalam kegiatan
masyarakat. Surau kemudian lebih dilambangkan sebagai “tempat”
aktivitas ibadah semata.
Robohnya
Surau kami” juga melambangkan pergeseran masyarakat yang
menempatkan agama salah satu pondasi nilai-nilai kejujuran. Agama
tergerus dengan dogma pragmatis masyarakat. Masyarakat kemudian
apatis. Masyarakat kemudian “menyerahkan” urusan surau sebagai
urusan “syurga”. Urusan kaum tua yang menati ajal menanti
kematian.
Surau
kemudian kehilangan relevansi sebagai sebagai simbol perekat
kemasyarakatan. Sebagai simbol “penguat” persaudaran di tengah
masyarakat.
Robohnya
surau kami” mengisyarakatkan matinya kehidupan agama di tengah
masyarakat.
Apakah
dengan “robohnya sekolah kami” telah mengisyarakatkan matinya
simbol-simbol keluhuran, nilai-nilai kejujuran, nilai keteladanan.
Baca : ROBOHNYA SEKOLAH KAMI