10 September 2014

opini musri nauli : RASIONALITAS PILKADA LANGSUNG


Akhir-akhir ini gegap gempita politik Indonesia kontemporer dihebohkan dengan RUU Pilkada yang beralih dari “pilkada langsung” menjadi pilkada dipilih DPRD”. Saya berusaha memahami alur pikiran penggagas dan pendukung pilkada dipilih DPRD.

Ada dua kutub alasan pilkada dipilih DPRD. Alasan pertama “mengingat biaya politik tinggi”. Alasan kedua “Pilkada langsung telah memecah belah masyarakat dan berpotensi timbulnya perpecahan'.
Sebelum memulai diskusi, ada baiknya kita sejenak memalingkan wajah kita sebelum Pemilihan langsung baik Pilpres maupun Pilkada.

Pilpres 1999 kemudian mengajarkan bagaimana pemenang pemilu “dikudeta” dalam pemilihan presiden di MPR. Suara nurani publik kemudian terganggu sehingga wacana ini kemudian menguat agar dilakukan pilpres secara langsung.

Dalam pilkadapun demikian. Setelah sebelumnya pemilihan pilkada “dilakukan dalam ruang tertutup”, bisik-bisik para petinggi partai, penguasaan politik dalam genggaman oligarkhi partai, wacana pilkada langsungpun mewarnai politik Indonesia. Sehingga praktis sejak tahun 2004, kita menyaksikan pilkada secara langsung.

Dalam berbagai kajian sudah diterangkan, Pilpres dan Pilkada merupakan kesempatan bagi publik untuk mengetahui dan memilih sejarah langsung pemimpin yang dipilih. Pilpres dan pilkada merupakan salah satu “muara” dari proses panjang perdebatan pemilu.

Perdebatan ini kemudian berakhir setelah pilpres dilakukan secara langsung setelah sebelumnya pilkada dilakukan secara langsung.

Praktis wacana ini diapresiasi publik. Baik dengan dukungan partisipasi publik dalam pilpres dan pilkada maupun putusan-putusan MK yang banyak mewarnai perubahan politik di Indonesia.

Namun menurut pepatah. Tidak ada gading yang tidak retak. Pilkada secara langsung juga memberikan catatan buruk. Berbagai pergantian kepala daerah “persis” mewarisi mahkota kerajaan. Ada pergantian dari Bapak kepada Anak. Dari suami kepada istri. Ataupun “putaran” pemenang pilkada dalam putaran kroni.

Di tengah pesimis pelaksanaan pilkada, pilkada langsung juga “memberikan ruang” kepada Kepala Daerah yang berprestasi. Gamawan Fauzi menjadi Gubernur Sumbar, Ahok di Bangka belitung, Jokowi di DKI Jakarta, Ganjar Pranowo di Jawa Tengah, Tri Risma di Surabaya dan Ridwan Kamil di Bandung. Mereka bukanlah “petinggi” ataupun elite partai. Tapi mereka kemudian berprestasi dan berhasil memenangi pilkada yang dipilih secara langsung.

Nama-nama yang sudah disebutkan tidak akan memimpin menjadi Kepala Daerah apabila dilakukan secara tertutup di DPRD.

Prestasi mereka boleh disejajarkan dengan hasil kepala daerah pilkada oleh DPRD.

Dengan alasan itulah, mari kita lihat apakah ada relevan dengan “mengingat biaya politik tinggi” yang sering disampaikan pendukung Pilkada oleh DPRD.
Betul, ada kandidate Kepala Daerah yang mengeluarkan biaya politik yang tinggi. Namun dalam konteks penguatan demokrasi, biaya politik yang telah dihasilkan tidak menjawab kemenangan para kepala daerah yang telah disebutkan.

Bukti dukungan kemenangan Gamawan Fauzi, Ahok, Tri Risma ataupun Jokowi tidak ada kaitan dengan biaya tinggi. Kemenangan mereka merupakan manifestasi dari dukungan rakyat terhadap kiprah dan jejak rekam yang kuat dari kemenangan mereka.

Kepala daerah yang berprestasi mudah mendapatkan dukungan dari rakyat. Sehingga terhadap kandidate kepala daerah yang telah mengeluarkan dana politik yang besar “bertujuan” membangun image dan membangun jaringan yang sebelumnya mereka “tidak dikenal dengan publik” dan jejak rekamnya tidak jelas.

Alasan “biaya politik tinggi” yang dilemparkan merupakan bentuk logika kesesatan (mistake) yang biasa dikenal dengan istilah Argumentum ad hominen. Argumentasi yang disusun ditangkis dengan menyodorkan logika yang bertentangan.

Biaya tinggi yang telah dikeluarkan oleh kandidate “diklaim” sebagai penyebab “buruknya” pelaksanaan pilkada oleh DPRD. Padahal “biaya politik tinggi” yang telah dikeluarkan kandidate “tidak mampu” menandingi prestasi dari Kepala Daerah yang berprestasi.

Atau dengan kata lain, “biaya politik tinggi” terbantahkan dengan kemenangan Gamawan Fauzi, Jokowi, Ahok dan Tri Risma.

Sehingga alasan “biaya politik tinggi” merupakan logika yang masih sulit diterima oleh penulis untuk menandingi kemenangan kepala daerah yang berprestasi.

Proses pilkada menunjukkan trend perbaikan dan partisipasi publik yang semakin baik. Seiring perjalanan waktu, pilkada banyak mengajarkan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. Sebuah investasi politik yang tidak akan ditemukan dalam pilkada dipilih oleh DPRD.

Selain itu MK sudah memutuskan berbagai putusan Pilpres dan ratusan pilkada di Indonesia. Sehingga alasan ini hanyalah angan-angan di ruang hampa. Tanpa makna.

Alasan lain yang sering disampaikan “Pilkada langsung telah memecah belah masyarakat dan berpotensi timbulnya perpecahan”.

Betul. Memang ada kejadian di sebagian kecil daerah pilkada yang kemudian berakhir rusuh. Baik pembakaran kantor KPU ataupun kantor Bupati. Namun skalanya kecil dan hampir praktis kejadian itu juga dipengaruhi berbagai faktor-faktor yang tidak ada kaitannya dengan pilkada. Pilkada hanyalah sumber katup pemicu setelah sebelumnya berbagai potensi kerusuhan tersimpan dan belum meledak. Sehingga dengan pilkada, momentum pilkada kemudian digunakan sebagai bentuk protes yang berkaitan dengan persoalan mereka sendiri. Momentum pilkada kemudian dijadikan amunisi meledaknya sumbu dan masyarakat kemudian sadar mereka “terjebak” dalam pusaran pilkada yang tidak menjawab persoalan mereka sendiri.

Namun disisi lain, berbagai prestasi pelaksanaan pilkada tetap disambut masyarakat. Masyarakat dapat bertindak sebagai “tuan” demokrasi dan sekaligus menjadi “juri” yang adil.

Tumbangnya kepala daerah petahana (incumbent) membuktikan, publik “tengah” menghukum Kepala Daerah yang “menyakiti” rakyatnya. Publik kemudian “mendidik” bagaimana kepala daerah yang “seharusnya” bertugas sebagai kepala daerah. Lagi-lagi pelajaran ini tidak mungkin ditemukan dalam praktek Pilkada dipilih oleh DPRD.

Lalu alasan “Pilkada langsung telah memecah belah masyarakat dan berpotensi timbulnya perpecahan” masih tepat digunakan ?

Apakah kita tidak malu mengakui Pilkades jauh telah berlangsung lama sebelum tumbangnya orde baru. Pelaksanaan pilkades justru “merapikan” demokrasi di tengah masyarakat. Pilkades memberikan pelajaran penting dari masyarakat di pedesaan. Sebuah pelajaran yang tidak mungkin dirasakan oleh rakyat apabila pilkades “hanya” dipilih” segelintir elite di desa.

Dengan melihat berbagai alasan diatas, maka wacana pilkada dipilih DPRD merupakan “kemunduran' dari demokrasi di Indonesia. Pilkada dipilih DPRD merupakan langkah setback wacana sebelum reformasi.