Akhir-akhir
ini gegap gempita politik Indonesia kontemporer dihebohkan dengan RUU
Pilkada yang beralih dari “pilkada langsung” menjadi
pilkada dipilih DPRD”. Saya berusaha memahami alur pikiran
penggagas dan pendukung pilkada dipilih DPRD.
Ada
dua kutub alasan pilkada dipilih DPRD. Alasan pertama “mengingat
biaya politik tinggi”. Alasan kedua “Pilkada langsung
telah memecah belah masyarakat dan berpotensi timbulnya perpecahan'.
Sebelum
memulai diskusi, ada baiknya kita sejenak memalingkan wajah kita
sebelum Pemilihan langsung baik Pilpres maupun Pilkada.
Pilpres
1999 kemudian mengajarkan bagaimana pemenang pemilu “dikudeta”
dalam pemilihan presiden di MPR. Suara nurani publik kemudian
terganggu sehingga wacana ini kemudian menguat agar dilakukan pilpres
secara langsung.
Dalam
pilkadapun demikian. Setelah sebelumnya pemilihan pilkada “dilakukan
dalam ruang tertutup”, bisik-bisik para petinggi partai, penguasaan
politik dalam genggaman oligarkhi partai, wacana pilkada
langsungpun mewarnai politik Indonesia. Sehingga praktis sejak tahun
2004, kita menyaksikan pilkada secara langsung.
Dalam
berbagai kajian sudah diterangkan, Pilpres dan Pilkada merupakan
kesempatan bagi publik untuk mengetahui dan memilih sejarah langsung
pemimpin yang dipilih. Pilpres dan pilkada merupakan salah satu
“muara” dari proses panjang perdebatan pemilu.
Perdebatan
ini kemudian berakhir setelah pilpres dilakukan secara langsung
setelah sebelumnya pilkada dilakukan secara langsung.
Praktis
wacana ini diapresiasi publik. Baik dengan dukungan partisipasi
publik dalam pilpres dan pilkada maupun putusan-putusan MK yang
banyak mewarnai perubahan politik di Indonesia.
Namun
menurut pepatah. Tidak ada gading yang tidak retak. Pilkada
secara langsung juga memberikan catatan buruk. Berbagai pergantian
kepala daerah “persis” mewarisi mahkota kerajaan. Ada
pergantian dari Bapak kepada Anak. Dari suami kepada istri. Ataupun
“putaran” pemenang pilkada dalam putaran kroni.
Di
tengah pesimis pelaksanaan pilkada, pilkada langsung juga “memberikan
ruang” kepada Kepala Daerah yang berprestasi. Gamawan Fauzi
menjadi Gubernur Sumbar, Ahok di Bangka belitung, Jokowi di DKI
Jakarta, Ganjar Pranowo di Jawa Tengah, Tri Risma di Surabaya dan
Ridwan Kamil di Bandung. Mereka bukanlah “petinggi” ataupun elite
partai. Tapi mereka kemudian berprestasi dan berhasil memenangi
pilkada yang dipilih secara langsung.
Nama-nama
yang sudah disebutkan tidak akan memimpin menjadi Kepala Daerah
apabila dilakukan secara tertutup di DPRD.
Prestasi
mereka boleh disejajarkan dengan hasil kepala daerah pilkada oleh
DPRD.
Dengan
alasan itulah, mari kita lihat apakah ada relevan dengan “mengingat
biaya politik tinggi” yang sering disampaikan pendukung Pilkada
oleh DPRD.
Betul,
ada kandidate Kepala Daerah yang mengeluarkan biaya politik yang
tinggi. Namun dalam konteks penguatan demokrasi, biaya politik yang
telah dihasilkan tidak menjawab kemenangan para kepala daerah yang
telah disebutkan.
Bukti
dukungan kemenangan Gamawan Fauzi, Ahok, Tri Risma ataupun Jokowi
tidak ada kaitan dengan biaya tinggi. Kemenangan mereka merupakan
manifestasi dari dukungan rakyat terhadap kiprah dan jejak rekam yang
kuat dari kemenangan mereka.
Kepala
daerah yang berprestasi mudah mendapatkan dukungan dari rakyat.
Sehingga terhadap kandidate kepala daerah yang telah mengeluarkan
dana politik yang besar “bertujuan” membangun image dan
membangun jaringan yang sebelumnya mereka “tidak dikenal dengan
publik” dan jejak rekamnya tidak jelas.
Alasan
“biaya politik tinggi” yang dilemparkan merupakan bentuk
logika kesesatan (mistake) yang biasa dikenal dengan istilah
Argumentum ad hominen. Argumentasi yang disusun ditangkis
dengan menyodorkan logika yang bertentangan.
Biaya
tinggi yang telah dikeluarkan oleh kandidate “diklaim”
sebagai penyebab “buruknya” pelaksanaan pilkada oleh DPRD.
Padahal “biaya politik tinggi” yang telah dikeluarkan
kandidate “tidak mampu” menandingi prestasi dari Kepala
Daerah yang berprestasi.
Atau
dengan kata lain, “biaya politik tinggi” terbantahkan
dengan kemenangan Gamawan Fauzi, Jokowi, Ahok dan Tri Risma.
Sehingga
alasan “biaya politik tinggi” merupakan logika yang masih
sulit diterima oleh penulis untuk menandingi kemenangan kepala daerah
yang berprestasi.
Proses
pilkada menunjukkan trend perbaikan dan partisipasi publik yang
semakin baik. Seiring perjalanan waktu, pilkada banyak mengajarkan
pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. Sebuah investasi
politik yang tidak akan ditemukan dalam pilkada dipilih oleh DPRD.
Selain
itu MK sudah memutuskan berbagai putusan Pilpres dan ratusan pilkada
di Indonesia. Sehingga alasan ini hanyalah angan-angan di ruang
hampa. Tanpa makna.
Alasan
lain yang sering disampaikan “Pilkada langsung telah memecah
belah masyarakat dan berpotensi timbulnya perpecahan”.
Betul.
Memang ada kejadian di sebagian kecil daerah pilkada yang kemudian
berakhir rusuh. Baik pembakaran kantor KPU ataupun kantor Bupati.
Namun skalanya kecil dan hampir praktis kejadian itu juga dipengaruhi
berbagai faktor-faktor yang tidak ada kaitannya dengan pilkada.
Pilkada hanyalah sumber katup pemicu setelah sebelumnya berbagai
potensi kerusuhan tersimpan dan belum meledak. Sehingga dengan
pilkada, momentum pilkada kemudian digunakan sebagai bentuk protes
yang berkaitan dengan persoalan mereka sendiri. Momentum pilkada
kemudian dijadikan amunisi meledaknya sumbu dan masyarakat kemudian
sadar mereka “terjebak” dalam pusaran pilkada yang tidak menjawab
persoalan mereka sendiri.
Namun
disisi lain, berbagai prestasi pelaksanaan pilkada tetap disambut
masyarakat. Masyarakat dapat bertindak sebagai “tuan”
demokrasi dan sekaligus menjadi “juri” yang adil.
Tumbangnya
kepala daerah petahana (incumbent) membuktikan, publik
“tengah” menghukum Kepala Daerah yang “menyakiti”
rakyatnya. Publik kemudian “mendidik” bagaimana kepala
daerah yang “seharusnya” bertugas sebagai kepala daerah.
Lagi-lagi pelajaran ini tidak mungkin ditemukan dalam praktek Pilkada
dipilih oleh DPRD.
Lalu
alasan “Pilkada langsung telah memecah belah masyarakat dan
berpotensi timbulnya perpecahan” masih tepat digunakan ?
Apakah
kita tidak malu mengakui Pilkades jauh telah berlangsung lama sebelum
tumbangnya orde baru. Pelaksanaan pilkades justru “merapikan”
demokrasi di tengah masyarakat. Pilkades memberikan pelajaran penting
dari masyarakat di pedesaan. Sebuah pelajaran yang tidak mungkin
dirasakan oleh rakyat apabila pilkades “hanya” dipilih”
segelintir elite di desa.
Dengan
melihat berbagai alasan diatas, maka wacana pilkada dipilih DPRD
merupakan “kemunduran' dari demokrasi di Indonesia. Pilkada
dipilih DPRD merupakan langkah setback wacana sebelum reformasi.
Baca : Pilkada Jambi dan Memahami Pandangan MK Mengenai Pilkada - Analisis Putusan MK tentang Pemilukada ditinjau dari Filsafat