18 September 2014

opini musri nauli : MAINSTREAM LINGKUNGAN HIDUP DALAM KABINET JOKOWI-JK


MAINSTREAM LINGKUNGAN HIDUP DALAM KABINET JOKOWI-JK
Musri Nauli

Beberapa waktu yang lalu, Presiden (terpilih) Jokowi dan JK mengumumkan arsitektur kabinet Menteri yang bertugas setelah Jokowi-JK dilantik.

Melihat komposisi yang disampaikan oleh Jokowi-JK, ada beberapa perubahan nama (nomenklatur) seperti kementerian kedaulatan pangan yang merupakan penggabungan kementerian pertanian kelautan, dirjen perkebunan, dirjen maritim. Tema ini sesuai dengan keinginan Jokowi yang hendak menjadikan Indonesia poros maritim dunia dan dengan tol lautnya.

Kemudian kementerian transportasi, kementerian PU itu digabung dalam kementerinan pemukiman saranan dan prasarana. Sementara, ada 3 kementerian yang wajib ada berdasarkan Undang-Undang Kementerian Negara, yakni Kementerian Pertahanan, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Dalam Negeri. Dan ada 3 kementerian yang kalau diubah harus dapat persetujuan DPR, yaitu Menkeu, Menteri Hukum dan Menteri Agama.

Apabila diperhatikan maka ada Kementerian yang baru yaitu ekonomi kreatif. Dan menyebutkan kementerian agraria yang pernah ada. Kementerian ini mengatur badan pertanahan dan kependudukan

Dan Kementerian pendidikan tinggi riset teknologi yang merupakan turunan dari urusan pemerintahan riset dan iptek. Sementara dari pendidikannya urusan kementerian pendidikan dasar dan menengah.

Selain itu praktis, tidak ada perbedaan mendasar dengan struktur kabinet menteri dengan pemerintahan sebelumnya.

Dengan melihat komposisi struktur kabinet Menteri, tinggal kita menunggu kabar siapa yang akan menduduki posisi kabinet menteri. Tinggal kita menghitung hari dan menunggu dengan sabar.

Namun terlepas dari pengumuman struktur kabinet Menteri yang telah diumumkan Jokowi-JK, hal menarik yang luput dari pengamatan Jokowi-JK mengenai persoalan lingkungan hidup. Sebuah substansi yang perlu layak untuk diperhatikan.

Melihat keadaan lingkungan yang semakin tergerus, kewenangan Kementerian Lingkungan hidup yang terbatas dan persoalan pelik tentang “ego sektoral”, maka porsi ini harus mendapatkan perhatian lebih.

Jokowi sudah mengetahui persoalan lingkungan yang semakin menurun. Dengan luas hutan sekitar 109 juta hektar (2003), Indonesia adalah pemilik hutan hujan tropis terluas ke-3 di dunia, setelah Brasil dan Kongo. Tapi dari luasan hutan yang tersisa itu, hampir setengahnya terdegradasi (FWI, 2013).

Sejak tahun 1970 penggundulan hutan mulai marak di Indonesia. Pada tahun 1997-2000, laju kehilangan dan kerusakan hutan Indonesia mencapai 2,8 juta hektar/tahun.

Laju penggundulan hutan (deforestarasi) di Indonesia kini menempati posisi tertinggi di dunia, bahkan mengalahkan angka deforestasi Brasil 460.000 hektar. Angka yang tidak berbeda jauh dengan yang disampaikan oleh Kementerian Kehutanan (0,4 juta hektare lahan hutan pada 2009-2011).

Penelitian terbaru diterbitkan di jurnal Nature Climate Change tahun 2014 menyebut, setahun setelah moratorium diterbitkan, deforestasi di Indonesia malah meningkat dengan cepat. Antara 2000-2012, Indonesia kehilangan 6,02 hektare hutan setiap tahunnya.

Sementara FWI sendiri mencatat, Sekitar 40 persen dari luas hutan pada tahun 1950 ini telah ditebang dalam waktu 50 tahun berikutnya. Jika dibulatkan, tutupan hutan di Indonesia turun dari 162 juta ha menjadi 98 juta ha.

Sedangkan Lebih dari 20 juta hektar hutan sudah ditebang habis sejak tahun 1985 tetapi sebagian besar dari lahan ini belum pernah diolah menjadi alternatif penggunaan lahan yang produktif.

Penghancuran hutan kemudian “dialihkan” tiga aktor penting. HPH kemudian bergeser ke HTI dan kemudian sawit. Hingga tahun 2009, luas Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Indonesia mencapai 25,7 juta Ha. Hampir 9 juta ha lahan, sebagian besar adalah hutan alam, telah dialokasikan untuk pembangunan hutan tanaman industri. Sedangkan untuk perkebunan sawit mencapai 13,5 juta (WWF, 2012). Melebihi angka yang dilaporkan Kementerian Pertanian sejumlah 9,27 hektar (Tempo, 5 Desember 2012)

Ego sektoral

Belum usai cerita horor kerusakan hutan (deforestarasi), muncul masalah “perebutan” kewenangan (ego sektoral). Tumpang tindih lahan yang dipersoalkan antara kehutanan, Pertambangan, perkebunan menyebabkan persoalan yang semula mudah diselesaikan kemudian terjebak di “koordinasi”.
Perebutan kewenangan (ego sektoral) bermuara dari “salah tafsir” membaca pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan alinea kalimat “hak menguasai negara/HMN (domein verklaring)”
Secara prinsip, pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Makna ”dikuasai oleh negara” (Hak Menguasai Negara/HMN) sangat berbeda dengan prinsip domein verklaring dalam Agrarische Wet. Dalam implementasinya, MK berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Nomor 012/PUU-I/2003 kemudian merumuskan (1) mengadakan kebijakan (beleid), (2) tindakan pengurusan (bestuursdaad), (3) pengaturan (regelendaad), (4) pengelolaan (beheersdaad) dan (5) pengawasan (toezichthoudensdaad). Begitu hakikinya makna ”dikuasai oleh negara” yang telah dirumuskan oleh MK, maka pasal 33 ayat (3) 1945 merupakan ”roh” dan identitas khas dari konstitusi Indonesia. M. Hatta merumuskan sebagai ”sosialisme Indonesia”. Dan itu yang membedakan konstitusi Indonesia dengan negara-negara liberalisme.

Makna ”dikuasai oleh negara” yang telah diberi tafsiran oleh MK, kemudian kemudian diterjemahkan secara langsung oleh UUPA.

Atau dengan kata lain, UUPA mengatur tentang berkaitan dengan keagrarian di Indonesia, sedangkan UU sektoral hanya mengatur tentang komoditi semata tanpa mempunyai kewenangan mengatur yang berkaitan dengan keagrarian.

Berdasarkan dari uraian paparan yang telah disampaikan, maka sebagian ahli hukum (jurist) kemudian mengidentifikasikan sebagai UU Payung (umbrella act).

Berangkat dari identitas UUPA sebagai umbrella act, maka UUPA merupakan batu uji terhadap UU sektoral.

Namun membicarakan UUPA menimbulkan persoalan dalam tataran implementasi dari ”keegoisan sektoral

Setelah kita memahami UUPA sebagai umbrella act, maka dalam praktek, ”keegoisme sektoral” ditandai dengan lahirnya undang-undang sektoral lainnya seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan.

Ketidaksinkronan antara UUPA dengan undang-undang sektoral seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan menimbulkan benturan norma (konflik hukum/Conflict of Law).

Dengan demikian, maka Ketentuan UU Kehutanan memunculkan sifat kepemilikan hutan negara yang mirip dengan Domein Verklaring pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Prinsip sebenarnya sudah dicabut berdasarkan oleh UUPA. Lahirnya UUPA yang tidak dipatuhi pemangku negara, tepat dikatakan, sebagai pemberian setengah hati

Mainstream Lingkungan Hidup

Belum tuntas persoalan lingkungan hidup, mainstream lingkungan hidup belum menjadi pandangan dari pemerintah. Hal ini dapat ditandai dengan “memisahkan lingkungan hidup” dengan ketentuan yang diaturnya seperti (kehutanan, pertambangan dan perkebunan). Lingkungan hidup belum menjiwai dari perspektif pembangunan. Lingkungan hidup menjadi bagian yang terpisahkan dari pembangunan (aliens).

Tema lingkungan hidup belum mampu mendominasi pembicaraan topik politik dibandingkan dengan pendidikan, kesehatan ataupun infrastruktur.

Selain itu dari postur anggaran, Kementerian Lingkungan Hidup yang memperoleh alokasi anggaran Rp 921,54 miliar berbanding Kementerian Luar Negeri (Rp 5,59 triliun), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Rp 73,08 triliun), Kementerian Agama (Rp 43,96 triliun) ataupun Kementerian Sosial (RP 5,61 triliun) di APBN 2013.

Dengan melihat perkembangan politik di Indonesia, maka sudah bisa dipastikan, issu lingkungan hidup semakin terpinggirkan berbanding dengan daya dukung lingkungan hidup yang semakin menurun.

Direktur Walhi Jambi


Dimuat di Forum Keadilan, No. 22 Tahun XXIII/06-12 Oktober 2014

.