MAINSTREAM
LINGKUNGAN HIDUP DALAM KABINET JOKOWI-JK
Musri
Nauli
Beberapa
waktu yang lalu, Presiden (terpilih) Jokowi dan JK mengumumkan
arsitektur kabinet Menteri yang bertugas setelah Jokowi-JK dilantik.
Melihat
komposisi yang disampaikan oleh Jokowi-JK, ada beberapa perubahan
nama (nomenklatur) seperti kementerian kedaulatan pangan yang
merupakan penggabungan kementerian pertanian kelautan, dirjen
perkebunan, dirjen maritim. Tema ini sesuai dengan keinginan Jokowi
yang hendak menjadikan Indonesia poros maritim dunia dan dengan tol
lautnya.
Kemudian
kementerian transportasi, kementerian PU itu digabung dalam
kementerinan pemukiman saranan dan prasarana. Sementara, ada 3
kementerian yang wajib ada berdasarkan Undang-Undang Kementerian
Negara, yakni Kementerian Pertahanan, Kementerian Luar Negeri, dan
Kementerian Dalam Negeri. Dan ada 3 kementerian yang kalau diubah
harus dapat persetujuan DPR, yaitu Menkeu, Menteri Hukum dan Menteri
Agama.
Apabila
diperhatikan maka ada Kementerian yang baru yaitu ekonomi kreatif.
Dan menyebutkan kementerian agraria yang pernah ada. Kementerian ini
mengatur badan pertanahan dan kependudukan
Dan
Kementerian pendidikan tinggi riset teknologi yang merupakan turunan
dari urusan pemerintahan riset dan iptek. Sementara dari
pendidikannya urusan kementerian pendidikan dasar dan menengah.
Selain
itu praktis, tidak ada perbedaan mendasar dengan struktur kabinet
menteri dengan pemerintahan sebelumnya.
Dengan
melihat komposisi struktur kabinet Menteri, tinggal kita menunggu
kabar siapa yang akan menduduki posisi kabinet menteri. Tinggal kita
menghitung hari dan menunggu dengan sabar.
Namun
terlepas dari pengumuman struktur kabinet Menteri yang telah
diumumkan Jokowi-JK, hal menarik yang luput dari pengamatan Jokowi-JK
mengenai persoalan lingkungan hidup. Sebuah substansi yang perlu
layak untuk diperhatikan.
Melihat
keadaan lingkungan yang semakin tergerus, kewenangan Kementerian
Lingkungan hidup yang terbatas dan persoalan pelik tentang “ego
sektoral”, maka porsi ini harus mendapatkan perhatian lebih.
Jokowi
sudah mengetahui persoalan lingkungan yang semakin menurun. Dengan
luas hutan sekitar 109 juta hektar (2003), Indonesia adalah pemilik
hutan hujan tropis terluas ke-3 di dunia, setelah Brasil dan Kongo.
Tapi dari luasan hutan yang tersisa itu, hampir setengahnya
terdegradasi (FWI, 2013).
Sejak
tahun 1970 penggundulan hutan mulai marak di Indonesia. Pada tahun
1997-2000, laju kehilangan dan kerusakan hutan Indonesia mencapai 2,8
juta hektar/tahun.
Laju
penggundulan hutan (deforestarasi) di Indonesia kini menempati posisi
tertinggi di dunia, bahkan mengalahkan angka deforestasi Brasil
460.000 hektar. Angka yang tidak berbeda jauh dengan yang disampaikan
oleh Kementerian Kehutanan (0,4 juta hektare lahan hutan pada
2009-2011).
Penelitian
terbaru diterbitkan di jurnal Nature Climate Change tahun 2014
menyebut, setahun setelah moratorium diterbitkan, deforestasi di
Indonesia malah meningkat dengan cepat. Antara 2000-2012, Indonesia
kehilangan 6,02 hektare hutan setiap tahunnya.
Sementara
FWI sendiri mencatat, Sekitar 40 persen dari luas hutan pada tahun
1950 ini telah ditebang dalam waktu 50 tahun berikutnya. Jika
dibulatkan, tutupan hutan di Indonesia turun dari 162 juta ha menjadi
98 juta ha.
Sedangkan
Lebih dari 20 juta hektar hutan sudah ditebang habis sejak tahun 1985
tetapi sebagian besar dari lahan ini belum pernah diolah menjadi
alternatif penggunaan lahan yang produktif.
Penghancuran
hutan kemudian “dialihkan” tiga aktor penting. HPH
kemudian bergeser ke HTI dan kemudian sawit. Hingga tahun 2009, luas
Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Indonesia mencapai 25,7 juta Ha.
Hampir 9 juta ha lahan, sebagian besar adalah hutan alam, telah
dialokasikan untuk pembangunan hutan tanaman industri. Sedangkan
untuk perkebunan sawit mencapai 13,5 juta (WWF, 2012).
Melebihi angka yang dilaporkan Kementerian Pertanian sejumlah 9,27
hektar (Tempo, 5 Desember 2012)
Ego
sektoral
Belum
usai cerita horor kerusakan hutan (deforestarasi), muncul
masalah “perebutan” kewenangan (ego sektoral).
Tumpang tindih lahan yang dipersoalkan antara kehutanan,
Pertambangan, perkebunan menyebabkan persoalan yang semula mudah
diselesaikan kemudian terjebak di “koordinasi”.
Perebutan
kewenangan (ego sektoral) bermuara dari “salah tafsir”
membaca pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan alinea kalimat “hak
menguasai negara/HMN (domein verklaring)”
Secara
prinsip, pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi ”Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Makna
”dikuasai oleh negara” (Hak Menguasai Negara/HMN) sangat
berbeda dengan prinsip domein verklaring dalam Agrarische Wet. Dalam
implementasinya, MK berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Nomor 012/PUU-I/2003 kemudian merumuskan (1) mengadakan kebijakan
(beleid), (2) tindakan pengurusan (bestuursdaad), (3) pengaturan
(regelendaad), (4) pengelolaan (beheersdaad) dan (5) pengawasan
(toezichthoudensdaad). Begitu hakikinya makna ”dikuasai oleh
negara” yang telah dirumuskan oleh MK, maka pasal 33 ayat (3)
1945 merupakan ”roh” dan identitas khas dari konstitusi
Indonesia. M. Hatta merumuskan sebagai ”sosialisme Indonesia”.
Dan itu yang membedakan konstitusi Indonesia dengan negara-negara
liberalisme.
Makna
”dikuasai oleh negara” yang telah diberi tafsiran oleh MK,
kemudian kemudian diterjemahkan secara langsung oleh UUPA.
Atau
dengan kata lain, UUPA mengatur tentang berkaitan dengan keagrarian
di Indonesia, sedangkan UU sektoral hanya mengatur tentang komoditi
semata tanpa mempunyai kewenangan mengatur yang berkaitan dengan
keagrarian.
Berdasarkan
dari uraian paparan yang telah disampaikan, maka sebagian ahli hukum
(jurist) kemudian mengidentifikasikan sebagai UU Payung (umbrella
act).
Berangkat
dari identitas UUPA sebagai umbrella act, maka UUPA merupakan batu
uji terhadap UU sektoral.
Namun
membicarakan UUPA menimbulkan persoalan dalam tataran implementasi
dari ”keegoisan sektoral”
Setelah
kita memahami UUPA sebagai umbrella act, maka dalam praktek,
”keegoisme sektoral” ditandai dengan lahirnya
undang-undang sektoral lainnya seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan,
UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan.
Ketidaksinkronan
antara UUPA dengan undang-undang sektoral seperti UU Kehutanan, UU
Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan
menimbulkan benturan norma (konflik hukum/Conflict of Law).
Dengan
demikian, maka Ketentuan UU Kehutanan memunculkan sifat kepemilikan
hutan negara yang mirip dengan Domein Verklaring pada masa
pemerintahan kolonial Belanda. Prinsip sebenarnya sudah dicabut
berdasarkan oleh UUPA. Lahirnya UUPA yang tidak dipatuhi pemangku
negara, tepat dikatakan, sebagai pemberian setengah hati
Mainstream
Lingkungan Hidup
Belum
tuntas persoalan lingkungan hidup, mainstream lingkungan hidup belum
menjadi pandangan dari pemerintah. Hal ini dapat ditandai dengan
“memisahkan lingkungan hidup” dengan ketentuan yang
diaturnya seperti (kehutanan, pertambangan dan perkebunan).
Lingkungan hidup belum menjiwai dari perspektif pembangunan.
Lingkungan hidup menjadi bagian yang terpisahkan dari pembangunan
(aliens).
Tema
lingkungan hidup belum mampu mendominasi pembicaraan topik politik
dibandingkan dengan pendidikan, kesehatan ataupun infrastruktur.
Selain
itu dari postur anggaran, Kementerian Lingkungan Hidup yang
memperoleh alokasi anggaran Rp 921,54 miliar berbanding Kementerian
Luar Negeri (Rp 5,59 triliun), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Rp 73,08 triliun), Kementerian Agama (Rp 43,96 triliun) ataupun
Kementerian Sosial (RP 5,61 triliun) di APBN 2013.
Dengan
melihat perkembangan politik di Indonesia, maka sudah bisa
dipastikan, issu lingkungan hidup semakin terpinggirkan berbanding
dengan daya dukung lingkungan hidup yang semakin menurun.