Tulisan
ini terinspirasi dari perjalanan panjang saya mengikuti berbagai
pertemuan di berbagai daerah dengan menggunakan pesawat terbang.
Menaiki suatu maskapai ternyata juga dipengaruhi berbagai tingkah
laku penumpang. Entah dengan berbagai tingkah laku yang membuat saya
menganggap sebuah hiburan. Baik ketika boarding (menjelang naik
pesawat) maupun ketika turun dari pesawat. Pengalaman yang sering
saya saksikan menambah pengalaman bathin dan bisa memandang
masyarakat. Kekayaan bathin yang sering membuat saya senyum-senyum
sambil memandang tidak mengerti dan geleng-geleng kepala.
Maskapai
LCC
Dengan
promosi penerbangan “berbiaya murah” (low cost carrier/LCC),
LION air berhasil “menguasai”
berbagai rute penerbangan dan banyaknya rute penerbangan ke suatu
daerah. Sehingga praktis LION air merupakan pilihan utama
keberangkatan.
Namun
karena banyak pesawat yang berangkat dalam satu hari dengan berbagai
rute menyebabkan Maskapai ini paling sering mengalami keterlambatan
keberangkatan (delay). Entah berapa kali dan tidak bisa
dihitung dengan jari, saya mengalaminya. Tidak salah kemudian Lion
Air sering dijuluki “Raja delay”.
Selain
pelayanan kurang maksimal, kenyamanan kepada penumpang juga sering
diabaikan. Di Jakarta sendiri, di terminal IB, baru saja kita
melewati “screening” dan metal detector, kita
kemudian sering mendengarkan “teriakan” dari counter check
in. Teriakan seperti “jambi tutup” mengabarkan check in
untuk ke Jambi tidak diperkenankan. Persis di terminal bis.
Jangan
coba-coba bernegosiasi akibat keterlambatan check in. Di tiket kita
kemudian “ditandai dengan tulisan tangan dari petugas check
in.
Menjelang
boarding, setelah ada pengumuman keberangkatan, para penumpang
“berdiri” terburu-buru, berebutan untuk memasuki barisan
antrian, berdesak-desakkan. Suarapun bergemuruh. Persis berebut
“menerima kupon” paket sembako.
Begitu
juga ketika memasuki pesawat, penumpang berdesak-desakkan berebut
tempat kabin untuk meletakkan barang. Penumpang tidak teratur.
Mengisi sheat bangku belakang namun tetap masuk lewat depan sehingga
sudah pasti bersenggolan dengan penumpang yang menuju ke bangku
belakang.
Bawaan
penumpang juga beragam. Membawa kotak dengan ikatan “sekedarnya”,
membawa barang melebihi satu, membawa oleh-oleh yang dibungkus dengan
kantong plastik yang dibawa “sekedarnya”. Benar-benar
mengganggu.
Setelah
landing, belum berhenti pesawat, penumpang sudah banyak yang
menghidupkan handphone (walaupun pramugari sudah sering
mengingatkan).
Begitu
juga belum berhenti pesawat, para penumpang “tergesa-gesa”
membuka ikatan pinggang (seatbeal) dan berdiri membuka kabin
untuk menurunkan penumpang. Semuanya “seakan-akan”
serentak dan “berebutan” turun duluan. Padahal masih ada
waktu menunggu proses “meletakkan tangga” dari luar,
proses membuka pintu dan proses dipersilahkan turun oleh pramugari.
Suasana
menjelang naik dan turun dari pesawat mudah terekam oleh saya, karena
suasana itu paling sering ditemukan dari maskapai Lion Air.
Kadang-kadang juga penumpang Sriwijaya Air.
Saya
kemudian memilih “mengalah” baik menjelang naik pesawat
ataupun turun dari pesawat. Sehingga bisa dipastikan, saya termasuk
penumpang yang suka memilih terakhir baik naik maupun turun pesawat.
Namun
saya sering mengalami persoalan. Ketika hendak meletakkan Barang di
kabin (saya jarang sekali meletakkan barang di bagasi baik karena
alasan praktis, malas nunggu barang di bandara juga barang yang
sering masih bisa dibawa ke kabin), saya sering menemukan bagasi
diatas tempat saya duduk, sudah dipenuhi barang penumpang lain.
Sehingga sedikit memakan waktu harus membuka kabin yang lain untuk
meletakkan barang saya.
Kejadian
di Lion Air juga sering saya temukan, ketika bangku saya ternyata
sudah diduduki penumpang lain (saya lebih suka memilih bangku di
emergency dekat jendela). Saya harus menemukan pramugari untuk
menyelesaikan masalah ini.
Namun
pengalaman yang “sedikit berbeda” saya temukan ketika dari
Medan ke Jambi (via batam). Pada waktu itu, Bandara Polonia
habis kebakaran. Pelayanan manual, karena seluruh sistem terbakar dan
belum sempat dihadirkan peralatan untuk mendukung check in.
Saya
memilih naik Air Asia (tentu saya dengan alasan LCC tadi). Pas
pengumuman “boarding”, penumpang berebutan. Saya “tetap”
memilih tenang tidak berebut.
Ternyata
setelah di pesawat, penumpang harus cari sendiri bangku. Saya
bingung. Mengapa tidak ada nomor bangku. Padahal naik mobil
travelpun, bangku kita sudah ditentukan.
Pramugari
kemudian hanya mempersilahkan saya untuk mencari bangku yang kosong.
Bayangkan. Kita harus mencari bangku sendiri didalam pesawat.
Benar-benar “seperti” naik angkot. Ha.. Ha.. ha..
Pengalaman
lain justru membuat saya mengernyitkan kening. Dalam perjalanan
Jakarta-Pekanbaru menggunakan Batik Air, saya menemukan kejadian yang
bikin tidak mengerti dengan tingkah penumpang.
Saya
berkesempatan masuk duluan ke pesawat dan duduk barisan ketiga dari
depan. Setelah duduk, saya menyaksikan penumpang yang meletakkan
barangnya di kabin dekat saya. Namun ternyata penumpang tersebut
bukan duduk disana. Sang penumpang terus ke belakang setelah
meletakkan barangnya di kabin. Dengan rasa tidak bersalah, dia terus
berjalan. Saya melihatnya, sang penumpang jauh duduk di belakang.
Kira-kira di tengah pesawat.
Tidak
lama kemudian penumpang lain masuk. Dia bingung meletakkan tasnya
karena di kabin sudah penuh. Namun sang penumpang tidak mau kalah.
Dia bersikeras meletakkan barang di kabin dekatnya. Dia kemudian
protes kepada pramugari.
Sang
pramugari kemudian “mengumumkan” siapa sang pemilik
barang. Tidak ada jawaban dari penumpang. Sang pramugari tidak mau
kalah dengan “gertakan” penumpang. Dia kembali mengumumkan
akan meletakkan barang di bagasi dan kemudian memanggil petugas agar
dimasukkan ke bagasi.
Entah
karena gengsi ataupun malu, tetap tidak ada yang mau mengakui sang
pemilik barang yang meletakkan di kabin. Akhirnya pramugari tegas
meletakkan di bagasi dan mencatat nama pemilik barangnya atas
namanya. Saya tidak tahu proses pengambilan barang di bandara Sultan
Kasim II di Pekanbaru.
Pantun
di Citilink
Tidak
setiap keberangkatan dan kedatangan pesawat disambut dengan “suasana
heboh”.
Di
Terminal 1C, suasana tidak “heboh”. Selain memang
penerbangan dengan citilink tidak sebanyak rute dan pesawat Lion Air,
suasana terminal “sedikit” adem. Selain bisa check in
via internet, check in juga bisa dilakukan dengan mesin
yang tersedia di seberang counter check in. Sehingga tidak
banyak antrian. Selain itu juga ticket sudah termasuk “airport
tax”. Pengumuman ini ditempel sebelum memasuki terminal IC, di
berbagai spanduk didalam terminal 1 C juga di tempat pembayaran
airporttax. Tulisan yang “meminta kepada seluruh penumpang
citilink” agar tidak perlu membayar airporttax terus menggiring
penumpang hingga ke gate ruang tunggu.
Selain
itu, tidak ada berdesak-desakkan para penumpang. Para penumpang
dengan santai mengikuti barisan dan sama sekali tidak ada yang
terburu-buru.
Didalam
pesawat, Maskapai Citilink selalu memulai dengan pantun. Baik sebelum
keberangkatan maupun hendak landing. Pantun yang disampaikan oleh
citilink cukup “menyegarkan” dan membuat penumpang sedikit
santai menghadapi “take off” dan “landing'.
Pantun
seperti “Bunga melati indah ditaman. Taman bersemi setiap hari.
Terima kasih telah datang. Bersama dengan kami, citilink”. “Anak
dara pergi ke kota. Pergi ke kota untuk berbelanja. Selamat datang di
Kota.. Semoga kita berjumpa pula” membuat penumpang menghadapi
dengan senyuman. Saya lihat dalam setiap penerbangan citilink selalu
berbeda mengeluarkan “pantun”. Cukup banyak koleksi pantun
dari citilink.
Berbagai
peristiwa di setiap penerbangan memberikan kesan yang berbeda.
Tinggal kita membutuhkan maskapai sesuai dengan kepentingan. Ingin
mengatur skedul dengan banyak pilihan waktu maka bisa pakai maskapai
LION Air atau maskapai dengan slogan LCC. Sedangkan ingin mendapatkan
kenyamanan yang baik silahkan naik Garuda ataupun Citilink.