Usai
perjalanan politik Anas Urbaningrum (AU) ketika Pengadilan adhock
Tipikor Jakarta Pusat memutuskan bersalah. AU kemudian terbukti
bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian
uang. AU kemudian dinyatakan bersalah dan dihukum 8 tahun penjara,
denda 300 juta dan diperintahkan mengembalikan kerugian negara 50
milyar lebih dan 5,2 juta US$.
Saya
berfikir setelah dijatuhkan putusan terhadap AU, maka hiruk pikuk
seperti “gantung di monas”, atau “politisasi hukum”
akan berhenti. Namun dugaan saya salah. Hiruk pikuk kemudian riuh dan
suaranya menggelegar melebihi kasus hukum itu sendiri. Entah dengan
menyampaikan dan merasa “ketidakadilan” hingga usulan
“sumpah kutukan (Mubahalah).
Usulan
“Mubahalah” disampaikan oleh AU menjelang ditutupnya
sidang. AU mengusulkan adanya sumpah kutukan untuk membuktikan AU
tidak bersalah. Usulan ini ditampik oleh Hakim dan Hakim kemudian
menutup persidangan tanpa berkomentar.
Saya
tidak “mempersoalkan” usulan itu. Selain memang tidak
diatur didalam KUHAP, cara-cara ini mengingatkan usulan yang pernah
disampaikan Amrozy dkk yang menghendaki hukuman mati dengan cara
dipancung. Cara eksekusi dalam Pemerintah Islam.
Bahkan
Amrozy sendiripun mempersoalkan hingga ke MK.
Namun
negara tidak mengamini permintaannya. MK kemudian menolak permintaan
Amrozy.
Selain
mengenai proses eksekusi hukum mati telah dikenal di dalam KUHP
dengan cara ditembak, cara-cara diluar hukum nasional akan
menimbulkan persoalan baru dan justru bertentangan dengan berbagai
ketentuan hukum.
Melihat
usulan “sumpah kutukan (mubahalah)”, maka AU sadar
bagaimana “panggung” pengadilan yang semula telah
menghukumnya hendak dilakoni dengan alur cerita sendiri. AU hendak
memainkan pengadilan sebagai panggung politik.
AU
berhasil memainkannya dan membangun citra sebagai aktor panggung yang
mumpuni.
Namun
bukan menarik simpati. Cara ini seakan-akan hendak mengajak kita
untuk “mengejek” dunia peradilan, bukti-bukti yang
dihadirkan jaksa dan fakta-fakta persidangan.
Bukannya
mempersiapkan bantahan dari Jaksa penuntut umum yang menghadirkan
lebih 1000 bukti surat, AU malah tidak mampu membuktikan berbagai
kekayaan yang ada seperti mobil toyota harrier atau mobil toyota
Vellfire yang didapatkan dengan cara yang sah. Belum lagi fasilitas
yang diterima dari hasil survey LSI, bagi-bagi HP blackberry,
persiapan deklarasi sebagai calon Ketua Umum Partai Demokrat hingga
berbagai fasilitas menjelang kongres Partai Demokrat.
Seharusnya
apabila AU berkeyakinan mendapatkan berbagai fasilitas dengan cara
yang sah, maka fakta-fakta itu dapat mudah dibantahkan didalam
persidangan. Sehingga tidak salah kemudian “logika” sederhana
kita akan mudah menangkis dari “seruan” mubahalah” dan
merasa diperlakukan “tidak adil' yang disampaikan AU setelah
persidangan.
Sikap
“gentleman” ini tidak ditunjukkan AU. Berbanding terbalik
dengan Andi Mallarangeng (AM) yang langsung menerima putusan dan
tidak terlibat polemik.
Namun
yang menarik saya ketika saya melihat didalam website Jakarta Post,
ada paragraf menarik “ In their dissenting opinions, two of the
judges, Slamet Subagyo and Joko Subagyo, stated the KPK did not have
the authority to file a lawsuit on money-laundering charges.
Ya.
Betul. Sebelum membacakan putusan akhir (amar putusan), Dua
hakim anggota Slamet Subagyo dan Joko Subagyo memberikan pendapat
berbeda dengan putusan hakim (dissenting opinion). Keduanya
berpendapat Jaksa KPK tidak mempunyai kewenangan untuk mengajukan
perkara yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang.
Tema
yang ditawarkan masih dalam perdebatan di kalangan dunia hukum.
Apakah KPK mempunyai kewenangan untuk melakukan pemeriksaan tindak
pidana “pencucian uang” (The KPK did not have the authority to
file a lawsuit on money-laundering charges).
Tema
ini pernah menjadi polemic ketika Pengadilan Adhock Tipikor Jakarta
Pusat menjatuhkan putusan pidana tindak pidana pencucian uang
terhadap Wa Ode Nurhayati.
Wa
Ode Nurhayati, terdakwa kasus suap Dana Penyesuaian Infrastruktur
Daerah 2011 ini terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
kejahatan ganda, tindakan korupsi dan pencucian uang”. Ia pun
dijatuhi hukuman pidana penjara plus denda Rp. 500 juta dan subsider
6 bulan kurungan. Sebelumnya JPU telah menuntut Wa Ode hukuman 14
tahun penjara atas dua tuntutan pidana, 4 tahun untuk tindak pidana
korupsi dan 10 tahun untuk tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Perdebatan
dimulai dengan “kewenangan (authority)”, apakah KPK
mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana
pencucian uang ?
Menggunakan
pendekatan positivisme dengan melihat rumusan pasal-pasal didalam UU
No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001 bahkan didalam UU KPK
sendiri No. 30 Tahun 2002 dan kemudian disandingkan dengan UU Tindak
pidana pencucian uang, sama sekali tidak ditemukan “kewenangan
penyidikan, penuntutan” yang diberikan kepada KPK untuk
melakukan penyidikan. Hakim “dissenting opinion” tidak
keliru kemudian tetap berkeyakinan KPK tidak berwenang untuk
melakukan penyidikan maupun penuntutan terhadap tindak pidana
pencucian uang.
Dalam
ranah ilmu hokum, sebelum menentukan pemeriksaan terhadap sebuah
perkara, memang harus secara tegas limitative ditentukan
“kewenangan”. Dengan kewenangan yang diberikan oleh UU
baik secara tegas maupun secara tersirat tidak disebutkan didalam UU,
kewenangan merupakan salah satu pondasi penting penegakkan hokum.
Aparat
penegak hokum (baik kepolisian, kejaksaan maupun hakim) tidak
dibenarkan memeriksa dan mengadili baik dimulai dari tingkat
penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan dimuka hokum apabila hokum
tidka pernah memberikan kewenangan kepadanya. Dari ranah ini, maka
pendekatan positivisme harus dihormati dan salah satu penting proses
hokum pidana tetap mengacu kepada pendekatan positivism sebagai
ajaran penting terhadap kepastian hokum.
Melakukan
cara-cara yang tidak tegas diatur didalam UU selain memberikan
ketidakpastian hokum dapat menciptakan tirani baru dalam hokum. Dan
dalam ajaran klasik positivism, cara-cara ini harus dihindarkan agar
hokum menjadi berwibawa dan memberikan pelajaran hokum ditengah
masyarakat.
Walaupun
kemudian didalam berbagai putusan Mahkamah Agung (yurisprudensi)
terhadap kasus mantan Kakorlantas yang telah dijatuhi pidana tindak
pidana pencucian uang, namun secara substansi masih menjadi
perdebatan di kalangan ahli hokum.
Ahli
hokum masih terbelah. Baik yang menyetujui berbarengan penerapan
tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang maupun yang
tetap menolak KPK melakukan penyidikan maupun penuntutan terhadap
tindak pidana pencucian uang. Kedua kubu mempunyai argumentasi yang
sama baiknya dan mampu mewarnai bacaan kita melihat tindak pidana
pencucian uang.
Terlepas
daripada semuanya, kita harus menghormati pemikiran hakim dissenting
opinion dalam melihat kasus AU. Kita tetap memberikan ruang
pemikiran hakim yang mengadili perkara ini tanpa diintervensi oleh
siapapun. Sebagai bentuk penghormatan independensi hakim dengan tetap
mengikuti perkembangan berbagai putusan Mahkamah Agung yang dapat
mewarnai perdebatan tersebut (yurisprudensi).