26 September 2014

opini musri nauli : BENTANGAN KARST: ”Kami Titipkan Mata Air, Bukan Air Mata”


AMANAH nenek moyang Bukit Bulan tak lepas dari ingatan Qodri (51). ”Kami titipkan mata air, bukan air mata.” Pesan itu tetap hidup hingga kini. Menjadi buah yang menjaga kehidupan dari generasi ke generasi dan menumbuhkan kesadaran untuk melestarikan alam.

Namun, kekhawatiran tengah membayangi Qodri dan warga Desa Napal Melintang, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Surga mereka di bentangan karst Bukit Bulan itu terancam oleh rencana pembukaan tambang batu gamping dan tanah liat serta pabrik semen. PT Semen Baturaja (Persero) Tbk sudah mengajukan izin pemanfaatan wilayah itu seluas 5.000 hektar kepada Pemerintah Kabupaten Sarolangun.


”Mungkin kami memang bodoh, tetapi kami akan tetap menolak masuknya tambang,” ujar Qodri, pekan lalu. Bukit Bulan berbeda dibandingkan dengan sebagian kawasan karst lain karena letaknya di hamparan Bukit Barisan, Sumatera.


Lokasi itu sangat indah dan masih dikelilingi hutan-hutan perawan.


Puncak bukit karst itu, oleh warga setempat, diyakini keramat. Hal itu ditandai dengan berbagai seloka yang membudaya di masyarakat sepanjang hulu Sungai Batanghari. Mereka menyebutnya Teluk Sakti, Rantau Betuah, dan Gunung Bedewo. Ada pula sebutan Hulu Air/Kepala Sauk, Rimbo Puyang/Rimbo Keramat, Bukit Seruling, dan Rimbo Sunyi atau hutan keramat sebagai makna simbolik terhadap daerah dilindungi. Keindahannya nyaris tak terganggu hingga kini.


Bagian dalam Bukit Bulan malah lebih menakjubkan lagi. Ratusan goa setempat mengandung bebatuan mirip kristal yang menggantung di langit-langit goa (stalaktit). Ada pula endapan kalsit dari lantai (stalagmit) atau miliaran tetesan air yang menyelubungi bongkahan batu (flowstone), ataupun mata airnya.


Bukit Bulan digolongkan sebagai kawasan geologi unik, tetapi rentan rusak. Pemerintah mengusulkan kepada Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) agar kawasan itu menjadi warisan alam dunia. Keindahan taman geologi purba itu tak hanya indah, tetapi juga langka.


Pemerintah Kabupaten Sarolangun pun sejak 2004 menetapkan Bukit Bulan sebagai kawasan hulu lindung, yang hanya boleh dimanfaatkan untuk pertanian tradisional dan pariwisata alam. Hal itu tertuang dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah.


Peraturan di setiap desa juga memberikan sanksi adat bagi yang merusak hutan, goa, sungai, atau mata air. Jika lima pohon ditebang, ada denda membayar 5 gram emas, 1 kambing, 20 kilogram beras, dan 100 butir kelapa. Lebih banyak pohon yang ditebang, denda makin berlipat-lipat.


Upaya pelestarian itu menuai penghargaan di tingkat kabupaten dan provinsi pada Hari Lingkungan Hidup tahun 2010. Masyarakat dinyatakan gigih menjaga hutan, goa, mata air, dan sukses memanfaatkan Sungai Limun sebagai sumber energi pembangkit listrik.


Masyarakatpun memperoleh pengakuan hak kelola hutan adat seluas total 1.368 hektar. Seluruhnya dikelola warga di Desa Napal Melintang, Mersip, Meribung, Merkun, Temalang, dan Lubuk Bedorong.


Bagi Qodri, amanah nenek moyang itu merupakan keutamaan. ”Tugas kami menjaga semua mata air untuk anak cucu,” ujarnya. Ia mengkhawatirkan rusaknya hasil pertanian dan tanaman kebun seiring aktivitas peledakan bom di areal tambang. ”Airnya dak ado lagi, zatnya dak ado lagi. Padahal, dak usahkan tambang, kebun sawit pun kami tolak karena kondisi perbukitan,” ujarnya.


PT Semen Baturaja semula mengusulkan izin tambang dan pabrik semen seluas 5.000 hektar. Dari jumlah itu, diketahui lokasinya ternyata tumpang tindih dengan hutan lindung seluas 898 hektar dan hutan produksi (172 hektar). Tim teknis kabupaten lalu merekomendasikan luas izinnya menjadi 3.930 hektar. Belakangan diketahui, rencana wilayah tambang itu masih tumpang tindih dengan lahan pangan berkelanjutan seluas 72 hektar serta hutan adat.


Rapat tim teknis atas dokumen analisis lingkungan Baturaja meminta perbaikan, antara lain mengenai revisi luas areal, pemetaan tumpang tindih, analisis mengenai dampak kesehatan, pemanfaatan limbah beracun, pembebasan tanah, dan analisis dampak sosial.


Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan PT Semen Baturaja Suherman mengatakan, pihaknya sebelumnya tidak mengetahui keberadaan hutan adat di wilayah itu. Namun, pihaknya akan menghormati keberadaan hutan adat meski di sisi lain perusahaan tengah menargetkan peningkatan kapasitas produksi semen dari 1,2 juta ton per tahun menjadi 2 juta ton. Baturaja mengharapkan ada percepatan dalam perizinan usaha tambang dan pabrik itu di wilayah Bukit Bulan.


Berdasarkan analisis Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, usulan izin tambang PT Semen Baturaja akan tumpang tindih dengan tujuh area hutan adat. Manajer Program KKI Warsi Rudi Syaf mengatakan, luasnya mencapai 365 hektar, terdiri dari hutan adat Imbo Lembago, Imbo Pseko, Pangulu Batuah, Pangulu Lareh, Pangulu-Sati, dan Rimbolarangan. Aktivitas tambang berpotensi mendatangkan konflik dengan masyarakat yang selama ini arif menjaga lingkungan.


Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi Musri Nauli menambahkan, izin usaha pertambangan tak senapas dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Tata Ruang Wilayah Nasional. Kawasan karst Bukit Bulan merupakan kawasan lindung geologi dan konservasi hutan. Pemerintah harus menetapkan wilayah itu sebagai kawasan bentang alam karst, bukan malah mengalihfungsikannya


Kompas, 26 September 2014