25 Mei 2015

opini musri nauli : Makna Simbolik upacara adat di Lubuk Mandarsyah

MAKNA SIMBOLIK UPACARA ADAT DI LUBUK MANDARSYAH
Musri Nauli


Peristiwa “upacara adat” yang dilakukan tanggal 23 Mei 2015 kembali mengingatkan kematian Indra Pelani tanggal 27 Februari 2015 di Lubuk Mandarsyah, Tebo Tengah Ilir, Tebo. Peristiwa tragis yang sampai sekarang tidak mudah dilupakan dan sulit dipahami di tengah upaya penyelesaian negosiasi antara masyarakat dengan PT. WKS. Peristiwa tragis di tengah upaya penyelesaian dengan cara-cara non kekerasan dan mengedepankan upaya dialog antara masyarakat dengan perusahaan.
Peristiwa tragis kemudian membuka lembaran konflik di Jambi. Konflik yang menyisakan persoalan panjang. Konflik yang tidak semata-mata cuma “perampasan tanah”, perebutan sumber daya alam, deforestrasi hingga sumber-sumber kehidupan yang hilang. Tapi mekanisme resolusi konflik yang mengedepankan dialog dan upaya tanpa kekerasan (non violence) masih memerlukan pekerjaan panjang.

Indra Pelani adalah potret buram dan sejarah gelap dari perampasan tanah. Indra Pelani adalah wajah bobrok cara-cara menggunakan kekerasan dan minim dialog di tengah upaya optimisme dari berbagai pihak. Indra Pelani adalah wajah kita yang masih bercampuran antara optimisme, harapan berhadapan dengan pesimisme, pengulangan cara-cara lama hingga cara-cara kekerasan.

Cara-cara kekerasan, menghabisi nyawa terhadap pihak-pihak yang berseberangan dianggap cara-cara barbar yang harus dihentikan. Cara ini harus dipertanggungjawabkan baik secara hukum nasional maupun hukum adat. Juga cara ini harus dipertanggungjawabkan secara sosial. Pelaku, masyarakat harus disadarkan. Cara ini salah dan pelaku harus bertanggungjawab.

Mekanisme hukum sedang ditempuh. Pelaku yang dianggap bertanggungjawab sedang mengalami proses hukum dan menunggu di persidangan. Rekonstruksi sudah dilangsungkan. Tinggal pembuktian di persidangan.

MAKNA SIMBOLIK

Namun perusahaan “dianggap” bertanggungjawab'. Perusahaan sebagai “induk semang” harus menjaga “anak asuhnya”. Kesalahan anak asuh merupakan tanggungjawab “induk semang”.

Kedudukan “induk semang” adalah sebagai “tuo tengganai” dari anak kemenakan. Kesalahan “anak kemenakan” kemudian harus diselesaikan oleh “tuo tengganai”. Kesalahan harus dipertanggungjawabkan baik melalui hukum adat maupun sosial.

Di Tebo, Negeri “seentak galah serengkuh dayung”, dalam “Anak Undang Nan Dua Belas”, “peristiwa pembunuhan” pelanggaran ini dikenal dengna istilah “luka lakih di pampas. Mati dibangun”. Luka lukih di pampas adalah orang yang melukai badan orang lain dihukum membayar pampas. Terhadap luka dilihat “Luka rendah pampasnya sekor ayam, segantang beras, kelapo betali”. Luka tinggi pampasnya seekor kambing, 20 gantang beras.Luka parah pampasnya se lengan separuh bangun”.

Sedangkan “Mati di bangun” adalah membunuh orang lain di hukum membayar bangun berupa satu ekor  kerbau, seratus gantang beras, sekayu kain putih.

Prosesinya dimulai dari Pihak “tuo tengganai” kemudian mendatangi lembaga adat untuk menyampaikan “habibul hajat (maksud dari pengundang) meminta maaf kepada keluarga korban dan masyarakat yang terganggu dengan “kesalahan dari anak kemenakan”.

Setelah mendengarkan “habibul hajat (maksud dari pengundang), lembaga adat kemudian menerima permohonan maaf dari “tuo tengganai” anak kemenakan yang bersalah.

Lembaga adat kemudian menetapkan sanksi adat berupa “kerbo sekok, serba seratus”. (Kerbau satu ekor, 1 keris, 100 gantang beras, seratus kain, selemak semanis)

Kemudian ditanyakan kepada “tuo tengganai” apakah mampu membayar sanksi adat. Setelah “tuo tengganai” menyatakan mampu untuk membayar sanksi adat, maka sanksi adat kemudian “diserahkan” kepada lembaga adat. Lembaga adat kemudian menerima dan menyampaikan kepada “orang rame”, sanksi adat telah dijatuhkan. Dan “tuo tengganai telah mampu membayar sanksi adat”.

Pemberian “sanksi adat” dan dipenuhinya sanksi adat merupakan peristiwa penting. Dalam hukum adat, sanksi adat merupakan manifestasi dari “penyelesaian rasa aman yang terganggu dengan peristiwa pembunuhan”. Dalam sistem hukum adat, rasa aman merupakan bentuk dasar untuk menghilangkan rasa “syak wasangka” dan menghilangkan dari niat buruk dari siapapun yang mengganggu masyarakat.

Hukum adat merupakan katup sengketa diluar hukum dan merupakan bentuk kontrol terhadap setiap perbuatan manusia agar tertib. Dengan adanya hukum adat maka keadilan telah tercapai. Hukum harus memenuhi unsur keadilan. Tidak semata-mata “kepastian hukum yang menciptakan ketertiban hukum atau ketertiban sosial (law and order/social order)”. Namun juga harus mencapai “ketentraman”.

Jadi esensinya lebih luas daripada tujuan hukum nasional

Setelah itu, maka Lembaga adat menyatakan “tidak ada lagi dendam. Tidak ada lagi pemusuhan. Yang berbuat salah telah bertanggungjawab dan menerima sanksi adat. Ke depan hubungan ini tidak boleh lagi ada gangguan dan mulai dibangun hubungan yang baik antara pihak “tuo tengganai” anak kemenakan dengan masyarakat Lubuk Mandarsyah.

Lembaga adat terus menyatakan “apabila adanya perselisihan, maka “Disitu kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama ditarah. Supaya yang genting tidak putus. Supaya yang biang tidak tembuk
Makna “upacara adat”

Prosesi pelaksanan upacara adat tidak sesederhana kita bayangkan. Pelaksanaan upacara adat dan pemenuhan “sanksi adat' merupakan bentuk pengakuan terhadap keberadaan masyarakat dan dihormatinya hukum adat. Dengan dihormatinya hukum adat, maka pelaksanaan hukum adat harus dihormati sebagaimana seloko “dimana bumi dipijak. Disitu langit dijunjung. Dimana tembilang tecacak. Disitu tanaman tumbuh”.

Hukum adat mengikat baik kepada masyarakat adat itu sendiri maupun para pendatang yang berkegiatan, tinggal dan hidup di tengah masyarakat. Seloko “datang nampak muko, pegi nampak punggung” merupakan filosofi penghormatan terhadap tatacara “izin kepada” Petuah adat. Seloko ini masih dihormati.

Begitu juga terhadap sanksi adat yang telah dijatuhkan. Prosesi ini kemudian harus dihormati.

Sanksi adat yang telah dijatuhkan namun tidak dilaksanakan, maka “Bebapak pado harimau. Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo. Secara harfiah, orang ini kemudian dikenal sebagai “orang buangan'. “Sakit tidak diurus. Mati tidak dikuburkan”. Hidupnya menjadi tidak dihormati orang kampung.

Upacara adat merupakan akumulasi dari penghormatan hokum adat. Di tengah hokum nasional yang bercirikan “positivism”, hokum adat mengutamakan keadilan substansi. Keadilan yang mementingkan “rasa aman”, rasa tentram dari masyarakat.

Upacara adat merupakan vs to vs dari hokum nasional. Hukum adat merupakan bentuk penggalian dari nilai-nilai hokum yang masih dihormati. Hukum adat dianggap sebagai lembaga effektif yang mengutamakan penyelesaian kedua belah pihak (pelaku dan korban). Hukum adat menitikberatkan kedua belah pihak secara seimbang sehingga tercapai bandul keadilan kedua belah pihak.

Hukum adat mengutamakan keselarasan, menghilangkan kesalahan, menghapuskan dendam, menghapuskan kenangan buruk peristiwa yang lalu. Menghapuskan trauma dan “kekagetan” atau kemarahan dari peristitwa yang terjadi.

Dengan upacara adat maka hokum ditempatkan sebagai “tempat menyelesaikan masalah”. Tempat “betanyo, Tempat suluh di kegelapan. Tempat keadilan ditimbang dan diberlakukan.

Upacara adat merupakan proses akulturasi dan daya lenting dan identitas masyarakat di tengah perubahan. Dengan upacara adat, maka identitas dan pengakuan akan komunitas (society) merupakan sebuah siklus dari daya bertahan masyarakat dari gempuran berbagai norma-norma hokum nasional.

Upacara adat merupakan bentuk dan bagian dari ikrar keberadaan masyarakat (ubi societies ibi ius). Dengan ikrar dan daya tahan masyarakat, maka komunitas merupakan sistem social yang masih bertahan.

Dimuat di harian Jambi Independent, 27 Mei 2015.