MAKNA SIMBOLIK UPACARA ADAT DI LUBUK MANDARSYAH
Musri Nauli
Peristiwa “upacara adat” yang dilakukan tanggal 23
Mei 2015 kembali mengingatkan kematian Indra Pelani tanggal 27 Februari 2015 di
Lubuk Mandarsyah, Tebo Tengah Ilir, Tebo. Peristiwa tragis yang sampai sekarang
tidak mudah dilupakan dan sulit dipahami di tengah upaya penyelesaian negosiasi
antara masyarakat dengan PT. WKS. Peristiwa tragis di tengah upaya penyelesaian
dengan cara-cara non kekerasan dan mengedepankan upaya dialog antara masyarakat
dengan perusahaan.
Peristiwa tragis kemudian membuka lembaran konflik
di Jambi. Konflik yang menyisakan persoalan panjang. Konflik yang tidak
semata-mata cuma “perampasan tanah”, perebutan sumber daya alam, deforestrasi
hingga sumber-sumber kehidupan yang hilang. Tapi mekanisme resolusi konflik
yang mengedepankan dialog dan upaya tanpa kekerasan (non violence) masih
memerlukan pekerjaan panjang.
Indra Pelani adalah potret buram dan sejarah gelap
dari perampasan tanah. Indra Pelani adalah wajah bobrok cara-cara menggunakan
kekerasan dan minim dialog di tengah upaya optimisme dari berbagai pihak. Indra
Pelani adalah wajah kita yang masih bercampuran antara optimisme, harapan
berhadapan dengan pesimisme, pengulangan cara-cara lama hingga cara-cara kekerasan.
Cara-cara kekerasan, menghabisi nyawa terhadap
pihak-pihak yang berseberangan dianggap cara-cara barbar yang harus dihentikan.
Cara ini harus dipertanggungjawabkan baik secara hukum nasional maupun hukum
adat. Juga cara ini harus dipertanggungjawabkan secara sosial. Pelaku,
masyarakat harus disadarkan. Cara ini salah dan pelaku harus bertanggungjawab.
Mekanisme hukum sedang ditempuh. Pelaku yang
dianggap bertanggungjawab sedang mengalami proses hukum dan menunggu di
persidangan. Rekonstruksi sudah dilangsungkan. Tinggal pembuktian di
persidangan.
MAKNA SIMBOLIK
Namun perusahaan “dianggap” bertanggungjawab'.
Perusahaan sebagai “induk semang” harus menjaga “anak asuhnya”. Kesalahan anak
asuh merupakan tanggungjawab “induk semang”.
Kedudukan “induk semang” adalah sebagai “tuo
tengganai” dari anak kemenakan. Kesalahan “anak kemenakan” kemudian harus
diselesaikan oleh “tuo tengganai”. Kesalahan harus dipertanggungjawabkan baik
melalui hukum adat maupun sosial.
Di Tebo, Negeri “seentak galah serengkuh dayung”,
dalam “Anak Undang Nan Dua Belas”, “peristiwa pembunuhan” pelanggaran ini
dikenal dengna istilah “luka lakih di pampas. Mati dibangun”. Luka lukih di
pampas adalah orang yang melukai badan orang lain dihukum membayar pampas.
Terhadap luka dilihat “Luka rendah pampasnya sekor ayam, segantang beras,
kelapo betali”. Luka tinggi pampasnya seekor kambing, 20 gantang beras.Luka
parah pampasnya se lengan separuh bangun”.
Sedangkan “Mati di bangun” adalah membunuh
orang lain di hukum membayar bangun berupa satu ekor kerbau, seratus gantang beras, sekayu kain
putih.
Prosesinya dimulai dari Pihak “tuo tengganai”
kemudian mendatangi lembaga adat untuk menyampaikan “habibul hajat (maksud dari
pengundang) meminta maaf kepada keluarga korban dan masyarakat yang terganggu
dengan “kesalahan dari anak kemenakan”.
Setelah mendengarkan “habibul hajat (maksud dari
pengundang), lembaga adat kemudian menerima permohonan maaf dari “tuo
tengganai” anak kemenakan yang bersalah.
Lembaga adat kemudian menetapkan sanksi adat berupa
“kerbo sekok, serba seratus”. (Kerbau satu ekor, 1 keris, 100 gantang beras,
seratus kain, selemak semanis)
Kemudian ditanyakan kepada “tuo tengganai” apakah
mampu membayar sanksi adat. Setelah “tuo tengganai” menyatakan mampu untuk
membayar sanksi adat, maka sanksi adat kemudian “diserahkan” kepada lembaga
adat. Lembaga adat kemudian menerima dan menyampaikan kepada “orang rame”,
sanksi adat telah dijatuhkan. Dan “tuo tengganai telah mampu membayar sanksi
adat”.
Pemberian “sanksi adat” dan dipenuhinya sanksi adat
merupakan peristiwa penting. Dalam hukum adat, sanksi adat merupakan
manifestasi dari “penyelesaian rasa aman yang terganggu dengan peristiwa
pembunuhan”. Dalam sistem hukum adat, rasa aman merupakan bentuk dasar untuk
menghilangkan rasa “syak wasangka” dan menghilangkan dari niat buruk dari
siapapun yang mengganggu masyarakat.
Hukum adat merupakan katup sengketa diluar hukum
dan merupakan bentuk kontrol terhadap setiap perbuatan manusia agar tertib.
Dengan adanya hukum adat maka keadilan telah tercapai. Hukum harus memenuhi
unsur keadilan. Tidak semata-mata “kepastian hukum yang menciptakan ketertiban
hukum atau ketertiban sosial (law and order/social order)”. Namun juga
harus mencapai “ketentraman”.
Jadi esensinya lebih luas daripada tujuan hukum
nasional
Setelah itu, maka Lembaga adat menyatakan “tidak
ada lagi dendam. Tidak ada lagi pemusuhan. Yang berbuat salah telah
bertanggungjawab dan menerima sanksi adat. Ke depan hubungan ini tidak boleh
lagi ada gangguan dan mulai dibangun hubungan yang baik antara pihak “tuo
tengganai” anak kemenakan dengan masyarakat Lubuk Mandarsyah.
Lembaga adat terus menyatakan “apabila adanya
perselisihan, maka “Disitu kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu
kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama ditarah. Supaya yang genting tidak
putus. Supaya yang biang tidak tembuk
Makna “upacara adat”
Prosesi pelaksanan upacara adat tidak sesederhana
kita bayangkan. Pelaksanaan upacara adat dan pemenuhan “sanksi adat' merupakan
bentuk pengakuan terhadap keberadaan masyarakat dan dihormatinya hukum adat.
Dengan dihormatinya hukum adat, maka pelaksanaan hukum adat harus dihormati
sebagaimana seloko “dimana bumi dipijak. Disitu langit dijunjung. Dimana
tembilang tecacak. Disitu tanaman tumbuh”.
Hukum adat mengikat baik kepada masyarakat adat itu
sendiri maupun para pendatang yang berkegiatan, tinggal dan hidup di tengah
masyarakat. Seloko “datang nampak muko, pegi nampak punggung” merupakan
filosofi penghormatan terhadap tatacara “izin kepada” Petuah adat. Seloko ini
masih dihormati.
Begitu juga terhadap sanksi adat yang telah
dijatuhkan. Prosesi ini kemudian harus dihormati.
Sanksi adat yang telah dijatuhkan namun tidak
dilaksanakan, maka “Bebapak pado harimau. Berinduk pada gajah. Berkambing
pada kijang. Berayam pada kuawo. Secara harfiah, orang ini kemudian dikenal
sebagai “orang buangan'. “Sakit tidak diurus. Mati tidak dikuburkan”. Hidupnya
menjadi tidak dihormati orang kampung.
Upacara
adat merupakan akumulasi dari penghormatan hokum adat. Di tengah hokum nasional
yang bercirikan “positivism”, hokum adat mengutamakan keadilan substansi.
Keadilan yang mementingkan “rasa aman”, rasa tentram dari masyarakat.
Upacara adat merupakan
vs to vs dari hokum nasional. Hukum adat merupakan bentuk penggalian dari
nilai-nilai hokum yang masih dihormati. Hukum adat dianggap sebagai lembaga
effektif yang mengutamakan penyelesaian kedua belah pihak (pelaku dan korban).
Hukum adat menitikberatkan kedua belah pihak secara seimbang sehingga tercapai
bandul keadilan kedua belah pihak.
Hukum adat mengutamakan
keselarasan, menghilangkan kesalahan, menghapuskan dendam, menghapuskan
kenangan buruk peristiwa yang lalu. Menghapuskan trauma dan “kekagetan” atau
kemarahan dari peristitwa yang terjadi.
Dengan upacara adat maka
hokum ditempatkan sebagai “tempat menyelesaikan masalah”. Tempat “betanyo,
Tempat suluh di kegelapan. Tempat keadilan ditimbang dan diberlakukan.
Upacara adat merupakan
proses akulturasi dan daya lenting dan identitas masyarakat di tengah perubahan.
Dengan upacara adat, maka identitas dan pengakuan akan komunitas (society)
merupakan sebuah siklus dari daya bertahan masyarakat dari gempuran berbagai
norma-norma hokum nasional.
Upacara adat merupakan
bentuk dan bagian dari ikrar keberadaan masyarakat (ubi societies ibi ius).
Dengan ikrar dan daya tahan masyarakat, maka komunitas merupakan sistem social
yang masih bertahan.
Dimuat di harian Jambi Independent, 27 Mei 2015.