Presiden Jokowi menerbitkan
Inpres No. 8 Tahun 2015 melanjutkan penundaan pemberian izin hutan primer dan
gambut di kawasan hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (moratorium).
Inpres kemudian mengamanatkan untuk melakukan penghentian pemberian izin
didalam kawasan moratorim.
Semangat moratorium untuk
mengembalikan fungsi hutan sebagai ekosistem dan merehabilitasi hutan akibat
penghancuran illegal logging (deforestasi) disambut dengna baik.
Penetapan kawasan hutan
sebagaimana ditetapkan dalam Inpres No. 6 Tahun 2013 kemudian dituangkan
didalam Penetapan Peta Indikatif
Penundaan Pemberian Izin Baru Pemanfaatan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan dan
Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain (PIPPIB).
Sejak PIPPIB dikeluarkan pada 20
Juni 2011 sampai dengan akhir tahun 2014 telah dilakukan tujuh kali revisi.
Walhi berkonsentrasi terhadap
moratorium sejak mengkampanyekan jeda tebang (moratorium logging) 15 tahun yang
lalu. Tema moratorium dipilih dengan memberikan waktu kepada bumi untuk
“sedikit bernafas”.
Didalam melakukan penilaian
terhadap implementasi moratorium selama 4 tahun, Walhi-Kemitraan kemudian
menganalisis pelaksanaan moratorium di daerah yang mempunyai kawasan hutan
antara 40% (Riau, Jambi dan Sumsel) –
83% (Kalimantan Tengah). Riau, Jambi dan Sumsel memiliki kawasan hutan 11 juta
dan Kalteng memiliki kawasan hutan 12 juta (setengah luas kawasan hutan
Kalimantan). Keempat Propinsi memiliki kawasan hutan hingga 23 juta hektar
(sepertiga luas hutan Indonesia).
Selain itu juga, keempat propinsi
memiliki luas lahan gambut yang sangat besar, relatif sering terjadi bencana
kebakaran hutan, serta pembangunan perkebunan besar yang diyakini menjadi salah
satu penyebab meningkatnya laju deforestasi baik pada hutan alam primer maupun
pada lahan gambut.
Didalam pelaksanaan moratorium
terjadinya pengurangan luas areal moratorium.
Pengurangan terluas ada di Kalimantan Tengah yaitu 474 ribu hektar, disusul Riau 351 ribu hektar, Jambi 60 ribu hektar, Sumatera
Selatan 27 ribu hektar. Keseluruhan
mencapai 986 ribu. Atau 14 kali luas Singapura.
Sedangkan di gambut, pengurangan
lahan gambut di Kalimantan Tengah mencapai 44 %. Sementara pengurangan di Jambi
mencapai 30%.
Namun sebagian besar areal yang
dimoratorium justru berada di wilayah yang tidak terancam penerbitan izin baru
seperti di hutan lindung dan kawasan konservasi. Padahal kawasan hutan lindung
dan hutan konservasi terletak di Taman nasional, Hutan Lindung, cagar alam dan
Hutan Lindung Gambut yang tunduk dengan UU No. 5 Tahun 1990.
Di Jambi, wilayah ekosistem
gambut di Jambi belum semuanya masuk kedalam wilayah moratorium. Seharusnya wilayah ini harus diselamatkan dan
harus dimasukkan kedalam wilayah PIPPIB
Selain itu wilayah moratorium
banyak yang berada di dalam wilayah konsesi baik perusahaan perkebunan sawit,
tambang maupun perusahaan Hutan Tanaman Industri.
Memasukkan Perusahaan sawit dan
HTI kedalam wilayah moratorium menimbulkan persoalan. Selain merupakan areal
konflik antara masyarakat dengan perusahaan, areal moratorium merupakan potensi
konflik dan ruang kelola masyarakat sehingga semakin meminggirkan masyarakat.
Wilayah moratium masih
beririsan/bersinggungan dengan lokasi wilayah kelola masyarakat. Bahkan
terdapat Kantor Kepala Desa di Desa Sungai Baung, Desa Parit Bilal dan Desa
Sinar Wajo.
TATA
KELOLA KEHUTANAN
Namun bukan untuk memperbaiki dan penyempurnaan tata kelola
hutan alam primer dan lahan gambut, pada
saat bersamaan Pemerintah masih memberikan pemberian izin baru selama
periode moratorium diberlakukan. Bahkan terjadi pelepasan kawasan hutan untuk
pemenuhan permintaan wilayah administrasi daerah dalam bentuk areal penggunaan
lain (APL) mencapai 7,7 juta hektar di 20 provinsi.
Pemerintah telah mengeluarkan izin hutan tanaman industry
(1,1 juta hektar), izin pinjam
pakai kawasan hutan untuk tambang (2.2 juta hektar) dan pelepasan kawasan hutan
untuk perkebunan (1,1 juta ha).
Sebagai
contoh PT. Delonix Lestari Raya (PT. DLR), perusahaan yang bergerak di bidang
Kehutanan. Pada tahun 2014, PT. DLR mengajukan permohonan izin Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) seluas 7.922 ha yang
berlokasi di Kecamatan Sungai Manau, Kecamatan Pangkalan Jambu, Kecamatan Renah
Pembarap dan Kecamatan Tabir Barat, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Saat
ini perusahaan sedang menunggu surat keputusan dari
Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan untuk bisa beroperasi.
Penataan pengelolaan kehutanan di kawasan moratorium merupakan waktu
yang tepat untuk mengembalikan fungsi hutan. Kawasan yang terlantar, tidak
dikelola harus dikembalikan untuk dilakukan reboisasi sehingga dapat menambah
semakin baiknya mutu lingkungan hidup.
Selain itu, bencana kebakaran
(hotspot) justru terjadi di lahan gambut didalam wilayah moratorium. Moratorium
tidak dapat mencegah terjadinya bencana kebakaran. Titik api (hotspot) di areal
gambut termasuk kedalam wilayah moratorium sejak tahun 2011 justru semakin
massif dan mengirimkan asap hingga ke
Malaysia dan Singapura tahun 2013. Moratorium gagal mencegah kebakaran asap
sejak tahun 2011.
Penegakan hokum terhadap industry
yang masih melakukan pembakaran hutan harus dilakukan. Tanpa penegakkan hokum,
maka moratorium akan kehilangan makna.
Semangat dan Momentum moratorium
dapat dipergunakan mempercepat pengukuhan kawasan hutan seluas 62 juta Ha (63.30
%) dari 129 juta hektar. Upaya serius mempercepat pengukuhan kawasan hutan
selain ingin menata lingkungna hidup lebih baik juga memberikan kesempatan
“sedikit bernafas” kepada hutan untuk melakukan recovery. Upaya ini merupakan
kesempatan refleksi dan penghentian pemberian izin di kawasan genting dan
penting terhadap lingkungan hidup.
Selain itu juga wilayah
moratorium harus dikembalikan fungsinya sebagai fungsi ekologi yang semakin
terancam. Berbagai upaya reboisasi tidak sekedar slogan.
MENJAGA ASA YANG TERSISA
Terlepas berbagai kelemahan
implementasi moratorium, peluang moratorium dengan mengembalikan fungsi hutan
harus disambut dengan harapan.
Moratorium harus berjalan sesuai
dengan langkah dengan perencanaan matang, tepat dan terukur. Moratorium
merupakan harapan yang tersisa setelah berbagai ancaman deforestrasi yang
mencapai 600 ribu hektar pertahun. Moratorium merupakan peluang untuk menata
lingkungan hidup
Moratorium merupakan asa setelah
berbagai upaya perlindungan dan mengembalikan hutan yang semakin massif.
Moratorium merupakan asa yang
tersisa.
Baca : Makna putusan MK 35