02 Mei 2015

opini musri nauli : REKONSTRUKSI ALA NOVEL BASWEDAN



Akhir-akhir ini kita sempat berdegub jantung. Setelah penangkapan Bambang Widjojanto (BW) dan disusul dengna penahanan Abraham Samad (AS), sasaran “shock terapi” ditujukan kepada Novel Baswedan (NB), penyidik handal di KPK.

Ketiganya dianggap sebagai tokoh kunci dan aktor penting cerdas pengungkapan kasus-kasus rumit di KPK. Ketiganya dianggap simbol dari “kehandalan” KPK mengungkapkan kasus-kasus menarik perhatian. Termasuk Kakorlantas dan Komjen Budi Gunawan (BG).
Namun musim “keemasan” KPK mulai berlalu. KPK mengalami krisis setelah ketiganya kemudian ditetapkan sebagai tersangka dan “drama mendayu-dayu” penangkapan dan penahanan. Walaupun kemudian atas intervensi Presiden kemudian dikeluarkan dari tahanan, namun degub jantung publik sempat tersita. Polemik kemudian menyeruak sehingga Presiden harus turun tangan untuk mengatasi persoalan ini.

Terlepas dari “tuduhan” upaya kriminalisasi ketiganya, tema rekontruksi menarik untuk dilihat lebih jauh. Tanpa bermaksud mempengaruhi proses hukum, tema rekonstruksi merupakan salah satu tema melihat proses penegakkan hukum.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kata rekonstruksi terdiri dari re-kon-struk-si/ /rékonstruksi/ n Artinya 1 pengembalian spt semula: akan dilaksanakan -- dan pembangunan jalan baru di Jakarta, Bogor, Ciawi; 2 penyusunan (penggambaran) kembali: dl pemeriksaan pendahuluan telah dibuatkan -- mengenai peristiwa terjadinya pembunuhan itu; Sedangkan merekonstruksi/me-re-kon-struk-si/ v melakukan rekonstruksi: polisi menyuruh kedua penjahat itu ~ perbuatannya

Didalam KUHAP, istilah rekonstruksi tidak dapat kita temukan. Penyidik bersandarkan kepada Surat Keputusan Kapolri No. Pol.Skep/1205/IX/2000 tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana, khususnya dalam bagian Buku Petunjuk Pelaksanaan tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana (“Bujuklak Penyidikan Tindak Pidana”). Bab III tentang Pelaksanaan, angka 8.3.d Bujuklak Penyidikan Tindak Pidana menyebutkan bahwa “Metode pemeriksaan dapat menggunakan teknik : (1) interview, (2) interogasi, (3) konfrontasi, (4) rekonstruksi.”.

Dalam praktek, rekonstruksi diperlukan oleh Jaksa Penuntut Umum, agar penyidik dapat meyakini telah terjadinya tindak pidana. Dengan melakukan rekonstruksi, para saksi, akibat terhadap korban dan peran para tersangka dapat diketahui. Sehingga Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang menghadirkan tersangka dimuka persidangan dapat meyakini hakim sehingga perkara tidak dapat bebas demi hukum.

Tentu saja rekonstruksi dilakukan setelah masing-masing pihak telah memberikan keterangan dimuka hukum (projudicial). Para saksi-saksi telah diminta keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan(BAP), tersangka telah memberikan keterangan (BAP) dan barang-barang bukti dalam perkara (Baik barang bukti yang dipergunakan untuk kejahatan maupun barang bukti hasil kejahatan).

Tidak setiap perkara harus dilakukan rekonstruksi. Apabila Jaksa Penuntut Umum telah yakin dengan Berkas perkara yang telah dikirimi oleh penyidik, maka rekonstruksi tidak diperlukan.

Biasanya perkara-perkara yang menimbulkan keresahan di tengah masyarakat (seperti kasus pembunuhan) dilakukan rekonstruksi.
Untuk mengetahui “betapa urgensinya rekonstruksi” terhadap perkara Novel Baswedan, maka kita bisa menggunakan berbagai indikator mengukur.

Pertama. Apakah NB telah dilakukan pemeriksaan sebagai tersangka didalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Kapan dilakukan pemeriksaan terhadap NB menggali keterangan sebagai tersangka dalam perkaranya ?

Menilik dari pemberitaan, ketika ditangkap pada malam hari, maka akses Tim Penasehat Hukum untuk mendampingi tersangka NB begitu sulit didapatkan. Mekanisme ini telah melanggar ketentuan sebagaimana diatur didalam Perkap Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyenggaraan Tugas Kepolisian RI. Selain itu juga pemeriksaan dilakukan pada malam hari nyata-nyata telah melanggar ketentuan Pasal 27 ayat (2) huruf k Dalam melakukan pemeriksaan terhadap saksi, tersangka atau terperiksa, petugas dilarang melakukan pemeriksaan pada malam hari tanpa didampingi oleh penasihat hukum dan tanpa alasan yang sah.

Kata-kata “tanpa didampingi oleh tim penasehat hukum” dan pemeriksaan malam hari” merupakan bentuk larangan pemeriksaan sebagaimana diatur didalam PERKAP.

Sehingga ketika malam hari dilakukan penangkapan terhadap NB tanpa “tim penasehat Hukum”, secara formal telah bermasalah.

Dengan demikian, maka pemeriksaan NB sebagai tersangka belum dapat memenuhi standar pemeriksaan dimuka hukum (projudicial) didalam BAP.

BAP dari tersangka NB tidak dapat dijadikan dasar untuk diteruskan dalam proses rekonstruksi.

Lantas. Apa bahan yang dijadikan dasar penyidik untuk melakukan rekonstruksi ? Apakah keterangan tersangka NB (belum didapatkan dan bermasalah) kemudian “tetap dipaksa” untuk rekonstruksi ?. Apa kekuatan hukum hanya bersandarkan kepada keterangan saksi tanpa adanya keterangan BAP tersangka NB sehingga tetap dilakukan rekonstruksi ?

Kedua. Apakah rekonstruksi yang telah dilakukan penyidik tanpa BAP tersangka NB mempunyai kekuatan hukum pembuktian ? Apakah dapat dikategorikan sebagai Berita acara projudicial ?

Dengan tidak terpenuhinya keterangan tersangka NB dalam BAP, maka rekonstruksi tidak mempunyai nilai pembuktian. Bahkan rekonstruksi menjadi percuma dan tidak dapat dijadikan bahan dalam berkas perkara.

Menilik dari berbagai diskusi kecil penulis dengan praktisi hukum, peluang ini akan dijadikan oleh tim penasehat hukum dan Hakim untuk mengabaikannya.

Sehingga tidak salah kemudian rekonstruksi yang dilakukan di Bengkulu hari Sabtu, 2 Mei 2015 tidak dapat dikategorikan sebagai berita acara projudicial.

Semoga kita bisa dengan jernih melihat persoalan ini secara obyektif.