Akhir-akhir
ini kita sempat berdegub jantung. Setelah penangkapan Bambang
Widjojanto (BW) dan disusul dengna penahanan Abraham Samad (AS),
sasaran “shock terapi” ditujukan kepada Novel Baswedan (NB),
penyidik handal di KPK.
Ketiganya
dianggap sebagai tokoh kunci dan aktor penting cerdas pengungkapan
kasus-kasus rumit di KPK. Ketiganya dianggap simbol dari “kehandalan”
KPK mengungkapkan kasus-kasus menarik perhatian. Termasuk Kakorlantas
dan Komjen Budi Gunawan (BG).
Namun
musim “keemasan” KPK mulai berlalu. KPK mengalami krisis setelah
ketiganya kemudian ditetapkan sebagai tersangka dan “drama
mendayu-dayu” penangkapan dan penahanan. Walaupun kemudian atas
intervensi Presiden kemudian dikeluarkan dari tahanan, namun degub
jantung publik sempat tersita. Polemik kemudian menyeruak sehingga
Presiden harus turun tangan untuk mengatasi persoalan ini.
Terlepas
dari “tuduhan” upaya kriminalisasi ketiganya, tema rekontruksi
menarik untuk dilihat lebih jauh. Tanpa bermaksud mempengaruhi proses
hukum, tema rekonstruksi merupakan salah satu tema melihat proses
penegakkan hukum.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kata rekonstruksi terdiri dari
re-kon-struk-si/ /rékonstruksi/ n Artinya
1 pengembalian spt semula: akan dilaksanakan -- dan
pembangunan jalan baru di Jakarta, Bogor, Ciawi; 2 penyusunan
(penggambaran) kembali: dl pemeriksaan pendahuluan telah dibuatkan --
mengenai peristiwa terjadinya pembunuhan itu; Sedangkan
merekonstruksi/me-re-kon-struk-si/ v melakukan
rekonstruksi: polisi menyuruh kedua penjahat itu ~ perbuatannya
Didalam
KUHAP, istilah rekonstruksi tidak dapat kita temukan. Penyidik
bersandarkan kepada Surat Keputusan Kapolri No. Pol.Skep/1205/IX/2000
tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak
Pidana, khususnya dalam bagian Buku Petunjuk Pelaksanaan tentang
Proses Penyidikan Tindak Pidana (“Bujuklak Penyidikan Tindak
Pidana”). Bab III tentang Pelaksanaan, angka 8.3.d Bujuklak
Penyidikan Tindak Pidana menyebutkan bahwa “Metode pemeriksaan
dapat menggunakan teknik : (1) interview, (2) interogasi, (3)
konfrontasi, (4) rekonstruksi.”.
Dalam
praktek, rekonstruksi diperlukan oleh Jaksa Penuntut Umum, agar
penyidik dapat meyakini telah terjadinya tindak pidana. Dengan
melakukan rekonstruksi, para saksi, akibat terhadap korban dan peran
para tersangka dapat diketahui. Sehingga Jaksa Penuntut Umum sebagai
pihak yang menghadirkan tersangka dimuka persidangan dapat meyakini
hakim sehingga perkara tidak dapat bebas demi hukum.
Tentu
saja rekonstruksi dilakukan setelah masing-masing pihak telah
memberikan keterangan dimuka hukum (projudicial). Para saksi-saksi
telah diminta keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan(BAP),
tersangka telah memberikan keterangan (BAP) dan barang-barang bukti
dalam perkara (Baik barang bukti yang dipergunakan untuk kejahatan
maupun barang bukti hasil kejahatan).
Tidak
setiap perkara harus dilakukan rekonstruksi. Apabila Jaksa Penuntut
Umum telah yakin dengan Berkas perkara yang telah dikirimi oleh
penyidik, maka rekonstruksi tidak diperlukan.
Biasanya
perkara-perkara yang menimbulkan keresahan di tengah masyarakat
(seperti kasus pembunuhan) dilakukan rekonstruksi.
Untuk
mengetahui “betapa urgensinya rekonstruksi” terhadap perkara
Novel Baswedan, maka kita bisa menggunakan berbagai indikator
mengukur.
Pertama.
Apakah NB telah dilakukan pemeriksaan sebagai tersangka didalam
Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Kapan dilakukan pemeriksaan terhadap
NB menggali keterangan sebagai tersangka dalam perkaranya ?
Menilik
dari pemberitaan, ketika ditangkap pada malam hari, maka akses Tim
Penasehat Hukum untuk mendampingi tersangka NB begitu sulit
didapatkan. Mekanisme ini telah melanggar ketentuan sebagaimana
diatur didalam Perkap Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip
dan Standar HAM dalam Penyenggaraan Tugas Kepolisian RI. Selain itu
juga pemeriksaan dilakukan pada malam hari nyata-nyata telah
melanggar ketentuan Pasal 27 ayat (2) huruf k Dalam melakukan
pemeriksaan terhadap saksi, tersangka atau terperiksa, petugas
dilarang melakukan pemeriksaan pada malam hari tanpa didampingi oleh
penasihat hukum dan tanpa alasan yang sah.
Kata-kata
“tanpa didampingi oleh tim penasehat hukum” dan
pemeriksaan malam hari” merupakan bentuk larangan
pemeriksaan sebagaimana diatur didalam PERKAP.
Sehingga
ketika malam hari dilakukan penangkapan terhadap NB tanpa “tim
penasehat Hukum”, secara
formal telah bermasalah.
Dengan
demikian, maka pemeriksaan NB sebagai tersangka belum dapat memenuhi
standar pemeriksaan dimuka hukum (projudicial) didalam BAP.
BAP
dari tersangka NB tidak dapat dijadikan dasar untuk diteruskan dalam
proses rekonstruksi.
Lantas.
Apa bahan yang dijadikan dasar penyidik untuk melakukan rekonstruksi
? Apakah keterangan tersangka NB (belum didapatkan dan bermasalah)
kemudian “tetap dipaksa” untuk rekonstruksi ?. Apa kekuatan hukum
hanya bersandarkan kepada keterangan saksi tanpa adanya keterangan
BAP tersangka NB sehingga tetap dilakukan rekonstruksi ?
Kedua.
Apakah rekonstruksi yang telah dilakukan penyidik tanpa BAP tersangka
NB mempunyai kekuatan hukum pembuktian ? Apakah dapat dikategorikan
sebagai Berita acara projudicial ?
Dengan
tidak terpenuhinya keterangan tersangka NB dalam BAP, maka
rekonstruksi tidak mempunyai nilai pembuktian. Bahkan rekonstruksi
menjadi percuma dan tidak dapat dijadikan bahan dalam berkas perkara.
Menilik
dari berbagai diskusi kecil penulis dengan praktisi hukum, peluang
ini akan dijadikan oleh tim penasehat hukum dan Hakim untuk
mengabaikannya.
Sehingga
tidak salah kemudian rekonstruksi yang dilakukan di Bengkulu hari
Sabtu, 2 Mei 2015 tidak dapat dikategorikan sebagai berita acara
projudicial.
Semoga
kita bisa dengan jernih melihat persoalan ini secara obyektif.