Judul diatas sengaja
disampaikan berangkat dari rasa bathin yang mendalam terhadap
peristiwa 200 tahun meletusnya Gunung Tambora (1815-2015)1.
Peristiwa dahsyat yang baru diketahui dalam literature sejarah dan
menarik perhatian dunia 50 tahun terakhir.
Ya. Meletusnya Tambora
cuma dikisahkan dari catatan laporan kesaksian saat letusan Gunung
Tambora terjadi, yang disarikan dari ”Transactions of the Batavian
Society” Vol VIII, 1816, dan dan ”The Asiatic Journal” Vol II,
Desember 1816. Atau catatan dari Heinrich Zollinger2,
Peneliti Pertama Penyingkap Gunung Tambora 1847.
Meletusnya Tambora belum
bisa dihubungkan musim tanpa panas (The Year without summer)
di Eropa. Masyarakat Eropa bingung dalam masa periode setahun tanpa
disinari matahari. Bahkan 50 tahun terakhir barulah kemudian dunia
bisa menghubungkan kekalahan Napoleon Bonaparte karena hujan
berkepanjangan di Eropa. Hujan berkepanjangan kemudian menyebabkan
pasukan tidak bisa digerakkan oleh Napoleon.
Kedahsyatan Tambora
kemudian meluluhlantakkan hingga 100 km ke udara. Membuang badan
gunung Tambora. Sehingga ketinggian Tambora sebelum meletus 4300 mdpl
tinggal dan menjadi ketinggian 2815 mpdl.
Tidak cukup hanya itu.
Meletusnya Tambora menghancurkan kerajaan Sanggar, Kerajaan Tambora
dan Kerajaan Pekat.
Didalam buku “Sejarah
Daerah Nusa Tenggara Barat” dijelaskan Kerajaan Sanggar merupakan
kerajaan kecil yang otonom berjumlah dua ribu orang. Ketika Tambora
meletus, menghabiskan kerajaan dan hanya menyisakan 200 orang.
Penduduk yang tinggal kemudian kemudian diserang perampok dan
melarikan diri ke Kerajaan Dompu.
Sedangkan Kerajaan
Tambora pada tahun 1805 berpenduduk empat ribu jiwa. Meningkat hingga
8000 jiwa. Ketika Meletus Tambora, penduduk yang meninggal 30 jiwa.
Namun sisanya kemudian mati dilanda lahar panas tahun 1816. Wilayah
Tambora kemudian masuk kedalam kekuasaan Kerajaan Dompu.
Terakhir Kerajaan Pekat
merupakan kerajaan kecil. Tetapi penduduknya musnah akibat Tambora.
Wilayah Pekat kemudian dimasukkan kedalam kerajaan Dompu.
Tiga wilayah seperti
Tambora, Sanggar, dan Pekat praktis merupakan pemukiman baru setelah
meletusnya Tambora. Hampir praktis tidak ada bangunan lama yang
tersisa. Tim Arkeologi sedang melakukan penelitian mendalam tentang
ketiga kerajaan yang tertimbun abu dan tanah dari Tambora.
Dua catatan penting
penting itulah yang memaksa penulis ingin menelusuri perjalanan
mendaki Gunung Tambora. Semangat “merasakan” 200 Tahun meletusnya
Tambora dan program nasional “TAMBORA MENYAPA DUNIA”, merasakan
pendakian Gunung Tambora begitu istimewa.
Kesempatan itulah
kemudian saya rasakan ketika menghadiri Konsultasi Nasional
Lingkungan Hidup Walhi, acara ritual tahunan yang diadakan di Mataram
tanggal 19-21 April 2015. Setelah menghadiri berbagai rangkaian acara
yang cukup panjang (Side event) sejak tanggal 14 April 2015 dan
diakhiri dengan mengikuti karnaval memperingati Hari Bumi tanggal 22
April, perjalananpun kemudian dilanjutkan ke Kabupaten Dompu3.
Kami berangkat pukul 17.00 wita.
Perjalanan menyusuri
Pulau Lombok dimulai dari Mataram ke Lombok Barat, Lombok Tengah,
hingga Lombok Timur. Bila dihitung-hitung, maka jarak dari Mataram
hingga Pelabuhan Kayangan, Kecamatan Pringgabaya mencapai 78
kilometer, atau sekitar 1.5 jam perjalanan lancar. Kemudian
mengarungi laut menuju Pelabuhan Poto Tano, Sumbawa Barat. Waktu
tempuh menyeberangi laut 2 jam.
Setelah turun dari
Pelabuhan Poto Tano, Sumbawa Barat pukul 00.00 wita, maka kemudian
menyusuri Pulau Sumbawa. Perjalanan panjangpun dimulai. Dari
Pelabuhan Poto Tano hingga persimpangan arah ke Dompu menempuh jarak
155 km dengan memakan waktu selama hampir 10 jam.
Menjelang subuh sekitar
pukul 02.00 wita, driver mobil mengantuk. Kamipun berhenti hingga
pukul 07.00 wita. Setelah berkemas-kemas, perjalananpun dilanjutkan.
Sepanjang perjalanan yang terlihat cuma padang savana. Kuda, sapi
berkeliaran menghiasai memakan rumput di padang ilalang yang
memanjang. Pukul 09.00 wita tiba di Kecamatan Kempo, Dompu untuk
mengisi perut dengan makan pagi.
Perjalanan dilanjutkan
menuju desa terdekat. Desa Pancasila yang ditempuh 4 jam perjalanan.
Pukul 12.00 wita tiba. Istirahat sejenak sekaligus “packing”
ulang dan mengatur teknis pemberangkatan.
“Suasana” sisa
menyambut 200 Tahun Tambora masih terlihat di lapangan di Desa
Pancasila. Suasana gemerlap setelah 200 tahun yang lalu
diluluhlantakkan oleh letusan Gunung Tambora.
Ya. 200 tahun yang lalu.
Yang terdengar suara jeritan ketakutan penduduk di Kerajaan Sanggar,
Kerajaan Pekat dan kerajaan Tambora.
Letusan Tambora memaksa
penduduk berlarian kesana kemari. Tidak bisa yang dilakukan penduduk
ketiga kerajaan.
Amarah Tambora hingga
terdengar sejauh 2600 km. Terdengar di Batavia4
sampai ke Bengkulu5.
Di Sebelah timur hingga terdengar sampai ke Makassar6.
Tidak ada yang menduga
amarah Tambora begitu menggelegar. Tanda-tanda alam yang sudah
diperlihatkan sejak tahun 18137.
Rakyat ketiga kerajaan
tidak menduga “seamarah”nya Tambora. Mereka yang meyakini Dewa
sedang marah dan memberikan pelajaran kepada penduduk. Mereka tidak
sempat membawa barang yang bisa diselamatkan. Mereka terkubur dengan
peradaban. Situs Tambora masih bisa kita saksikan di lereng Tambora
dan dilindungi oleh Pemerintah.
Raja
Sanggar mengisahkan, antara pukul 21.00 dan 22.00, abu terus jatuh,
diikuti puting beliung yang menerbangkan hampir semua rumah di
Sanggar. Tumbuhan raksasa tercerabut bersama akarnya, lalu terbang
bersama orang, rumah, ternak, dan apa pun di muka Bumi8.
Perjalanan mendaki
Tambora melewati 5 pos. Setiap pos yang dilewati bisa disinggahi
untuk base camp. Lengkap dengan air yang terus memancur. Setiap pos
bisa ditempuh rata-rata 2,5 jam perjalanan normal.
Bahkan hingga pos 5, pos
terakhir untuk meninggalkan barang sebelum ke puncak dengan
menggunakan tas daypack, masih terdapat aliran sungai dengan bebatuan
besar. Begitu melimpah ruahnya air setiap pos membuat pendakian
Tambora merupakan pendakian yang cukup “wah” untuk pendaki
gunung.
Pukul 03.30 tanggal 25
April 2015, setelah istirahat cukup di pos 5, kami kemudian mendaki
terakhir untuk ke puncak Tambora. Perjalanan subuh hari diharapkan
dapat mengejar matahari terbit (sunrise).
Sepanjang perjalanan
menuju puncak Tambora, melewati jalanan sempit dengan disamping
kiri-kanan terdapat jurang yang dalam. Salah melangkah, bisa
terperosok dan jatuh ke dalam jurang yang menganga.
Sebelum menuju puncak,
kita disuguhi kaldera seluas 7 km2 dan kedalaman hingga 1 km. Sembari
melihat menuju puncak, maka terbayang begitu marahnya Tambora. Dengan
membuang setengah badan tambora hingga “memaksa” tidak
bersinarnya matahari di Eropa, membuat kelaparan di Afrika, abunya
menutupi Kalimantan dan Sulawesi.
Ketakjuban memandang
Kaldera hingga membayangkan kengerian Tambora membuat peringatan 200
tahun meletusnya Tambora tidak tepat disebutkan “Tambora menyapa
Dunia”. Kalimat itu lebih tepat digunakan “Tambora memberikan
Kabar kepada Dunia”.
Perjalanan menyusuri
Kaldera hingga puncak menjadi begitu menyenangkan. Pikiran menggagumi
keindahan kaldera dan “kemarahan” Tambora membuat perjalanan
begitu dinikmati.
Akhirnya saya termasuk
kloter pertama yang bisa mencapai ke puncak Tambora. Tentu saja tidak
lupa sesi photo untuk mengabadikan kru Walhi Menyapa Tambora.
Sembari menunggu
teman-teman berphoto ria, saya berkeinginan untuk menunggu
teman-teman yang masih tercecer di belakang perjalanan.
Namun tim “leader”
kemudian mengambil pilihan untuk turun ke pos 5. Suara terdengar dari
teman-teman untuk mengajak turun. Namun saya masih enggan turun dan
menunggu teman-teman tim sweeper yang masih membawa tim terakhir tiba
di puncak Tambora.
Penantianpun tidak
sia-sia.
Tim Sweeper yang membawa
peserta terakhir kemudian tiba. Salah satu momen kemudian sengaja
dipersiapkan dari Mataram. Bersama-sama dengan 5 Direktur Walhi
Daerah (Sumbar, Kalbar, Kalteng, Yogya dan Sulawesi Selatan)
mengambil “sessi photo. Kenangan indah tidak mungkin terlupakan.
Hanya semangat dan
kemauan keras yang membuat kami sampai di puncak. Kemauan untuk
menaklukan diri sendiri, tidak egois, menahan amarah, sabar,
menghargai persahabatan dan lebih mengutamakan kebersamaan. Dengan
diam dan tanpa bersuara kami bersuara di puncak Gunung Tambora.
Dan tentu tidak lupa.
Alhamdulilah. Bendera Walhi berhasil dikibarkan di puncak Tambora
1
Gunung Tambora (atau Tomboro) adalah sebuah stratovolcano aktif yang
terletak di pulau Sumbawa, Indonesia. Gunung ini terletak di dua
kabupaten, yaitu Kabupaten Dompu (sebagian kaki sisi selatan sampai
barat laut, dan Kabupaten Bima (bagian lereng sisi selatan hingga
barat laut, dan kaki hingga puncak sisi timur hingga utara),
Provinsi Nusa Tenggara Barat.
2
Heinrich Zollinger merupakan peneliti yang berjejak pertama kalinya
di Tambora usai gunung itu menunjukkan amarahnya. Zollinger
menyambanginya pada 1847 atau 32 tahun setelah letusan mahadahsyat
yang berdampak pada perubahan iklim dunia. Dia mendaki dan memanjat
reruntuhan tebing ketika Tambora masih hangat berselimut kepulan
asap yang menyeruak ke angkasa.
3
Kabupaten Dompu terletak di Pulau Sumbawa, sebuah pulau yang harus
menyeberang dari Pulau Lombok
4
Letusannya terdengar hingga ke Pulau Jawa. Gubernur Jenderal Hindia
Belanda, Thomas Stamfford Raffles, mencatatnya dalam memoar "The
History of Java". Ia menggambarkan bunyi letusan Gunung Tambora
pada 5 April 1815 itu bagai meriam.
Raffles pun mengutus Letnan
Owen Phillips untuk mencari tahu letusan gunung di sisi timur dari
Pulau Jawa. Phillips menemui Raja Sanggar yang selamat dari "amarah"
Gunung Tambora di Pulau Sumbawa. Dalam catatan Phillips, Raja
Sanggar menuturkan bahwa pada 10 April 1815 tiga kolom raksasa
muncul dari puncak Gunung Tambora dan membubung tinggi.
5
11 April 1815
Suaranya terdengar oleh beberapa orang di permukiman
ini pada pagi hari tanggal 11 April 1815. Beberapa pemimpin
melaporkan adanya serangan senjata api yang terus-menerus sejak
fajar merekah. Orang-orang dikirim untuk penyelidikan, tetapi tidak
menemukan apa pun. Suara yang sama juga terdengar di wilayah-wilayah
Saloomah, Manna, Paddang, Moco-moco, dan wilayah lain. Seorang asing
yang tinggal di Teluk Semanco menulis, sebelum tanggal 11 April 1815
terdengar tembakan meriam sepanjang hari. Fort Marlboro (Bengkulu)
6
Tanggal 12-15 April April udara masih tipis dan berdebu, sinar
matahari pun masih terhalang. Dengan sedikit dan terkadang tidak ada
angin sama sekali. Pagi hari tanggal 15 April, kami berlayar dari
Makassar dengan sedikit angin. Di atas laut terapung batu-batu
apung, dan air pun tertutup debu. Di sepanjang pantai, pasir
terlihat bercampur dengan batu-batu berwarna hitam, pohon-pohon
tumbang. Perahu sangat sulit menembus Teluk Bima karena laut
benar-benar tertutup. (Makasar, 12-15 April 1815)
7
Data-data berbagai sumber.
8
Kompas, 7 April 2015