16 Juni 2015

opini musri nauli : CAPRA BERCERITA UNTUK BANGKO



Akhir-akhir ini kita disuguhi berita memilukan. Dimulai dengan banjir yang menenggelamkan Desa-desa seperti Tiga Alur, Dusun Baru, Desa Bukit, Desa Perentak dan Desa Bungo Tanjung yang terletak di Kecamatan Pangkalan Jambi, Merangin. Diperkirakan setiap desa ada puluhan rumah terendam.

Angka kesuraman ini mengulangi meluapnya Sungai Batang Tembesi tahun 2013 yang mengakibatkan 843 rumah terendam. Padahal melihat topografi, daerah ini tidak pernah mengalami banjir. Namun sekarang sering mengalami banjir. Banjir yang tidak disebabkan oleh alam namun karena aktivitas manusia dikenal sebagai bencana ekologi.

Begitu juga mulai berjatuhannya korban. 3 orang di Renah Pembarap, Merangin (Desember 2014), 2 orang di Renah Pembarap Merangin (Oktober 2014), 4 orang di Batangasai, Sarolangun (Mei 2014), 2 di Batangasai (Sept 2013). Angka-angka ini sekedar mewakili kesuraman pengelolaan buruk di sektor tambang yang berhasil diliput oleh media. Walh Jambi yakin, angka-angka itu seperti gunung es. Hanya tampak di permukaan.

Yang paling parah adalah penurunan luas sawah menjadi pertambangan. Di Kabupaten Merangin sendiri telah berkurang dari 30 ribu hektar menjadi 26 ribu hektar (12,4 %).

Sehingga bisa dimengerti kemudian ratusan masyarakat dari Dea Telun, Desa Aur Duri dan Desa Danau melakukan perlawanan dengan membakar alat yang membongkar kawasan hulu sungai dan mencemari sungai.

Sikap pongah aktivitas manusia yang “merusak hutan dan menghancurkan kawasan pertanian” berangkat dari pemikiran dan perilaku yang memandang manusia adalah segalanya. Alam dipahami secara organis sebagai sebuah kesatuan asasi. Pemahaman ini bertahan sampai dengan abad pertengahn sampai akhir tahun 1500-an.

Fritjof Capra (Capra), seorang Filsuf dengan teropongnya kemudian memotret pemikiran dan perilaku manusia yang memandang alam. Capra kemudian “menggugat” paradigma yang sering dipergunakan oleh ilmu pengetahuan barat yang berangkat dari Cartesian Mekanistis-reduksionistis. Manusia kemudian tidak memberikan tempat yang seharusnya bagi perasaan atau intuisi manusia didalam memahami alam semesta.

Capra kemudian menggunakan kerangka berfikir Thomas Kuhn mengenai filsafat tentang alam dan filsafat ilmu pengetahuan telah mengalami tiga fase sepanjang sejarah filsafat dan ilmu pengetahuan.

Dari “pengerukan” dan salah kelola lingkungan di hulu sungai Batanghari, paradigma yang digunakan, alam merupakan anugrah yang bermanfaat bagi manusia. Dengan menggunakan term “anugrah”, maka potensi emas kemudian “dikeruk” untuk “memperkaya “segelintir” orang yang mempunyai modal.

Tanah-tanah pertanian yang merupakan lumbung ketahanan pangan “dikonversi” untuk emas. Sawah-sawah hancur. Tidak cukup menggunakan cara tradisional seperti mendulang, alat berat kemudian dikerahkan untuk mengolah tanah dan “difilter” untuk mencari emas.

Tidak cukup dengan itu. Sungai sebagai tempat “pengaturan air (water watchment area) kemudian dikeruk. Tebing-tebing sungai kemudian hancur. Tanggul-tanggul kemudian bersatu dengan desa-desa yang “sudah dikeruk”.

Secara instant, kemudian “hasil didapatkan” langsung mengubah gaya hidup masyarakat. Dengan pengolahan yang massif dan hasil yang didapatkan sehingga kemudian “menyakini”, cara “mengeruk” alam akan memberikan dampak ekonomi “secara instant”.

Rumah mewah kemudian berdiri. Mobil-mobil edisi terbaru berseliweran di kampung-kampung.

Paradigma inilah yang disebut oleh Capra “Cartesian Mekanistis-reduksionistis”. Fase yang dimulai dari abad pertengahan hingga mencapai kejayaan sampai akhir tahun 1500-an.

Namun pelan tapi pasti. Alam kemudian mengeluarkan “tanda (sign)”. Alam memberikan tanda (sign) dengan menenggalamkan Desa Tiga Alur, Dusun Baru, Desa Bukit, Desa Perentak dan Desa Bungo Tanjung yang terletak di Kecamatan Pangkalan Jambi, Merangin.

Hujan sebagai anugrah kemudian “tidak mampu dikelola oleh Sungai”. Sungai yang sebelumnya berfungsi sebagai wadah tangkapan air (watercathment area) tidak mampu menjalankan fungsinya. Sungai yang hancur kemudian “membuang air kesana kemari” hingga menenggalamkan desa-desa yang dilalui.

Bentuk tanda/signal dari alam merupakan fase kedua dari Capra. Dengan fase ini kemudian “tumbuh” kesadaran baru dari paradigma sebelumnya. Banjir sebagai pesan kemudian ditangkap dan melahirkan paradigma baru. Paradigma Cartesian Mekanistis-reduksionistis kemudian bergeser kepada paradigma yang biasa dikenal Paradigma “mekanistis” tentang alam.

Paradigma dimulai dari abad pencerahan yang dipengaruhi oleh Filsafat Rene Descartes dan Fisikiwan Issac Newton. Paradigma kemudian memandang alam semeseta harus dipahami sebagai bagian-bagian yang terpisah. Manusia harus memahami mekanisme alam yang terganggu sehingga tidak menghancurkan alam.

Dengan menggunakan paradigma ini, maka manusia yang berada di alam sekitarnya harus memahami sungai merupakan wadah tangkapan air (watercathment area) tidak boleh digunakan diluar daripada fungsinya. Sungai harus menjalankan fungsinya. Mengganggu fungsi sungai maka akan mengganggu kehidupan manusia.

Berangkat dari paradigma “mekanistis”, maka ketika ratusan masyarakat dari Dea Telun, Desa Aur Duri dan Desa Danau melakukan perlawanan dengan membakar alat berat merupakan bentuk “kesadaran” agar fungsi Sungai tidak boleh diganggu. Fungsi sungai harus dikembalikan.

Namun paradigma “mekanistis” tidak cukup. Paradigma “mekanistis” dalam periode waktu tertentu tidak mampu menjelaskan “gejala-gejala alam” yang lainnya.

Sebagai contoh dalam kebakaran asap tahun 2013. Singapura dan Malaysia yang tidak membakar hutan, namun harus merasakan dampaknya. Rakyat Singapura dan Malaysia kemudian “Mendesak” Pemerintahnya agar memberikan sanksi kepada Indonesia yang terbukti melakukan pembakaran asap dan mengirimkan asap ke Singapura dan Malaysia.

Capra menawarkan paradigma ketiga yaitu paradigma “organis-sistematis”. Paradigma dipengaruhi oleh Albert Einstein tentang teori “relativitas dan teori kuantum.

Alam semesta tidak lagi dipandang sebuah mesin raksasa yang kaku melainkan sebuah kehidupan. Satu bagian saling terkait dan menunjang dengan satu bagian yang lainnya. Dalam kajian yang lain sering juga disebut sebagai paradigma ekologi.

Berangkat dari peristiwa diatas, maka paradigma ini dibutuhkan agar selain “pelarangan aktivitas manusia di sungai” juga “mengembalikan” fungsi sungai sebagai tangkapan air. Sehingga sungai tidak dipandang sebagai ornamen lingkungan semata tapi juga memastikan berbagai mekanisme lingkungan hidup dapat berjalan dengan mekanisme lingkungan hidup yang lain. Atau dengan kata lain “Penghentian” aktivitas manusia terhadap sungai juga diimbangi dengan “reboisasi sungai”.

Tentu saja Capra juga harus belajar bagaimana masyarakat di hulu Sungai Batanghari “mengelola alam”. Dikenal dengan seloko “rimbo sunyi” (Bangko), Teluk sakti rantau betuah gunung bedewo (Sarolangun), Sialang pendulangan, lupak pendanauan (Tebo) merupakan “ikrar” dari masyarakat agar daerah ini sama sekali tidak boleh dibuka. Dilihat dari topografi, daerah ini memiliki kemiringan diatas 40 derajat, hulu sungai dan tangkapan.

Masyarakat justru telah membangun paradigma “organis-sistematis” jauh sebelum Capra mengeluarkan bukunya. Capra memang harus belajar dari Filsafat Timur selain memandang alam sebagai ekosistem satu kesatuan juga dilandasi memahami alam dengan cara akal budi, intuisi dan perasaan manusia.

Sebelum terlanjur lingkungan hidup semakin rusak, saya menyitir kalimat Eric Wiener “Ketika pohon terakhir ditebang.
Ketika sungai terakhir dikosongkan. Ketika ikan terakhir ditangkap
Barulah manusia akan menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang.


Direktur Walhi Jambi