Akhir-akhir
ini kita disuguhi berita memilukan. Dimulai dengan banjir yang
menenggelamkan Desa-desa seperti Tiga Alur, Dusun Baru, Desa Bukit,
Desa Perentak dan Desa Bungo Tanjung yang terletak di Kecamatan
Pangkalan Jambi, Merangin. Diperkirakan setiap desa ada puluhan rumah
terendam.
Angka
kesuraman ini mengulangi meluapnya Sungai Batang Tembesi tahun 2013
yang mengakibatkan 843 rumah terendam. Padahal melihat topografi,
daerah ini tidak pernah mengalami banjir. Namun sekarang sering
mengalami banjir. Banjir yang tidak disebabkan oleh alam namun karena
aktivitas manusia dikenal sebagai bencana ekologi.
Begitu
juga mulai berjatuhannya korban. 3 orang di Renah Pembarap, Merangin
(Desember 2014), 2 orang di Renah Pembarap Merangin (Oktober 2014), 4
orang di Batangasai, Sarolangun (Mei 2014), 2 di Batangasai (Sept
2013). Angka-angka ini sekedar mewakili kesuraman pengelolaan buruk
di sektor tambang yang berhasil diliput oleh media. Walh Jambi yakin,
angka-angka itu seperti gunung es. Hanya tampak di permukaan.
Yang
paling parah adalah penurunan luas sawah menjadi pertambangan. Di
Kabupaten Merangin sendiri telah berkurang dari 30 ribu hektar
menjadi 26 ribu hektar (12,4 %).
Sehingga
bisa dimengerti kemudian ratusan masyarakat dari Dea Telun, Desa Aur
Duri dan Desa Danau melakukan perlawanan dengan membakar alat yang
membongkar kawasan hulu sungai dan mencemari sungai.
Sikap
pongah aktivitas manusia yang “merusak hutan dan menghancurkan
kawasan pertanian” berangkat dari pemikiran dan perilaku yang
memandang manusia adalah segalanya. Alam dipahami secara organis
sebagai sebuah kesatuan asasi. Pemahaman ini bertahan sampai dengan
abad pertengahn sampai akhir tahun 1500-an.
Fritjof
Capra (Capra), seorang Filsuf dengan teropongnya kemudian memotret
pemikiran dan perilaku manusia yang memandang alam. Capra kemudian
“menggugat” paradigma yang sering dipergunakan oleh ilmu
pengetahuan barat yang berangkat dari Cartesian
Mekanistis-reduksionistis. Manusia kemudian tidak memberikan tempat
yang seharusnya bagi perasaan atau intuisi manusia didalam memahami
alam semesta.
Capra
kemudian menggunakan kerangka berfikir Thomas Kuhn mengenai filsafat
tentang alam dan filsafat ilmu pengetahuan telah mengalami tiga fase
sepanjang sejarah filsafat dan ilmu pengetahuan.
Dari
“pengerukan” dan salah kelola lingkungan di hulu sungai
Batanghari, paradigma yang digunakan, alam merupakan anugrah yang
bermanfaat bagi manusia. Dengan menggunakan term “anugrah”, maka
potensi emas kemudian “dikeruk” untuk “memperkaya “segelintir”
orang yang mempunyai modal.
Tanah-tanah
pertanian yang merupakan lumbung ketahanan pangan “dikonversi”
untuk emas. Sawah-sawah hancur. Tidak cukup menggunakan cara
tradisional seperti mendulang, alat berat kemudian dikerahkan untuk
mengolah tanah dan “difilter” untuk mencari emas.
Tidak
cukup dengan itu. Sungai sebagai tempat “pengaturan air (water
watchment area) kemudian dikeruk. Tebing-tebing sungai kemudian
hancur. Tanggul-tanggul kemudian bersatu dengan desa-desa yang “sudah
dikeruk”.
Secara
instant, kemudian “hasil didapatkan” langsung mengubah gaya hidup
masyarakat. Dengan pengolahan yang massif dan hasil yang didapatkan
sehingga kemudian “menyakini”, cara “mengeruk” alam akan
memberikan dampak ekonomi “secara instant”.
Rumah
mewah kemudian berdiri. Mobil-mobil edisi terbaru berseliweran di
kampung-kampung.
Paradigma
inilah yang disebut oleh Capra “Cartesian
Mekanistis-reduksionistis”. Fase yang dimulai dari abad pertengahan
hingga mencapai kejayaan sampai akhir tahun 1500-an.
Namun
pelan tapi pasti. Alam kemudian mengeluarkan “tanda (sign)”. Alam
memberikan tanda (sign) dengan menenggalamkan Desa Tiga Alur, Dusun
Baru, Desa Bukit, Desa Perentak dan Desa Bungo Tanjung yang terletak
di Kecamatan Pangkalan Jambi, Merangin.
Hujan
sebagai anugrah kemudian “tidak mampu dikelola oleh Sungai”.
Sungai yang sebelumnya berfungsi sebagai wadah tangkapan air
(watercathment area) tidak mampu menjalankan fungsinya. Sungai yang
hancur kemudian “membuang air kesana kemari” hingga
menenggalamkan desa-desa yang dilalui.
Bentuk
tanda/signal dari alam merupakan fase kedua dari Capra. Dengan fase
ini kemudian “tumbuh” kesadaran baru dari paradigma sebelumnya.
Banjir sebagai pesan kemudian ditangkap dan melahirkan paradigma
baru. Paradigma Cartesian Mekanistis-reduksionistis kemudian
bergeser kepada paradigma yang biasa dikenal Paradigma “mekanistis”
tentang alam.
Paradigma
dimulai dari abad pencerahan yang dipengaruhi oleh Filsafat Rene
Descartes dan Fisikiwan Issac Newton. Paradigma kemudian memandang
alam semeseta harus dipahami sebagai bagian-bagian yang terpisah.
Manusia harus memahami mekanisme alam yang terganggu sehingga tidak
menghancurkan alam.
Dengan
menggunakan paradigma ini, maka manusia yang berada di alam
sekitarnya harus memahami sungai merupakan wadah tangkapan air
(watercathment area) tidak boleh digunakan diluar daripada fungsinya.
Sungai harus menjalankan fungsinya. Mengganggu fungsi sungai maka
akan mengganggu kehidupan manusia.
Berangkat
dari paradigma “mekanistis”, maka ketika ratusan masyarakat dari
Dea Telun, Desa Aur Duri dan Desa Danau melakukan perlawanan dengan
membakar alat berat merupakan bentuk “kesadaran” agar fungsi
Sungai tidak boleh diganggu. Fungsi sungai harus dikembalikan.
Namun
paradigma “mekanistis” tidak cukup. Paradigma “mekanistis”
dalam periode waktu tertentu tidak mampu menjelaskan “gejala-gejala
alam” yang lainnya.
Sebagai
contoh dalam kebakaran asap tahun 2013. Singapura dan Malaysia yang
tidak membakar hutan, namun harus merasakan dampaknya. Rakyat
Singapura dan Malaysia kemudian “Mendesak” Pemerintahnya agar
memberikan sanksi kepada Indonesia yang terbukti melakukan pembakaran
asap dan mengirimkan asap ke Singapura dan Malaysia.
Capra
menawarkan paradigma ketiga yaitu paradigma “organis-sistematis”.
Paradigma dipengaruhi oleh Albert Einstein tentang teori “relativitas
dan teori kuantum.
Alam
semesta tidak lagi dipandang sebuah mesin raksasa yang kaku
melainkan sebuah kehidupan. Satu bagian saling terkait dan menunjang
dengan satu bagian yang lainnya. Dalam kajian yang lain sering juga
disebut sebagai paradigma ekologi.
Berangkat
dari peristiwa diatas, maka paradigma ini dibutuhkan agar selain
“pelarangan aktivitas manusia di sungai” juga “mengembalikan”
fungsi sungai sebagai tangkapan air. Sehingga sungai tidak dipandang
sebagai ornamen lingkungan semata tapi juga memastikan berbagai
mekanisme lingkungan hidup dapat berjalan dengan mekanisme lingkungan
hidup yang lain. Atau dengan kata lain “Penghentian” aktivitas
manusia terhadap sungai juga diimbangi dengan “reboisasi sungai”.
Tentu
saja Capra juga harus belajar bagaimana masyarakat di hulu Sungai
Batanghari “mengelola alam”. Dikenal dengan seloko “rimbo
sunyi” (Bangko), Teluk sakti rantau betuah gunung bedewo
(Sarolangun), Sialang pendulangan, lupak pendanauan (Tebo) merupakan
“ikrar” dari masyarakat agar daerah ini sama sekali tidak boleh
dibuka. Dilihat dari topografi, daerah ini memiliki kemiringan diatas
40 derajat, hulu sungai dan tangkapan.
Masyarakat
justru telah membangun paradigma “organis-sistematis” jauh
sebelum Capra mengeluarkan bukunya. Capra memang harus belajar dari
Filsafat Timur selain memandang alam sebagai ekosistem satu kesatuan
juga dilandasi memahami alam dengan cara akal budi, intuisi dan
perasaan manusia.
Sebelum
terlanjur lingkungan hidup semakin rusak, saya menyitir kalimat Eric
Wiener “Ketika pohon terakhir ditebang.
Ketika sungai terakhir
dikosongkan. Ketika ikan terakhir ditangkap
Barulah manusia akan
menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang.
Direktur
Walhi Jambi