Usai
sudah Munas II Peradi (Munas) di Pekanbaru, 12-14 Juni 2015.
Kemenangan yang diraih oleh Fauzi Yusuf Hasibuan (FYH) memberikan
pekerjaan panjang. Rekonsiliasi dan menguatkan organisasi PERADI
ditengah ancaman perpecahan.
Dalam
berbagai kesempatan dengan peserta Munas, saya mendengarkan diskusi
yang hangat. Baik menjelang pemilihan maupun setelah pemilihan. Baik
yang pesimis maupun yang optimis. Baik yang datang penuh harapan
maupun yang datang karena membawa mandat dari Cabang (Baca DPC Peradi
masig-masing).
Untuk
memudahkannya, saya kemudian membagi periode waktu diskusi sebelum
maupun setelah pemilihan.
Dari
kegiatan sambang sana-sambang sini, terkesan kemenangan akan diraih
oleh (FYH). Dengan posisi sebagai “Kepala Sekolah” PKPA
(pendidikan khusus Profesi advokat), perannya cukup dominan. Keilmuan
dan memantapkan kurikulum PKPA sudah dapat dilihat dari berbagai
kunjungan ke daerah-daerah memberikan materi di PKPA. Posisi ini
cukup strategis selain dapat mengetahui kemampuan FYH juga lebih
mendekatkan dirinya ke DPC-DPC. Hampir praktis, selama 3 tahun ini,
posisi “mobile” keliling daerah. Sehingga DPC-DPC banyak yang
mengenalnya dibandingkan dengan dua kandidate lain.
Beberapa
Ketua DPC malah berujar dengan merendahkan diri. “kita memilih yang
kita kenal saja”.
Namun
dari suara yang berseberangan malah sedikit nyelekit. Suara ini
kemudian “seakan-akan” memancing perdebatan. FYH tidak pernah
dikenal publik dibandingkan kedua kandidate. Hmm. Alasan tim sukses
kayaknya nih. Saya tidak menanggapinya. Selain saya menghormati
kesemua kandidate, cara ini tidak menarik didiskusikan di Peradi.
Sementara
di ujung meja lain malah mengompori. Tuduhan persoalan keorganisasian
dan cara berorganisasi oleh Otto Hasibuan (OH) yang cenderung “tidak
mendengarkan” seakan-akan tidak menarik bagi saya. Selain karena
interaksi secara personal dengan berbagai pengurus DPN cukup baik,
saya tidak mau mengomentari urusan personal.
Di
tempat lain, malah ada tuduhan serius dengan didorongnya FYH.
Sama-sama bermarga Hasibuan, Otto dituduh membawa calon mahkota dan
“berbau” KKN. Ah. Kalo ini, tidak tepat lagi didiskusikan di
organisasi sebesar PERADI. Lagipula mereka mengaggap remeh logika
DPC-DPC yang memilih DPC-DPC. Hmm.. Inilah penyakit yang biasa di
Jakarta. Tidak paham dengan pemikiran DPC-DPC. Dan juga sering
mengabaikan suara DPC-DPC.
Ketika
setelah pemilihan, sebagian berbisik “syukurlah” kita berhasil
menyelamat PERADi. Hmm. Saya menarik nafas lega ketika dia
mengucapkan sambil nada haru.
Sementara
ada harapan kepada Ketua Umum terpilih. 2 tahun merupakan waktu yang
berat untuk konsolidasi. FYH harus berkeliling ke daerah-daerah untuk
membangun solidaritas dan memperkuat keorganisasian PERADI. Selain
itu juga “menjadi penjaga gawang” dari gempuran yang semakin
kuat. Baik dari luar maupun dari dalam.
Strategi
menghancurkan PERADI
Cita-cita
pendiri PERADi cukup luhur. Dengan jargon “zero toleransi', Peradi
dibawah kepemimpinan Otto menjadi organisasi yang cukup disegani.
Otto
berkeyakinan, peradilan yang baik dimulai dari advokat yang
berkualitas dan bersih.
Otto
kemudian membangun sistem. Kurikulum PKPA kemudian diperkuat.
Database dirapikan. Sistem organisasi modern mulai diterapkan.
Model
ujian kemudian menyadur dari sistem penerimaan advokat di
negara-negara maju. PERADI hanya menyiapkan 1200 soal dan menyerahkan
kepada Bank Soal. Lembaga penguji kemudian ditunjuk kepada pihak
ketiga. Bank soal kemudian mengolah soal hanya 70-80 soal setiap
ujian. Siapapun tidak mengetahui soal mana yang akan keluar pada
ujian. Termasuk pengurus Peradi sendiri.
Dengan
model seleksi yang cukup ketat, hampir praktis setiap ujian advokat
hanya bisa “meluluskan” 10% dari peserta yang ikut ujian. Para
advokat yang lulus begitu bangga menjadi Advokat ketika dinyatakan
lulus.
Jargon
ini justru memakan korban. Adik Ipar Otto sendiripun tidak lulus.
Hingga 3 kali adik Ipar Otto mengikuti ujian tidak lulus dan kemudian
tidak mau ikut lagi menjadi advokat. Otto bersikukuh di hadapan
keluarga terutama keluarga istrinya.
Jargon
“zero toleransi” kemudian menimbulkan antipati.
Seorang
Advokat senior pernah mengirimkan 15 orang calon advokat dan berkirim
surat kepada Otto agar dapat diluluskan. Namun Otto tidak mau
meladeni dan tetap bertahan dengan jargon “zero toleransi'.
Tidak
puas kemudian advokat senior membangun kekuatan dan mendirikan
organisasi dan berjuang untuk mendapatkan pengakuan pemerintah. Namun
hingga kini, ketenaran namanya tidak mampu membuat Pemerintah
bergeming.
Tidak
cukup membangun kekuatan dari luar, upaya pelemahan PERADI terus
dilakukan. Entah berapa kali UU Advokat diuji di MK. UU Advokat salah
satu UU paling laris diuji di MK bersama dengan UU PEMDA, UU Pemilu
dan UU KPK.
Namun
MK justru mengukuhkan “keberadaan” PERADI. Putusan MK No 14/2006
justru meletakkan pondasi. UU Advokat yang memberikan status kepada
Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan
penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan
UU
Advokat memberikan “tenggat waktu 2 tahun berdirinya organisasi
advokat”. Sehingga dalam periode waktu 2, hanya PERADI yang
memenuhi persyaratan.
Sehingga
berdasaarkan Putusan MK No. 66 /2004 kemudian mengukuhkan PERADI
sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat pada dasarnya adalah organ
negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state
organ) yang juga melaksanakan fungsi negara
Hampir
praktis setelah itu, UU Advokat yang diuji di MK, tidak berhasil
dikabulkan. Bahkan beberapa putusan MK justru malah tidak menerima
permohonan (Niet onvankellijk verklaard).
Tidak
cukup “menggempur” PERADI di MK, upaya sistematis juga dilakukan
di DPR melalui revisi UU Advokat. Revisi UU Advokat “menyita”
energi sehingga mobilisasi advokat “seindonesia” harus
berdemonstrasi di depan tugu HI dan di DPR.
Diibaratkan
film kartun avatar, maka serangan dilakukan dari berbagai penjuru
mata angin. Berhadapan air, tanah, api dan udara.
Menyerang
dari berbagai lini, mulai dari “menghancurkan jargon zero
toleransi, membuat organisasi advokat, menggugat di MK hingga revisi
UU Advokat.
Melihat
kegagalan serangan seperti “zero toleransi, gugat UU Advokat hingga
revisi UU Advokat” membuat arena kemudian bergeser. Arena
pertarungan kemudian dimainkan di Munas Peradi.
Seluruh
serangan kemudian dihadapi Otto. Energi yang besar pada Otto membuat
DPC-DPC bersatu untuk “menyelamatkan” organisasi advokat.
Sehingga tidak salah kemudian ada “solidaritas” yang kuat antara
Otto dengan DPC-DPC. Hubungan selama 10 tahun lebih membuat Otto
cukup disegani. Ditambah kegigihannya mempertahankan “zero
toleransi”, membangun kantor, mempersiapkan databasse 30 ribu
anggota advokat PERADi, membuat Otto dihormati oleh DPC-DPC.
Hubungan
personal Otto dengan DPC-DPC inilah yang tidak membuat DPC begitu
mudah termakan issu diluar daripada organisasi.
Sehingga
tidak salah kemudian, ketika menjelang Munas, suara-suara diluar dari
hubungan personal Otto dengan DPC tidak menarik perhatian dari
DPC-DPC.
Rasa
inilah dirasakan oleh peserta Munas yang mengikuti dari proses awal
Peradi seperti “mimpi organisasi advokat yang tunggal (single bar
association), menghadapi serangan organisasi advokat lain, revisi RUU
Advokat.
Rasa
ini pasti tidak dirasakan ketika yang mengikuti Munas tidak mengalami
perjuangan “zero toleransi, “berkeringatnya” menyelamat PERADI
hingga berterik-terik demonstrasi di bundaran HI.
Mereka
yang tidak mengikuti proses panjang kemudian hanya melihat Munas
sebagai “ajang” pemilihan Ketua Umum. Sehingga tidak salah
kemudian mereka hanya “termakan” issu propaganda murahan “kisruh
Munas”.