15 Juni 2015

opini musri nauli : CATATAN TERCECER MUNAS II PERADI


Usai sudah Munas II Peradi (Munas) di Pekanbaru, 12-14 Juni 2015. Kemenangan yang diraih oleh Fauzi Yusuf Hasibuan (FYH) memberikan pekerjaan panjang. Rekonsiliasi dan menguatkan organisasi PERADI ditengah ancaman perpecahan.

Dalam berbagai kesempatan dengan peserta Munas, saya mendengarkan diskusi yang hangat. Baik menjelang pemilihan maupun setelah pemilihan. Baik yang pesimis maupun yang optimis. Baik yang datang penuh harapan maupun yang datang karena membawa mandat dari Cabang (Baca DPC Peradi masig-masing).

Untuk memudahkannya, saya kemudian membagi periode waktu diskusi sebelum maupun setelah pemilihan.

Dari kegiatan sambang sana-sambang sini, terkesan kemenangan akan diraih oleh (FYH). Dengan posisi sebagai “Kepala Sekolah” PKPA (pendidikan khusus Profesi advokat), perannya cukup dominan. Keilmuan dan memantapkan kurikulum PKPA sudah dapat dilihat dari berbagai kunjungan ke daerah-daerah memberikan materi di PKPA. Posisi ini cukup strategis selain dapat mengetahui kemampuan FYH juga lebih mendekatkan dirinya ke DPC-DPC. Hampir praktis, selama 3 tahun ini, posisi “mobile” keliling daerah. Sehingga DPC-DPC banyak yang mengenalnya dibandingkan dengan dua kandidate lain.

Beberapa Ketua DPC malah berujar dengan merendahkan diri. “kita memilih yang kita kenal saja”.

Namun dari suara yang berseberangan malah sedikit nyelekit. Suara ini kemudian “seakan-akan” memancing perdebatan. FYH tidak pernah dikenal publik dibandingkan kedua kandidate. Hmm. Alasan tim sukses kayaknya nih. Saya tidak menanggapinya. Selain saya menghormati kesemua kandidate, cara ini tidak menarik didiskusikan di Peradi.

Sementara di ujung meja lain malah mengompori. Tuduhan persoalan keorganisasian dan cara berorganisasi oleh Otto Hasibuan (OH) yang cenderung “tidak mendengarkan” seakan-akan tidak menarik bagi saya. Selain karena interaksi secara personal dengan berbagai pengurus DPN cukup baik, saya tidak mau mengomentari urusan personal.

Di tempat lain, malah ada tuduhan serius dengan didorongnya FYH. Sama-sama bermarga Hasibuan, Otto dituduh membawa calon mahkota dan “berbau” KKN. Ah. Kalo ini, tidak tepat lagi didiskusikan di organisasi sebesar PERADI. Lagipula mereka mengaggap remeh logika DPC-DPC yang memilih DPC-DPC. Hmm.. Inilah penyakit yang biasa di Jakarta. Tidak paham dengan pemikiran DPC-DPC. Dan juga sering mengabaikan suara DPC-DPC.

Ketika setelah pemilihan, sebagian berbisik “syukurlah” kita berhasil menyelamat PERADi. Hmm. Saya menarik nafas lega ketika dia mengucapkan sambil nada haru.

Sementara ada harapan kepada Ketua Umum terpilih. 2 tahun merupakan waktu yang berat untuk konsolidasi. FYH harus berkeliling ke daerah-daerah untuk membangun solidaritas dan memperkuat keorganisasian PERADI. Selain itu juga “menjadi penjaga gawang” dari gempuran yang semakin kuat. Baik dari luar maupun dari dalam.

Strategi menghancurkan PERADI

Cita-cita pendiri PERADi cukup luhur. Dengan jargon “zero toleransi', Peradi dibawah kepemimpinan Otto menjadi organisasi yang cukup disegani.

Otto berkeyakinan, peradilan yang baik dimulai dari advokat yang berkualitas dan bersih.

Otto kemudian membangun sistem. Kurikulum PKPA kemudian diperkuat. Database dirapikan. Sistem organisasi modern mulai diterapkan.

Model ujian kemudian menyadur dari sistem penerimaan advokat di negara-negara maju. PERADI hanya menyiapkan 1200 soal dan menyerahkan kepada Bank Soal. Lembaga penguji kemudian ditunjuk kepada pihak ketiga. Bank soal kemudian mengolah soal hanya 70-80 soal setiap ujian. Siapapun tidak mengetahui soal mana yang akan keluar pada ujian. Termasuk pengurus Peradi sendiri.

Dengan model seleksi yang cukup ketat, hampir praktis setiap ujian advokat hanya bisa “meluluskan” 10% dari peserta yang ikut ujian. Para advokat yang lulus begitu bangga menjadi Advokat ketika dinyatakan lulus.

Jargon ini justru memakan korban. Adik Ipar Otto sendiripun tidak lulus. Hingga 3 kali adik Ipar Otto mengikuti ujian tidak lulus dan kemudian tidak mau ikut lagi menjadi advokat. Otto bersikukuh di hadapan keluarga terutama keluarga istrinya.

Jargon “zero toleransi” kemudian menimbulkan antipati.

Seorang Advokat senior pernah mengirimkan 15 orang calon advokat dan berkirim surat kepada Otto agar dapat diluluskan. Namun Otto tidak mau meladeni dan tetap bertahan dengan jargon “zero toleransi'.

Tidak puas kemudian advokat senior membangun kekuatan dan mendirikan organisasi dan berjuang untuk mendapatkan pengakuan pemerintah. Namun hingga kini, ketenaran namanya tidak mampu membuat Pemerintah bergeming.

Tidak cukup membangun kekuatan dari luar, upaya pelemahan PERADI terus dilakukan. Entah berapa kali UU Advokat diuji di MK. UU Advokat salah satu UU paling laris diuji di MK bersama dengan UU PEMDA, UU Pemilu dan UU KPK.

Namun MK justru mengukuhkan “keberadaan” PERADI. Putusan MK No 14/2006 justru meletakkan pondasi. UU Advokat yang memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan

UU Advokat memberikan “tenggat waktu 2 tahun berdirinya organisasi advokat”. Sehingga dalam periode waktu 2, hanya PERADI yang memenuhi persyaratan.

Sehingga berdasaarkan Putusan MK No. 66 /2004 kemudian mengukuhkan PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara

Hampir praktis setelah itu, UU Advokat yang diuji di MK, tidak berhasil dikabulkan. Bahkan beberapa putusan MK justru malah tidak menerima permohonan (Niet onvankellijk verklaard).

Tidak cukup “menggempur” PERADI di MK, upaya sistematis juga dilakukan di DPR melalui revisi UU Advokat. Revisi UU Advokat “menyita” energi sehingga mobilisasi advokat “seindonesia” harus berdemonstrasi di depan tugu HI dan di DPR.

Diibaratkan film kartun avatar, maka serangan dilakukan dari berbagai penjuru mata angin. Berhadapan air, tanah, api dan udara.

Menyerang dari berbagai lini, mulai dari “menghancurkan jargon zero toleransi, membuat organisasi advokat, menggugat di MK hingga revisi UU Advokat.

Melihat kegagalan serangan seperti “zero toleransi, gugat UU Advokat hingga revisi UU Advokat” membuat arena kemudian bergeser. Arena pertarungan kemudian dimainkan di Munas Peradi.

Seluruh serangan kemudian dihadapi Otto. Energi yang besar pada Otto membuat DPC-DPC bersatu untuk “menyelamatkan” organisasi advokat. Sehingga tidak salah kemudian ada “solidaritas” yang kuat antara Otto dengan DPC-DPC. Hubungan selama 10 tahun lebih membuat Otto cukup disegani. Ditambah kegigihannya mempertahankan “zero toleransi”, membangun kantor, mempersiapkan databasse 30 ribu anggota advokat PERADi, membuat Otto dihormati oleh DPC-DPC.

Hubungan personal Otto dengan DPC-DPC inilah yang tidak membuat DPC begitu mudah termakan issu diluar daripada organisasi.

Sehingga tidak salah kemudian, ketika menjelang Munas, suara-suara diluar dari hubungan personal Otto dengan DPC tidak menarik perhatian dari DPC-DPC.

Rasa inilah dirasakan oleh peserta Munas yang mengikuti dari proses awal Peradi seperti “mimpi organisasi advokat yang tunggal (single bar association), menghadapi serangan organisasi advokat lain, revisi RUU Advokat.

Rasa ini pasti tidak dirasakan ketika yang mengikuti Munas tidak mengalami perjuangan “zero toleransi, “berkeringatnya” menyelamat PERADI hingga berterik-terik demonstrasi di bundaran HI.

Mereka yang tidak mengikuti proses panjang kemudian hanya melihat Munas sebagai “ajang” pemilihan Ketua Umum. Sehingga tidak salah kemudian mereka hanya “termakan” issu propaganda murahan “kisruh Munas”.