Dalam
menghadiri sebuah pertemuan di kampus, saya tersentak ketika dengan
entengnya pembicara “membicarakan kaum marginal” yang
mendiami di sekitar sebuah perusahaan sawit dengan persepsi keliru.
Kekeliruan yang disampaikan berangkat dari pemahaman yang parsial,
terpotong-potong, sepenggal dan cenderung mendeskriditkan kaum
marginal.
Saya
harus “mengingat dengan baik”, apakah pernyataan
disampaikan merupakan kesalahan pembicaraan (slip of tone),
kesalahan pemahaman, penguasaan informasi yang tidak utuh atau memang
berangkat dari “sesat fikir”. Untuk memastikannya, saya
harus mendengarkan dengan tekun setiap argumentasi yang disampaikan.
Dan menggunakan kalimat yang sama berulang-ulang, saya kemudian
berkesimpulan, pernyataan yang disampaikan harus diletakkan pada
konteksnya.
Sebagai
sebuah persepsi oleh kalangan kelas menengah, harus berangkat dari
berbagai asumsi-asumsi yang telah dilakukan verifikasi dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Masih
ingat dengan “berita heboh” status di Facebook yang
“menghina” masyarakat Kerinci. Dengan lugas sang akun
Facebook berdasarkan pengalaman hidupnya kemudian
“menyamaratakan” masyarakat Kerinci dengan bahasa kasar.
Pengalaman traumatik yang dialami kemudian menggeneralisir semua
penduduk yang berasal di Kerinci.
Tentu
saja sebagai pengalaman traumatik dan kisah hidupnya, kita tidak
perlu berargumentasi kebenarannya. Namun ketika pengalaman traumatik
kemudian “dijadikan” penilaian tentang masyarakat Kerinci
harus kita tolak. Pandangan atau persepsi sang akun facebook tidak
bisa dijadikan dasar ilmiah untuk menilai kepribadian orang kecil.
Dalam metode ilmiah, cara ini sangatlah diharamkan.
Cara
ini kemudian terjadi di kampus oleh sang pembicara. Pengalamannya
menilai “masyarakat marginal” di sebuah perusahaan sawit
kemudian “dengan enteng” melakukan penilaian dan mengambil
kesimpulan dan membangun persepsi tentang “masyarakat marginal”.
Tentu
saja, pengalaman sang pembicara berdasarkan persepsi tidak bisa
melakukan penilaian tentang masyarakat marginal. Asumsi yang dibangun
olehnya masih “sekedar tingkah laku (behavior)” yang tidak
bisa dilakukan untuk mengambil hipotesis dan membangun kesimpulan.
Dalam
metode penelitian, tingkah laku (behavior) merupakan
gejala-gejala yang belum menggambarkan kondisi obyektif sebuah
komunitas. Masih dilihat berbagai faktor dan indikator sebelum
melakukan verifikasi. Cara ini selain menyesatkan juga tidak
melambangkan kelas menengah yang terdidik yang berangkat dari
verifikasi yang ilmiah.
Untuk
memahami tentang “masyarakat marginal”, kita harus
memahami konsep tentang masyarakat marginal.
Konsepsi
“masyarakat marginal” bermula dengan paradigma “Semua orang
yang dilahirkan di bumi ini mempunyai harkat dan martabat yang sama
sebagai manusia. Semua orang mempunyai hak dasar sebagai manusia
dengan tidak ada pengecualian seperti perbedaan ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul
kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun
kedudukan lain.
Didalam
konstitusi telah dinyatakan didalam Pasal 18 b ayat (2) “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Rumusan ini
kemudian dipertegas didalam Pasal 28 I ayat (3) “ Identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban.
Kalimat ini juga bisa kita temukan didalam UU No 39 tahun 1999
Tentang HAM.
Penjelasan
konstitusi tentang “kesatuan masyarakat hukum adat”
kemudian diterjemahkan oleh MK sebagai pengakuan negara terhadap
keberadaan masyarakat hukum adat. Bisa berupa Perda atau cukup dengan
SK Kepala Daerah.
Konsep
ini juga diadopsi didalam Konvensi ILO 169,
1989, definisi Masyarakat Adat adalah “masyarakat
yang berdiam di negara-negara merdeka dimana kondisi sosial, kultural
dan ekonominya membedakan mereka dari bagian-bagian masyarakat lain
di negara tersebut dan statusnya diatur, baik seluruh maupun
sebahagian oleh masyarakat adat dan tradisi masyarakat adat tersebut
atau dengan hukum dan peraturan khusus”.
Makna
”masyarakat hukum adat”
kemudian tersebar di berbagai UU sektoral sumber daya alam. Sebagai
contoh Pasal 67 ayat (1) Undang-undang Kehutanan memberikan kriteria
yang harus dipenuhi, antara lain (1).
masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban
(rechtsgemeenschap), 2)ada kelembagaan
dalam bentuk perangkat penguasa adatnya,
(3) ada wilayah hukum adat yang jelas, (4) ada pranata dan perangkat
hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati, dan (5) masih
mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Bahkan
BPN sendiri merumuskan didalam Pasal 1 poin 3 Peraturan
Menteri Agraria/Ka BPN no. 5 Tahun 1999 “masyarakat
hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum
adatnya sebagai warga bersama suatu
persekutuan hukum karena
kesamaan tempat tinggal ataupun atas
dasar keturunan.
Melihat
konsepsi, konstitusi, berbagai peraturan perundang-undangan kemudian
menempatkan ”masyarakat hukum adat”
sebagai filosofi ”Semua orang yang
dilahirkan di bumi ini mempunyai harkat dan martabat yang sama
sebagai manusia. Semua orang mempunyai hak dasar sebagai manusia
dengan tidak ada pengecualian seperti perbedaan ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul
kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun
kedudukan lain.
Sehingga
”kekeliruan”
menilai ”masyarakat hukum adat”
berangkat dari persepsi yang tidak utuh melihat keberadaan
”masyarakat hukum adat”.
Saya
kemudian mencoba untuk ”membongkar”
dari kekeliruan”
menilai dari ”masyarakat hukum adat”.
Analisis
saya kemudian menempatkan bahwa ”kekeliruan”
selain tidak mendapatkan informasi yang tidak utuh, juga berangkat
dari konsepsi ”pola fikir” yang keliru.
Sebagai
identitas kebudayaan, persepsi dibangun menggunakan kebudayaan
modern. Masyarakat marginal kemudian diasosiasikan sebagai kaum
”terbelakang”,
jauh dari modernitas, berpakaian kotor, ketinggalan dan berbagai
persepsi negatif.
Sehingga
ketika ”masyarakat marginal”
kemudian menjadi modern, menguasai informasi dan teknologi maka tidak
tepat lagi sebagai masyarakat marginal.
Saya
harus geleng-geleng kepala untuk menerima penjelasan ini.
Sebagai
identitas kebudayaan, memang masyarakat mempunyai peradaban yang
berbeda dengan pola fikir kelas menengah. Namun ketika
”mengklasififkasikan”
sebagai peradaban kita lebih unggul daripada peradaban ”masyarakat
marginal” maka padanannya sangat tidak tepat.
Saya
hendak memulai pembicaraan bagaimana cara mendapatkan pengetahuan
yang didapatkan kelas menengah.
Sebagai
kaum terdidik, scientific berangkat dari pola pemikiran
”rasional-logis”.
Segala sesuatu tentang alam semesta, ilmu pengetahuan bisa
diterangkan dengan pola fikir ”akal
sehat dan masuk akal”. Prinsip ini
kemudian diteruskan kepada setiap pembahasan ilmiah dari sebuah
konsep.
Tapi
tidak cukup dengan hanya itu. Alam masih terlalu misteri untuk
dijangkau oleh ilmu pengetahuan. Masih banyak ilmu pengetahuan yang
belum bisa menjangkau tentang alam semesta.
Ketika
manusia belum mampu menjelaskan berdasarkan ilmu pengetahuan, maka
sebenarnya itu bukanlah mitos, legenda, cerita dongeng, klenik
ataupun bukan scientific. Oleh karena itu maka ilmu pengetahuan
kemudian menempatkan ilmu pengetahuan sebagai kebenaran ”tentatif'.
Kebenaran ”sementara”
yang dianggap sebagai kebenaran sebelum adanya kebenaran yang lain.
Dahulu
manusia ”berdebat”
apakah Matahari yang mengelilingi bumi atau bumi yang mengelilingi
matahari. Sebagian kaum ”hipokrit”
menganggap bumi yang mengeliling matahari. Pemikiran ini berangkat
dari ”penempatan manusia”
sebagai ajaran ”manusialah yang
menguasai dunia dan alam semesta'.
Namun ketika Copernicus berhasil membalikkan dalil ini, maka ilmu
pengetahuan membantu ”rasa ingin
manusia” tentang matahari.
Maka
menjadi tidak adil apabila peradaban berangkat pengetahuan barat
kemudian menempatkan peradaban menjadi lebih unggul.
Bahkan
seorang Fritjof Capra (Capra), seorang Filsuf dengan teropongnya
justru menolak paradigma yang sering dipergunakan oleh ilmu
pengetahuan barat yang berangkat dari Cartesian
Mekanistis-reduksionistis. Capra harus
membongkar literatur filsafat Timur untuk menjelaskan paradigma
“organis-sistematis”.
Alam semesta tidak lagi dipandang sebuah mesin raksasa yang
kaku melainkan sebuah kehidupan. Satu bagian saling terkait dan
menunjang dengan satu bagian yang lainnya. Dalam kajian yang lain
sering juga disebut sebagai paradigma ekologi.
Lalu
mengapa kelas menengah yang menganggap “peradaban yang
dipelajari” dari ilmu pengetahuan barat kemudian menempatkan
“masyarakat marginal” sebagai kaum terbelakang.
Padahal
kalau mau saja sejenak “menggali” peradaban di masyarakat
hukum adat, maka kita mendapatkan pengetahuan yang selama ini belum
kita temukan jawaban oleh ilmu pengetahuan masyarakat barat.
Ilmu
pengetahuan yang didapatkan oleh alam seperti “burung ramai
terbang menandakan akan datangnya musim panas” dan memberikan
tanda kepada petani untuk “turun kesawah”. Atau
rumah model kayu hanya menggunakan “pasak” terbukti handal
menghadapi gempa di Renah Kemumu tahun 2009.
Semua
ilmu pengetahuan yang didapatkan oleh alam merupakan peradaban yang
masih kukuh dipertahankan oleh masyarakat adat.
Masih
banyak “pengetahuan” yang dikuasai oleh masyarakat adat
yang harus kita gali untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang alam.
Dan ketika kita mendapatkan jawaban dari alam, maka kemudian kita
tertunduk malu atas kebesaran peradaban yang berada di tengah
masyarakat.