30 Juni 2015

opini musri nauli : CPO FUND ala JOKOWI


Akhir-akhir ini kita disibukkan wacana tentang Perpres No. 61 Tahun 2015 Tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa sawit. Perpres ini kemudian dikenal sebagai CPO Fund. Secara sekilas, makna begitu agung “untuk menjamin pengembangan perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan, diperlukan strategi nasional yang ditunjang oleh pengelolaan dana untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan. Maknanya kemudian ditafsirkan “menghimpun dana untuk “memastikan” keberlanjutan perkebunan sawit (sustainable).
Dana yang dihimpun berasal dari “industri perkebunan sawit”, lembaga pembiayaan, masyarakat dan pihak ketiga[1]. Walaupun dengan tegas tidak memungut dari petani mandiri[2].

Melihat Perpres yang telah diluncurkan oleh Jokowi, maka saya memotret dari 3 pendekatan. Pertama pendekatan Kewenangan (kewenangan) untuk “memungut”. Kedua dari kelembagaan. Dan yang terakhir dari manfaat (benefit) yang diraih.

Pendekatan ini sengaja saya gunakan untuk “mempermudah” memahami bagaimana teori kewenangan melihat Presiden “memungut” dana dari masyarakat[3].

Memungut

Untuk memudahkan pembahasan tentang kewenangan “untuk” mengelola dana, saya mempermudah menggunakan kalimat “memungut”. Dasar hukum digunakan adalah Pasal 4 ayat (1) Konstitusi, UU Perkebunan, dan PP No. 24 Tahun 2015 Tentang Penghimpunan Dana Perkebunan.

Melihat alur penempatan hirarki perundang-undangan[4], maka Jokowi setelah mendapatkan mandat konstitusi sebagai pemegang kekuasaan Pemerintahan[5], kemudian menetapkan tentang Penghimpunan Dana perkebunan berdasarkan UU Perkebunan[6] yang kemudian diturunkan berdasarkan PP No. 24 Tahun 2015. Sehingga Perpres kemudian mengatur tentang Badan pengelola Dana untuk menghimpun Dana perkebunan (CPO Fund)[7].

Dengan melihat kewenangan yang diberikan oleh konstitusi[8], artinya Jokowi mempunyai kewenangan untuk memungut. Atau dengan kata lain, perpres[9] dikeluarkan oleh lembaga yang resmi yang diatur oleh konstitusi.

Setelah kita melihat lembaga yang mengeluarkan Perpres telah mendapatkan atribusi oleh konstitusi, maka kita mulai masuk ke term kedua. Yaitu apakah materi yang diatur merupakan kewenangan yang telah ditentukan oleh konstitusi ?

Melihat dari hirarki peraturan perundang-undangan yaitu  Pasal 4 ayat (1) Konstitusi, UU Perkebunan, dan PP No. 24 Tahun 2015 Tentang Penghimpunan Dana Perkebunan, maka Perpres merupakan “terjemahan” langsung dari atribusi kewenangan Jokowi sebagai Presiden. Atau dengan kata lain, secara konstitusi,  Perpres merupakan perwujudan dari CPO Fund.

Melihat kewenangan Presiden yang sudah mengeluarkan Perpres, maka sorotan yang dapat kita jadikan fokus (highlight) bukanlah Perpres namun UU Perkebunan dan turunnya yaitu PP No. 24 Tahun 2015.  Apakah UU Perkebunan mendapatkan kewenangan untuk “memungut” dana perkebunan. Sorotan utama kita melihat UU perkebunan itulah menjadi pintu masuk sebagai bentuk “sikap negara” melihat persoalan sektor sawit.

CPO Fund

Sebelum membicarakan CPO Fund, maka yang menjadi fokus terhadap “kebijakan negara” melihat sektor sawit dilihat dari materi yang diatur. Dengan menggunakan pendekatan “materi yang diatur”, maka kita mudah mengidentifikasikan. Pertama. Apakah “dana” yang dipungut merupakan “turunan resmi” dari konstitusi ? Apakah terhadap “pungutan” sawit dapat dibenarkan oleh konstitusi ?

Menilik dari berbagai pungutan “resmi”, maka terhadap berbagai “pungutan” dari negara harus jelas dicantumkan oleh negara (atas persetujuan rakyat melalui DPR). Makna ini dapat kita temukan didalam UU Perkebunan.

Didalam Perpres secara “jelas” dicantumkan berbagai “Pungutan adalah sejumlah uang yang dibayarkan sebagai biaya atas ekspor hasil komoditas Perkebunan Kelapa Sawit dan/atau turunan hasil komoditas Perkebunan Kelapa Sawit. Besarnya biaya yang dipungut merupakan “kewenangan” Menteri keuangan.

CPO Fund kemudian “menentukan” penggunaan dana untuk “penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodiesel.

Melihat begitu besar fungsi CPO Fund maka “berakibat” terhadap semakin besar kebutuhan pasokan CPO untuk memenuhi “ambisi” biodiesel. Harus dihitung biaya pungut dari jumlah CPO Indonesia yang diekspor.

Pada ekspor tahun 2014, Indonesia mengirimkan CPO sebanyak 21,76[10] juta ton dengan harga rata-rata US$ 818,2 permetrik ton. Turun 2,8 % dari tahun sebelumnya[11]. Angka ini juga jauh dari proyeksi 31,6 juta ton[12]. Trend penurunan harga CPO juga dibarengi harga minyak dunia dan berbagai harga minyak nabati lainnya.

Dengan kalkulasi “memungut” ekspor CPO sebesar US$ 50 per/ton, maka CPO Fund “meraup US$ 105 juta/tahun. Sekitar 1,3 trilyun. Sedikit lebih besar dari PAD Propinsi Jambi dari pajak kendaraan bermotor yang mencapai 1 trilyun.

Padahal CPO Fund harus bisa memaksa eksportir CPO untuk berkonsenstrasi memenuhi CPO dalam negeri untuk “memenuhi ambisi” biodiesel. Dengan kewajiban untuk “biodiesel” dalam negeri sebesar 10% dan terus ditingkatkan menjadi 20% tahun 2020, CPO Fund bisa berkonsentrasi “untuk” memaksa eksportir mengurangi ekspornya.

Cara ini bisa juga dilakukan selain meningkatkan hasil dari CPO Indonesia masih dibawah 4 juta/ton/pertahun juga mengurangi “keinginan” menambah konversi pembukaan sawit[13]

Dengan melihat “ambisi” yang ditugaskan kepada CPO Fund, maka konsentrasi kita mencapai “kebutuhan” biodiesel sulit dicapai.

CUKAI AMBTENAAR

Ambisi ini kemudian mengingatkan upaya Pemerintah Kolonial dalam sistem politik “Tanam paksa (cultuurstelsel) tahun 1830. Dengan ambisi memenuhi “pundi-pundi” kas VOC yang kosong karena korupsi dan berbagai perlawanan dari berbagai daerah, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Johannes van Des Bosch “memerintahkan” untuk menanam tanaman yang dibutuhkan dunia.

Pemerintah Kolonial Belanda (ambtenaar) juga “memaksa” memungut upeti dan menarik cukai yang tinggi dari tuan tanah.

Akibat sistem politik Tanam paksa (cultuurstelsel), pundi-pundi kas Belanda kemudian terpenuhi, utang berhasil dilunasi. Belanda mengalami kejayaan.

Terpenuhinya pundi-pundi tidak diimbangi dengan perbaikan kepada pribumi. Penyakit busung lapar, penderitaan, kelaparan, pemberontakan hingga memunculkan ketidakpantasan eksploitasi kaum pribumi (politik etis).

Berbagai penolakan kemudian “memaksa” Belanda kemudian menghentikannya tahun 1870









[1]          Pasal 2 ayat 2 Perpres No. 61 Tahun 2015
[2]                     Pasal 7 ayat 2 Perpres No. 61 Tahun 2015
[3]          Dalam melihat sebuah peraturan, maka kita menggunakan pisau analisis dari pendekatan seperti “kewenanangan yang diberikan, lembaga yang mengeluarkan peraturan  dan materi yang diatur
[4]          Didalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan jenis dan hirarki perundang-undangan yaitu  : (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, (3)  Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, (4) Peraturan Pemerintah, (5) Peraturan Presiden (6) Peraturan Daerah Provinsi,  (7)  Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
[5]          Didalam UUD 1945 dijelaskan Pasal 4 ayat (1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Sedangkan ayat (2) Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orangWakilPresiden.
[6]          Pasal 93 Undang- Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan
[7]          Pasal 24 PP No. 24 Tahun 2015 menyebutkan “Ketentuan mengenai Badan Pengelola Dana diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden.
[8]   Kewenangan yang diberikan oleh konstitusi sebagaiman diatur didalam pasal 4 konstitusi.
[9]          Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
[10] Angka berbeda disampaikan oleh Ditjenbun. Produksi mencapai 29,3 juta ton.
[11] Refleksi 2014 GAPKI
[12] Derom Bangun sendiri memprediksi produksi CPO Indonesia mencapai 31,6 juta ton.
[13]         Ditjenbun menyebutkan luas perkebunan sawit mencapai 10 juta hektar. Sedangkan WWF menyebutkan 13,5 juta ha. Angka yang tidak berbeda dengan sawit watch. Walhi sendiri menyebutkan 12,35 juta hektar dari 1605 perusahaan. Angka ini belum mencapai ambisi Indonesia untuk memasok CPO dunia  40 juta ton dari 28 juta hektar.