Akhir-akhir
ini kita disibukkan wacana tentang Perpres No. 61 Tahun 2015 Tentang
Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa sawit. Perpres ini kemudian
dikenal sebagai CPO Fund. Secara sekilas, makna begitu agung “untuk menjamin
pengembangan perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan, diperlukan strategi
nasional yang ditunjang oleh pengelolaan dana untuk pengembangan perkebunan
kelapa sawit yang berkelanjutan. Maknanya kemudian ditafsirkan “menghimpun
dana untuk “memastikan” keberlanjutan perkebunan sawit (sustainable).
Dana
yang dihimpun berasal dari “industri perkebunan sawit”, lembaga pembiayaan,
masyarakat dan pihak ketiga[1].
Walaupun dengan tegas tidak memungut dari petani mandiri[2].
Melihat
Perpres yang telah diluncurkan oleh Jokowi, maka saya memotret dari 3
pendekatan. Pertama pendekatan Kewenangan (kewenangan) untuk “memungut”. Kedua
dari kelembagaan. Dan yang terakhir dari manfaat (benefit) yang diraih.
Pendekatan
ini sengaja saya gunakan untuk “mempermudah” memahami bagaimana teori
kewenangan melihat Presiden “memungut” dana dari masyarakat[3].
Memungut
Untuk
memudahkan pembahasan tentang kewenangan “untuk” mengelola dana, saya
mempermudah menggunakan kalimat “memungut”. Dasar hukum digunakan adalah Pasal
4 ayat (1) Konstitusi, UU Perkebunan, dan PP No. 24 Tahun 2015 Tentang
Penghimpunan Dana Perkebunan.
Melihat
alur penempatan hirarki perundang-undangan[4],
maka Jokowi setelah mendapatkan mandat konstitusi sebagai pemegang kekuasaan
Pemerintahan[5],
kemudian menetapkan tentang Penghimpunan Dana perkebunan berdasarkan UU
Perkebunan[6]
yang kemudian diturunkan berdasarkan PP No. 24 Tahun 2015. Sehingga Perpres
kemudian mengatur tentang Badan pengelola Dana untuk menghimpun Dana perkebunan
(CPO Fund)[7].
Dengan
melihat kewenangan yang diberikan oleh konstitusi[8],
artinya Jokowi mempunyai kewenangan untuk memungut. Atau dengan kata lain,
perpres[9]
dikeluarkan oleh lembaga yang resmi yang diatur oleh konstitusi.
Setelah
kita melihat lembaga yang mengeluarkan Perpres telah mendapatkan atribusi oleh
konstitusi, maka kita mulai masuk ke term kedua. Yaitu apakah materi yang
diatur merupakan kewenangan yang telah ditentukan oleh konstitusi ?
Melihat
dari hirarki peraturan perundang-undangan yaitu
Pasal 4 ayat (1) Konstitusi, UU Perkebunan, dan PP No. 24 Tahun 2015
Tentang Penghimpunan Dana Perkebunan, maka Perpres merupakan “terjemahan”
langsung dari atribusi kewenangan Jokowi sebagai Presiden. Atau dengan kata
lain, secara konstitusi, Perpres
merupakan perwujudan dari CPO Fund.
Melihat
kewenangan Presiden yang sudah mengeluarkan Perpres, maka sorotan yang dapat
kita jadikan fokus (highlight) bukanlah Perpres namun UU Perkebunan dan
turunnya yaitu PP No. 24 Tahun 2015.
Apakah UU Perkebunan mendapatkan kewenangan untuk “memungut” dana
perkebunan. Sorotan utama kita melihat UU perkebunan itulah menjadi pintu masuk
sebagai bentuk “sikap negara” melihat persoalan sektor sawit.
CPO
Fund
Sebelum
membicarakan CPO Fund, maka yang menjadi fokus terhadap “kebijakan negara”
melihat sektor sawit dilihat dari materi yang diatur. Dengan menggunakan
pendekatan “materi yang diatur”, maka kita mudah mengidentifikasikan.
Pertama. Apakah “dana” yang dipungut merupakan “turunan resmi”
dari konstitusi ? Apakah terhadap “pungutan” sawit dapat dibenarkan oleh
konstitusi ?
Menilik
dari berbagai pungutan “resmi”, maka terhadap berbagai “pungutan”
dari negara harus jelas dicantumkan oleh negara (atas persetujuan rakyat
melalui DPR). Makna ini dapat kita temukan didalam UU Perkebunan.
Didalam
Perpres secara “jelas” dicantumkan berbagai “Pungutan adalah sejumlah
uang yang dibayarkan sebagai biaya atas ekspor hasil komoditas Perkebunan
Kelapa Sawit dan/atau turunan hasil komoditas Perkebunan Kelapa Sawit.
Besarnya biaya yang dipungut merupakan “kewenangan” Menteri keuangan.
CPO
Fund kemudian “menentukan” penggunaan dana untuk “penyediaan dan
pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodiesel.
Melihat
begitu besar fungsi CPO Fund maka “berakibat” terhadap semakin besar
kebutuhan pasokan CPO untuk memenuhi “ambisi” biodiesel. Harus dihitung
biaya pungut dari jumlah CPO Indonesia yang diekspor.
Pada
ekspor tahun 2014, Indonesia mengirimkan CPO sebanyak 21,76[10]
juta ton dengan harga rata-rata US$ 818,2 permetrik ton. Turun 2,8 % dari tahun
sebelumnya[11].
Angka ini juga jauh dari proyeksi 31,6 juta ton[12].
Trend penurunan harga CPO juga dibarengi harga minyak dunia dan berbagai harga
minyak nabati lainnya.
Dengan
kalkulasi “memungut” ekspor CPO sebesar US$ 50 per/ton, maka CPO Fund “meraup
US$ 105 juta/tahun. Sekitar 1,3 trilyun. Sedikit lebih besar dari PAD
Propinsi Jambi dari pajak kendaraan bermotor yang mencapai 1 trilyun.
Padahal
CPO Fund harus bisa memaksa eksportir CPO untuk berkonsenstrasi memenuhi CPO
dalam negeri untuk “memenuhi ambisi” biodiesel. Dengan kewajiban untuk “biodiesel”
dalam negeri sebesar 10% dan terus ditingkatkan menjadi 20% tahun 2020, CPO
Fund bisa berkonsentrasi “untuk” memaksa eksportir mengurangi ekspornya.
Cara
ini bisa juga dilakukan selain meningkatkan hasil dari CPO Indonesia masih
dibawah 4 juta/ton/pertahun juga mengurangi “keinginan” menambah
konversi pembukaan sawit[13]
Dengan
melihat “ambisi” yang ditugaskan kepada CPO Fund, maka konsentrasi kita
mencapai “kebutuhan” biodiesel sulit dicapai.
CUKAI AMBTENAAR
Ambisi
ini kemudian mengingatkan upaya Pemerintah Kolonial dalam sistem politik “Tanam
paksa (cultuurstelsel) tahun 1830. Dengan ambisi memenuhi “pundi-pundi” kas
VOC yang kosong karena korupsi dan berbagai perlawanan dari berbagai daerah,
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Johannes van Des Bosch “memerintahkan”
untuk menanam tanaman yang dibutuhkan dunia.
Pemerintah
Kolonial Belanda (ambtenaar) juga “memaksa” memungut upeti dan menarik
cukai yang tinggi dari tuan tanah.
Akibat
sistem politik Tanam paksa (cultuurstelsel), pundi-pundi kas Belanda
kemudian terpenuhi, utang berhasil dilunasi. Belanda mengalami kejayaan.
Terpenuhinya
pundi-pundi tidak diimbangi dengan perbaikan kepada pribumi. Penyakit busung
lapar, penderitaan, kelaparan, pemberontakan hingga memunculkan ketidakpantasan
eksploitasi kaum pribumi (politik etis).
Berbagai
penolakan kemudian “memaksa” Belanda kemudian menghentikannya tahun 1870
[1] Pasal 2 ayat 2 Perpres No. 61 Tahun
2015
[2] Pasal
7 ayat 2 Perpres No. 61 Tahun 2015
[3] Dalam melihat sebuah peraturan, maka
kita menggunakan pisau analisis dari pendekatan seperti “kewenanangan yang
diberikan, lembaga yang mengeluarkan peraturan
dan materi yang diatur
[4] Didalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan jenis dan hirarki
perundang-undangan yaitu : (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (2) Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, (3) Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang, (4) Peraturan Pemerintah, (5) Peraturan
Presiden (6) Peraturan Daerah Provinsi,
(7) Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
[5] Didalam UUD 1945 dijelaskan Pasal 4
ayat (1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar. Sedangkan ayat (2) Dalam melakukan kewajibannya Presiden
dibantu oleh satu orangWakilPresiden.
[6] Pasal 93 Undang- Undang Nomor 39 Tahun
2014 tentang Perkebunan
[7] Pasal 24 PP No. 24 Tahun 2015
menyebutkan “Ketentuan mengenai Badan Pengelola Dana diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Presiden.
[8] Kewenangan yang diberikan oleh konstitusi
sebagaiman diatur didalam pasal 4 konstitusi.
[9] Peraturan Presiden adalah Peraturan
Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan
kekuasaan pemerintahan.
[10] Angka berbeda disampaikan oleh Ditjenbun.
Produksi mencapai 29,3 juta ton.
[11] Refleksi 2014 GAPKI
[12] Derom Bangun sendiri memprediksi produksi CPO
Indonesia mencapai 31,6 juta ton.
[13] Ditjenbun menyebutkan luas perkebunan
sawit mencapai 10 juta hektar. Sedangkan WWF menyebutkan 13,5 juta ha. Angka
yang tidak berbeda dengan sawit watch. Walhi sendiri menyebutkan 12,35 juta
hektar dari 1605 perusahaan. Angka ini belum mencapai ambisi Indonesia untuk
memasok CPO dunia 40 juta ton dari 28
juta hektar.