Wacana
Islam Nusantara memantik diskusi. Dalam term yang kukuh “mempersoalkan”
Islam, argumentasinya cukup sederhana. Islam, Ya, islam. Tidak ada Islam
nusantara.
Namun
dalam wacana yang lain, Islam Nusantara lebih mengedepankan Islam dalam konteks
Ke-Indonesiaan. Sebuah wacana untuk mengutamakan “suasana damai”,
Khas Indonesia. Mengutamakan “tauhid” Ke-esa-an, Allah SWT. Namun
menempatkan “ciri khas, budaya lokal sebagai padanan praktek
sehari-hari. Atau dengan kata lain, Tauhid “ikrar” Syahadat Kepada Zat
Tunggal namun “menempatkan” budaya lokal untuk memperkaya kebesaran
islam. Dalam konteks ini, maka berbagai budaya yang “dianggap”
mengagungkan kebesaran Islam merupakan bagian dari khas Islam di Indonesia.
Tema-tema
inilah yang kemudian menguat disaat bersamaan, issu islam “hanya dipelintir”
oleh sebagian kaum kecil yang menggunakan “tema agama” namun terus
melakukan kekerasan seperti menciptakan teror, bom di gereja ataupun berbagai
makna jihad yang disalah artikan.
Tumbangnya
orde baru kemudian membangkitkan gerakan islam politik di Indonesia. Maka
berdirinya berbagai partai yang mengusung islam sebagai impian berdirinya
partai-partai islam. Wacana partai islam terus mendapatkan tempat dalam kancah
politik Indonesia.
Sebagian
kecil kelompok kemudian menempatkan wacana islam secara radikal dan kemudian
tersangkut berbagai peristiwa bom. Tuduhan kepada kelompok separatis ini
kemudian “menghilangkan” makna besar Islam di nusantara.
Namun
kebesaran islam di nusantara terlalu sayang untuk “diletakkan” pada
kelompok radikal. Thomas Gibson menyebutkan Sejarah islam di Indonesia yang
telah mulai dicatat dalam berbagai ornamen dan masuk kedalam berbagai aktivitas
sosial seperti menikah, berdagang, membangun jalur perekonomian di dunia sejak
abad 13-16-an. Sejarah kebesaran Islam di nusantara tidak boleh “terpotong”.
Begitu juga M.C. Ricklefs dalam karya
klasiknya “A History of Modern Indonesia” dengan jelas menerangkannya.
Beberapa
teori menyangkut hadirnya Islam di Kepulauan Nusantara dikemukakan para pakar
sejarah. Teori klasik pertama menyebutkan Islam dibawa oleh pedagang Timur
Tengah. Teori ini kemudian didukung oleh Niemann dan de Holander. Sedangkan
teori klasik kedua menyebutkan Islam dibawa oleh pedagang Gujarat. Teori ini
didukung oleh Pijnapel dan didukung oleh Snouck Hurgronje, Vlekke, dan
Schrieke.
Para
peneliti yang mengemukakan kedatangan Islam di Indonesia disebabkan dari
Laporan yang ditulis Marcopolo yang menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya
di Pasai tahun 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu
pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi, yang ketika
singgah di Aceh tahun 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab
Syafi′i.
Terlepas
dari kesahihan kedatangan islam di nusantara, Islam sudah marak dan menghiasai
wacana sejarah sejak abad 14. Berbagai ornamen, bukti kebesaran kerajaan yang
sudah menganut islam sudah menjadi lalu lintas perdagangan dunia. Mulai dari
pesisir barat di Aceh hingga ujung Timur seperti di Gowa dan Luwu.
Namun
masuk dan berkembangnya sejarah Islam yang tidak meninggalkan Budaya nusantara.
Tokoh
seperti KH Hasyim Asyari dalam kitabnya, Risalatu Ahlissunnah wal Jamaah
menggambarkan keislaman negeri Jawa pada awal abad ke-20, sebagai masyarakat
yang memiliki pandangan dan mazhab serta referensi dan kecenderungan yang sama.
Yaitu, pengikut mazhab Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i, alur pikir Imam Abu
Hasan al-‘Asy’ari, dan corak tasawuf konsep Imam al-Ghazali dan Imam Abi
al-Hasan al-Syadzili.
Sedangkan Said Aqil Siroj menyebutkan “Praktik
keislaman ini tecermin dalam perilaku sosial budaya Muslim Indonesia yang
moderat (tawassuth), menjaga keseimbangan (tawazun), dan toleran (tasamuh).
Ketiga sikap ini pijakan masyarakat pesantren untuk mencari solusi problem
sosial akibat liberalisme, kapitalisme, sosialisme, termasuk radikalisme
agama-agama
Sedangkan
Azyumardi Azra menuliskan dengan kata “Islam Indonesia sebagai “wasathiyah”
atau islam jalan tengah yang toleran. Sebagai ahli antropologi Islam, Islam di
Indonesia bukan lahan subur bagi radikalisme. Ortodoksi Islam Indonesia yang
berakar pada teologi Asy’ariyah, fikih mazhab Syafi’idan tasawuf Ghazalian
tidak cocok dengan kelompok Salafis, Wahabi, neo-khawarij dan jihadis.
Hingga kini berbagai
budaya lokal terus mewarnai perjalanan Islam di Nusantara. Mulai dari tradisi “mandi
balimau”, taboot, “merayakan” 1 syuro, Maulidan, ziarah
kubur, tahlilan hingga berbagai ungkapan syukur terhadap “Sang
Khalik”.
Maka, Islam
Nusantara itu bukan “agama baru”. Islam Nusantara juga bukan “aliran
baru”. Islam Nusantara adalah wajah keislaman yang teduh, toleransi,
menjunjung tinggi pluralisme. Islam yang terwujudkan di tengah masyarakat.
Islam telah meresapi didalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat.
Memperkaya kebudayaan lokal di berbagai daerah.
Dan islam
nusantara sudah terbukti bertahan dari berbagai upaya “radikalisasi” dan
pandangan sempit yang justru “merusak” kaidah-kaidah sebagai agama untuk
umat manusia (rahmatan lil alamin)