30 Juni 2015

opini musri nauli : ISLAM NUSANTARA


Wacana Islam Nusantara memantik diskusi. Dalam term yang kukuh “mempersoalkan” Islam, argumentasinya cukup sederhana. Islam, Ya, islam. Tidak ada Islam nusantara.

Namun dalam wacana yang lain, Islam Nusantara lebih mengedepankan Islam dalam konteks Ke-Indonesiaan. Sebuah wacana untuk mengutamakan “suasana damai”, Khas Indonesia. Mengutamakan “tauhid” Ke-esa-an, Allah SWT. Namun menempatkan “ciri khas, budaya lokal sebagai padanan praktek sehari-hari. Atau dengan kata lain, Tauhid “ikrar” Syahadat Kepada Zat Tunggal namun “menempatkan” budaya lokal untuk memperkaya kebesaran islam. Dalam konteks ini, maka berbagai budaya yang “dianggap” mengagungkan kebesaran Islam merupakan bagian dari khas Islam di Indonesia.
Tema-tema inilah yang kemudian menguat disaat bersamaan, issu islam “hanya dipelintir” oleh sebagian kaum kecil yang menggunakan “tema agama” namun terus melakukan kekerasan seperti menciptakan teror, bom di gereja ataupun berbagai makna jihad yang disalah artikan.

Tumbangnya orde baru kemudian membangkitkan gerakan islam politik di Indonesia. Maka berdirinya berbagai partai yang mengusung islam sebagai impian berdirinya partai-partai islam. Wacana partai islam terus mendapatkan tempat dalam kancah politik Indonesia.

Sebagian kecil kelompok kemudian menempatkan wacana islam secara radikal dan kemudian tersangkut berbagai peristiwa bom. Tuduhan kepada kelompok separatis ini kemudian “menghilangkan” makna besar Islam di nusantara.

Namun kebesaran islam di nusantara terlalu sayang untuk “diletakkan” pada kelompok radikal. Thomas Gibson menyebutkan Sejarah islam di Indonesia yang telah mulai dicatat dalam berbagai ornamen dan masuk kedalam berbagai aktivitas sosial seperti menikah, berdagang, membangun jalur perekonomian di dunia sejak abad 13-16-an. Sejarah kebesaran Islam di nusantara tidak boleh “terpotong”. Begitu juga  M.C. Ricklefs dalam karya klasiknya “A History of Modern Indonesia” dengan jelas menerangkannya.

Beberapa teori menyangkut hadirnya Islam di Kepulauan Nusantara dikemukakan para pakar sejarah. Teori klasik pertama menyebutkan Islam dibawa oleh pedagang Timur Tengah. Teori ini kemudian didukung oleh Niemann dan de Holander. Sedangkan teori klasik kedua menyebutkan Islam dibawa oleh pedagang Gujarat. Teori ini didukung oleh Pijnapel dan didukung oleh Snouck Hurgronje, Vlekke, dan Schrieke.

Para peneliti yang mengemukakan kedatangan Islam di Indonesia disebabkan dari Laporan yang ditulis Marcopolo yang menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi, yang ketika singgah di Aceh tahun 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi′i.

Terlepas dari kesahihan kedatangan islam di nusantara, Islam sudah marak dan menghiasai wacana sejarah sejak abad 14. Berbagai ornamen, bukti kebesaran kerajaan yang sudah menganut islam sudah menjadi lalu lintas perdagangan dunia. Mulai dari pesisir barat di Aceh hingga ujung Timur seperti di Gowa dan Luwu.

Namun masuk dan berkembangnya sejarah Islam yang tidak meninggalkan Budaya nusantara.

Tokoh seperti KH Hasyim Asyari dalam kitabnya, Risalatu Ahlissunnah wal Jamaah menggambarkan keislaman negeri Jawa pada awal abad ke-20, sebagai masyarakat yang memiliki pandangan dan mazhab serta referensi dan kecenderungan yang sama. Yaitu, pengikut mazhab Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i, alur pikir Imam Abu Hasan al-‘Asy’ari, dan corak tasawuf konsep Imam al-Ghazali dan Imam Abi al-Hasan al-Syadzili.

Sedangkan  Said Aqil Siroj menyebutkan “Praktik keislaman ini tecermin dalam perilaku sosial budaya Muslim Indonesia yang moderat (tawassuth), menjaga keseimbangan (tawazun), dan toleran (tasamuh). Ketiga sikap ini pijakan masyarakat pesantren untuk mencari solusi problem sosial akibat liberalisme, kapitalisme, sosialisme, termasuk radikalisme agama-agama

Sedangkan Azyumardi Azra menuliskan dengan kata “Islam Indonesia sebagai “wasathiyah” atau islam jalan tengah yang toleran. Sebagai ahli antropologi Islam, Islam di Indonesia bukan lahan subur bagi radikalisme. Ortodoksi Islam Indonesia yang berakar pada teologi Asy’ariyah, fikih mazhab Syafi’idan tasawuf Ghazalian tidak cocok dengan kelompok Salafis, Wahabi, neo-khawarij dan jihadis.

Hingga kini berbagai budaya lokal terus mewarnai perjalanan Islam di Nusantara. Mulai dari tradisi “mandi balimau”, taboot, “merayakan” 1 syuro, Maulidan, ziarah kubur, tahlilan hingga berbagai ungkapan syukur terhadap “Sang Khalik”.

Maka, Islam Nusantara itu bukan “agama baru”. Islam Nusantara juga bukan “aliran baru”. Islam Nusantara adalah wajah keislaman yang teduh, toleransi, menjunjung tinggi pluralisme. Islam yang terwujudkan di tengah masyarakat. Islam telah meresapi didalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat. Memperkaya kebudayaan lokal di berbagai daerah.

Dan islam nusantara sudah terbukti bertahan dari berbagai upaya “radikalisasi” dan pandangan sempit yang justru “merusak” kaidah-kaidah sebagai agama untuk umat manusia (rahmatan lil alamin)