18 Juni 2015

opini musri nauli : MEMASTIKAN RUANG KELOLA MASYARAKAT DI TENGAH BERBAGAI KEBUNTUAN JALUR ADVOKASI

MEMASTIKAN RUANG KELOLA MASYARAKAT
DI TENGAH BERBAGAI KEBUNTUAN JALUR ADVOKASI



Akhir-akhir ini ketika negara seringkali absent, lalai bahkan abai, inisiatif berbagai kelompok perusahaan menghiasi berbagai pembicaraan.
Di sektor kayu labelisasi dengan SVLK[1] (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) bertujuan untuk memastikan produk kayu dan bahan bakunya diperoleh atau berasal dari sumber yang asal-usulnya dan pengelolaannya memenuhi aspek legalitas. Dengan demikian maka Kayu disebut legal bila asal-usul kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, pengangkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindahtanganannya dapat dibuktikan memenuhi semua.

Mekanisme kemudian dijadikan “labelisasi” aspek legalitas kayu sehingga konsumen “merasa” nyaman terhadap produk yang mereka gunakan.

Di sektor sawit, RSPO merupakan wadah yang menyatukan para pemangku kepentingan dari tujuh sektor industri minyak sawit - produsen kelapa sawit, pedagang kelapa sawit, produsen barang-barang konsumen, pengecer, bank dan investor, LSM pelestarian lingkungan atau konservasi alam, dan LSM sosial. RSPO bersama para pemangku kepentingan bertujuan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk minyak sawit berkelanjutan[2].

Indonesia sendiripun mengeluarkan model sertifikasi sawit yang dikenal dengan nama Indonesian Sustainment Palm Oil.

Tentu saja banyak berbeda pendapat dengan kehadiran inisiatif berbagai perusahaan. Di satu sisi, kebutuhan pasar global harus bisa dipastikan didapatkan dengan cara-cara yang fair. Cara seperti penghancuran deforestrasi, penggunakan bahan kimiawi yang berbahaya, persoalan konflik, pembukaan dan konversi lahan gambut, persoalan sosial merupakan cara-cara barbar yang tidak sesuai dengna standar kemanusiaan di abad modern. Sehingga mekanisme “labelisasi” dapat dijadikan “filter” untuk melakukan “Tracking” yang disepakati untuk menjadi alasan apakah menerima atau menolak sebuah produk.

Di sisi lain, berbagai inisiatif yang digagas oleh berbagai kelompok korporasi tidak juga mampu menghentikan laju penggundulan hutan, pembukaan dan konversi lahan gambut, mengurangi konflik sosial. Sehingga sikap apatis kemudian disuarakan agar tidak menggunakan mekanisme inisiatif yang digagas kelompok korporasi.

Namun berbanding terbalik dengan “tanggung jawab” negara. Negara yang bertugas untuk “melindungi” rakyat dan menghukum korporasi yang melakukan pelanggaran hukum namun malah “sibuk” mempersiapkan berbagai kompetisi di tingkat lokal. Ditambah menjaga perilaku penguasa yang biasa dikenal dengna istilah “pencitraan”.

Peran dan tanggung jawab negara “semakin lambat”, abai, absen bahkan cenderung “apatis” suara-suara yang dikumandangkan oleh rakyat. Rakya harus memulai “pengaduan” berjenjang dari Kepala Desa, camat, Pemerintahan daerah hingga ke jakarta. Di Jakarta harus mengeliling berbagai instansi baik di DPR, Komnas HAM, Kementerian, hingga berdemonstrasi di depan istana.

Suara yang disampaikan sama. Namun nadanya semakin lirih berlalunya waktu. Mereka harus berhadapan dengan kelompok korporasi yang “dibantu” oleh penguasa.

Di tengah rasa apatis, inisiatif korporasi terus bergulir dan semakin menancapkan eksistensinya. Berbagai forum internasional digagas untuk “memaksa” korporasi agar tertib dengan mekanisme yang disepakati.

Berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi kemudian bisa disuarakan dalam forum-forum internasional untuk membantu menjadi “pintu” jalan keluar dari berbagai kebuntuan persoalan di tengah masyarakat.

Praktis selama 2 tahun terakhir ini, saya berkesempatan “menyaksikan” berbagai inisiatif korporasi yang langsung berhimpitan dengan persoalan di Jambi.

Inisiatif pertama lahir dari APP, salah satu group raksasa pulp and paper di Indonesia. APP mencanangkan Komitmen Forest Policy yang diluncurkan Februari 2003.

APP merupakan “raksasa” pulp and paper di Jambi. Dengan luas konsensi 293 ribu hektar (10 % wilayah kawasan hutan), meliputi 5 kabupaten dan mencakup 120 desa, menempatkan APP sebagai salah satu korporasi penyumbang konflik di Jambi.

Saya kemudian mengambil sikap untuk menentukan posisi organisasi (standing organisasi). Sikap ini  berangkat dari dua nilai. Nilai pertama adalah “memastikan “ruang kelola rakyat”. Dan nilai kedua adalah “keberlanjutan”. Dua nilai inilah yang kemudian menjadi “harga yang tidak bisa ditawarkan” dalam melihat berbagai model kebijakan negara. Termasuk juga melihat implementasi Komitmen APP itu sendiri.

Sebagai bagian dari advokasi yang dilakukan dengan masyarakat, posisi Walhi Jambi jelas. Mengambil posisi yang berjarak dengan korporasi.  Mengambil posisi yang berjarak dengan korporasi.  Posisi ini kemudian biasa dikenal dengna istilah “outsider”. Posisi ini kemudian mampu melihat secara obyektif implementasi komitmen yang sudah mereka canangkan.

Namun mendorong masyarakat untuk menyelesaikan konflik langsung dengan pemegang keputusan  APP merupakan salah satu bentuk fasilitasi yang bisa dirasakan oleh masyarakat.

Dialektikapun berseliweran. Sebagian menyesalkan. Sebagian membenarkan.

Saya tidak berpretensi melakukan evaluasi komitmen APP.  Namun yang pasti, wilayah kelola yang merupakan hak masyarakat kemudian “tidak diganggu” oleh perusahaan. Praktis masyarakat sudah menikmati “lahan untuk berproduksi” dan bisa menatap hidupnya lebih tenang.

Tapi masih banyak ditemukan “praktek buruk” APP untuk memenuhi komitmennya. Pembunuhan Indra Pelani merupakan “salah satu contoh buruk” bagaimana pola kekerasan masih digunakan didalam melihat konflik sosial dan penghormatan masyarakat adat.

Inisiatif kedua digagas oleh Wilmar dengan tema “nol deforestrasi, nol peatland and no human exploitasi. Komitmen ini diluncurkan Desember 2013.

Wilmar merupakan perusahaan raksasa pengekspor sawit dunia (40 %). Di Indonesia sendiri, Wilmar ditopang oleh 800 suplayer CPO.

Sementara di Jambi, luas perkebunan sawit yang mencapai 515 ribu hektar, Penguasaan tanah untuk perkebunan kelapa sawit hanya dikuasai segelintir perusahaan. Sime Darby, Asian Agri, GAR/Sinar Mas dan Wilmar merupakan perusahaan yang menguasai wilayah yang cukup luas. Wilmar sendiri mempunyai 54 suplayer[3]. Dari 54 suplayer Wilmar, 31 terletak di kawasan gambut. Terletak Muara Jambi 21 suplayer dan 10 di Tanjabbar. Sedangkan di tempat lain seperti Merangin 6 suplayer, Tebo 5 suplayer, Muara Bungo 5 suplayer, Batanghari 2 suplayer dan Sarolangun 1 suplayer.

Dalam perkembangannya, perusahaan yang tergabung di Sime Darby kemudian menjadi suplayer CPO kepada Wilmar.

Sektor sawit menyumbang konflik yang cukup besar. Suplayer-suplayer Wilmar merupakan perusahaan penyebab konflik di Jambi.

Penguasaan lahan kemudian menyebabkan konflik[4]. Dari data-data konflik yang telah dihimpun oleh Walhi Jambi, maka Data-data konflik inilah kemudian dilakukan penggambaran secara umum sehingga bisa menggambarkan dan pandangan multistakeholder untuk membaca konflik. Trend konflik[5] menunjukkan hampir seluruh di Kabupaten terjadinya konflik. Merata di berbagai daerah. Baik dimulai dari hulu (kabupaten Sarolangun dan kabupaten Merangin) kemudian di daerah tengah (kabuaten Bungo, Kabupaten Tebo dan Kabupaten Batanghari) dan di daerah hilir (Kabupaten Muara Jambi, Kabupaten Tanjabtim dan tanjabbar).

Dalam perjalanannya, konflik sawit belum banyak yang dapat diselesaikan. Sawit di lahan gambut kemudian telah menyita ruang kelola rakyat. Masyarakat kemudian terhimpit dan berhadapan dan disekeliling perusahaan sawit.

Sebagai contoh, Desa Sponjen berhadapan dengan PT. BBS, PT. WSI. Desa Sungai Bungur berhadapan dengan PT. PHL, PT. RKK, PT. WSI. Desa Sekumbung, Desa Rukam, Desa Manis Mato berhadapan PT. EWS.

Bahkan PT. BBS tidak hanya berhadapan dengan Desa Sponen, namun juga harus menyelesaikan dengan Desa Sogo dan Desa Tanjung.

Penyelesaian konflik sawit telah dilakukan oleh masyarakat. Namun proses belum dapat diselesaikan. Momentum pembenahan yang dicanangkan oleh Wilmar merupakan salah satu peluang memastikan perusahaan tunduk kepada komitmen untuk memastikan ruang kelola masyarakat. Upaya yang dilakukan selain memastikan perusahaan tunduk kepada komitmen juga mendorong resolusi konflik dan menghormati masyarakat. Upaya yang dilakukan adalah menghentikan cara-cara kekerasan, menghormati masyarakat adat/local dan mendorong resolusi konflik.

Tentu saja “inisiatif korporasi” merupakan salah satu “pintu” memecahkan kebutuan jalur konvensional advokasi. Pintu yang “mempertemukan” antara masyarakat korban dengan pemegang kunci dari perusahaan. Pintu yang selama ini cukup lama ditembus, berputar-putar dan memakan waktu panjang.

Namun “inisiatif korporasi” tidak menghilangkan “tanggung jawab negara”. Inisiatif korporasi tidak menggantikan “tanggungjawab” negara.

Negara harus terus “diingatkan, diteriakkan agar menjalankan tugas. Memberikan kesejahtaeraan kepada rakyat dan melindungan sumber daya alam agar tidak dinikmati cuma “segelintir” orang.  Tugas saya terus mendesakkan kepada negara untuk melaksanakan tanggungjawab negara.




[1]  http://silk.dephut.go.id/index.php/info/svlk
[2]  www.rspo.org
[3]  Data mentah yang disampaikan oleh Aidenvironment
[4]  Catatan Walhi 1999-2013, jumlah konflik Sumber daya alam mencapai 80 konflik. 27 kasus diprioritaskan untuk diselesaikan. Tim Inventarisasi dan Resolusi Konflik Pemerintah Propinsi Jambi tahun 2010
[5]   Catatan ini bersumber dari kliping media massa lokal sejak tahun 1999 – 2012, Walhi Jambi Data menunjukkan konflik yang terjadi sekitar 300 -an konflik. 80 konflik berkaitan dengan sumber daya alam dan 27 konflik diprioritaskan untuk diselesaikan