MEMASTIKAN RUANG KELOLA MASYARAKAT
DI TENGAH BERBAGAI KEBUNTUAN JALUR ADVOKASI
Akhir-akhir
ini ketika negara seringkali absent, lalai bahkan abai, inisiatif berbagai
kelompok perusahaan menghiasi berbagai pembicaraan.
Di
sektor kayu labelisasi dengan SVLK[1]
(Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) bertujuan untuk memastikan produk kayu dan
bahan bakunya diperoleh atau berasal dari sumber yang asal-usulnya dan
pengelolaannya memenuhi aspek legalitas. Dengan demikian maka Kayu disebut
legal bila asal-usul kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan,
pengangkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindahtanganannya dapat
dibuktikan memenuhi semua.
Mekanisme
kemudian dijadikan “labelisasi” aspek legalitas kayu sehingga konsumen “merasa”
nyaman terhadap produk yang mereka gunakan.
Di
sektor sawit, RSPO merupakan wadah yang menyatukan para pemangku kepentingan
dari tujuh sektor industri minyak sawit - produsen kelapa sawit, pedagang
kelapa sawit, produsen barang-barang konsumen, pengecer, bank dan investor, LSM
pelestarian lingkungan atau konservasi alam, dan LSM sosial. RSPO bersama para
pemangku kepentingan bertujuan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan
standar global untuk minyak sawit berkelanjutan[2].
Indonesia
sendiripun mengeluarkan model sertifikasi sawit yang dikenal dengan nama
Indonesian Sustainment Palm Oil.
Tentu
saja banyak berbeda pendapat dengan kehadiran inisiatif berbagai perusahaan. Di
satu sisi, kebutuhan pasar global harus bisa dipastikan didapatkan dengan
cara-cara yang fair. Cara seperti penghancuran deforestrasi, penggunakan bahan
kimiawi yang berbahaya, persoalan konflik, pembukaan dan konversi lahan gambut,
persoalan sosial merupakan cara-cara barbar yang tidak sesuai dengna standar
kemanusiaan di abad modern. Sehingga mekanisme “labelisasi” dapat
dijadikan “filter” untuk melakukan “Tracking” yang disepakati
untuk menjadi alasan apakah menerima atau menolak sebuah produk.
Di
sisi lain, berbagai inisiatif yang digagas oleh berbagai kelompok korporasi
tidak juga mampu menghentikan laju penggundulan hutan, pembukaan dan konversi
lahan gambut, mengurangi konflik sosial. Sehingga sikap apatis kemudian
disuarakan agar tidak menggunakan mekanisme inisiatif yang digagas kelompok
korporasi.
Namun
berbanding terbalik dengan “tanggung jawab” negara. Negara yang bertugas
untuk “melindungi” rakyat dan menghukum korporasi yang melakukan
pelanggaran hukum namun malah “sibuk” mempersiapkan berbagai kompetisi di
tingkat lokal. Ditambah menjaga perilaku penguasa yang biasa dikenal dengna istilah
“pencitraan”.
Peran
dan tanggung jawab negara “semakin lambat”, abai, absen bahkan cenderung
“apatis” suara-suara yang dikumandangkan oleh rakyat. Rakya harus
memulai “pengaduan” berjenjang dari Kepala Desa, camat, Pemerintahan daerah
hingga ke jakarta. Di Jakarta harus mengeliling berbagai instansi baik di DPR,
Komnas HAM, Kementerian, hingga berdemonstrasi di depan istana.
Suara
yang disampaikan sama. Namun nadanya semakin lirih berlalunya waktu. Mereka
harus berhadapan dengan kelompok korporasi yang “dibantu” oleh penguasa.
Di
tengah rasa apatis, inisiatif korporasi terus bergulir dan semakin menancapkan
eksistensinya. Berbagai forum internasional digagas untuk “memaksa”
korporasi agar tertib dengan mekanisme yang disepakati.
Berbagai
pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi kemudian bisa disuarakan dalam
forum-forum internasional untuk membantu menjadi “pintu” jalan keluar
dari berbagai kebuntuan persoalan di tengah masyarakat.
Praktis
selama 2 tahun terakhir ini, saya berkesempatan “menyaksikan” berbagai
inisiatif korporasi yang langsung berhimpitan dengan persoalan di Jambi.
Inisiatif
pertama lahir dari APP, salah satu group raksasa pulp and paper di Indonesia.
APP mencanangkan Komitmen Forest Policy yang diluncurkan Februari 2003.
APP
merupakan “raksasa” pulp and paper di Jambi. Dengan luas konsensi 293
ribu hektar (10 % wilayah kawasan hutan), meliputi 5 kabupaten dan mencakup 120
desa, menempatkan APP sebagai salah satu korporasi penyumbang konflik di Jambi.
Saya
kemudian mengambil sikap untuk menentukan posisi organisasi (standing
organisasi). Sikap ini berangkat dari
dua nilai. Nilai pertama adalah “memastikan “ruang kelola rakyat”. Dan
nilai kedua adalah “keberlanjutan”. Dua nilai inilah yang kemudian
menjadi “harga yang tidak bisa ditawarkan” dalam melihat berbagai model
kebijakan negara. Termasuk juga melihat implementasi Komitmen APP itu sendiri.
Sebagai
bagian dari advokasi yang dilakukan dengan masyarakat, posisi Walhi Jambi
jelas. Mengambil posisi yang berjarak dengan korporasi. Mengambil posisi yang berjarak dengan
korporasi. Posisi ini kemudian biasa
dikenal dengna istilah “outsider”. Posisi ini kemudian mampu melihat
secara obyektif implementasi komitmen yang sudah mereka canangkan.
Namun
mendorong masyarakat untuk menyelesaikan konflik langsung dengan pemegang
keputusan APP merupakan salah satu
bentuk fasilitasi yang bisa dirasakan oleh masyarakat.
Dialektikapun
berseliweran. Sebagian menyesalkan. Sebagian membenarkan.
Saya
tidak berpretensi melakukan evaluasi komitmen APP. Namun yang pasti, wilayah kelola yang
merupakan hak masyarakat kemudian “tidak diganggu” oleh perusahaan.
Praktis masyarakat sudah menikmati “lahan untuk berproduksi” dan bisa
menatap hidupnya lebih tenang.
Tapi
masih banyak ditemukan “praktek buruk” APP untuk memenuhi komitmennya.
Pembunuhan Indra Pelani merupakan “salah satu contoh buruk” bagaimana
pola kekerasan masih digunakan didalam melihat konflik sosial dan penghormatan
masyarakat adat.
Inisiatif
kedua digagas oleh Wilmar dengan tema “nol deforestrasi, nol peatland and no
human exploitasi. Komitmen ini diluncurkan Desember 2013.
Wilmar
merupakan perusahaan raksasa pengekspor sawit dunia (40 %). Di Indonesia
sendiri, Wilmar ditopang oleh 800 suplayer CPO.
Sementara
di Jambi, luas perkebunan sawit yang mencapai 515 ribu hektar, Penguasaan tanah
untuk perkebunan kelapa sawit hanya dikuasai segelintir perusahaan. Sime Darby,
Asian Agri, GAR/Sinar Mas dan Wilmar merupakan perusahaan yang menguasai
wilayah yang cukup luas. Wilmar sendiri mempunyai 54 suplayer[3].
Dari 54 suplayer Wilmar, 31 terletak di kawasan gambut. Terletak Muara Jambi 21
suplayer dan 10 di Tanjabbar. Sedangkan di tempat lain seperti Merangin 6
suplayer, Tebo 5 suplayer, Muara Bungo 5 suplayer, Batanghari 2 suplayer dan
Sarolangun 1 suplayer.
Dalam
perkembangannya, perusahaan yang tergabung di Sime Darby kemudian menjadi
suplayer CPO kepada Wilmar.
Sektor
sawit menyumbang konflik yang cukup besar. Suplayer-suplayer Wilmar merupakan
perusahaan penyebab konflik di Jambi.
Penguasaan
lahan kemudian menyebabkan konflik[4].
Dari data-data konflik yang telah dihimpun oleh Walhi Jambi, maka Data-data
konflik inilah kemudian dilakukan penggambaran secara umum sehingga bisa
menggambarkan dan pandangan multistakeholder untuk membaca konflik. Trend
konflik[5]
menunjukkan hampir seluruh di Kabupaten terjadinya konflik. Merata di berbagai
daerah. Baik dimulai dari hulu (kabupaten Sarolangun dan kabupaten Merangin)
kemudian di daerah tengah (kabuaten Bungo, Kabupaten Tebo dan Kabupaten
Batanghari) dan di daerah hilir (Kabupaten Muara Jambi, Kabupaten Tanjabtim dan
tanjabbar).
Dalam
perjalanannya, konflik sawit belum banyak yang dapat diselesaikan. Sawit di
lahan gambut kemudian telah menyita ruang kelola rakyat. Masyarakat kemudian terhimpit
dan berhadapan dan disekeliling perusahaan sawit.
Sebagai
contoh, Desa Sponjen berhadapan dengan PT. BBS, PT. WSI. Desa Sungai Bungur
berhadapan dengan PT. PHL, PT. RKK, PT. WSI. Desa Sekumbung, Desa Rukam, Desa
Manis Mato berhadapan PT. EWS.
Bahkan
PT. BBS tidak hanya berhadapan dengan Desa Sponen, namun juga harus
menyelesaikan dengan Desa Sogo dan Desa Tanjung.
Penyelesaian
konflik sawit telah dilakukan oleh masyarakat. Namun proses belum dapat
diselesaikan. Momentum pembenahan yang dicanangkan oleh Wilmar merupakan salah
satu peluang memastikan perusahaan tunduk kepada komitmen untuk memastikan
ruang kelola masyarakat. Upaya yang dilakukan selain memastikan perusahaan
tunduk kepada komitmen juga mendorong resolusi konflik dan menghormati masyarakat.
Upaya yang dilakukan adalah menghentikan cara-cara kekerasan, menghormati
masyarakat adat/local dan mendorong resolusi konflik.
Tentu
saja “inisiatif korporasi” merupakan salah satu “pintu”
memecahkan kebutuan jalur konvensional advokasi. Pintu yang “mempertemukan”
antara masyarakat korban dengan pemegang kunci dari perusahaan. Pintu yang
selama ini cukup lama ditembus, berputar-putar dan memakan waktu panjang.
Namun
“inisiatif korporasi” tidak menghilangkan “tanggung jawab negara”.
Inisiatif korporasi tidak menggantikan “tanggungjawab” negara.
Negara
harus terus “diingatkan, diteriakkan agar menjalankan tugas. Memberikan
kesejahtaeraan kepada rakyat dan melindungan sumber daya alam agar tidak
dinikmati cuma “segelintir” orang.
Tugas saya terus mendesakkan kepada negara untuk melaksanakan
tanggungjawab negara.
[1] http://silk.dephut.go.id/index.php/info/svlk
[2] www.rspo.org
[3] Data mentah yang disampaikan oleh
Aidenvironment
[4] Catatan Walhi 1999-2013, jumlah konflik Sumber
daya alam mencapai 80 konflik. 27 kasus diprioritaskan untuk diselesaikan. Tim
Inventarisasi dan Resolusi Konflik Pemerintah Propinsi Jambi tahun 2010
[5] Catatan ini bersumber dari kliping media
massa lokal sejak tahun 1999 – 2012, Walhi Jambi Data menunjukkan konflik yang
terjadi sekitar 300 -an konflik. 80 konflik berkaitan dengan sumber daya alam
dan 27 konflik diprioritaskan untuk diselesaikan