23 Juni 2015

opini musri nauli : PERBEDAAN ADALAH RAHMAT

Sebagai sebuah gagasan, kita bisa saja berbeda pendapat dengan siapapun. Baik terhadap komunitas yang sama, komunitas yang berbeda ataupun dengan orang yang belum kita kenal sekalipun. Didalam perbedaan itulah, maka kita bisa meyakini argumentasi kita dan bisa memami argumentasi lawan sekalipun. Tidak ada yang benar. Tidak ada yang salah. Selama argumentasi itu bisa dijadikan dasar untuk bersikap, maka argumentasi berbedapun kita letakkan sebagai kekayaan sebuah tema yang kita didiskusikan.


Sekedar perbandingan, saya pernah berdiskusi terbuka mengenai tema bagaimana hokum acara pidana menerapkan kasus Soeharto tahun 2001. Saya menolak keras dengan alasan “sakit’ kemudian meminta agar kasus Soeharto “dihentikan’. Menurut KUHAP, sakit hanya “menunda”  bukan “menghentikan” sebuah kasus hokum. Sebuah esensi yang berbeda dengan “menunda” dengan “menghentikan” proses hokum kasus Soeharto. Walaupun kemudian keduanya tidak juga “bisa melanjutkan pemeriksaan hokum terhadap Soeharto”. KPK terakhir justru menerapkan hal yang sama ketika seorang Deputi Gubernur “Dinyatakan” sakit dan belum sama sekali diperiksa hingga ajal menjemputnya. Hukum kemudian menempatkan terhadap “sakit” maka pemeriksaan tidak bisa dilanjutkan. Namun tidak bisa menghentikan perkara.

Begitu juga terhadap pelaksanaan hukuman mati tahun 2007. Saya menolak pelaksanaan hukuman mati terhadap kasus apapun. Terlepas daripada hasil riset yang menyatakan tidak relevan menerapkan hukuman mati dan bisa mengurangi tingkat kejahatan, dasar hokum menolak hukuman mati telah diatur didalam konstitusi. Hak hidup sebuah hak yang tidak bisa dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun.

Terlepas kemudian MK “terbelah” memutuskan terhadap kejahatan tertentu dimungkinkan dilaksanakan hukuman mati, saya tetap menghormati argumentasi yang masih menggunakan protocol hukuman mati terhadap kejahatan tertentu.

Argumentasi yang menolak hukuman mati ataupun yang mendukung hukuman mati merupakan salah satu polemic hokum yang paling rumit. Dilihat dari barisan yang mendukung hukuman mati maupun yang menolak hukuman mati sama-sama kuat, maka argumentasi menempatkan hukuman mati terhadap kejahatan tertentu masih bisa dipahami dari konteks penegakkan hokum.

Menjelang Pemilu 2014, saya juga pernah berdebat tentang “seseorang yang tersangkut pidana” kemudian tidak bisa mendaftar menjadi anggota parlemen. Menggunakan pasal-pasal tentang “hak dipilih”  sebagaimana diatur didalam KUHP, maka selama tidak ada satupun keputusan pengadilan yang menyatakan “hak dipilih” tidak dicabut, maka seseorang tidak boleh dirampas haknya untuk dipilih. Sebuah diskriminasi yang kemudian “dilegalkan” oleh peraturan di bawah UU.

Bahkan saya juga turut berbeda pendapat menggunakan “istilah HAM kebablasan” dari kampus. Sebuah istilah yang menyamarakatan dengan implementasi HAM dan prinsip-prinsip dasar HAM

Belum lagi berbagai tema politik, cara pandang sebuah norma hokum yang sering saya tuliskan di corong media.

Cerita yang saya paparkan sekedar gambaran, bagaimana berbagai tema yang dihadirkan menarik untuk didiskusikan. Tentu saja tema yang ditawarkan berangkat dari pengalaman, pandangan politik, paradigm, pekerjaan bahkan kehidupan sehari-hari.

Karena pekerjaan saya, saya kemudian banyak menemukan “ketidakadilan”, diskriminasi, perlakuan sepihak bahkan berbagai ketimpangan yang jauh dari jargon-jargon yang sering disuarakan didalam mimbar, kampus, buku ataupun pernyataan.

Dari sudut yang sempit, dari jalanan becek, dari jembatan yang reot, dari rumah yang diterangi lampu teplok, dari kendaraan roda dua menyusur pedalaman kemudian saya bisa bersuara bebas tanpa beban.

Saya tidak peduli apa yang disampaikan oleh Antonia Gramsi tentang suara “kaum” intelektual mekanik yang terjebak di menara gading. Bagi saya untuk menyuarakan “kebenaran’, Saya juga tidak peduli kemudian “pandangan” yang terbakar emosinya melihat argumentasi saya. Bagi saya, kebenaran harus terus disuarakan walaupun “terdengar lirih” di tengah malam gulita.

Apakah karena perbedaan itu kemudian saya harus “berbeda” dengan sang mitra diskusi saya ?. Sama sekali tidak. Justru dalam keseharian kami terus berdiskusi dengan tema yang lain. Masih banyak berbagai tema yang bisa membuat kami kemudian tertawa. Masih banyak tema yang kami didiskusikan membuat dunia tidak “terjebak” kepada perbedaan semata.

Bahkan dalam berbagai kesempatan justru saya diminta membahas tema  yang lain. Termasuk menulis di jurnal kampus, mengisi talkshow televisi bahkan diminta dalam diskusi kecil dalam forum terbatas.

Mereka yang berbeda pendapat dengan saya tetap menjadi teman dan berdiskusi dengan berbagai tema lain. Dunia terlalu indah untuk kita berbeda pendapat.

Mari kita tatap Indonesia dengan optimis. Berbagai tema diskusi “memperkuat” jalinan silahturahmi.