Sebagai sebuah gagasan, kita bisa saja berbeda
pendapat dengan siapapun. Baik terhadap komunitas yang sama, komunitas yang
berbeda ataupun dengan orang yang belum kita kenal sekalipun. Didalam perbedaan
itulah, maka kita bisa meyakini argumentasi kita dan bisa memami argumentasi
lawan sekalipun. Tidak ada yang benar. Tidak ada yang salah. Selama argumentasi
itu bisa dijadikan dasar untuk bersikap, maka argumentasi berbedapun kita
letakkan sebagai kekayaan sebuah tema yang kita didiskusikan.
Sekedar perbandingan, saya pernah berdiskusi
terbuka mengenai tema bagaimana hokum acara pidana menerapkan kasus Soeharto
tahun 2001. Saya menolak keras dengan alasan “sakit’ kemudian meminta agar
kasus Soeharto “dihentikan’. Menurut KUHAP, sakit hanya “menunda” bukan “menghentikan” sebuah kasus hokum.
Sebuah esensi yang berbeda dengan “menunda” dengan “menghentikan” proses hokum
kasus Soeharto. Walaupun kemudian keduanya tidak juga “bisa melanjutkan pemeriksaan
hokum terhadap Soeharto”. KPK terakhir justru menerapkan hal yang sama ketika
seorang Deputi Gubernur “Dinyatakan” sakit dan belum sama sekali diperiksa
hingga ajal menjemputnya. Hukum kemudian menempatkan terhadap “sakit” maka
pemeriksaan tidak bisa dilanjutkan. Namun tidak bisa menghentikan perkara.
Begitu juga terhadap pelaksanaan hukuman mati tahun
2007. Saya menolak pelaksanaan hukuman mati terhadap kasus apapun. Terlepas
daripada hasil riset yang menyatakan tidak relevan menerapkan hukuman mati dan
bisa mengurangi tingkat kejahatan, dasar hokum menolak hukuman mati telah
diatur didalam konstitusi. Hak hidup sebuah hak yang tidak bisa dikurangi oleh
siapapun dan dalam keadaan apapun.
Terlepas kemudian MK “terbelah” memutuskan terhadap
kejahatan tertentu dimungkinkan dilaksanakan hukuman mati, saya tetap
menghormati argumentasi yang masih menggunakan protocol hukuman mati terhadap
kejahatan tertentu.
Argumentasi yang menolak hukuman mati ataupun yang
mendukung hukuman mati merupakan salah satu polemic hokum yang paling rumit.
Dilihat dari barisan yang mendukung hukuman mati maupun yang menolak hukuman
mati sama-sama kuat, maka argumentasi menempatkan hukuman mati terhadap
kejahatan tertentu masih bisa dipahami dari konteks penegakkan hokum.
Menjelang Pemilu 2014, saya juga pernah berdebat
tentang “seseorang yang tersangkut pidana” kemudian tidak bisa mendaftar
menjadi anggota parlemen. Menggunakan pasal-pasal tentang “hak dipilih” sebagaimana diatur didalam KUHP, maka selama
tidak ada satupun keputusan pengadilan yang menyatakan “hak dipilih” tidak
dicabut, maka seseorang tidak boleh dirampas haknya untuk dipilih. Sebuah
diskriminasi yang kemudian “dilegalkan” oleh peraturan di bawah UU.
Bahkan saya juga turut berbeda pendapat menggunakan
“istilah HAM kebablasan” dari kampus. Sebuah istilah yang menyamarakatan dengan
implementasi HAM dan prinsip-prinsip dasar HAM
Belum lagi berbagai tema politik, cara pandang
sebuah norma hokum yang sering saya tuliskan di corong media.
Cerita yang saya paparkan sekedar gambaran,
bagaimana berbagai tema yang dihadirkan menarik untuk didiskusikan. Tentu saja
tema yang ditawarkan berangkat dari pengalaman, pandangan politik, paradigm,
pekerjaan bahkan kehidupan sehari-hari.
Karena pekerjaan saya, saya kemudian banyak
menemukan “ketidakadilan”, diskriminasi, perlakuan sepihak bahkan berbagai
ketimpangan yang jauh dari jargon-jargon yang sering disuarakan didalam mimbar,
kampus, buku ataupun pernyataan.
Dari sudut yang sempit, dari jalanan becek, dari
jembatan yang reot, dari rumah yang diterangi lampu teplok, dari kendaraan roda
dua menyusur pedalaman kemudian saya bisa bersuara bebas tanpa beban.
Saya tidak peduli apa yang disampaikan oleh Antonia
Gramsi tentang suara “kaum” intelektual mekanik yang terjebak di menara gading.
Bagi saya untuk menyuarakan “kebenaran’, Saya juga tidak peduli kemudian
“pandangan” yang terbakar emosinya melihat argumentasi saya. Bagi saya,
kebenaran harus terus disuarakan walaupun “terdengar lirih” di tengah malam
gulita.
Apakah karena perbedaan itu kemudian saya harus
“berbeda” dengan sang mitra diskusi saya ?. Sama sekali tidak. Justru dalam
keseharian kami terus berdiskusi dengan tema yang lain. Masih banyak berbagai
tema yang bisa membuat kami kemudian tertawa. Masih banyak tema yang kami
didiskusikan membuat dunia tidak “terjebak” kepada perbedaan semata.
Bahkan dalam berbagai kesempatan justru saya
diminta membahas tema yang lain.
Termasuk menulis di jurnal kampus, mengisi talkshow televisi bahkan diminta
dalam diskusi kecil dalam forum terbatas.
Mereka yang berbeda pendapat dengan saya tetap
menjadi teman dan berdiskusi dengan berbagai tema lain. Dunia terlalu indah
untuk kita berbeda pendapat.
Mari kita tatap Indonesia dengan optimis. Berbagai
tema diskusi “memperkuat” jalinan silahturahmi.