Dalam perjalanan seminggu lebih mengitari 3
kabupaten (Kabupaten Merangin, Kabupaten
Sarolangun dan Kabupaten Tebo. Kabupaten Sarolangun merupakan kabupaten
pemekaran dari Kabupaten Sarko. Sedangkan Kabupaten Tebo merupakan kabupaten Pemekaran
dari kabupaten Bute), mendengarkan hasil riset di 8 Desa (3 Desa di
Kabupaten Merangin, 5 Desa di kabupaten Sarolangun), mendengarkan suara
“menggelegar” dari rakyat yang selama ini menjaga hutan, akhirnya saya
menemukan sebuah identitas khas milik rakyat. Identitas rakyat yang memandang
hutan. Elsbeth Locher Sholten menyebutkandengan istilah “Jambi Hulu”[1]
Ceritanya kemudian menggugah saya kemudian “memaknai” arti sebuah nilai. Nilai yang
masih hidup dan dihormati masyarakat. Di tengah bacaan asing, literature barat,
istilah rumit, mereka kemudian mampu mendeskripsikan sebagai sebuah nilai yang
agung. Nilai identitas sebagai komunitas masyarakat adat.
Sebagai bagian dari masyarakat hukum adat (MHA), MHA
mendeskripsikan sebagai “hak ulayat”. Van vollenhoven
didalam bukunya “Miskenningen
van het adatrecht” menyebutkan Beschikkingrecht (hak ulayat). Untuk memudahkan Beschikkingrecht (hak ulayat), Van
vollenhoven menyebutkan ciri-ciri. (1)Persekutuan hukum itu dan
anggota-anggotanya dapat mempergunakan tanah hutan belukar di dalam wilayahnya
dengan bebas, seperti membuka tanah, mendirikan perkampungan, memungut
hasilnya, berburu, mengembala dan lain sebagainya. (2)Bukan anggota persekutuan
hukum dapat pula mempergunakan hak atas tanah itu, tetapi atas pemberian ijin
dari persekutuan hukum itu. (3)Dalam mempergunakan tanah itu yang bukan anggota
selalu harus membayar sesuatu (recognitie). (4) Persekutuan hukum mempunyai
tanggung jawab atas beberapa kejahatan tertentu yang terjadi di dalam
lingkungan wilayahnya, bilamana orang yang melakukan kejahatan itu sendiri
tidak dikenal. (5) Persekutuan hukum tidak boleh memindah tangankan haknya
(menjual, menukarkan, memberikan) untuk selama-lamanya kepada siapapun juga.
(6) Persekutuan hukum mempunyai hak percampuran tangan terhadap tanah-tanah
yang telah digarap, seperti dalam pembagian pekarangan, dan jual beli tanah dan
lain sebagainya.
Sedangkan Ter Haar menyebutkan identifikasi
masyarakat hukum adat[2].
- Adanya tempat yang dilarang. Yusmar Yusuf menyebutkannya “rimbo simpanan atau rimbo larangan[3]”. Tideman melaporkan sebagai “rimbo gano[4]”.
- Masyarakat bersama-sama dapat mengambil manfaat dari tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan yang terdapat dalam hutan.
- Mereka mempunyai hak untuk membuka hutan dengan sepengetahuan Depati (volkshoofd).
- Depati kemudian menyetujui dan memberitahukan kepada Pesirah.
- Apabila tidak digarap, “sesap rendah, belukar tinggi”, maka hak untuk menggarap tanah menjadi hilang.
- Sedangkan apabila ditanami tanaman keras dan diberi tanda-tanda
- Diluar dari masyarakat yang membuka hutan tanpa persetujuan dari Depati atau Pesirah, maka “Hilang mati”.
- Pengakuan hak milik. Terhadap masyarakat yang membuka hutan telah sesuai dengan tata cara di Desa “seperti memberitahukan Depati atau pesirah, memberikan tanda seperti tanaman buah-buahan, maka adanya pengakuan hak milik.
Untuk
melihat ketiga MHA, maka kita bisa melihat ciri-ciri yang disampaikan oleh Van
vollenhoven dan Ter Haar. Sebagai identitas, ketiga MHA mampu menjelaskan
wilayah-wilayah desa dengan baik. Cara menentukan wilayah biasa dikenal dengan
istilah “Tambo”[5].
Tambo kemudian ditafsirkan sebagai “wilayah desa yang ditandai dengan
batas-batas alam”.
Semua Desa mengenal Pantang-larang yaitu daerah yang tidak boleh dibuka. Di Batangasai
mereka menyebutkan “Teluk Sakti. Rantu
betuah. Gunung Bedewo. Di Sungai Tenang (Merangin) mereka menyebutkan “Rimbo
Sunyi. Tempat siamang beruang putih. Tempat Ungko berebut tangis”. Sedangkan di
Tebo “Hutan Keramat. Rimbo Kuwao”.
Daerah-daerah yang tidak boleh dibuka merupakan hulu
sungai, tempat “keramat”, tempat
hutan keramat yang kemudian “dioverlay”
dengan pemetaan partisipatif merupakan daerah kawasan hutan lindung atau dengna
kemiringan diatas 30’. Dengan demikian maka pengetahuan masyarakat tentang
hutan telah terbukti dalam pembuktian pemetaan modern dan tidak bertentangan
dengan “pentingnya menjaga kawasan hutan”.
Selain
daerah-daerah yang tidak boleh dibuka, MHA juga mengagungkan tanaman yang tidak
boleh ditebang/dipanjat. Pohon-pohon
itu tidak diboleh ditebang seperti pohon durian, duku, bedaro, manggis, petai
dan pohon sialang.
Dalam proses membuka hutan, MHA tunduk dengan seloko “alam sekato rajo. Negeri sekato bathin”.
Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung. Hak ini kemudian dikenal dengan
istilah hak Membuka Tanah (ontginningrecht). Ada proses pembagian terhadap yang berhak membuka hutan,
waktu dan luas yang diberikan. Proses ini masih dihormati sehingga hutan masih
terjaga dan diwariskan untuk anak cucu.
Sedangkan apabila
tidak digarap, “sesap rendah, belukar
tinggi atau Empang krenggo”, maka hak untuk menggarap tanah menjadi hilang.
Dalam teori hak individu atas tanah, biasa dikenal dengan “hak wenang pilih”. Sehingga hak seperti Hak Menikmati (genotrecht)
dan dan memiliki hak terdahulu (voorkersrecht)
atas tanah yang digarapnya Atau ”Qui prior et tempore, potior est in jure orang yang pertama datang adalah orang yang paling pertama mendapat hak tidaklah
bersifat mutlak. Hak ini akan hapus apabila “sesap rendah, belukar tinggi. Tiderman memberikan istilah ”tanah belukar tuo dan tanah belukar mudo. Dalam
ujaran adat juga dikenal ”harta berat
ditinggalkan. Harta ringan dibawa”.
Terhadap tanaman keras harus diberi tanda berupa
tanaman buah-buahan seperti durian, maka hak miliknya dilindungi oleh
Dusun. Mereka mengenal dengan istilah “hilang celak dengan mentaro”, atau cacak tanam, jambu kleko”, atau
“lambas”. Tiderman memberikan istilah ”Tanah sesap”.
Diluar dari masyarakat yang membuka hutan tanpa
persetujuan dari Depati atau Pesirah, maka “Hilang
mati”. Segala sesuatu tidak diurus. “mati tidak diurus”. Van Vollenhoven
merumuskan sebagai “delik”.
Bentuk Pengakuan hak milik. Terhadap masyarakat yang
membuka hutan telah sesuai dengan tata cara di Desa “seperti memberitahukan Depati atau pesirah, memberikan tanda seperti
tanaman buah-buahan, maka adanya pengakuan hak milik. Hak milik kemudian
diakui. Soepomo merumuskan dengan istilah “kepemilikan
hak milik membuka peluang bagi pemiliknya untuk berbuat apa saja terhadap tanah
yang dimilikinya”. Namun tidak dikenal adanya jual beli. Apabila
adanya jual beli tanah, maka hak milik menjadi hapus dan tanah kembali ke
Dusun. Dalam teori lain disebutkan dengan istilah “tak terpisahkan tetapi dapat dibedakan”.
Van
Vollenhoven merumuskan “het hoagste
richtten aauzien van garand”, artinya hak tertinggi terhadap tanah dalam
hukum adat yang memberi kewenangan kepada masyarakat hukum adat tertentu atas
wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil
manfaat atau hasil-hasil yang ada di wilayah masyarakat hukum adat tersebut dan
tanah ulayat tersebut merupakan tanah kepunyaan bersama pada warganya. Lebih
dikenal dengan istilah penguasaan tanah (tenure security).
Dengan
persekutuan hukum (rechtsgemeenshap),
kemudian memiliki hak perseorangan. Hak perorangan itu ialah suatu hak yang
diberikan kepada warga ataupun orang luar atas sebidang tanah yang berada di
wilayah hak ulayat (purba) persekutuan yang bersangkutan. Ada 6 (enam) macam hak perorangan yang
terpenting: (1) hak milik, hak yasan (inlandsbezitsrecht); (2) hak wenang
pilih, hak kinacek, hak mendahulu (voorkeursrecht); (3) hak menikmati hasil
(genotrecht); (4) hak pakai (gebruiksrecht) dan hak menggarap/mengolah
(ontginningsrecht); (5) hak imbalan jabatan (ambtelijk profijt recht) dan (6)
hak wenang beli (naastingsrecht)
Ketiga
kawasan merupakan daerah penyangga (landscape) Taman nasional Kerinci Sebelat
dan Taman Nasional Bukit 30. Kawasan hutan yang tersisa setelah hancurnya hutan
di berbagai tempat di Jambi.
Lalu mengapa setelah MHA terbukti menjaga hutannya
kemudian masih “disosialisasikan”
model pengelolaan diluar yang dikenal masyarakat ?
[1] Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera dan Negara
Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme
Belanda, KITLV, Jakarta, 2008
[2] Myrna Savitri, Negara dan pluralisme hukum - Kebijakan pluralisme hukum di Indonesia pada
masa kolonial dan masa kini, BERAGAM JALUR MENUJU KEADILAN PLURALISME HUKUM DAN
HAK-HAK MASYARAKAT ADAT DI ASIA TENGGARA, Penerbit Epistema Institute, Jakarta
[3] Yusmar Yusuf, Studi Melayu, Penerbit WEDATAMA WIDYA SASTRA, Jakarta,
2009
[4] F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial
Institutut, Amsterdam, 1938
[5] Tambo
berasal dari bahasa sanskerta, tambay yang artinya bermula. (wikipedia). Dalam
tradisi masyarakat Minangkabau, tambo merupakan suatu warisan turun-temurun
yang disampaikan secara lisan. Kata tambo atau tarambo dapat juga bermaksud
sejarah, hikayat atau riwayat. Lihat Sangguno Diradjo, Dt. Tambo Alam
Minangkabau, Balai Pustaka, Jakarta, 1954. Mengenai istilah “Tambo”, dapat
didefinisikan sebagai cara penetapan suatu wilayah berdasarkan batas-batas
alam. Maka didalam melihat sebuah wilayah klaim adat baik Margo maupun dusun
dilakukan dengan bertutur adat.
Tambo ini menerangkan berdasarkan kepada
tanda-tanda alam seperti nama gunung, bukit, sungai, lembah, dan sebagainya.
Tanda-tanda berdasarkan kepada Tambo masih mudah diidentifikasi dan masih
terlihat sampai sekarang. Bandingkan definisi yang diberikan oleh Erman
Rajagukguk didalam tulisannya “PEMAHAMAN RAKYAT TENTANG HAK ATAS TANAH, Prisma,
9 September 1979, mendefinisikan Tambo “Proses pembukaan daerah baru semacam
ini diperoleh dari cerita Tambo lama Sumatera. Versi yang sama juga terjadi pada
pembukaan tanah di Kalimantan sebagaimana riwayat Sultan Adam yang dituangkan
oleh Abdurrahman SH dan Drs. Syamsiar Seman mengenai Undang undang Sultan Adam,
dalam majalah Orientasi, nomor 2, Januari 1977. Begitu juga ketika Sri
Susuhunan Paku Buwono IV ingin memperluas wilayahnya ke utara (Lihat G.A. Basit
Adnan, “Tandus tanahnya, Subur Islamnya dalam Panji Masyarakat, nomor 233, 15
Oktober 1977). Kisah kisah tersebut diangkat oleh Sayuti Thalib SH dalam “Telah
Tercipta Hak Ulayat Baru”, majalah Hukum dan Pembangunan, nomor 1, Tahun VIII,
Januari 1978