30 Desember 2015

opini musri nauli : INTELEKTUAL TUKANG DI MENARA GADING


Kebakaran yang meluluhlantak langit 5 Propinsi tidak hanya meninggalkan duka yang mendalam terhadap rakyat yang terpapar asap. Dalam kurun Juli-September 2015,kebakaran sudah menghanguskan 135 ribu hektar di Jambi. 80% titik api terletak di areal perizinan perusahaan.

Namun fakta-fakta ini kemudian dimanipulir untuk menutupi jejak borok korporasi. Desain awal mulai disusun sembari tiarap melihat peluang menghilangkan jejak.

Langkah pertama dilakukan dengan berkilah “tidak mungkin korporasi melakukan kebakaran”. Dengan menggunakan rumus matematika, perusahaan berkelit menyebutkan kerugian 18 juta rupiah/hektar apabila terjadinya kebakaran.

Namun sang pengelit sering lupa kalimat tegas pasal 49 UU Kehutanan, pasal 56 UU Perkebunan, pasal 18 PP No. 4 tahun 2001 dan pasal 20 PP No. 45 tahun 2004. Kalimat penegas dari rumusan peraturan sudah mengamandatkan asas “absolute liability”. Adanya tanggung jawab yang melekat terhadap pemegang izin tanpa melihat sebab dari kebakaran yang terjadi di arealnya.

Daya kelit ini kemudian tenggelam setelah memasuki bulan Oktober, asap semakin menjadi-jadi dan menutupi langit Jambi dan menutup bandara 4 bulan lebih.

 Memasuki Oktober setelah daya kelit pertama tidak berhasil, maka “bantahan” kedua mulai dilayangkan ke udara. Alasanpun mulai berkelit melepas tanggungjawab. Dengan enteng korporasi berkelit “kebakaran di tempat kami bukan penyebab asap tahun 2015. Di tempat lain juga terjadi kebakaran”. Lagi-lagi sang pengelit belum paham rumusan peraturan tadi. Asas “Absolute liability” tidak menghapuskan tanggungjawab pemegang izin, walaupun adanya kebakaran di tempat lain. Itu perintah UU. Itu perintah konstitusi. Dan itu tanggungjawab pemegang izin di areal yang terbakar.

Entah belajar dari pengalaman dan mulai membuka literature hukum untuk kembali berkelit. Korporasi ditopang akademisi “tukang” mulai mempersoalkan pasal 69 UU Lingkungan Hidup yang “membenarkan membakar” untuk masyarakat adat. Dan kampanye ini cukup massif dengan mengirimkan “agen” atau mata-mata untuk menghadiri berbagai pertemuan formal atau forum diskusi untuk “melepaskan” tanggungjawab korporasi.

Pasal 69 kemudian menjadi mantra untuk melepaskan tanggungjawab korporasi. Atau dengan kata lain, pasal 69 juga menyumbang kebakaran tahun 2015.

Saya kemudian tersadar. Desain ini cukup canggih dan mulai memakan korban godaan dan rayuan untuk melihat kebakaran.

Entah “kepleset” atau informasi yang kurang utuh, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sempat “mempersoalkan” masyarakat yang dituduh juga membakar. Sikap yang kemudian diralat setelah melihat data-data di lapangan dan menganalisis pasal 69 dengan terjadinya kebakaran.

Namun yang menjadi sikap kecewa adalah ketika intelektual-intelektual di Indonesia mulai mempersoalkan pasal 69 UU Lingkungan Hidup. Sikap kecewa saya kemudian ditambah kenyataan bagaimana intelektual kemudian mulai mengotak-atik pasal 69 sebagai “batu loncatan” untuk menghancurkan UU No. 32 tahun 2009.

Secara tegas Pasal 69 “mencantumkan” larangan membuka lahan dengan cara membakar. Makna ini tidak bisa “dipelintir” dengan “membolehkan” membuka lahan dengan cara membakar. Didalam pasal 69 ayat (2) UU LH, makna “pembolehan” setelah melewati kriteria ketat dan klasifikasi khusus. Tidak mudah mengidentifikasikan masyarakat adat dengan kriteria ketat.

Dalam praktek, periode “membersihkan lahan” telah diatur didalam mekanisme adat. Periodik, cara, siapa yang boleh membersihkan lahan bahkan dilakukan dalam ritual tertentu. Ritual tertentu bahkan harus menghitung hari untuk “turun ke sawah” hingga penentuan hari mulai membersihkan lahan. Ritual ini tidak serentak antara satu komunitas dengan komunitas lain. Praktek yang sudah lama terjadi praktis tidak menyebabkan kebakaran yang massif yang terjadi tahun 2015. Banyak catatan yang bisa pelajari dari perjalanan ritual.

Dalam dimensi yang terpisah, Untuk menambah referensi saya, saya kemudian mulai menggali informasi “intelektual’ yang bersuara kencang “mempersoalkan” pasal 69 untuk “melepaskan tanggungjawab korporasi tahun 2015. Hasilnya sungguh mencengangkan.

Pertama. Banyak “intelektual” yang terlibat dalam proses pembangunan industry yang terlibat kebakaran. Intelektual bisa sebagai konsultan hingga sebagai tenaga akademis yang merupakan bagian dari pekerjaan pembangunan industry.

Dalam kebakaran, mereka abai dengan derita yang harus ditanggung oleh rakyat yang terpapar asap. Mereka “sibuk” di dunia kampus dan lebih meyakini data-data yang mereka miliki tanpa melihat kenyataan di lapangan.

Kedua. Intelektual yang lebih suka data meja (data desktop) daripada data lapangan. Mereka lebih percaya kepada literature berbahasa asing daripada “cerita” dari kampong.

Ketiga. Intelektual yang tidak pernah turun ke lapangan. Mereka lebih percaya kepada hasil-hasil seminar, diskusi kampus tanpa melihat realitas di kampong.

Kenyataan ini pernah saya temukan dalam forum ilmiah ketika salah satu intelektual kampus dengan “enteng” bertanya. “TIDAK ADA MASYARAKAT ADAT’.

Melihat kenyataan yang terjadi di kampus, tidak salah kemudian saya melihat intelektual yang mengagungkan “egonya” sebagai “intelektual tukang”. Yang bisa mengerjakan apapun ‘sesuai pesanan” tanpa mengedepankan hati nurani. Mereka lebih menikmati “dunia khayal” di menara gading.


Dimuat di Jambiaktual, 16 Januari 2016

http://jambiaktual.com/intelektual_tukang_di_menara_gading_berita287.html