Kebakaran yang meluluhlantak
langit 5 Propinsi tidak hanya meninggalkan duka yang mendalam terhadap rakyat
yang terpapar asap. Dalam kurun Juli-September 2015,kebakaran sudah
menghanguskan 135 ribu hektar di Jambi. 80% titik api terletak di areal
perizinan perusahaan.
Namun fakta-fakta ini kemudian
dimanipulir untuk menutupi jejak borok korporasi. Desain awal mulai disusun
sembari tiarap melihat peluang menghilangkan jejak.
Langkah pertama dilakukan dengan
berkilah “tidak mungkin korporasi
melakukan kebakaran”. Dengan menggunakan rumus matematika, perusahaan
berkelit menyebutkan kerugian 18 juta
rupiah/hektar apabila terjadinya kebakaran.
Namun sang pengelit sering lupa
kalimat tegas pasal 49 UU Kehutanan, pasal 56 UU Perkebunan, pasal 18 PP No. 4
tahun 2001 dan pasal 20 PP No. 45 tahun 2004. Kalimat penegas dari rumusan
peraturan sudah mengamandatkan asas “absolute
liability”. Adanya tanggung jawab yang melekat terhadap pemegang izin tanpa
melihat sebab dari kebakaran yang terjadi di arealnya.
Daya kelit ini kemudian tenggelam
setelah memasuki bulan Oktober, asap semakin menjadi-jadi dan menutupi langit
Jambi dan menutup bandara 4 bulan lebih.
Memasuki Oktober setelah daya kelit pertama
tidak berhasil, maka “bantahan” kedua
mulai dilayangkan ke udara. Alasanpun mulai berkelit melepas tanggungjawab.
Dengan enteng korporasi berkelit “kebakaran
di tempat kami bukan penyebab asap tahun 2015. Di tempat lain juga terjadi
kebakaran”. Lagi-lagi sang pengelit belum paham rumusan peraturan tadi.
Asas “Absolute liability” tidak
menghapuskan tanggungjawab pemegang izin, walaupun adanya kebakaran di tempat
lain. Itu perintah UU. Itu perintah konstitusi. Dan itu tanggungjawab pemegang
izin di areal yang terbakar.
Entah belajar dari pengalaman dan
mulai membuka literature hukum untuk kembali berkelit. Korporasi ditopang
akademisi “tukang” mulai
mempersoalkan pasal 69 UU Lingkungan Hidup yang “membenarkan membakar” untuk masyarakat adat. Dan kampanye ini cukup
massif dengan mengirimkan “agen” atau
mata-mata untuk menghadiri berbagai pertemuan formal atau forum diskusi untuk “melepaskan” tanggungjawab korporasi.
Pasal 69 kemudian menjadi mantra
untuk melepaskan tanggungjawab korporasi. Atau dengan kata lain, pasal 69 juga
menyumbang kebakaran tahun 2015.
Saya kemudian tersadar. Desain ini
cukup canggih dan mulai memakan korban godaan dan rayuan untuk melihat
kebakaran.
Entah “kepleset” atau informasi yang kurang utuh, Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan sempat “mempersoalkan”
masyarakat yang dituduh juga membakar. Sikap yang kemudian diralat setelah
melihat data-data di lapangan dan menganalisis pasal 69 dengan terjadinya
kebakaran.
Namun yang menjadi sikap kecewa
adalah ketika intelektual-intelektual di Indonesia mulai mempersoalkan pasal 69
UU Lingkungan Hidup. Sikap kecewa saya kemudian ditambah kenyataan bagaimana
intelektual kemudian mulai mengotak-atik pasal 69 sebagai “batu loncatan” untuk menghancurkan UU No. 32 tahun 2009.
Secara tegas Pasal 69 “mencantumkan” larangan membuka lahan
dengan cara membakar. Makna ini tidak bisa “dipelintir”
dengan “membolehkan” membuka lahan
dengan cara membakar. Didalam pasal 69 ayat (2) UU LH, makna “pembolehan” setelah melewati kriteria
ketat dan klasifikasi khusus. Tidak mudah mengidentifikasikan masyarakat adat
dengan kriteria ketat.
Dalam praktek, periode “membersihkan lahan” telah diatur didalam
mekanisme adat. Periodik, cara, siapa yang boleh membersihkan lahan bahkan
dilakukan dalam ritual tertentu. Ritual tertentu bahkan harus menghitung hari
untuk “turun ke sawah” hingga
penentuan hari mulai membersihkan lahan. Ritual ini tidak serentak antara satu
komunitas dengan komunitas lain. Praktek yang sudah lama terjadi praktis tidak
menyebabkan kebakaran yang massif yang terjadi tahun 2015. Banyak catatan yang
bisa pelajari dari perjalanan ritual.
Dalam dimensi yang terpisah, Untuk
menambah referensi saya, saya kemudian mulai menggali informasi “intelektual’ yang bersuara kencang “mempersoalkan” pasal 69 untuk “melepaskan tanggungjawab korporasi tahun
2015. Hasilnya sungguh mencengangkan.
Pertama. Banyak “intelektual” yang terlibat dalam proses
pembangunan industry yang terlibat kebakaran. Intelektual bisa sebagai
konsultan hingga sebagai tenaga akademis yang merupakan bagian dari pekerjaan
pembangunan industry.
Dalam kebakaran, mereka abai
dengan derita yang harus ditanggung oleh rakyat yang terpapar asap. Mereka “sibuk” di dunia kampus dan lebih
meyakini data-data yang mereka miliki tanpa melihat kenyataan di lapangan.
Kedua. Intelektual yang lebih suka
data meja (data desktop) daripada
data lapangan. Mereka lebih percaya kepada literature berbahasa asing daripada
“cerita” dari kampong.
Ketiga. Intelektual yang tidak
pernah turun ke lapangan. Mereka lebih percaya kepada hasil-hasil seminar,
diskusi kampus tanpa melihat realitas di kampong.
Kenyataan ini pernah saya temukan
dalam forum ilmiah ketika salah satu intelektual kampus dengan “enteng” bertanya. “TIDAK ADA MASYARAKAT
ADAT’.
Melihat kenyataan yang terjadi di
kampus, tidak salah kemudian saya melihat intelektual yang mengagungkan “egonya” sebagai “intelektual tukang”. Yang bisa mengerjakan apapun ‘sesuai pesanan” tanpa mengedepankan hati
nurani. Mereka lebih menikmati “dunia
khayal” di menara gading.
Dimuat di Jambiaktual, 16 Januari 2016
http://jambiaktual.com/intelektual_tukang_di_menara_gading_berita287.html