Belum
usai kita menyaksikan “orchestra”
asap yang membuat Sumatera dan Kalimantan terpapar, kemudian disuguhkan “orchestra” yang membuat alunan nada
menjadi berbeda.
Di
tengah “mandegnya” proses hukum
terhadap pelaku pembakaran, Pemerintahan Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden
No. 1 Tahun 2016 (Perpres) tentang
Badan Restorasi Gambut (BRG). Perpres
dilahirkan dari “keinginan” Negara
untuk mengembalikan fungsi gambut dengan cara “pemulihan (restorasi)”.
Sebagai
upaya serius dari Negara melihat persoalan kebakaran yang massif di 5 Propinsi (Riau, Jambi, Sumsel, Kalteng dan Kalbar)
yang meluluhlantakan 2 juta hektar, mengakibatkan 25,6 juta orang terpapar asap dan mengakibatkan
324.152 jiwa yang menderita ISPA dan pernafasan lain.
Indeks standar
pencemaran udara (ISPU) melampaui batas berbahaya. Bahkan hingga enam kali
lipat seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. 12 orang
anak-anak meninggal dunia akibat asap dari kebakaran hutan dan lahan. 4 balita
di Kalteng, 3 orang di Jambi, 1 orang di Kalbar, 3 di Riau dan 1 orang di
Sumsel.
Kebakaran kemudian
menyebabkan asap pekat. Menghasilkan
emisi gas rumah kaca (GRK) terutama CO2, N2O, dan CH4 yang berkontribusi terhadap perubahan
iklim. NASA memperkirakan 600 juta ton gas rumah kaca telah dilepas akibat
kebakaran hutan di Indonesia tahun ini. Jumlah itu kurang lebih setara dengan
emisi tahunan gas yang dilepas Jerman.
Namun bukan mengatur
irama “orkestra” terhadap barisan
para “pemegang izin” yang bertanggungjawab
terhadap kebakaran, Pemerintah malah berkonsentrasi upaya “pemulihan (restorasi) areal yang terbakar. Sehingga nada “marah”
rakyat di 5 Propinsi kemudian “disuguhkan”
adegan lain dengan lakon BRG. Sebuah upaya pengalihan yang bisa kemudian
menimbulkan persoalan siapa yang harus “bertanggungjawab (liability)” dari
proses hukum.
Problema pertama
menimbulkan pertanyaan. Bagaimana mekanisme hukum terhadap areal yang terbakar.
Apakah tidak menghilangkan barang bukti terhadap areal yang terbakar ? Apakah
telah “diselesaikan” proses hukum
terhadap pemegang konsensi di areal yang terbakar ?
Problema kedua kemudian
dilihat siapa yang harus menanggung “Biaya”
untuk restorasi ? Apakah terhadap proses pemulihan “kemudian dibebankan” kepada negara kemudian “dimintakan” kepada pemegang izin
untuk mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan oleh negara ? Atau
kemudian negara “mengambil alih”
biaya restorasi
Sebelum menjawab
pertanyaan penting yang telah disampaikan, maka merujuk kepada berbagai
ketentuan yang mengatur tentang kebakaran, maka dapat dilihat secara utuh.
Pertama. Pasal 48, pasal
49 UU No. 41 Tahun 1999, Pasal 56 UU No. 39 Tahun 2013, Pasal 18 PP No. 4 tahun
2001, Pasal 20 PP No. 45 Tahun 2004 telah tegas mengamanatkan “pemegang izin
bertanggungjawab di arealnya”.
Menilik pasal 48 dan pasal 49
UU Kehutanan, pasal 56 ayat (2) UU Perkebunan maka “pemilik izin bertanggungjawab terhadap areal didalam izinnya. Makna
ini kemudian dapat dilihat didalam pasal 20 PP No. 4 Tahun 2001 maupun pasal 18
UU PP No. 45 tahun 2004 dan Permentan No. 47 tahun 2014
Dengan melihat makna “pemilik izin bertanggungjawab terhadap areal
didalam izinnya”, maka pemilik izin kemudian tidak dapat melepaskan
tanggungjawab terhadap kebakaran di arealnya. Asas ini kemudian dikenal asas absolute liability.
Absolute liability kemudian
mengenyampingkan asas “tiada pemidanaan tanpa kesalahan (Geen straf zonder schuld/actus non
facit reum nisi mens sir rea). Dengan demikian maka asas absolute liability kemudian dapat
meminta pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability
without fault) dan mengenyampingkan asas liability based on fault
Asas Absolute liability memberikan beban tanggungjawab lebih besar kepada
pemilik izin daripada asas "strict
liability". Strict liability dimungkinkan
untuk melepaskan tanggung jawab dengan berbagai persayaratan. Misalnya dengan
pembagian resiko atau berbagai model melepaskan tanggungjwabnya (defende).
Makna “tanggungjawab (responbility)” disandingkan
dengan asas “absolute liability”,
maka pemegang izin kemudian dapat dimintakan “pertanggungjawaban (responbility) tanpa melihat “unsur” kesalahan (fault). Dalam asas ini
biasa juga disebutkan “liability without
fault (pertanggungjawaban tanpa kesalahan).
Mahkamah Agung telah
menerapkan dalam putusan PT. Kalista Alam (Aceh) dan PT. Ade Plantation (Riau)
sehingga merupakan yurisprudensi MA. Mekanisme ini secara jamak juga sering
dipraktekkan dalam kasus konsumen. Mekanisme
ini lebih tegas dengan asas “strict
liability” sebagaimana diatur didalam pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 yang
masih memungkinkan pelaku dapat dibebaskan dari tanggungjawabn (defende).
Dengan merujuk kepada
berbagai aturan normatif, asas “absolute
liability” dan yurisprudensi MA, maka “pemegang
izin” tidak dapat dilepaskan dari tanggungjawab (liability) terhadap kebakaran yang terjadi di arealnya. Berdasarkan
mekanisme asas “Absolute liabitity”,
maka tanggungjawab hukum (baik hukum
pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi negara) kemudian dibebankan
kepada “pemegang izin”.
Di bidang hukum pidana
selain bertanggungjawab menjalani proses hukum dan dijatuhi pidana badan, denda
dan ganti rugi. Sedangkan di bidang hukum perdata, maka “pemegang izin” dimintakan pertanggungjawaban terhadap “biaya kerugian” dan biaya pemulihan
sebagaimana didalam pasal 108 UU No. 32 Tahun 2009. Sedangkan di bidang hukum
Tata usaha negara dapat dilakulkukan proses izin dicabut/dikurangi areal.
Kedua. Bagaimana
mekanisme pemulihan lahan gambut yang terbakar (restorasi) yang akan dilakukan oleh BRG ? Merujuk kepada aturan
normatif, “asas Absolute liability” dan
yurisprudensi MA, maka tanggungjawab pemulihan gambut yang terbakar (restorasi)
dibebankan kepada “pemegang izin”.
Dengan demikian, maka menjadi sangat aneh, beban pemulihan gambut yang terbakar
kemudian dibebankan kepada negara melalui BRG.
Ketiga. Dengan melakukan
pemulihan gambut yang terbakar (restorasi) tanpa proses hukum justru akan
menghilangkan barang bukti sehingga mempersulit proses hukum kepada “pemegang izin”. Negara yang mengambil
alih “beban pemulihan gambut yang
terbakar”, kemudian melakukan restorasi membuat “pemegang izin”, dapat dilepaskan dari tanggungjawab hukum (immunity). Sehingga “pemegang izin” menjadi pelaku yang tidak
terjangkau oleh hukum. Sebuah keniscayaan dari asas “Persamaan dimuka hukum (equality before the law).
Keempat. Negara yang
mengambil alih “tanggungjawab”
pemulihan gambut yang terbakar dari “pemegang
izin” kemudian menggunakan dana publik untuk kepentingan “pemegang izin”. Sebuah permasalahan yang
mempunyai akibat hukum dari penggunaan dana demi kepentingan “pemegang izin”
Merujuk kepada problema
hukum terhadap Perpres, maka sebelum dilakukan pemulihan terhadap areal yang
terbakar tahun 2015 (restorasi), maka harus dilakukan proses hukum. Baik “menghukum” pemegang izin dari ranah
hukum pidana, meminta pertanggungjawab hukum terhadap “pemegang izin” untuk melakukan “pemulihan
(restorasi)” dan menetapkan pencabutan izin/pengurangan “areal konsensi”.
Proses hukum harus
dilalui sebelum dilakukan pemulihan (restorasi). Setelah proses hukum telah
dilakukan maka pemulihan dapat dilakukan. Terhadap pemulihan gambut yang
terbakar telah dilakukan, maka areal yang telah dipulihkan dapat diberikan “akses”
kepada masyarakat yang telah terbukti mampu mengelola gambut berdasarkan
kearifan lokal. Pelajaran di Sungai Tohor (Riau) dan sistem sekat kanal (blocking kanal) dan sistem embung terbukti handal dari kebakaran di
gambut.