24 Februari 2016

opini musri nauli : JOKOWI – Presiden Flamboyan “pinjam” Tangan Rakyat

Sementara public “sedikit” menarik nafas lega setelah Jokowi “menunda” membahas revisi UU KPK. Sebagian mengucapkan terima kasih. Sebagian kalangan “mencemaskan” penundaan revisi UU KPK.


Suasana hiruk pikuk pembahasan revisi UU KPK “memantik” diskusi politik hangat. Setelah revisi UU KPK masuk proglenas DPR, hak inisiatif membahas revisi UU KPK mendapatkan dukungan penuh dari anggota DPR. Hampir mayoritas anggota menerimanya disaat bersamaan Partai Gerindra “konsisten” menolak dalam rapat paripurna DPR.
Hiruk pikuk kemudian bergulir di DPR. Pemerintah “seakan-akan” tidak satu suara. Ketegasan Jokowi tidak diimbangi dengan Kementeriannya. Entah belum satu “koor” suara,  pernyataan tegas Jokowi diulanginya dalam wawancara di TV one.

Namun bukan terhenti pembahasan. Suara hiruk pikuk terus berkumandang di senayan. DPR yang didukung mayoritas fraksi DPR terus mengagendakan pembahasan. Publik kemudian menggalang dukungan sehingga Jokowi menjadi “terjepit”. Antara suara mayoritas partai di senayan dengan dukungan public yang semakin meluas menolak pembahasan revisi UU KPK.

Jokowi kemudian “memainkan” emosi public. Dengan digelarnya “pentas seni” di KPK, dukungan gurubesar, ancaman pimpinan KPK sehingga “sowan” ke Jokowi membuat Jokowi harus berhitung dengan dukungan public.

Suasana ini “mirip” ketika pilihan sulit Jokowi “tidak melantik Komjen Budi Gunawan” menjadi Kapolri. Jokowi tidak mau menanggung resiko berhadapan dengan public namun tidak mampu berhadapan dengan partai-partai besar yang mendesak Jokowi untuk melantik Komjen Budi Gunawan.

Begitu pula ketika pilihan sulit terhadap pembahasan revisi UU KPK. Jokowi berhitung untuk menolaknya. Namun Jokowi tidak mau berhadapan dengan partai besar yang mengusung revisi UU KPK.

Emosi public kemudian “diaduk-aduk. Dukungan terus diperlebar. Jokowi kemudian mengundang pimpinan DPR untuk mengambil jalan tengah. Menunda. Sebuah pilihan kompromi sembari melihat arah politik.

Dua peristiwa ini membuktikan. Jokowi “meminjam” tangan public untuk menolak pilihan partai. Jokowi tidak mau “langsung” berhadapan dengan partai-partai besar.

Cara ini sekali lagi mengingatkan gaya kepemimpinan Jokowi. Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti..." segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar. Jokowi ingin menyelesaikan persoalan “kerumitan” tanpa ingin menang sendiri. Jokowi ingin menyelesaikannya tanpa ada yang merasa dikalahkan.

Jokowi mengutamakan “rukun”. Rukun adalah kondisi adanya keseimbangan dan saling menghormati.

Ungkapan “rukun” sering disampaikan dalam dunia pewayangan. “negara ingkang panjang punjung pasir wukir gemah ripah loh jinawi tata tenteram tur rajaharja”. Negara yang terkenal, banyak dibicarakan orang, tinggi marbabatnya, luhur budinya dan amat berwibawa. Dalam serat Negarakertagama Mpu Prapanca, mitologi “rukun” adalah “masihi samasta bhuwana”. Berbuat dan mengasihi sesama. Manifestasinya diwujudkan “memayu hayuning bawana”. Harus menjaga ketentraman, kesejahteraaan dan keseimbangan dunia.

Dengan menggunakan “menunda” pembahasan revisi UU KPK, Jokowi tidak mau “mempermalukan” anggota DPR yang mengusung pembahasan revisi UU KPK. Jokowi terus membangun komunikasi sehingga hubungan harmonis terus dapat dilakukan dengan DPR.

Sehingga tidak salah kemudian saya memberikan istilah. Jokowi Presiden
Presiden Flamboyan “pinjam” Tangan Rakyat