Sementara
public “sedikit” menarik nafas lega
setelah Jokowi “menunda” membahas
revisi UU KPK. Sebagian mengucapkan terima kasih. Sebagian kalangan
“mencemaskan” penundaan revisi UU KPK.
Suasana
hiruk pikuk pembahasan revisi UU KPK “memantik”
diskusi politik hangat. Setelah revisi UU KPK masuk proglenas DPR, hak
inisiatif membahas revisi UU KPK mendapatkan dukungan penuh dari anggota DPR.
Hampir mayoritas anggota menerimanya disaat bersamaan Partai Gerindra
“konsisten” menolak dalam rapat paripurna DPR.
Hiruk
pikuk kemudian bergulir di DPR. Pemerintah “seakan-akan”
tidak satu suara. Ketegasan Jokowi tidak diimbangi dengan Kementeriannya. Entah
belum satu “koor” suara, pernyataan
tegas Jokowi diulanginya dalam wawancara di TV one.
Namun
bukan terhenti pembahasan. Suara hiruk pikuk terus berkumandang di senayan. DPR
yang didukung mayoritas fraksi DPR terus mengagendakan pembahasan. Publik
kemudian menggalang dukungan sehingga Jokowi menjadi “terjepit”. Antara suara
mayoritas partai di senayan dengan dukungan public yang semakin meluas menolak
pembahasan revisi UU KPK.
Jokowi
kemudian “memainkan” emosi public. Dengan digelarnya “pentas seni” di KPK,
dukungan gurubesar, ancaman pimpinan KPK sehingga “sowan” ke Jokowi membuat
Jokowi harus berhitung dengan dukungan public.
Suasana
ini “mirip” ketika pilihan sulit Jokowi “tidak melantik Komjen Budi Gunawan”
menjadi Kapolri. Jokowi tidak mau menanggung resiko berhadapan dengan public
namun tidak mampu berhadapan dengan partai-partai besar yang mendesak Jokowi
untuk melantik Komjen Budi Gunawan.
Begitu
pula ketika pilihan sulit terhadap pembahasan revisi UU KPK. Jokowi berhitung
untuk menolaknya. Namun Jokowi tidak mau berhadapan dengan partai besar yang
mengusung revisi UU KPK.
Emosi
public kemudian “diaduk-aduk. Dukungan terus diperlebar. Jokowi kemudian
mengundang pimpinan DPR untuk mengambil jalan tengah. Menunda. Sebuah pilihan
kompromi sembari melihat arah politik.
Dua
peristiwa ini membuktikan. Jokowi “meminjam” tangan public untuk menolak
pilihan partai. Jokowi tidak mau “langsung” berhadapan dengan partai-partai
besar.
Cara
ini sekali lagi mengingatkan gaya kepemimpinan Jokowi. Suro Diro
Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti..." segala sifat keras hati, picik,
angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar. Jokowi ingin menyelesaikan persoalan
“kerumitan” tanpa ingin menang sendiri. Jokowi ingin menyelesaikannya tanpa ada
yang merasa dikalahkan.
Jokowi mengutamakan “rukun”. Rukun adalah
kondisi adanya keseimbangan dan saling menghormati.
Ungkapan “rukun” sering disampaikan dalam
dunia pewayangan. “negara ingkang panjang
punjung pasir wukir gemah ripah loh jinawi tata tenteram tur rajaharja”. Negara
yang terkenal, banyak dibicarakan orang, tinggi marbabatnya, luhur budinya dan
amat berwibawa. Dalam serat Negarakertagama Mpu Prapanca, mitologi “rukun” adalah “masihi samasta bhuwana”. Berbuat dan mengasihi sesama.
Manifestasinya diwujudkan “memayu
hayuning bawana”. Harus menjaga ketentraman, kesejahteraaan dan
keseimbangan dunia.
Dengan menggunakan “menunda” pembahasan
revisi UU KPK, Jokowi tidak mau “mempermalukan” anggota DPR yang mengusung
pembahasan revisi UU KPK. Jokowi terus membangun komunikasi sehingga hubungan
harmonis terus dapat dilakukan dengan DPR.
Sehingga tidak salah kemudian saya memberikan istilah. Jokowi Presiden Presiden Flamboyan “pinjam” Tangan Rakyat