Di tengah masyarakat, istilah Marga (margo) menjadi
identitas yang khas sebagai perwujudan persekutuan masyarakat adat (rechtsgemeenshap). Namun
berbeda dengan Marga seperti di Batak dan Minang yang berasal dari factor
geneologis. Marga di wilayah Jambi berasal dari factor pertumbuhan persekutuan
hukum teritorial.
Sejarah
Margo ditetapkan oleh Pemerintah Belanda. Dari
berbagai sumber disebutkan, marga yang mulanya bersifat geneologis-territorial.
Menurut Regeering Reglement (RR) 1854, Nederlandse Indie diperintah oleh Gubernur Jenderal atas nama Raja/Ratu
Nederland secara sentralistis. Daerah Nederlandse Indie dibagi dalam dua kategori besar yaitu daerah Indirect Gebied
dan Direct Gebied. Daerah Indirect Gebied adalah daerah yang diperintah secara tidak langsung oleh penguasa
Batavia.
Daerah Direct Gebeid adalah yang diperintah secara
langsung oleh Batavia secara hirarkis. Secara historis sistem
pasirah terbentuk melalui Surat Keputusan Pemerintah colonial Belanda Tertanggal 25 Desember 1862. Tapi, tahun 1928,
pemerintah Belanda menetapkan perubahan marga-marga geneologi-teritorial menjadi marga-marga
teritorial-genealogis, dengan penentuan batas-batas daerah masing-masing. Setiap marga dipimpin oleh seorang kepala marga atas
dasar pemilihan. Demikian pula, kepala-kepala kampung ditetapkan berdasarkan
hasil pemilihan.
Didalam
dokumen-dokumen Belanda wilayah Jambi sebagai bagian dari kekuasaan Belanda
dapat dilihat pada Peta Belanda seperti Schetkaart Residentie Djambi
Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910, Skala 1:750.000, Schetskaart Van de
Residentie Djambi, Tahun 1906, Skala 1 : 500.000, Schetskaart Van de Residentie
Djambi, Bewerkt door het Encyclopaedisch Bureau 1922 – 1923, Skala 1 : 750.000,
Automobielkaart van Zuid Sumatra Samengesteld en Uitgegeven door Koniklijke ,
Vereenging Java Motor Club, Tahun 1929, Skala 1 : 1.500.000, Economical MAP of
The island Of Sumatra, Gold and silver, Tahun 1923, Skala 1 : 1.650.000,
Verkeers en Overzichtskaart van het eiland Sumatra, Tahun 1929, Skala
1.650.000, dan Kaart van het eiland Sumatra, Tahun 1909, Skala 1 : 2.000.000,
Aangevende de ligging Der Erfachtsperceelen en Landbrouwconcessies Of Sumatra,
Tahun 1914, Skala 1 : 2.000.000 telah jelas menerangkan posisi Residentie
Jambi.
Berdasarkan
peta Schetkaart Resindentie Djambi Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910,
maka daerah-daerah di Jambi telah dibagi berdasarkan Margo. Seperti Margo Batin
Pengambang, Margo Batang Asai, Cerminan Nan Gedang, Datoek Nan Tigo. Sedangkan
di Merangin dikenal Luak XVI yang terdiri dari Margo Serampas, Margo Sungai
Tenang, Margo Peratin Tuo, Margo Tiang Pumpung, Margo Renah Pembarap dan Margo
Sanggrahan. Sedangkan Di Tebo dikenal dengan Margo Sumay. Batanghari Margo
Petajin Ulu, Margo Petajin Ilir, Margo Marosebo, Kembang Paseban. Sedangkan di
Muara Jambi dikenal Margo Koempeh Ilir dan Koempeh Ulu, Jambi Kecil. Di
Tanjabbar dikenal dengan Margo Toengkal ilir, Toengkar Ulu. Dan di Tanjabtim
dikenal Margo Berbak, Margo Dendang Sabak.
Selain Margo
juga dikenal Batin. Seperti Batin Batin II, III Hoeloe (Hulu), Batin IV, Batin
V, Batin VII, Batin IX Hilir, Batin VIII dan Batin XIV.
Setiap Margo
atau batin mempunyai pusat pemerintahan. Misalnya pusat pemerintah Margo Batin
Pengambang di Moeratalang, Margo Serampas di Tanjung Kasri, Sungai Tenang di
Jangkat, Peratin Tuo di Dusun Tuo, Sanggrahan di Lubuk Beringin, Sumay di Teluk
Singkawang.
Pemangku Margo
atau Batin biasa disebut Pesirah. Wilayah administrasi setingkat kecamatan.
Nama-nama Margo masih dikenal selain menjadi cerita rakyat. diantaranya
kemudian menjadi Kecamatan. Misalnya Kecamatan Sungai Tenang kemudian menjadi
Kecamatan Jangkat Timur, Kecamatan Tiang Pembarap, Kecamatan Renah Pembarap,
Kecamatan Sumay, kecamatan marosebo, Kecamatan Sabak, Kecamatan Dendang atau
Kecamatan Tungkal Ulu.
Pembagian
wilayah berdasarkan penetapan Pemerintah Belanda biasa dikenal dengan istilah
Tambo (baca tembo). Tambo berasal dari bahasa sanskerta, tambay yang artinya bermula. Dalam
tradisi masyarakat Minangkabau, tambo merupakan suatu warisan turun-temurun
yang disampaikan secara lisan. Tambo atau mata rambo dapat juga bermaksud
sejarah, hikayat atau riwayat
Erman Rajagukguk didalam
tulisannya “PEMAHAMAN RAKYAT TENTANG HAK ATAS TANAH, mendefinisikan Tambo
“Proses pembukaan daerah baru semacam ini diperoleh dari cerita Tambo lama
Sumatera. Versi yang sama juga terjadi pada pembukaan tanah di Kalimantan
sebagaimana riwayat Sultan Adam yang dituangkan oleh Abdurrahman SH dan Drs. Syamsiar
Seman
Begitu juga ketika Sri
Susuhunan Paku Buwono IV ingin memperluas wilayahnya ke utara. Kisah kisah
tersebut diangkat oleh Sayuti Thalib SH dalam “Telah Tercipta Hak Ulayat Baru”.
Namun menurut penulis
Tembo lebih tepat mendefinisikan tentang cara penetapan suatu wilayah berdasarkan
batas-batas alam. Dengan Tambo, maka
bisa ditentukan wilayah daerah tertentu yang biasanya ditandai dengan
tanda-tanda alam seperti sungai, bukit, napal, renah, lubuk, muaro, bukit,
pematang, telun adalah bentuk alam yang tidak hilang. Sedangkan istilah
seperti “Dari” artinya dimulai, “ke” artinya menuju,”pelarung”
artinya menyeberang sungai atau melewati titian, “naik” artinya mendaki
bukit, “turun” artinya menuruni bukit, “balik” artinya kembali.
Tanda-tanda berdasarkan
kepada Tambo masih mudah diidentifikasi dan masih terlihat sampai sekarang.
Dengan
menggunakan “Tembo”, wilayah Jambi kemudian dituliskan “Mulai Dari Sialang Belantak Besi, menuju durian takuk rajo, mendaki ke
Pematang Lirik dan Besibak, terus ke sekeliling air Bangis, Mendepat ke Sungai
Tujuh Selarik, terus ke Sepisak Piasau Hilang, Mendaki Ke Bukit Alunan Babi,
meniti Pematang Panjang, Laju Ke Bukit Cindaku, mendepat ke Parit
Sembilan, turun ke renah Sungai keteh
Menuju Ke SUngai Enggang, terjun ke laut nan sedidis, mendepat ke Pulau
Berhalo, Menempuh Sekatak Air Hitam, menuju Ke Bukit Si Guntang-guntang,
Mendaki Ke Bukit Tuan, Menempuh Ke Sungai Banyu lincir, Laju Ke Ulu Singkut
BUkit Tigo, Mudk ke serintik Hujan, -Paneh, Meniti Ke Bukit Barisan, Turun ke
renah Sungai Bantal, Menuju Ke sungai Air dikit, Mendepat ke Hulu Sungai ketun,
Mendaki ke bukit Malin Dewo, menuju K Sungai Ipuh, Mendaki ke BUkit Sitinjau
laut, menuju ke GUnung Merapi, mendepat ke Hulu Danau Bentu, menempuh ke BUkit
Kaco, meniti pematang lesung tereh, menuju ke Batu angit Batu Kangkung, terus
ke teratak Tanjung Pisang, mudik kelipai nan besibak, terus ke siangkak nan
bedengkang, ilir ke durian takuk rajo, melayang ke tanjung semalido, disitu
tanah beringin duo batang.
Istilah “durian takuk rajo” bisa ditemui di VII
Koto dan Sumay yang berbatasan langsung dengan Sumbar. Sedangkan berbatasan
dengan Riau biasa dikenal “salo belarik”,
Bukit alunan babi, bukit cindaku, parit Sembilan yang kesemuanya termasuk
kedalam Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Istilah salo belarik”, Bukit alunan babi, bukit cindaku, parit Sembilan masih
dapat dijumpai di Margo Sumay.
Sedangkan Air dikit, Sungai Ipuh, Bukit tigo,
merupakan nama-nama tempat yang berbatasan langsung dengan Bengkulu. Kesemuanya
terdapat di Taman nasional Kerinci Sebelat.
Dan “sialang belantak besi” biasanya
merupakan nama tempat yang berbatasan langsung dengan Sumsel.
Sebagai factor
pertumbuhan persekutuan hukum (rechtsgemeenshap) sebagai faktor territorial, maka masyarakat Melayu
Jambi terbuka dengan kedatangan penduduk. Ujaran sepertinya Tanjung Paku batang
belimbing. Tempurung dipalenggangkan. Anak dipangku, kemenakan dibimbing, orang
lain dipatenggangkan, melambangkan
mereka tidak terikat dalam ikatan geneologis. Mereka terbuka dengan pendatang.
Ter Haar menyebutkan sebagai “Persekutuan Desa”