Dalam
setiap perjalanan turun ke lapangan, pertanyaan yang paling sering disodorkan
adalah siapa nenek moyang (masyarakat menyebutkan “puyang”) yang pertama mendiami di dusunnya.
Sebagian
menolak menyebutkan nama langsung. Namun sebagian menyebutkan dengan lantang.
Namun banyak pula ketika menyebutkan nama puyang
harus menunggu hari dan waktu yang baik.
Ada juga harus “memantrai” agar tidak
dikutuk oleh “puyang” karena telah menyebutkan namanya.
Kedatanganpun
beragam. Ada yang menyebutkan dari Pagaruyung[1],
Jawa Mataram, Jawa Majapahit, Arab atau Turki, Indrapura dan Kerinci. Seloko
seperti “Jika mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap hulu
maka Beraja ke Pagaruyung atau Tegak Tajur, Ilir ke Jambi. Lipat Pandan Ke
Minangkabau membuktikan
hubungan kekerabatan yang kuat antara masyarakat di hulu Sungai Batanghari
dengan Pagaruyung.
Begitu juga Marga didalam Luak XVI (Marga Serampas, Marga Sungai Tenang, Marga
Peratin Tuo, Marga Tiang Pumpung, Marga Renah pembarap dan Marga Senggrahan)
yang mengaku sebagai ”kerinci rendah”.
Perumpamaan kata Kerinci Rendah menunjukkan ”hubungan kekerabatan dengan Kerinci” namun berada di dataran di
bawah wilayah Kerinci.
Sedangkan Marga Tiang pumpung, Marga Renah
Pembarap dan Marga Senggrahan mengaku ”serampas
rendah”. Menunjukkan hubungan kekerabatan dengan Marga Serampas dan
mendiami di daerah Tiang Pumpung, Renah Pembarap dan Senggrahan. Makna ini
kemudian ditandai dengan Seloko ”tanah
pembarap”. Masyarakat yang tinggal di serampas namun kemudian mendiami di
wilayah dibawahnya berdasarkan anjuran ”Raja
Tanah Pilih”. Tanah Pilih adalah ”kerajaan
di Jambi” sebelum menunjukkan kerajaan Jambi.
Di
Marga Sumay mereka menyebutkan “Datuk
Perpatih Penyiang Rantau”. Sedangkan di Semambu mereka menyebutkan “Datuk
Perpatih Tumenggung Penyiang Rantau[2]”.
Di Suo-suo mereka mengenal “Pangeran
Singo[3]”
Di
Marga Batin Pengambang menyebutkan “nenek
semula Jadi”. Nama ini hidup di berbagai desa didalam Marga Batin
Pengambang.
Sedangkan
di Marga Sungai Tenang ada yang menyebutkan sebagai keturunan “Sutan Geremung”[4].
Nama ini juga hidup di Renah Pelaan yang mengaku sebagai keturunan dari adik
Sutan Geremung yaitu Siti Berek.[5].
Di Koto 10, mereka menyebutkan “Tumenggung
Mulo Jadi[6].
Sedangkan di Tanjung Alam mereka mengaku keturunan “raja Tiangso[7]”.
Rajo Tiangso dan Depati Pamuncak dianggap sebagai “pemangku” dari keturunan di Pungguk 9. Sedangkan di Tanjung Benuang
mereka mengaku keturunan dari “Nenek
Malano Kuning[8]”. Sedangkan
Di Dusun Kotobaru berasal dari “Depati
Suka Derajo”[9]
Penyebutan
“Datuk Perpatih Penyiang Rantau” atau
“Datuk Perpatih Tumenggung Penyiang
Rantau” mengingatkan sejarah Minangkabau yang didalam Tambonya selalu
menyebutkan “Datuk Perpatih Nan Sebatang”[10],
sebagai “puyang” dari Minangkabau. Istilah
Datuk juga dikenal dari masyarakat sebagai keturunan “Datuk Domang Muncak
Komarhusin[11]”
Di
Marga Tiang Pumpung, Marga Renah pembarap dan marga Senggrahan selain ikrar
dari keturunan Serampas rendah, juga menyebutkan sebagai keturunan dari “Syech Raja” di Renah Pembarap, Syech Saidi Malin Samad di Senggrahan dan Siti Baiti di Tiang Pumpung.
Ikrar
hubungan kekeratan Tiang Pumpung, Renah Pembarap dan Senggrahan ditandai dengan
seloko “gedung di Pembarap. Pasak di
tiang pumping. Kunci di senggrahan’. Maknanya jelas. Dalam rapat adat di
Marga Tiang Pumpung, Renah pembarap dan Senggrahan, ketiganya mempunyai posisi
penting. Rapat bisa diadakan apabila ketiga Marga telah hadir.
Di
daerah Ilir Jambi, di didalam Marga Kumpeh Ilir mereka menyebutkan
berbeda-beda. Di Sungai Bungur mereka menyebutkan “Tumenggung Bujang Pejantan[12]”.
Di Dusun Pulau Tigo mereka menyebutkan sebagai keturunan “Rajo Sari”[13]. Bahkan dari cerita rakyat, Marga Tungkal
mengaku keturunan dari “Datuk Kadinding”.
Namun
yang unik, masyarakat Desa Muara Sekalo mengaku keturunan dari “Tumenggung Gamo[14]”.
Padahal Muara Sekalo termasuk kedalam Marga Sumay yang terletak di hulu Sungai
Batanghari. Nama “datuk Perpatih Penyiang Rantau” tidak dikenal di kalangan
masyarakat Muara Sekalo.
Kesemuanya
tidak perlu kita bantah[15].
Karena pengetahuan tentang “puyang”
merupakan cerita tutur yang diwariskan turun temurun. Sebagaimana seloko “Dari puyang turun ke datuk. Dari datuk turun
ke bapak. Dan dari bapak turun ke sayo”.
Penyebutan
“Datuk”, Rajo, Nenek, Tumenggung, Pangeran,
Depati, Syech dan Sutan” merupakan bentuk keragaman asal keturunan
masyarakat di Jambi. Kata-kata seperti Syech
dan Sutan melambangkan masyarakat yang mengaku keturunan dari Arab/Turki
atau Jawa mataram. Sedangkan Datuk, Rajo,
Pangeran, nenek maupun tumenggung merupakan bentuk masyarakat yang mengaku
dari “puyang” sebelum masuknya agama
islam. Jauh kedatangan “puyang”
mereka sebelum kedatangan penyebaran Islam.
Melihat
berbagai penamaan “puyang” asal
kedatangan nenek moyang maka menarik dijadikan pembahasan. Penamaan “puyang dan
sejarah kedatangan “puyang” di tengah masyarakat masih hidup dan terus
dituturkan di tengah masyarakat.
[1]
Hampir semuanya mengaku keturunan dari Pagaruyung. Baik dari Marga Sungai
Tenang, Marga Batin Pengambang, Marga Sumay, Marga Serampas.
[2] Desa Semambu, 18 Maret 2013
[3] Desa Suo-suo, 13 Maret 2013
[4]
Pulau Tengah, 14 Maret 2016. Nama Sutan Geremung juga ditemukan di Dusun Renah
Pelaan, 15 maret 2016
[5] Desa Renah Pelaan, 15 Maret 2016
[6] Perdes Tanjung Mudo Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Piagam
Rio Penganggun Jago Bayo
[7] Peraturan Desa Tanjung Alam Nomor 3 Tahun 2011
Tentang Piagam Depati Dua Menggalo.
[8] Peraturan Desa Tanjung Benuang Nomor 9 Tahun 2011
Tentang Keputusan Depati Suko Menggalo
[9] Perdes Kotabaru No. 1 Tahun 2011
[10] MINANGKABAU – DARI DINASTI ISKANDAR ZULKARNAIN SAMPAI
TUANKU IMAM BONJOL, Amir Sjarifoedin, PT. Gria Media Prima, Jakarta, 2014, Hal
66.
[11] Perdes Pemayungan Nomor tahun 2012
[12]
Sungai Bungur, 26 Februari 2016
[13]
Pulau Tigo, 27 Februari 2016
[14] Desa Muara Sekalo, 21 Maret 2013
[15]
Menurut seorang
sejarahwan asal Belanda, yaitu Von Heine Geldern, Asal usul nenek moyang bangsa
Indonesia adalah bangsa dari daratan Yunan di China Selatan. Pendapat Von Heine
Geldern ini dilatarbelakangi oleh penemuan banyak peralatan manusia purba masa
lampau yang berupa batu beliung berbentuk persegi di seluruh wilayah Indonesia
meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Pendapat Von Heine Geldern
juga didukung oleh hasil penelitian Dr. H. Kern di tahun 1899 yang membahas
seputar 113 bahasa daerah di Indonesia.