Perubahan
itu terus terjadi. Tidak ada satupun yang bisa menghentikannya. Kita atau
negarapun “sering gagap” menghadapi cepatnya perubahan.
Terdengar
suara CEO Nokia Stephen Elop ketika menjual Nokia ke Microsoft
akhir tahun 2013. "Kami tidak melakukan sesuatu kesalahan, tapi
saya tidak tahu mengapa kami kalah". Selanjutnya mereka menitikkan air mata sembari
memandang ke depan, termangu dan tidak mengerti apa yang terjadi.
Padahal
sebagai “raja conneting partner” dan menguasai pangsa ponsel dunia selama 14
tahun, mereka sudah berada di posisi “nyaman”. Tidak ada rencana untuk
pengembangan perkembangan dunia gadget yang tumbuh begitu cepat.
Kesalahan
strategi “menggandeng” Microsoft dalam program aplikasi ditengah “derasnya android
dan IOS”, membuat Nokia sering disebutkan sebagai “kesalahan strategi” yang
kemudian “menguburkan raksasa Nokia”. Nokia kemudian tinggal sejarah. Sejarah
yang pernah cuma bisa kita ceritakan. “Dulu
ada HP yang dikenal sejuta umat. Ya. Nokia”.
Begitu
juga terjadi di Amerika. The New York Time kemudian bertahan hanya mampu
menyewakan ruang di gedungnya. The Washington Post kemudian harus dijual karena
masalah finansial. Mengakhiri nasibnya menyusul “newsweek (2012)” dan
bersama-sama dengan 40% media terbitan Amerika (2009).
Padahal
melalui investigas reporting Ben Bradlee, wartawan senior Washington Post yang terkenal kemudian berhasil
membongkar skandal Watergate sehingga menggulingkan Presiden Richard Nixon.
Sebuah upaya yang membuat The Washingtong Post diganjar “Pulitzer Prize”.
Lambang kehormatan dunia pers yang paling dihormati. Tidak salah kemudian The Washington Post
dikenal “wajah politik Amerika” selama ratusan tahun.
Sekarang
kita “dipertontonkan” digital dan dunia online mulai memakan korban.
Kampanye
“Teman Ahok” memporakporandakan partai yang selama ini mengusung candidate
Kepala Daerah. Teman Ahok menjadi “rising star” dan mampu menarik perhatian
Ahok untuk maju Independepent.
Dengan
digagas anak muda (paling banter) umur 25 tahun, mengelola website “partisipasi
warga” dan mengajak rakyat Jakarta “mendorong” Ahok untuk maju calon
perseorangan.
Mereka bicara politik dengan “sederhana”, “membumi” bahkan mampu memilih Ahok untuk “Berada di barisan muda”. Teman Ahok kemudian menjadi fenomena. Menjadi pembicaraan mengalahkan “tokoh-tokoh” politik yang mumpuni.
Teman
Ahok kemudian membuat rakyat Jakarta kemudian “berjejer” antri untuk mengisi
formulir dukungan kepada Ahok.
Suara
mereka kalem. Khas anak muda yang menawarkan ide-ide sederhana. Namun mampu
membuat “partai politik” meradang marah dan menuduh adanya upaya
“depolitisasi’. Sebuah capaian dari hasil kerja yang membuat partai politik
kemudian berhitung terhadap “Teman Ahok.
Begitu
juga angkutan aplikasi yang heboh di
Jakarta. Angkutan ‘manual, konvensional” langsung merasakan pendapatan yang
turun drastic. Terlepas dari persoalan “angkutan
aplikasi” yang kemudian digugat seperti biaya kir, pajak angkutan, namun
fenomena ini kemudian memantik diskusi. Dunia sedang berubah.
Saya,
anda bahkan kita sendiripun tidak bisa membaca arah perubahan. Namun yang
pasti. Kita yang mau berubah. Atau kita sendiri akan terlindas oleh putaran
waktu.