Sebelum
dimulai kompetisi sepakbola paling bergengsi, Liga Inggeris, tidak ada satupun
yang menduga “laju arah” klub papan bawah Leicester City. Semua mata berpaling
ke klub papan atas (Mancester City, MU, Arsenal, Liverpool, Chelsea). Kalaupun
ada selain mereka “paling-paling” disebut “Tottenham Hotspur.
Dengan hitung matematika, kelima klub papan
atas yang saling mendominasi dan menjuara Liga Inggeris akan meraih supremasi.
Dalam dua decade, public hanya “terpesona” dengan gaya permainan khas Inggeris,
hit and run. Dan sama sekali tidak memberikan perhatian penuh kepada klub-klub
yang terancam “degradasi”.
Bahkan
pelatih Leicester Citypun hanya mematok target. Tidak terlempar dari Liga
Inggeris ke divisi dua. Target yang tidak muluk-muluk. Ya. Maklum. Sebagai klub
papan bawah yang “sibuk” menyelamatkan diri dari ancaman “degradasi”, klub yang
lahir dan dianggap dari negeri antah berantah (walaupun usianya sudah mencapai
123 tahun), bertahan di divisi utama liga Inggeris merupakan kebanggaan
tersendiri.
Namun
filosofi sepakbola mulai dihidupkan oleh tim papan bawah. Slogan “bola itu
bundar”, “selama pluit terakhir belum dibunyikan”, merupakan filosofi sepakbola
yang dua decade sempat “tenggelam” dengan hiruk pikuk klub elite sepakbola. Dua
decade kita hanya menyaksikan sang “megabintang” yang bayarannya melebihi APBD
Propinsi Jambi atau bisa memperbaiki sebanyak 270 ribu sekolah.
Selama
itu pula, filosofi sepakbola kemudian digantikan “tim bayaran mahal”, “strategi
ciamik sang pelatih” hingga berbagai atribut kemewahan bintang sepakbobla.
Mimpi anak muda Indonesia kemudian terkubur melihat gaya permainan bintang yang
tidak mungkin bisa dipenuhi.
Dengan
tenang, Leicester City kemudian mulai memainkan sepakbola dengan tim yang
terpadu.Ditambah tidak ada beban main di liga Eropa (Champion maupun UEFA Cup),
tim bisa berkonsentrasi penuh dengan dukungan pemain bugar dan tidak dihantui
cedera. Pertandingan demi pertandingan terus dilakoni dengan meraih hasil
sempurna. Dengan hanya tiga kekalahan semusim (Arsenal dan Liverpool), membuat
Leicester City meraup angka yang mengantarkan juara liga paling bergengsi.
Tentu
banyak catatan yang ditorehkan oleh tim debutan ini. Namun dengan diraihnya
juara oleh tim sekelas sekelas Leicester City akan membangkitkan motivasi
anak-anak muda penggemar sepakbola. Mimpi menjuarai pertandingan tanpa harus
‘silau” dengan kebesaran tim lawan akan mudah diraih. Selain itu, filosofi
sepakbola akan kembali bergema. Bola akan terus bergulir tanpa harus terjebak
dengan tetek bengek dunia diluar sepakbola yang menyilaukan dan mengacaukan
irama permainan.
Anak
muda akan kembali “berlatih” sepakbola dan terus meraih mimpinya. Memainkan
sepakboola sebagai olahraga yang sportif tanpa harus “dijejali” berbagai
ornament “kemewahan” sepakbola yang justru mengganggu permainan itu sendiri.
Hayo.
Mainkan sepakbola sebagai “kekuatan tim”. Bukan “silau” dengan permainan
bintang.