08 Mei 2016

opini musri nauli : Simbol Parade Sepeda Motor Anak SMU

Sore sabtu kemarin, penulis menyaksikan “parade sepeda motor” yang dikendarai murid-murid SMU yang lulus dari UAS. Setelah mendengarkan pengumuman kelulusan dari Sekolah, murid-murid merayakan kegembiraan dengan menaikkan sepeda motor mengelilingi kota Jambi. Dilengkapi tingkah laku mengendari sepeda motor dengan suara klakson yang memekakkan telinga, pakaian yang dicoret pakai cat pilox, naik sepeda motor “menguasai jalanan” dan memaksa meminggirkan kendaraan di jalur seberangnya untuk minggir.
Secara sekilas, peristiwa ini merupakan “pengulangan “ dari peristiwa sebelumnya. Mereka “belajar” dari senior mereka bagaimana mereka merayakan kelulusan dari SMU. Sebagai generasi yang merekam peristiwa terhadap yang dilihat di jalanan, cara ini sudah sering terjadi. Setiap tahun dan terus memusingkan pengguna jalanan umum.

Dari peristiwa itu maka kita dapat melihat gambaran dari peristiwa dari berbagai sudut. Penulis akan mencoba memotret terhadap peristiwa dengan memberikan harapan terhadap peristiwa ini ke depan.

Pertama. Peristiwa ini dapatlah dimaknai secara sederhana. “parade sepeda motor” merupakan peristiwa yang diajarkan oleh senior, orang-orang dijalanan.

Dengan sepeda motor (sebuah kendaraan yang mudah didapatkan oleh rakyat di Jambi. Bayangkan dengan modal pertama 500 ribu, orang bisa membawa kendaraan pulang), mereka merekam peristiwa di jalanan.

Lihatlah bagaimana “arak-arakkan” sepeda motor menjelang pawai Pemilu dengan berbagai atribut partai, pendukung pilkada. Kesemuanya kemudian memberikan “pelajaran” kepada anak-anak SMU bagaimana “bersikap dijalanan”.

Dengan bergerombol, mereka bisa menjadi “raja” dan menguasai jalanan dengan sesuka hati.

Parade, arak-arakkan yang diajarkan oleh senior ataupun orang-orang tua di jalanan kemudian memberikan pelajaran penting kepada anak-anak SMU. Hayo. Kita kuasai jalanan dan kita bertindak seperti Raja menguasai jalanan.

Kedua. Dengan cara “parade di jalanan”, mereka hendak melepaskan “beban” UAS yang sempat membuat mereka stress selama 3 tahun di sekolah. Beban pelajaran terutama mata pelajaran yang mempunyai akibat langsung di UAS membuat mereka “berkejaran” dengan waktu untuk memenuhi standar UAS.

Mereka meninggalkan filosofi dunia pendidikan. Dunia yang membebaskan dari belenggu kebodohan, dunia yang mengajarkan arti kejujuran, dunia yang mengajarkan arti sebuah ilmu kemudian menjadi dunia yang kejam. Dunia yang mengajarkan pentingnya artinya sebuah nilai. Dunia yang mengajarkan “hasil” daripada proses. Dunia yang mengajarkan segala sesuatu kemudian diukur dengan angka-angka. Angka-angka yang kemudian mengakibatkan prestasi daerah, prestasi sekolah, prestasi Kepala Sekolah. Sehingga dunia kemudian “memberikan” beban tambahan kepada murid untuk meraihnya. Dunia yang kemudian “mengabaikan proses dan mengutamakan dan bertujuan untuk meraih hasil.

Mereka yang kemudian “terjebak” dengan putaran target kemudian melepaskan lelahnya. Mereka menunjukkan identitas. Mereka kemudian menunjukkan “lepasnya dari beban”. Dengan cara “parade dijalan”. mereka kemudian menunjukkan caranya. Cara siswa SMU itu sendiri.

Ketiga. Murid-murid SMU merupakan murid-murid kelahiran 1998-2000. Artinya mereka merupakan “generasi” orde reformasi. Mereka adalah saksi dari proses interaksi masa reformasi.

Dengan telaten mereka memotret berbagai makna reformasi. Makna yang kemudian mereka tafsirkan sendiri berdasarkan pengalaman empiris yang mereka lihat selama ini.

Mereka menyaksikan di televisi, bagaimana pelaku koruptor kemudian bisa “Senyum-senyum ditelevisi” sambil melambaikan tangan. Mereka menyaksikan kemudian tokoh-tokoh yang membawa nama-nama agama kemudian tidak merasa berdosa melakukan korupsi. Nilai korupsi menjadi hal yang biasa.

Mereka juga menyaksikan “perlakuan” di jalanan. Bagaimana melihat yang berkuasa di jalanan bisa mengatur jalanan sesuka hatinya.

Menutup jalanan umum hanya demi kepentingan anak pejabat yang pesta perkawinan. Mereka menyaksikan jalanan umum ditutup karena ada khitanan anak pejabat kelurahan. Mereka juga menyaksikan bagaimana ayah mereka “tidak berdaya” berurusan di kantor pemerintahan. Mereka juga menyaksikan bagaimana ayah mereka sibuk mengemis kesana kemari agar anak mereka bisa disekolahkan yang dekat di rumah.

Mereka juga menyaksikan bagaimana ‘suara motor atau mobil yang menggunakan sirene” memekakkan telinga membawa pejabat mengelilingi kota. Mereka juga melihat bagaimana mobil mewah mendapatkan perlakuan istimewa di hotel-hotel berbintang sementara mobil dari kampong tidak diperkenankan masuk.

Mereka kemudian menjadi saksi dari ketidakadilan di jalanan raya.

Sehingga tidak salah kemudian mereka menyampaikan kekesalan, keunekkan, kegembiraan di jalan raya.

Dan mereka sedang memberikan penilaian dari proses reformasi yang ternyata cuma mementingkan segelintir orang. Mereka melawan dan menunjukkan “siapa diri mereka”. Dan mereka sedang mempersiapkan generasi perlawanan yang akan menyikat terhadap ketidakadilan.

Mari kita akan lihat 10 tahun yang akan datang. Apa yang akan mereka lakukan.