Sore
sabtu kemarin, penulis menyaksikan “parade sepeda motor” yang dikendarai
murid-murid SMU yang lulus dari UAS. Setelah mendengarkan pengumuman kelulusan
dari Sekolah, murid-murid merayakan kegembiraan dengan menaikkan sepeda motor
mengelilingi kota Jambi. Dilengkapi tingkah laku mengendari sepeda motor dengan
suara klakson yang memekakkan telinga, pakaian yang dicoret pakai cat pilox,
naik sepeda motor “menguasai jalanan” dan memaksa meminggirkan kendaraan di
jalur seberangnya untuk minggir.
Secara
sekilas, peristiwa ini merupakan “pengulangan “ dari peristiwa sebelumnya.
Mereka “belajar” dari senior mereka bagaimana mereka merayakan kelulusan dari
SMU. Sebagai generasi yang merekam peristiwa terhadap yang dilihat di jalanan,
cara ini sudah sering terjadi. Setiap tahun dan terus memusingkan pengguna
jalanan umum.
Dari
peristiwa itu maka kita dapat melihat gambaran dari peristiwa dari berbagai
sudut. Penulis akan mencoba memotret terhadap peristiwa dengan memberikan harapan
terhadap peristiwa ini ke depan.
Pertama.
Peristiwa ini dapatlah dimaknai secara sederhana. “parade sepeda motor”
merupakan peristiwa yang diajarkan oleh senior, orang-orang dijalanan.
Dengan
sepeda motor (sebuah kendaraan yang mudah didapatkan oleh rakyat di Jambi.
Bayangkan dengan modal pertama 500 ribu, orang bisa membawa kendaraan pulang),
mereka merekam peristiwa di jalanan.
Lihatlah
bagaimana “arak-arakkan” sepeda motor menjelang pawai Pemilu dengan berbagai
atribut partai, pendukung pilkada. Kesemuanya kemudian memberikan “pelajaran”
kepada anak-anak SMU bagaimana “bersikap dijalanan”.
Dengan
bergerombol, mereka bisa menjadi “raja” dan menguasai jalanan dengan sesuka
hati.
Parade,
arak-arakkan yang diajarkan oleh senior ataupun orang-orang tua di jalanan
kemudian memberikan pelajaran penting kepada anak-anak SMU. Hayo. Kita kuasai
jalanan dan kita bertindak seperti Raja menguasai jalanan.
Kedua.
Dengan cara “parade di jalanan”, mereka hendak melepaskan “beban” UAS yang
sempat membuat mereka stress selama 3 tahun di sekolah. Beban pelajaran
terutama mata pelajaran yang mempunyai akibat langsung di UAS membuat mereka
“berkejaran” dengan waktu untuk memenuhi standar UAS.
Mereka
meninggalkan filosofi dunia pendidikan. Dunia yang membebaskan dari belenggu
kebodohan, dunia yang mengajarkan arti kejujuran, dunia yang mengajarkan arti
sebuah ilmu kemudian menjadi dunia yang kejam. Dunia yang mengajarkan
pentingnya artinya sebuah nilai. Dunia yang mengajarkan “hasil” daripada
proses. Dunia yang mengajarkan segala sesuatu kemudian diukur dengan
angka-angka. Angka-angka yang kemudian mengakibatkan prestasi daerah, prestasi
sekolah, prestasi Kepala Sekolah. Sehingga dunia kemudian “memberikan” beban
tambahan kepada murid untuk meraihnya. Dunia yang kemudian “mengabaikan proses
dan mengutamakan dan bertujuan untuk meraih hasil.
Mereka
yang kemudian “terjebak” dengan putaran target kemudian melepaskan lelahnya.
Mereka menunjukkan identitas. Mereka kemudian menunjukkan “lepasnya dari
beban”. Dengan cara “parade dijalan”. mereka kemudian menunjukkan caranya. Cara
siswa SMU itu sendiri.
Ketiga.
Murid-murid SMU merupakan murid-murid kelahiran 1998-2000. Artinya mereka
merupakan “generasi” orde reformasi. Mereka adalah saksi dari proses interaksi
masa reformasi.
Dengan
telaten mereka memotret berbagai makna reformasi. Makna yang kemudian mereka
tafsirkan sendiri berdasarkan pengalaman empiris yang mereka lihat selama ini.
Mereka
menyaksikan di televisi, bagaimana pelaku koruptor kemudian bisa “Senyum-senyum
ditelevisi” sambil melambaikan tangan. Mereka menyaksikan kemudian tokoh-tokoh
yang membawa nama-nama agama kemudian tidak merasa berdosa melakukan korupsi.
Nilai korupsi menjadi hal yang biasa.
Mereka
juga menyaksikan “perlakuan” di jalanan. Bagaimana melihat yang berkuasa di
jalanan bisa mengatur jalanan sesuka hatinya.
Menutup
jalanan umum hanya demi kepentingan anak pejabat yang pesta perkawinan. Mereka
menyaksikan jalanan umum ditutup karena ada khitanan anak pejabat kelurahan.
Mereka juga menyaksikan bagaimana ayah mereka “tidak berdaya” berurusan di
kantor pemerintahan. Mereka juga menyaksikan bagaimana ayah mereka sibuk
mengemis kesana kemari agar anak mereka bisa disekolahkan yang dekat di rumah.
Mereka
juga menyaksikan bagaimana ‘suara motor atau mobil yang menggunakan sirene”
memekakkan telinga membawa pejabat mengelilingi kota. Mereka juga melihat
bagaimana mobil mewah mendapatkan perlakuan istimewa di hotel-hotel berbintang
sementara mobil dari kampong tidak diperkenankan masuk.
Mereka
kemudian menjadi saksi dari ketidakadilan di jalanan raya.
Sehingga
tidak salah kemudian mereka menyampaikan kekesalan, keunekkan, kegembiraan di
jalan raya.
Dan
mereka sedang memberikan penilaian dari proses reformasi yang ternyata cuma
mementingkan segelintir orang. Mereka melawan dan menunjukkan “siapa diri
mereka”. Dan mereka sedang mempersiapkan generasi perlawanan yang akan menyikat
terhadap ketidakadilan.
Mari
kita akan lihat 10 tahun yang akan datang. Apa yang akan mereka lakukan.