04 Mei 2016

opini musri nauli : Pilkades Perspektif Hukum Adat



Usai sudah Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak di Muara Jambi, Tebo dan Merangin. Sarolangun tidak lama lagi juga akan mengadakan Pilkades.

Berbeda dengan Pilkades sebelumnya, suasana pemilihan “relative” tenang sehingga tidak terdengar ‘suasana” kisruh” seperti tahun-tahun sebelumnya. Rakyat sudah banyak belajar “berpolitik” dengan mengikuti irama demokrasi seperti Pilpres, Pileg, Pilkada (Gubernur dan Bupati/Walikota). Sehingga rakyat belajar bagaimana proses demokrasi dapat diterima sebagai bagian dari proses demokrasi yang terus berkembang ditengah rakyat. Kisruh paska pemilihan Kades justru akan merugikan rakyat itu sendiri didalam relasi hubungan kemasyarakatan sehari-hari.

Di daerah-daerah hulu Sungai Batanghari, Pemilihan Kepala Desa tidak bisa dilepaskan dari tarik menarik dukungan di Desa. Dengan hubungan kekeratan yang kental, pemilihan kepala desa mempunyai keterkaitan yang kuat antara pendukung didalam keluarga.

Dalam hubungan kekeratan terdekat, biasa dikenal dengan Kalbu. Hubungan kekerabatan inilah yang membuat ada slogan “Apabila Pilpres, Pileg didukung oleh partai”, maka untuk Pilkades “partainya adalah kalbu”. Kalbu menentukan arah dan dukungan yang diberikan. Kalbu yang besar akan memberikan kontribusi terhadap perolehan suara di pilkades.

Maka sang “candidate” kemudian dikuliti. Dilihat asal-usul, latar belakang, sikap sehari-hari, hubungan social di tengah masyarakat hingga berbagai factor yang memberikan arah kalbu untuk memberikan dukungan.

“Kandidate” yang berlatar belakang dari luar desa (semendo) tentu akan kalah bersaing dengan candidate asal dari desa bersangkutan. Namun “semendo” bisa mengalahkan candidate asal desa apabila terbukti mampu melebihi persyaratan dari candidate asli desa.

Namun yang menjadi “pertarungan” dukungan apabila didalam desa itu sendiri, masing-masing didalam kalbu kemudian maju menjadi candidate. Misalnya antara Anak kemenakan dengan paman, kakak-beradik ataupun antara saudara dengan ipar. Persoalan muncul sehingga “suara” kalbu menentukan dukungan.

Dalam mengatasi polemic itu sendiri, maka pemimpin kalbu yang biasa ‘dituakan” kemudian “menyerahkan” dukungan kepada masing-masing pemilih. Dan untuk “menjaga” rahasia pemilih, Sang tua biasanya sering berujar “Mana yang terbaik bagi kalian”. Dan masing-masing candidate harus mampu meyakinkan keluarga besarnya didalam kalbu untuk memilihnya.

Posisi Kepala Desa begitu penting di tengah masyarakat. Sebagai Kepala Desa, posisi Kepala Desa biasa dikenal sebagai “Tali tiga sepilin’. Memutuskan persoalan desa bersama-sama dengan tokoh agama dan tokoh adat. Oleh karena itu, maka kepala Desa juga bertindak sebagai “pemangku adat”.

Sebagai pemangku adat, di tiap-tiap desa kemudian “diberi” gelar kehormatan berdasarkan dari sejarah panjang keberadaan adat. Gelar ini melekat selama Kepala Desa menjadi “pemangku adat”. Gelar ini tidak melekat menjadi gelar pribadi ataupun dapat diwariskan. Gelar ini menunjukkan derajat kehormatan masyarakat kepada kepala Desa.

Prosesi adat pemberian gelar kepada pemangku adat Kepala Desa ditandai dengan upacara adat seperti “memotong kerbau, beras 100 gantang, selemak semanis”. Upacara ini diikuti seluruh masyarakat dalam satu desa.

Maka berbagai gelar kemudian diberikan kepada Kepala Desa sebagai pemangku adat. Seperti Depati atau Rio. Depati Gento Rajo (Desa Pulau Tengah), Pemangku Sanggo Ning di Rajo (Desa Renah Pelaan), Depati Suko Merajo (Desa Gedang), Depati Sungai Rito (Desa Rantau Suli), Depati Payung (Desa Pematang Pauh), Depati Suko Menggalo (Desa Tanjung Benuang), Depati Duo Menggalo (Desa Tanjung Alam), Sako Rio Pembarap (Dusun Koto Teguh), Rio Penganggun Jago Bayo (Dusun Mudo) dan masih banyak lainnya.

Apabila dilihat dari kepala Pemerintahan, maka terdapat Depati, Rio dan Pemangku. Menurut Ali Nahu ada perbedaan antara Depati dan Rio. Depati untuk pusat pemerintahan setingkat dusun. Sedangkan Rio untuk setingkat Kampung. Sehingga Tanjung Mudo merupakan pengembangan dari Pungguk 6.

Sebagai “pemangku adat”, posisinya dihormati yang ditandai dengan seloko “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek.

Kata-kata “ Yang memakan habis, memancung putus” dimaknai sebagai “kata-kata pemimpin didalam mengambil keputusan dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapinya. Kata-katanya didengar dan merupakan solusi yang disampaikannya.

Kata-kata “dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek. Dimaknai sebagai “ketika setelah mengambil keputusan, maka keputusan yang telah dihasilkan tidak boleh disesali. Keputusan yang dilakukan harus dengna keyakinan yang terbaik untuk masyarakat.

Kata-kata “Disitu kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama ditarah.

Maka kemudian dia diposisikan “didahulukan selangkah”. Dilebihkan sekata'

Didepan menghadapi persoalan dan bersedia mengambil alih tanggung jawab dari berbagai persoalan. Sedangkan “dilebihkan sekata” melambangkan seorang pemimpin yang mempunyai wawasan yang luas. Bisa menjawab semua persoalan. Bisa menjelaskan “apa yang belum terpikirkan” masyarakat. Tempat orang “yang bisa menjelaskan dengan bijaksana.

Dia mampu, dihormati dan dapat menjadi pengayom. Tempat berlindung masyarakat dari berbagai persoalan. Tempat “bercerita” bertukar pikiran terhadap persoalan sehari-hari. Tempat “bercengkrama” dan bersenda gurau. Tempat “bersuka ria” melewati persoalan.

Bertindak sebagai “Tempat orang bertanyo. Tempat orang bercerito”. Ketika masyarakat hendak menyelesaikan berbagai persoalan, pemimpin merupakan orang pertama yang diminta pendapat. Pemimpin tempat “mengadukan” dan menemukan jawaban dari persoalan.

Masyarakat menemui pemimpin ketika “hendak pergi”. Tempat bertanya berbagai tempat yang hendak dituju. Tempat orang bertanya berbagai hal tentang tempat yang dituju.

Pemimpin yang baik “tempat” orang bercerita setelah datang dari tempat yang jauh. “tempat” bercerita tempat yang telah didatangi. Tempat orang menyampaikan berbagai peristiwa setelah kedatangan tempat yang telah dituju.

Begitu tinggi penghormatan kepada pemimpin sering diujarkan “Alam sekato Rajo. Negeri sekato batin”.

Begitu agung dan dihormati pemimpin, masyarakat akan mengikuti setiap perintah, setiap perkataan dari pemimpin. Setiap perkataan dan perintah dari pemimpin sebagai bentuk pemimpin yang dihormati.

Mereka “menyerahkan” hidupnya. Menyerahkan masa depannya kepada pemimpin.