Usai
sudah Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak di Muara Jambi, Tebo dan
Merangin. Sarolangun tidak lama lagi juga akan mengadakan Pilkades.
Berbeda
dengan Pilkades sebelumnya, suasana pemilihan “relative” tenang sehingga tidak
terdengar ‘suasana” kisruh” seperti tahun-tahun sebelumnya. Rakyat sudah banyak
belajar “berpolitik” dengan mengikuti irama demokrasi seperti Pilpres, Pileg,
Pilkada (Gubernur dan Bupati/Walikota). Sehingga rakyat belajar bagaimana
proses demokrasi dapat diterima sebagai bagian dari proses demokrasi yang terus
berkembang ditengah rakyat. Kisruh paska pemilihan Kades justru akan merugikan
rakyat itu sendiri didalam relasi hubungan kemasyarakatan sehari-hari.
Di daerah-daerah hulu Sungai
Batanghari, Pemilihan Kepala Desa tidak bisa dilepaskan dari tarik
menarik dukungan di Desa. Dengan hubungan kekeratan yang kental, pemilihan
kepala desa mempunyai keterkaitan yang kuat antara pendukung didalam keluarga.
Dalam
hubungan kekeratan terdekat, biasa dikenal dengan Kalbu. Hubungan kekerabatan
inilah yang membuat ada slogan “Apabila Pilpres, Pileg didukung oleh partai”,
maka untuk Pilkades “partainya adalah kalbu”. Kalbu menentukan arah dan
dukungan yang diberikan. Kalbu yang besar akan memberikan kontribusi terhadap
perolehan suara di pilkades.
Maka
sang “candidate” kemudian dikuliti. Dilihat asal-usul, latar belakang, sikap
sehari-hari, hubungan social di tengah masyarakat hingga berbagai factor yang
memberikan arah kalbu untuk memberikan dukungan.
“Kandidate”
yang berlatar belakang dari luar desa (semendo) tentu akan kalah bersaing
dengan candidate asal dari desa bersangkutan. Namun “semendo” bisa mengalahkan
candidate asal desa apabila terbukti mampu melebihi persyaratan dari candidate
asli desa.
Namun
yang menjadi “pertarungan” dukungan apabila didalam desa itu sendiri,
masing-masing didalam kalbu kemudian maju menjadi candidate. Misalnya antara
Anak kemenakan dengan paman, kakak-beradik ataupun antara saudara dengan ipar.
Persoalan muncul sehingga “suara” kalbu menentukan dukungan.
Dalam
mengatasi polemic itu sendiri, maka pemimpin kalbu yang biasa ‘dituakan”
kemudian “menyerahkan” dukungan kepada masing-masing pemilih. Dan untuk
“menjaga” rahasia pemilih, Sang tua biasanya sering berujar “Mana yang terbaik
bagi kalian”. Dan masing-masing candidate harus mampu meyakinkan keluarga
besarnya didalam kalbu untuk memilihnya.
Posisi
Kepala Desa begitu penting di tengah masyarakat. Sebagai Kepala Desa, posisi
Kepala Desa biasa dikenal sebagai “Tali tiga sepilin’. Memutuskan persoalan
desa bersama-sama dengan tokoh agama dan tokoh adat. Oleh karena itu, maka
kepala Desa juga bertindak sebagai “pemangku adat”.
Sebagai
pemangku adat, di tiap-tiap desa kemudian “diberi” gelar kehormatan berdasarkan
dari sejarah panjang keberadaan adat. Gelar ini melekat selama Kepala Desa
menjadi “pemangku adat”. Gelar ini tidak melekat menjadi gelar pribadi ataupun
dapat diwariskan. Gelar ini menunjukkan derajat kehormatan masyarakat kepada kepala
Desa.
Prosesi
adat pemberian gelar kepada pemangku adat Kepala Desa ditandai dengan upacara
adat seperti “memotong kerbau, beras 100 gantang, selemak semanis”. Upacara ini
diikuti seluruh masyarakat dalam satu desa.
Maka
berbagai gelar kemudian diberikan kepada Kepala Desa sebagai pemangku adat.
Seperti Depati atau Rio. Depati Gento
Rajo (Desa Pulau Tengah), Pemangku Sanggo Ning di Rajo (Desa Renah Pelaan), Depati
Suko Merajo (Desa Gedang), Depati Sungai Rito (Desa Rantau Suli), Depati Payung
(Desa Pematang Pauh), Depati Suko Menggalo (Desa Tanjung Benuang), Depati Duo
Menggalo (Desa Tanjung Alam), Sako Rio Pembarap (Dusun Koto Teguh), Rio
Penganggun Jago Bayo (Dusun Mudo) dan masih banyak lainnya.
Apabila dilihat dari kepala Pemerintahan,
maka terdapat Depati, Rio dan Pemangku. Menurut Ali Nahu ada perbedaan antara
Depati dan Rio. Depati untuk pusat pemerintahan setingkat dusun. Sedangkan Rio
untuk setingkat Kampung. Sehingga Tanjung Mudo merupakan pengembangan dari
Pungguk 6.
Sebagai
“pemangku adat”, posisinya dihormati yang ditandai dengan seloko “Yang berhak untuk memutih
menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak,
diduri jangan menginjek.
Kata-kata “ Yang memakan
habis, memancung putus” dimaknai sebagai “kata-kata pemimpin didalam
mengambil keputusan dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang
dihadapinya. Kata-katanya didengar dan merupakan solusi yang disampaikannya.
Kata-kata “dipapan jangan
berentak, diduri jangan menginjek. Dimaknai sebagai “ketika setelah
mengambil keputusan, maka keputusan yang telah dihasilkan tidak boleh disesali.
Keputusan yang dilakukan harus dengna keyakinan yang terbaik untuk masyarakat.
Kata-kata “Disitu kusut
diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu
bongkol sama ditarah.
Maka
kemudian dia diposisikan “didahulukan selangkah”.
Dilebihkan sekata'
Didepan menghadapi persoalan
dan bersedia mengambil alih tanggung jawab dari berbagai persoalan. Sedangkan “dilebihkan sekata” melambangkan seorang
pemimpin yang mempunyai wawasan yang luas. Bisa menjawab semua persoalan. Bisa
menjelaskan “apa yang belum terpikirkan”
masyarakat. Tempat orang “yang bisa menjelaskan dengan bijaksana.
Dia mampu, dihormati dan dapat
menjadi pengayom. Tempat berlindung masyarakat dari berbagai persoalan. Tempat
“bercerita” bertukar pikiran terhadap persoalan sehari-hari. Tempat “bercengkrama”
dan bersenda gurau. Tempat “bersuka ria” melewati persoalan.
Bertindak sebagai “Tempat
orang bertanyo. Tempat orang bercerito”. Ketika masyarakat hendak
menyelesaikan berbagai persoalan, pemimpin merupakan orang pertama yang diminta
pendapat. Pemimpin tempat “mengadukan” dan menemukan jawaban dari
persoalan.
Masyarakat menemui pemimpin
ketika “hendak pergi”. Tempat bertanya berbagai tempat yang hendak dituju.
Tempat orang bertanya berbagai hal tentang tempat yang dituju.
Pemimpin yang baik “tempat”
orang bercerita setelah datang dari tempat yang jauh. “tempat” bercerita
tempat yang telah didatangi. Tempat orang menyampaikan berbagai peristiwa
setelah kedatangan tempat yang telah dituju.
Begitu tinggi penghormatan
kepada pemimpin sering diujarkan “Alam sekato Rajo. Negeri sekato batin”.
Begitu agung dan dihormati
pemimpin, masyarakat akan mengikuti setiap perintah, setiap perkataan dari
pemimpin. Setiap perkataan dan perintah dari pemimpin sebagai bentuk pemimpin
yang dihormati.
Mereka “menyerahkan”
hidupnya. Menyerahkan masa depannya kepada pemimpin.